*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Kita pada masa ini kerap bingung membaca narasi
sejarah Malaysia. Namun faktanya pada masa lampau tidak demikian. Uniknya para
ahli di Malaysia membangun narasi sejarah yang nyaris tak pernah belajar dari
sejarah Indonesia. Mangapa membangun narasi sejarah di Malaysia jika isi narasi
itu tidak dapat dijalankan di dalam negeri tetapi sebaliknya narasi yang ada
justru menyinggung negara lain (terutama Indonesia). Apa yang terjadi di
Malaysia? Mengapa akademisi Malaysia kerap membuat bingung oeang Indonesia?
Dalam narasi sejarah Indonesia, meski ada banyak yang masih perlu diperbaiki, tetapi pathnya sudah pada garus yang lurus (benar). Narasi sejarah Indonesia dibangun di atas tanah (ranah) Indonesia. Fakta bahwa Indonesia itu sangat besar, dan sangat luas dengan populasi yang sangay besar. Berbeda dengan Malaysia masa kini yang adakalanya dipersepsikan hanya sebatas Semenanjung Malaya (dilupakan Singapoera dan terlupakan Serawak dan Sabah). Dalam konteks membangun dan mengembangan narasi sejarah Malaysia, sejumlah isu mengemuka, yang notabena adakalnya mrembuat orang Indonesia salah paham dan merasa gerah. Sejumlah isu tersebut yang menjadi menarik perhatian (berifat kontroversi) antara lain: Dominasi kekuasaan Melayu di Malysia, bahasa nasional dan usulan bahasa Melayu menjadi bahasa ASEAN, sistem pendidikan---berbeda Cina dan India, status penjajahan---dijajah vs tidak dijajah, kemederkaan di Malaysia---hari kemerdekaan, tetapi tidak sama, federasi negara dalam soal Sabah---akta dan pelanggaran, peran pahlawan Inggris vs pihak lain yang semua diangga[ komunis, budaya–klaim sejarah, klaim heritage, lupa bantuan Indonesia, hanya ingat Ganyang Malaysia, sengketa pulau dan perbatasan, soal TKI dan merasa diri kaya dan pintar, orang lain di Indonesia dianggap miskin dan bodoh.
Lantas bagaimana sejarah Malaysia tempo dulu dan mengapa Indonesia dibelakangi pada masa Ini? Seperti disebut di atas, ada persepsi yang berubah di Malaysia antara dulu dan sekarang tentang hubungan bernegara dan hubungan antar maysrakat. Persepsi itu cenderung tidak positif dan tidak mendukung suasana kondusif antara kedua negara. Itu menjadi memicu banyak hal soal ketegangan. Ibarat lagu judulnya adalah ‘Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri. Lalu bagaimana sejarah Malaysia tempo dulu dan mengapa Indonesia dibelakangi pada masa Ini? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Malaysia Dulu - Indonesia Dibelakangi Masa Ini; Bagai Lagu Kau Memulai, Kau Yang Mengakhiri
Hubungan antara Malaysia dan Indonesia, sebenarnya bukan baru. Hubungannya sudah terbentuk bahkan jauh sebelum terbentuk Indonesia dan Indonesia. Ada hubungan pasang-surut, tetapi pasangnya lebih banyak daripada surutnya. Sejarah hubungan itu dimulai pada era Nusantara, dimana antara satu tempat dan tempat lain terhubungan dalam konteks perdagangan; antara pulau Sumatra dengan pulau Jawa, antara pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya, dan sebagainya (lihat misalnya teks Negarakertagama, 1365)..
Seiring dengan memudarnya Kerajaan Majapahit di Jawa, bangkitnya Kerajaan
Panai dengan nama (baru) Kerajaan Aru di (pantai timur) Sumatra, lalu seorang
pangeran di Palembang (yang diduga kurang senang dengan Majapahit) pada awal
abad ke-15 membentuk kerajaan baru di Semenanjung Malaya di suatu daerah antara
Muar dan Kelang di kampong Malaya (koloni orang-orang India). Kerajaan ini
kemudian disebut Kerajaan Malaya. Orang-orang Moor yang berkoloni di Muar
menyebut kerajaan dengan nama Kerajaan Malaka (kelak orang-orang Portugis
menyebut Malaka dengan nama Malacca.
Ketika Kerajaan Malaka mulai berulah di pantai barat Semananjung Malaya, kerajaan kuat tetangganya di seberang lautan (selat) di pantai timur gerah (Kerajaan Aru). Untuk menekan Kerajaan Malaka, lalu Kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra menyerang (kerajaan) Malaka. Sejak serangan itu, Kerajaan Malaka selalu takut kepada Kerajaan Aru (lihat Mendes Pinto, 1537).
Menurut Mendes Pinto, Kerajaan Aru Batak Kingdom adalah kerajaan terkuat nusantara
saat itu (sejak memudarnya Majapahit, lebih-lebih setelah kematian Gadjah Mada
1364). Kerajaan Panai berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor yang berada
di seputar selat Malaka (yang kemudian muncul nama Kerajaan Aru). Orang-orang Moor
di selat Malaka sudah lama dan komunitasnya semakin kuat, yang diduga menjadi
sebab utusan Moor yakni Ibnu Batutah mengunjungi selat Malaka pada tahun 1345 (dan
juga pantai timur Tiongkok). Seiring dengan memudarnya Kerajan Majapahit, lalu
berkembang pesat Kerajaan Aru sebagai kekuatan satu-satunya di nusantara. Dalam
kunjungan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru Batak Kingdom pada tahun 1537 kekuatan
Kerajaan Aru sebanyak 15,000 tentara, dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya
didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Insdragiri, Broenai (pantai utara Borneo)
dan Luzon (Filipina)
Saat kehadiran pelaut-pelaut Portugis, hingga menaklukkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511, Kerajaan Aru dalam posisi puncaknya. Bagaimana pelaut-pelaut Portugis menyerang Kerajaan Malaka diduga atas pertimbangan Kerajaan Malaka tidak memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Aru. Dengan kata lain dalam situasi dan kondisi tersebut pelaut-pelaut Portugis yakin dapat menaklukkan Kerajaan Malaka (tanpa ada kekhawatiran serangan dari belakang (Kerajaan Aru).
Saat mana Mendes Pinto dari Malaka yang mengunjungi Kerajaan Aru pada
tahun 1537, Mendes Pinto menyebut Kerajaan Aru tengah berselisih dengan
Kerajaan Atjeh. Dalam hal ini Kerajaan Aru didukung pedagang-pedagang Moor dan
pedagang-pedagangan Mandarin (asal Tiongkok), sementara Kerajaan Atjeh yang
baru tumbuh didukung Angkatan laut Turki. Pedagang-pedagang Portugis yang
berpusat di Malaka memiliki hubungan dagang ke berbagai tempat termasuk ke
wilayah Kerajaan Aru maupun wilayah Kerajaan Aceh. Pedagang-pedagang Portugis
tidak memiliki hubungan dengan ujung Semenanjung Malaya (Kerajaan baru Djohor,
yang dapat dianggap sukses Kerajaan Malaka), tetapi pedagang-pedagang Portugis
membentuk hubungan dengan pulau-pulau di Kepulauan Riau dengan membuka pos
perdagangan di pulai Bintang (dalam peta diidentifikasi Rheo yang kemudian
menjadi nama Riau). Dalam situasi dimana Portugis abstain (tidak memihak)
terjadi perselisian antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh.
Dengan tingkat teknologi perang yang berbeda, Kerajaan Aru mengalami kekalahan di sejumlah tempat melawan Kerajaan Atjeh. Lambat laut Kerajaan Aru semakin memudar, sebaliknya Kerajaan Atjeh semakin menguat. Oleh karena Portugis dan Turki memiliki hubungan yang tidak baik, maka Kerajaan Atjeh dengan pelaut-pelaut Portugis mulai menarik jarak yang akhirnya menekan pelaut-pelaut Portugis di pantai barat Semenanjung Malaya. Perang terbuka antara pelaut-pelaut Portugis dengan Kerajaan Atjeh. Akhirnya Kerajaan Atjeh dapat mengatasi Portugis di Malaka dan juga menaklukkan Djohor. Saat inilah Kerajaan Atjeh pada puncaknya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bagai Lagu Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri: Apakah Judul Lagu Itu Berubah Menjadi Kau yang Mengakhiri, Kau yang Memulai
Soal klaim Melaysia tentang produk budaya menjadi menarik perhatian di Indonesia. Reog Ponorogi, batik, tari tortor dan rendang dan lainnya diklaim Malaysia. Lalu ada juga ahli Malaysia, tenpa malu-malu mengklaim candi Borobudur dan situs Gunung Padang sebagai produk peradaban bangsa Melayu. Dalam kasus pertama produk budaya yang bisa dipindahkan, sedangkan kasus kedua produk budaya tidak bisa dipindahkan.
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar