*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Pemerintahan di (Provinsi) Bangka dan Belitung
yang sekarang pada dasarnya adalah kelanjutan (system) pemerintahan yang telah
dibentuk di masa lampau, bahkan sejak awal era Pemerintah Hindia Belanda. Pada
masa kini sismtem pemerintahan (di) daerah kurang lebih sama (kecuali satu dua
provinsi), tetapi di masa lampau, permulaannya yang berbeda, struktur
pemerintahannya juga berbeda-beda. Bagaimana struktur pemerintahan di Bangka
Belanda sejak dari dulu?
Sejarah Bumi Serumpun Sebalai. Pelan tapi pasti, Bangka Belitung terus bersolek. Kecantikannya tak hanya dirasakan penduduk lokal. Secara nasional, termasuk dunia, juga turut merasakan pesonanya. Ini jelas kebanggaan, juga prestasi, mengingat Bangka Belitung merupakan provinsi baru, terbentuk pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau besar, yakni Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Ada juga pulau-pulau kecil lainnya. Di zaman kerajaan, wilayah ini masuk dalam kekuasaan Sriwijaya, Majahapit, juga Mataram. Setelahnya, Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris. Pada 10 Desember 1816, dilaksanakan serah terima kepada pemerintah Belanda, berlangsung di Muntok. Pada masa penjajahan Belanda, terjadi perlawanan, dilakukan oleh Depati Barin. Perlawanan kemudian dilanjutkan putranya, Depati Amir, hingga berakhir dengan pengasingan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selama masa penjajahan, banyak kekayaan di pulau ini dirampas. Kendati demikian, Bangka Belitung mampu bertahan, termasuk melakukan sejumlah perlawanan. Baru pada tahun 2000, Bumi Serumpun Sebalai resmi menjadi wilayah otonom. Ketika itu, Pemerintah Republik Indonesia mengakui keberadaan Bangka Belitung sebagai provinsi, tak lagi menginduk bersama Sumatera Selatan. Penetapan ini dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000. (Sumber: Buku Profil Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2019 / https://www.babelprov.go.id/).
Lantas bagaimana sejarah pemerintahan di Bangka dan Belitung, era Pemerintah Hindia Belanda hingga era Republik Indonesia? Seperti disebut di atas, sejarah pemerintahan antara satu wilayah dan wilayah lainnya berbeda-beda. Lalu bagaimana sejarah pemerintahan di Bangka dan Belitung, era Pemerintah Hindia Belanda hingga era Republik Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah
sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis)
dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Pemerintahan di Bangka dan Belitung; Era Pemerintah Hindia Belanda hingga Era Republik Indonesia
Hingga tahun 1811 belum ada pemerintahan (baca: Pemerintah Hindia Belanda) di Bangka. Fokusnya masih di Jawa, Di luar Jawa antara lain sudah ada pejabat pemerintah di Makassar, Ternate dan Palembang. Sejak 1805 di Palembang ditempatkan seorang pejabat T Haarvlegter sebagai residen (diduga residen pertama sejak dibentuknya Pemerintah Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan tahun 1799). Pada tahun 1809 ditambahkan pejabat Residen J Groenhoff van Woortman (yang kemudian Haavlegter diposisikan sebagai wakil residen yang merangkap sebagao boekhouder. Untuk mendukung pemerintahan ini dari Batallion Batavia ditempatkan satu detasement di Palembang.
Pemerintahan
Hindia Belanda dengan ibu kota di Batavia, mulai bekembang pada era Daendels (1808-1811).
Daendels mebeli land di Weltvreden dengan membangun ibu kota pemerintahan
menggantikan Batavia (yang sudah tua dan kumuh). Daendels juga membeli lahan di
Bloboer, Buitenzorg yang kemudian membangun kota pemerintahan di Buitenzorg.
Namun belum lama Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda terjadi
pendudukan Inggris khususnya di Jawa (sejak 1811). Saat ekspedisi militer Inggris
memasuki Palembang, ditemukan kerusuhan yang dilancarkan Pangeran Palembang
yang menyebabkan residen Pemerintah Hindia Belanda terbunuh. Akibatnya Inggris
menghilangkan hak Sultan Palembang dan wilayah Bangka dan Belitung diserahkan
Sultan Palembang kepada Inggris.
Di Palembang, pada tanggal 17 Mei 1812 dibuat perjnajian yang mana butir-butir persetujuan (articles of agreement) yang dilakukan oleh Colonel RR Gillespie dan Sultan (Palembang) mencakup penyerahan wilayah Bangka dan Belitung. Juga pada tanggal 17 Mei tersebut dibuat undang-undang (acte) yang dilakukan oleh Sultan terhadap penggabungan eilanden Banka en Billilon ke dalam wilayah (redientie) Palembang (lihat Java government gazette, 13-06-1812).
Pada tanggal 29 Juni 1813 dibuat kontrak sementara antara Mayor W Robinson dan Residen Banka en Palembang dengan Sultan Palembang. Setelah ada penambahan artikel, pada tanggal 18 Juli 1813 dibuat perjanjian damai, persahabatan dan hubungan komersial yang dilakukan oleh Mayor W Robinson dengan Sultan Palembang. Pada bulan Maret hingga Mei 1814 pemerintah Inggris datang ke Palembang dan Banka. Kedatangan ini dalam pengenalan pemerintahan yang baru dibentuk.
Berdasarkan Almanak 1815, di Palembang, Captain MH Court diangkat sebagai Resident en Commandant yang dibantu oleh Lieutenant C Forbes sebagai Assistant. Untuk urusan di (pulau)( Bangka ditempatkan para inspektur pertambangan di distrik Toboali, Pangkal Pinang, Djeboes, Soengai Liat, Merawang dan Blindjoe. Proses politik yang terjadi di Eropa, pada tahun 1816 Inggris harus mengembalikan pemerintahan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Namun Inggris terkesan kurang senang, karena sudah nyaman dengan keuntungan.
Pasca
pengembalian kepada Pemerintah Hindia Belanda, terkesan hanya melepaskan
wilayah jawa saja. Pada tahun 1817 diplomasi dan pasukan militer Pemerintah
Hindia Belanda mengusir Inggris dari Bangka (lihat Dagblad der provincie
Noord-Braband, 01-07-1817). Di pantai barat, ibu kota Residentie Sumatra’s
Westkust harus menyingkir ke Tapanoeli dengan ibu kota di Tappanoeli. Hal ini
karena Inggris masih bertahan di Padang dan sekitar (bahkan hingga 1821).
Dalam perkembangannya cabang pemerintahan di bentuk di Bangka (Residenrtie Palembang en Bangka) setingkat Asisten Residen di Muntok. Namun Kawasan Bangka Beliting dan selat Bangka kerap terjadi gangguan termasuk gangguan dari para bajak laut. Pada tahun 1820 terjadi gangguan di Palembang (lihat De Curaçaosche courant, 18-11-1820). Sejak ini status pemerintahan di Bangka ditingkatkan menjadi pejabat Residen yang merangkap sebagai komandan militer (pangkat Letnan Kolonel). Pada akhir tahun 1820 ini di Bangka juga terjadi gangguan para bajak laut di wilayah selatan di sekitar Toboali dan pulau Lepar (lihat s Gravenhaagsche courant, 11-06-1821).
Pada
tahun 1825 Residen Bangka adalah Lohjantain (lihat Bataviasche courant, 01-01-1825).
Dalam Almanak 1827 struktur pemerintahan di (residentie) Bangka sudah lengkap,
namun posisi Residen masih kosong. Dalam struktur baru ini seorang Asisten
Residen ditempatkan di (pulau) Billiton (JW Bierschel). Untuk posisi
Havenmeester dijabat oleh seorang militer pangkat Letnan. Ini mengindikasikan
bahwa Resifdentie Bangka sudah kondusif tetapi masih tetap waspada dengan
penempatanan seorang letnan dalam fungsi pemerintahan.
Dalam Almanak 1831 terinformasikan bahwa pemerintahan di Residentie Bangka telah melibatkan para pemimpin local, baik dalam tingkat pemerintahan local dan bidang peradilan (landraad). Satu yang penting dalam permulaan pemerintahan di (Residentie Bangka) ini adalah diketahui bahwa para bajak laut telah mengambil tempat di hilir sungai Batanghari (Jambi).
Pada
tahun 1833 Sultan Jambi mulai gelisah dan kontak dengan dunia luar terganggu
karena aktivitas pajak laut di wilayahnya, di pintu masuk Jambi di hilir sungai
Batanghari. Saat ini Kesultanan Jambi masih independent. Lalu pada tahun ini
Sultan Jambi meminta bantun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Gayung bersambut.
Para bajak laut berhasil diusir, tetapi konsekuensinya seorang pejabat
Pemerintah Hindia Belanda ditempatkan di Moeara Kompeh. Namu pada akhir tahun, Sultan Jambi melakukan
invasi ke wilayah Rawas. Pemerintah Hindia Belanda di Palembang mengerahkan
militer untuk ‘mengusir’ dari wilayah residentie Palembang, namun kekuatan
tidak mencukupi. Lalu Residen Palembang meminta bantuan ke Batavia dengan
pasukan yang didatangkan di bawah komando Lernan Kolonel AV Michiles. Invasi
dapat diredam. Akhirnya perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan
dibuat dimana wilayah hilir (kota) Jambi sepenuhnya di bawah control Residen
Palembang dengan tetap mempertahankan seorang pejabat setingkat Controleur di
Moera Kompeh. Dalam peta terbatu wilayah hilir sungai Batanghari dimasukkan
menjadi bagian wilayah Residentie Palembang (alih-alih untuk mengembalikan
wilayah Rawas ke wilayah Jambi, malah wilayah kesultanan Jambi berkurang). Hal serupa
ini juga pernah terjadi di residentie Palembang, pasca kerusahan tahun 1812,
Sultan Palembang menyerahkan Bangka dan Billiton kepada Inggris dengan
perjanjian.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Era Pemerintah Hindia Belanda hingga Era Republik Indonesia: Pemerintahan di Bangka Belitung Jauh di Mata Dekat di Hati
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar