*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini
Kerajaan adalah warisan sejarah. Kerajaan ada
yang telah hilang dan ada yang masih eksis. Ada eks kerajaan yang tidak dikenal
(tidak teridentifikasi), ada kerajaan yang teridentifikasi tetapi telah
dilupakan dan juga ada kerajaan yang ingin dilestarikan, apakah dalam bentuk tulisan
(narasi sejarah) atau bentuk lain. Bagaimana di Lampung? Disebutkan ada
kerajaan yang pernah eksis Kerajaan Sekala Berak. Pada permulaan cabang
Pemerintah Hindia Belanda ada raja Lampung yang menentang otositas pemerintah
(Reden Intan) dan sisa kerajaan Lampung pada era Pemerintah Hindia Belanda
adalah Pangeran Lampoeng di Tarabangi.
Sekala Brak merupakan sebuah kerajaan Nusantara yang pernah berdiri di wilayah Lampung. Sebelum menjadi bagian dari kerajaan Nusantara yang ada di Indonesia, Sekala Brak merupakan sebuah suku yang mendiami Gunung Pesagi. Seiring berjalannya waktu, suku tersebut berkembang dan menjadi sebuah pemerintahan Kerajaan Sekala Brak (Kompas.com). Kepaksian Sekala Brak adalah kerajaan bercorak Islam di wilayah Lampung sekarang yang berdiri sekitar abad ke 16. Sebelumnya Kerajaan ini semula bercorak Hindu yang diperkirakan berdiri pada abad ke-3 - abad ke 7 yanh didirikan oleh Suku Tumi dulu bernama Kerajaan Tulang Bawang. Pada abad ke 7, wilayah ini dikuasai oleh Sriwijaya dibuktikan dengan adanya prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Lampung. Pada Abad ke 12, wilayah ini dikuasai Singosari, dengan adanya ekspedisi Pamalayu. Pada abad ke 13, dikuasai oleh Majapahit, Mmajapahit mengutus Adityawarman sebagai pimpinan pulau Sumatra dibawah komando Majapahit. Pada abad ke 14, wilayah bekas vasal Majapahit di Sumatra, didirikan kerajaan Pagaruyung. Pada abad ke-16, kerajaan ini mulai mengadopsi agama Islam yang dibawa oleh empat utusan Kerajaan Pagaruyung. Pada abad ke 18, wilayah ini ditaklukkan oleh VOC. Kepaksian Sekala Brak masih mewariskan keturunan sampai sekarang yang berusaha melestarikan adat dan budaya Sekala Brak kendati sudah tidak memiliki wewenang secara politik lagi (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kerajaan di Lampong, kerajaan Sekala Berak yang bermula di gunung Pesagi danau Ranau? Seperti disebut di atas, di (wilayah) Lampung masa kini, dulu ada disebut Raja Lampung hingga Pangeran di Tarabangi. Lalu bagaimana sejarah kerajaan di Lampong, kerajaan Sekala Berak yang bermula di gunung Pesagi danau Ranau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kerajaan di Lampong, Kerajaan Sekala Berak Mula di Danau Ranau; Raja Lampung hingga Pangeran di Tarabangi
Pada tahun 1834 melumpuhkan perlawanan di Lampong, satu ekspedisi militer dikirim ke Lampong. Dalam Almanak 1836 di Lampong sudah ditempatkan seorang Kapiten der Infantri dengan fungsi Civiel en Militair Gezaghebber yang dibantu seorang kommies. Dalam Almanak 1838 jabatan para pemimpin local di Lampong belum ada. Dalam Almanak 1840 di wilayah Lampong struktur pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda sudah lengkap dimana pejabat tertinggi berstatus Civeiel en Militair Gezaghebber di Tarabangie.
Cabang
pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda di district Lampong ditetapkan ibu kota
di Terbanggi. Mengapa bukan di Teluk Betung? Yang jelas dalam struktur
pemerintahan berdasarkan Almanak 1840, selain Gezaghebber, juga dibantu seorang
asisten. Mengapa Terbanggi yang dijadikan sebagai ibu kota? Berdasarkan Almanak
1840, untuk pemerintahan lokal di district Lampong diangkat Toemenggong Mohamad
bin Ali sebagai bupati (regent) yang berkedudukan di Telok Betong. Untuk
jabatan yang lebih rendah diangkat Mangkoeboemi Joesoef di Manggala. Selain itu
untuk jabatan yang lebih rendah lagi diangkat di beberapa tempat. Ini
mengindikasikan bahwa pemerintahan di Lampong terbilang sudah mulai lengkap.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah mengapa Pemerintah Hindia Belanda menetapkan ibu kota di Tarabangi (kini Terbanggi Besar). Mengapa tidak ada pimpinan local yang dingkat di Tarabangi untuk mendamping pejabat Pemerintah Hindia Belanda? Toemenggong Mohamad bin Ali yang diangkat sebagai bupati (regent) di Telok Betong adalah seorang Bugis. Hal ini karena di wilayah di district Telok Betoeng (Telok Lampung) umumnya dihuni orang Bugis. Pemimpin local diangkat di Tarabangi baru pada tahun 1852 (lihat Almanak 1852). Pemimpin yanhg diangkat seorang pangeran Pangeran Sempoerna Djaja Sepoetih.
Apa
yang terjadi dengan pengangkatan pemimpin local di Tarabangi? Tentu saja
menarik karena gelarnya seorang pangeran (biasanya putra mahkota versi
Pemerintah Hindia Belanda). Siapa ayah sang pangeran? Biasanya Pemerintah
Hindia Belanda mengangkat pemimpin local untuk mendapatkan legitimasi secara
hukum di wilayah dimana Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang
pemerintahan. Yakni seseorang yang ditentukan bukan atas dasar pengaruh tetapi
lebih pada pewaris yang berhak di wilayah untuk dijadikan partner Pemerintah
Hindia Belanda. Dalam hal ini Pangeran Sempoerna Djaja Sepoetih adalah Raja di
district Tarabangi.
Jauh di masa lampau, berdasarkan Brieven van en aan HJ van de Graaff, 1816-1826 disebutkan Raja Lampung adalah Raden Inten. HJ van de Graaff dengan kapalnya baru datang dari Belanda untuk berkunjung ke Batavia untuk berkunjung ke saudara. Pada tahun 1816 penduduk Inggri belum lama berakhir, Pemerintah Hindia Belanda (setelah 1811) kembali menyelenggarakan pemerintahan.
Dalam laporan perjalanan HJ van de Graaff disebutkan: ‘Pada pukul tiga pada tanggal 2 Agustus 1816, kami melewati malam pada pukul tiga antara pulau Pulu Besie dan Drie Gebroeders, bukannya tanpa bahaya, dan, di dekat pantai selatan Sumatra, pada kedalaman 25 depa, kami menjatuhkan jangkar kami untuk pertama kalinya. Pada tanggal 3 Agustus, saat fajar menyingsing, semua berada di dek untuk menikmati tontonan megah yang hadir di sekitar kita, dan yang semakin lama semakin mempesona seiring dengan terbitnya matahari yang semakin menyinari objek-objek tersebut. Pantai Sumatera selatan terbentang di depan kami agak jauh seperti gunung yang tinggi, puncaknya tertutup awan, tetapi sisi-sisinya dibalut semua nuansa hijau yang paling indah. Dengan teropong yang kami miliki, kami segera melihat penduduk pulau dengan sampan kecil berangkat dari pantai dan datang ke arah kami. Mendekati kapal, salah satu dari mereka bertanya dalam bahasa Melayu siapa kami, dari mana kami datang, dan ke mana kami akan pergi. Pemandu pertama kami dan salah satu pelaut kami menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mereka tampak senang dengan ini, dan pergi setelah memberitahu kami bahwa mereka telah dikirim oleh Raja Lampong, dan bahwa mereka harus kembali dan memberikan jawaban kepada pangeran itu. Utusan raja tidak muncul lagi; tetapi segera kapal kami dikelilingi oleh banyak sampan, dimana ada 2, 3, dan kadang-kadang 5 orang, yang memanjat dan membawa persediaan kelapa, pisang raja dan buah-buahan lainnya, gula merah, dan kura-kura, yang segera dengan mereka dibeli dengan harga yang wajar. Di sore hari kami makan dengan rasa yang luar biasa dari kura-kura kami, yang disajikan dalam semua jenis hidangan oleh juru masak kabin kami yang terampil’.
Dimana kedudukan Raja Lampoeng, Raden Inten
tidak disebutkan. Namun jika utusan yang datang ke kapal di perairan Teluk
Lampong, besar dugaan kedudukan Radja tidak jauh dari Kawasan di daratan. Dalam
perkembangannya, Pemerintah Hindia Belanda mulai menempatkan pejabatnya di
Lampoeng. Pejabat yang pertama ditempatkan adalah seorang Civiel Ambtenaar, Matheus Lievre.
Pada masa permulaan cabang pemerintahan Pemerintahan Hindia Belanda di Lampong, masuk dalam Residentie Bantam. Seperti kita lihat nanti, Lievre dikabarkan meninggal dunia 13 Desember 1825 di Kalianda, Civiel Ambtenaar Lampoeng di Tellok Betong (lihat Bataviasche courant, 28-12-1825).
Setelah peristiwa di Kalianda, Pemerintaha
Hindia Belanda di Residentie Bantam menangkat seorang Asisten Residen Lampoeng,
JA du Bois (orang Prancis juga). Untuk posisi di Telok Betoeng diangkat JJ Gertner,
seorang Jerman, yang bekerja untuk militer Pemerintah Hindia Belanda dengan
jabatan Civiele en Militaire Ambtenaar (lihat Almanak 1827). Jabatan ini
berbeda dengan sebelumnya yang sipil, kini dengan sipil en militer (yang nota
bene Gertner akan merangkap komandan komandan militer). Sehubungan dengan itu Pemerintah
Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan beslit tanggal 4 Agustus 1828 No. 12, tentang
bea dan cukai di Lampoeng. Pada tahun 1832 disebutkan Radja Raden Intan meninggal
dunia.
Eskalasi politik yang terus meningkat di selatan Lampoeng (yang dipimpin Raden Imba Koesoema), diduga kuat yang menyebabkan status di district Lampoeng ditingkatkan sebagai status semi-militer. Namun penentangan otoritas pemerintah di Kampong (selatan) terus berlanjutnya sehingga dari Batavia dikirim satu ekspedisi militer ke Lampoeng pada tahun 1834. Raden Imba Koesoema dilaporkan melarikan diri ke Lingga. Seperti disebut di atas pada tahun 1836. Kapiten der Infantri diangkat sebagai fungsi Civiel en Militair Gezaghebber yang dibantu seorang kommies. Dalam hal ini ibukota pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi di Telok Betoeng, tetapi dipindahkan ke utara di Tarabangi (melalui sungai way Sepoetih/sungai way Pangabuan).
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah
mengapa ibu kota dipindahkan dari Telok Betoeng ke Tarabangi setelah peristiwa
yang berlalu di Lampong Selatan di Kalianda? Ini tampaknya Pemerintah Hindia
Belanda mulai merencanakan untuk memisahkan district Lampoeng dari (residentie)
Banten dengan membentuk pemerintahan sendiri di district Lampong (dengan ibu
kota di Tarabangi). Seperti disebutkan di atas, pengangkataan seorang pangeran
di Tarabangi diduga kuat untuk memindahkan legitimasi dari para pengeran Banten
ke para pangeran di Lampoeng.
Sebelum
pengangkatan pangeran Tarabangi di ibukota pada tahun 1852, seorang peneliti
Jerman H Zollinger telah dikirim ke Lampong untuk melakukan penelitian pada
tahun 1845 dimana laporannya dipublikasikan pada tahun 1846. Hasil penelitian
ini, seperti di wilayah lain, sangat penting bagi pemerintah untuk Menyusun perencanaan
pemerintah di wilayah Lampong dan dalam upaya reorganisasi pemerintahan local dan
penetapan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan local. Zollinger dalam
laporannya menyebutkan seseorang memiliki gelar pangerang (tetrarch), seorang pangeran
Segala Ratoe yang sangat berani dan pantas menjadi pangerang di Tarabangi
dengan gelar yang (akan) diberikan Semporna Djaja. Seperti kita lihat nanti
pada tahun 1852 terbit laporan yang sangat lengkap tentang wilayah Lampoeng
yang dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1852. Laporan yang juga
lengkap tentang wilayah Lampoeng terbit tahun 1862 yang dimuat dalam Tijdschrift
voor Indische taal-, land- en volkenkunde, 1862.
Ini mengindikasikan Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembalikan wilayah Lampong kepada orang Lampoeng, pewaris Tanah Lampung. Tentu saja itu tidak mudah bagi Pemerintah Hindia Belanda. Para pangeran asal Banten di Lampoeng akan terus menentan otoritas pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda di district Lampoeng. Sebagaimana kita lihat nanti putra Raden Intan akan meneruskan perjuangan di Lampoeng (Raden Intan II).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Raja Lampung hingga Pangeran di Tarabangi: Riwayat dan Narasi Sejarah Kerajaan dan Raja di Lampung
Pengangkatan Pangeran Tarabangi ke dalam pemirintahan local di Tarabangi, diduga kuat terkait dengan eskalasi politik yang mulai meningkat di Lampong Selatan (district Katimbang). Untuk mengatasinya, ekspedisi dari Batavia dikirim ke Lampong pada tahun 1856 dengan kapal ss Zr Ms Amsterdam di bawah komando Kolonel Waleson. Pangeran Tarabangie dan Waij-Orang, dengan rombongan bersenjata mereka ikut bergabung dengan ekspedisi (lihat Nederlandsche staatscourant, 02-12-1856).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar