Selasa, 17 Januari 2023

Sejarah Surakarta (41): Sragen di Surakarta, Padjang hingga Soekowati; Fosil Manusia Sangiran, Sungai Bengawan, Gunung Lawu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Sragen memiliki keutamaan, bahkan dari zaman ke zaman, jaman kuno megalitik hingga jaman modern masa kini. Jauh sebelum terbentuk Padjang dan Soekowati, wilayah Sragen sudah dikenal sebagai wilayah strategis sejak zaman purba (manusia Sangiran). Dalam hal inilah gunung Lawu dan terbentuknya sungai Bengawan Solo menjadi Sragen strategis. Sungai Semanggi/Bengawan terus memanjang sehingga kini wilayah Sragen terkesan jauh dari pantai. Akan tetapi di masa lampau Sragen adalah suatu kawasan pantai. Wilayah Sragen tetap di tempatnya, sungai yang memanjang dan pantai yang menjauh. Hal itulah juga sebab mengapa ada garam di Grobogan dan ada minyak di Blora. Dalam konteks itulah keutaman Sragen (manusia Sangiran dan mansia Trinil).


Sragen adalah kabupaten di Surakarta Raya, Provinsi Jawa Tengah. Ibu kota di kecamatan Sragen, 30 Km sebelah timur kota Surakarta. Kabupaten berbatasan dengan kabupaten Grobogan di utara, kabupaten Ngawi di timur, kabupaten Karanganyar di selatan, serta kabupaten Boyolali di barat. Kabupaten dikenal sebutan "Bumi Sukowati", nama digunakan sejak Kasunanan Surakarta. Kawasan Sangiran tempat ditemukannya fosil manusia purba. Secara geografis, kabupaten Sragen berada di lembah daerah aliran sungai Bengawan Solo mengalir ke arah timur, sebagian besar dataran rendah dengan ketinggian antara 70-480 M dpl. Sebelah utara perbukitan, rangkaian pegunungan Kendeng, sebagian kecil wilayah selatan perbukitan kaki gunung Lawu. Hari jadi kabupaten Sragen ditetapkan dengan Perda 1987, yaitu hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746. tanggal dan waktu ketika Pangeran Mangkubumi, kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan membentuk pemerintahan di desa Pandak, Karangnongko, dan meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati, tetapi sejak tahun 1746 dipindahkan ke desa Gebang. Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan lainnya. Perjanjian Giyanti tahun 1755, kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono I dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Mangkunegara I dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta. Perkembangan selanjutnya sejak tahun 1869, daerah kabupaten pulisi Sragen memiliki 4 distrik, yaitu Sragen, Grompol, Sambungmacan dan Majenang (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Sragen di Surakarta, era Padjang hingga Soekowati? Seperti disebut di atas wilayah Sragen yang sekarang adalah wilayah sejarah lama di pedalaman Jawa. Wilayah Sragen memiliki sejarah panjang sejak era (fosil) manusia Sangiran, sungai Bengawan dan gunung Lawu. Lalu bagaimana sejarah Sragen di Surakarta, era Padjang hingga Soekowati? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sragen di Surakarta, Era Padjang hingga Soekowati; Fosil Manusia Sangiran, Sungai Bengawan, Gunung Lawu

Sebelum membicarakan sejarah Sragen yang baru, Sragen harus dilihat ke masa lampau. Antara Kartosura dan Madiun yang dipisahkan gunung Lawu, terhubung melalui sungai. Di Ngawi sungai Madiun bermuara ke sungai Semanggi (sungai Solo). Seperti sungai Bengawan/sungai Semanggi berhulu di lereng gunung Merapi dan gunung Lawu, sungai Madiun berhulu di lereng gunung Lawu dan gunung Liman. Dalam hal inilah kita melihat posisi kota/kampong Sragen dilihat dari kampong/kota Kartasura.


Kartosura berada di sisi utara sungai Semanggi dan Sragen berada di hilir di sisi selatan sungai. Pada era VOC, dalam ekspedisi pertama ke pedalaman Jawa, diidentifikasi jalan dari arah barat ke timur (Peta 1696) melalui kampong Kartosuro menyeberangi sungai hingga ke seberang di kampong/kota Panombangan (kini sekitar stasion Palur). Dalam perkembangannya kraton Kartosura relokasi ke kampong Sala yang tepat berada sisi sungai (seberang kampong Panombangan). Area kraton di Sala yang kemudian menjadi cikal bakal kota Soerakarta/Solo. Dari kampong Panombangan inilah terbentuk jalan darat ke Madioen melalui wilayah Sragen dan wilayah Ngawi. Jalan di sisi timur gunung Lawu ini, tetap berada di sisi selatan sungai Semanggi/Solo dengan menjaga ketinggian dari daerah aliran sungai Semanggi/Solo (banjir). Saat itu arus perdagangan di pedalaman Jawa hingga Soerakarta masih melalui sungai hingga ke pantai timur di Gresik, Sidaju dan Soerabaya serta Tuban. Demikian juga arus perdagang dari dan ke Madioen. Jalan darat yang terbentuk dari zaman kuno antara Kartosuro. Sala dan Panombangan ke Madioen adalah lalu lintas alternatif dengan menggunakan kuda dan pedati.

Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda, pasa masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) lalu lintas darat mulai diutamakan di wilayah belakang pantai hingga ke pedalaman. Lalu dikembangkan jalan darat dari Batavia ke Anyer, dan dari Batavia ke Panaroekan melalui Buitenzorg, Tjianjoer, Soemedang, Cirebon, Tegal, Semarang, Rembang hingga Sidajoe dan seterusnya hingga ke Panaroekan. Pada era Pendudukan Inggris (1811-1816) jalan trans-Java ini dimaksimumkan penggunaannya, tetapi Inggris sendiri tidak menambah jalan trans-Java yang baru (mungkin belum sempat karena singkat). Pasca Pendudukan Inggris, Pemerintah Hindia Belanda baru mulai merintis perdagangan (jalan darat) ke pedalaman dari Semarang ke Soerakarta dan Jogjakarta, terjadi penundaan karena Perang Jawa yang berlarut-larut (1825-1830). Pasca Perang Jawa barulah pengembangan jalan trans-Java dilaksanakan di pedalaman, termasuk ruas jalan Soerakarta ke Madioen melalui Sragen dan Ngawi (lihat Javasche courant, 17-11-1831).


Dalam rancangan trans-Java ke wilayah pedalaman (pulau) Jawa ini pada era Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833) jalur trans-Java lama (era GG Daendels) dihubungkan ke pedalaman diantaranya dari Tegal via Bagelen ke Banjoemas dan ke Jogjakarta, dan dari Rembang ke Madioen. Titik-titik di selatan (pantai selatan Jawa) dihubungkan satu sama lain. Bagaimana dengan ruas Semarang dan Soerakarta? Itu by eccident, sudah terlaksana yang berlangsung bersamaan dengan Perang Jawa (untuk meningkatkan arus pergerakan militer). Harus diingat bahwa van den Bosch dalam urusan jalan ini sangat berperan. Pada era Daendels yang menjadi tangan kanan dalam pembangunan jalan ini adalah van den Bosh sendiri yang masih berpangkat kolonel. Pada saar era Perang Jawa van den Bosch berada dalam posisi Raad van Indie yang berkenaan dengan urusan logistic dan transportasi. Lalu saat menjadi GG ini sejak 1830 van den Bosch memprioritaskan jalan baru ke pedalaman. Ini dimaklumi karena van den Bosch selama GG terkenal dengan programnya koffiecultuur/koffiestelsel.

Ruas jalan Sragen-Pandak dari arah timur akan tersambung dari arah Soerakarta (Palur-Pandak). Kampong/kota Pandak dalam hal ini berada di Grompol/Mesara, Surakarta. Dengan demikian  pada tahun 1831 jalan trans-Java antara Soerakarta dan Madioen melalui Sragen dan Ngawi sudah terbentuk. Pada fase inilah nama Sragen menjadi lebih dikenal.


Nama Sragen diduga adalah nama baru. Pada peta era VOC (Peta 1700) belum/tidak teridentifikasi nama Sragen atau yang mirip dengannya. Nama yang teridentifikasi adalah Kartosura, Padjang dan Jatinom. Dari kampong/kota Jatinom (kini masuk Klaten) ada jalan sepanjang sisi selatan sungai Semanggi/Bengawan hingga ke Grompol (sekitar Mesaran yang sekarang). Jalan ini dari Grompol terus ke timur hingga Jagaraga (kini Jogorogo masuk Ngawi). Jalan ini adalah jalan lama (era VOC) dan digantikan jalan baru (era Pemerintah Hindia Belanda) tahun 1831 dari Ngawi ke arah barat ke Sragen dan Pandak. Para Peta 1700 tersebut jalan antara Grompol dan Jagaraga terdapat beberapa kampong yakni (dari arah Grompol) Munkan, Mourang, Kalikupin, Indulam, Calangien (Jagaraga). Yang mana diantara nama-nama tersebut yang menjadi Sragen atau area dimana kampong/kota Sragen terbentuk? Pada Peta 1724 nama-nama tersebut masih eksis, tetapi ada penambahan nama kampong antara Moukan dan Grompol yakni Gabang. Dari Gabang ini ada jalan menyeberangi sungai Semanggi melalui kampong ke arah Kalowi, Hampak, Calang terus ke pantai utara hingga Demak. Dalam Peta 1724 di wilayah Kota Surakarta yang sekarang adalah wilayah kosong. Mengapa? Mungkin masih rawa-rawa/kerap banjir? Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Peta 1817 nama Jagaraga masih eksis, namun nama-nama yang lain tidak ada lagi, dan nama yang muncul adalah kampong Wato, Samban dan Sambur, Meteseg, Ulu dan Gangang (sekitar Pulur yang sekarang). Dalam peta ini ditandai kampong Solo dimana di arah belakangnya kraton Soerakarta. Nama sungai juga sudah diidentifikasi sebagai sungai Solo (tidak lagi sungai Semanggi). Di Klaten diidentifikasi suatu benteng.

Dalam perkembanngannya, nama Sragen telah ditetapkan sebagai pusat pemerintahan hukum pribumi (Pradoto) yang menjadi prakondisi ibu kota distrik (lihat Javasche courant, 03-05-1854). Disebutkan di Buitenzorg tanggal 30 April 1854 No.1 (Srbl No. 32) diumumkan, Pasal-1 pendirian regtbank Pradoto di Klaten. Ampel, Bojolali, Kartasura dan Sragen. Ini mengindikasikan di wilatah (Residentie) Soerakarta untuk kali pertama dibentuk lembaga hukum/peradilan yang menjadi pendahulu pembentukan pemerintahan local. Keutamaan nama Sragen iniu juga dapat diperhatikan pada Peta 1859, dimana nama Sragen di jalan trans-Java antara Soerakarta dan Madioen tersebut menjadi nama yang penting, yang diidentifikasi sebagai ibu kota district. Nama-nama lama di jalan kuno antara Grompol dan Jagaraga hanya teridentifikasi nama Grompol (dekat Pandak/Masaran). Antara Sragen dan Grompol terdapat kampong yang diidentifikasi Moengkong (suatu kampong tua yang sudah ada sejak era VOC, Munkan/Moukan?). Jika benar Munkan adalah Moengkong dalam Peta 1817 ini, maka dalam peta era VOC, nama kampong terdekat di arah timur adalah Mourang. Apakah Sragen ini yang menggantikan nama kampong Mourang?


Nama Morang adalah nama kuno yang berasal dari era Hindoe Boedha. Nama Morang terdapat di Tapanuli Selatan (di dekat percandian Padang Lawas). Jika Mourang adalah Sragen, di sebelah timur Mourang ini terdapat kampong Kalikupin, tempat dimana kini terdapat desa Gondang (menjadi nama kecamatan Gondang di kabupaten Sragen). Gondang juga adalah nama tempat di Tapanuli Selatan. Nama Gondang dan Morang di daerah aliran sungai Bengawan Solo terdapat nama turunan/variasinya. Apakah dalam hubungan nama tempat ini terkait dengan candi Sewu di Klaten dengan candi Simangambat di Tapanulis Selatan yang berasal dari abad 8 yang memiliki karakteristik candi yang mirip satu sama lain. Tentu saja masih dapat ditambahkan disini bahwa nama gunung Luwu di dekat kampong Morang dan kampong Gondang serta candi Simangambat di Tapanuli Selatan namanya mirip dengan nama gunung Lawu (asalnya diidentifikasi Loewoe). Candi Simangambat berada diantara gunung Luwu (Raja) dan gunung (Sarik) Marapi yang idem dito juga letak candi Sewu berada diantara gunung Merapi dan gunung Lawu. Nama-nama kampong di Tapanuli Selatan banyak yang mirip dengan nama-nama kampong kuno di hulu sungai Bengawan Solo seperti kampong Kadjoran dekat Klaten (kampong Hadjoran di Tapanuli Selatan dekat percandian Padang Lawas). Nama sungai yang menjadi sungai-sungai di hulu yang membentuk sungai Bengawan Solo ke hilir banyak yang mirip dengan di Tapanuli Selatan seperti sungai Panabasan (di Tapanuli Selatan, Panobasan); sungai Pitjes (Pice) dan sungai Dengkeng (Dekke).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Fosil Manusia Sangiran, Sungai Bengawan, Gunung Lawu: Sragen Sepanjang Masa Sejauh Air Mengalir Sampai Jauh

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar