*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Siapa Sjamsi Sastra Widagda? Meski sudah ada
yang menulis, tetapi masih banyak perjalanan hidupnya yang belum terinformasikan.
Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Sjamsi Sastra Widagda disebut berasal dari
Soerakarta. Saat mana remaja Sjamsi Sastra Widagda tiba di Belanda lalu
dibimbing oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (ketua Indische
Vereeniging di Belanda 1808-1811). Sjamsi Sastra Widagda mendapat beasiswa dari
Boedi Oetomo hingga selesai sarjana dan kemudian membiayai sendiri untuk
mencapai gelar Doktor.
Dr. Samsi Sastrawidagda (13 Maret 1894-wafat 1963) adalah Menteri Keuangan Pertama Indonesia. Ia menempuh pendidikan ekonomi dan hukum negara di Handels-hogeschool Rotterdam. Gelar akademik terakhir yang didapat tahun 1925 adalah gelar Doktor dengan disertasi De Ontwikkeling v.d handels politik van Japan. Lahir di Solo dan selama di Rotterdam. ia dikenal sebagai pemukul gong dalam perkumpulan gamelan pribumi. Perjalanan karier di Kementerian Keuangan dirintis sejak Sidang PPKI yang kedua (19 Agustus 1945). PPKI menunjuk Samsi Sastrawidagda, Kepala Kantor Tata Usaha dan Pajak di Surabaya pada masa pendudukan Jepang, sebagai Menteri Keuangan kabinet RI pertama. Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Republik Indonesia (RI) pertama Dr. Samsi mempunyai peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan RI. Ia memperoleh informasi dari Laksamana Shibata bahwa di gedung Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Karena hubungannya yang dekat dengan para pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya ia berhasil membujuk mereka. Uang tersebut diambil melalui operasi penggedoran bank. Sebagai Menteri Keuangan, Samsi tidak pernah memimpin Kementerian Keuangan secara langsung. Bahkan belum sempat menyusun perencanaan. Kondisi fisiknya yang sering sakit-sakitan menjadikan ia lebih memilih tinggal di Surabaya. Pada tanggal 26 September 1945 ia mengundurkan diri menjadi Menteri Keuangan kemudian A.A. Maramis yang sebelumnya Menteri Negara dilantik menjadi Menteri Keuangan. (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Sjamsi Widagda van Solo studi di Belanda, sarjana ekonomi bergelar doctor? Seperti disebut di atas, Sjamsi Widagda meski pembawaannya biasa-biasa saja tetapi bukanlah orang biasa. Sjamsi Widagda yang terkesan tenang dan pendiam adalah salah satu tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang 1933. Lalu bagaimana sejarah Sjamsi Widagda van Solo studi di Belanda, sarjana ekonomi bergelar doctor? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sjamsi Widagda van Solo Studi di Belanda, Sarjana Ekonomi Bergelar Doktor; Tujuh Revolusioner ke Jepang 1933
Samsi Sastrawidagda lahir di Solo tanggal 13 Maret 1894. Setelah lulus sekolah dasar berbahasa Belanda (HIS), Samsi Sastrawidagda melanjutkan studi ke sekolah guru (kweekschool). Samsi Sastrawidagda lulus di sekolah guru tahun 1912 di Jogjakarta. Tidak terinformasikan apakah pernah mengajar. Yang jelas Samsi Sastrawidagda berangkat ke Belanda. Samsi Sastrawidagda di Belanda lulus ujian dan mendapat akta guru LO.
Samsi
Sastrawidagda di Belanda mengikuti program Bahasa Melayu dan Etnografi, lulus
bulan Desember 1915 (lihat Deli courant, 27-12-1915). Disebutkan lulus ujian di
Den Haag Mas Sjamsi dan Dahlan Abdoellah dalam Bahasa Melayu dan Etnografi.
Pada tahun 1917 Samsi Sastrawidagda lulus ujian guru LO dan kemudian Sjamsi
Widagda diangkat sebagai guru HIS (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917).
Disebutkan Menteri Koloni; Dengan resolusi Menteri Koloni tanggal 24 Agustus
1917, Bagian 5, No. 10, Mas Samsi alias Sastrawidagda, di Rotterdam, dan Mas
Samoed alias Sastrawardaja, di Den Haag, telah ditempatkan di bawah pemerintahan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk dipekerjakan (sejauh yang disebutkan
sebelumnya untuk sementara waktu) sebagai guru HIS.
Samsi Sastrawidagda tidak kembali ke tanah air untuk menjadi guru di sekolah HIS. Samsi Sastrawidagda terus meningkatkan studinya di Belanda. Pada tahun 1818 Samsi Sastrawidagda lulus ujian di Nederland Handelhoogeschool di Rotterdam (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 29-06-1918). Tidak disebutkan tingkat apa (kemungkinan akta guru MO). Pada tahun 1918 ini Samsi Sastrawidagda diangkat sebagai asisten dosen untuk bahasa Jawa di Universiteit Leiden.
Selama
di Belanda, Samsi Sastrawidagda menjadi anggota Indische Vereeniging, suatu
organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda yang digagas oleh Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1908 (dan menjadi ketua yang pertama). Pada
tahun 1916 Indische Vereeniging disebutkan diketuai oleh Raden Loekman
Djajadiningrat (lihat Dagblad van Zuid-Holland en 's-Gravenhage, 09-08-1916). Dalam
kepengurusan ini Dahlan Abdoellah disebut sebagai archivaris. Dalam
kepengurusan ini Dahlan Abdoellah disebut sebagai archivaris. Pada tahun 1919
ini ketua Indische Vereeniging adalah Dahlan Abdoellah. Indische Vereeniging
memiliki organ, majalah yang diberi nama Hindia Poetra. Pada edisi Hindia
Poetra Samsi Widagda menulis artikel, dengan beberapa pernyataan diantaranya ‘Jika
kita orang Indonesia (Indonesiers) bersaing dengan orang Eropa, kita akan kalah
dari orang Barat di Eropa dalam persaingan, sedangkan orang Barat di Timur akan
kalah dari orang Indonesia. Semoga terhibur bagi kita orang Indonesia untuk
masa depan yang ingin kita lihat dibebaskan untuk kita…Mari kita jujur mengakui
orang Indonesia bahwa kita masih dalam proses sosialisasi ekonomi. Kita belum
bisa berdiri di atas kaki sendiri, kita masih harus bekerja keras untuk
menaklukkan diri kita sendiri. Hanya dengan begitu kita dapat terlibat dalam
perjuangan sosial melawan apa yang menghalangi jalan kita. Namun untuk
mencapainya kita masih perlu terlalu banyak dukungan, dukungan dari
teman-teman, yang tidak boleh kita anggap sebagai musuh, atau menjadikan mereka
musuh. Perjuangan ekonomi mereka melawan kita juga harus menguatkan kita, dalam
keinginan kita untuk maju secara ekonomi. (lihat Het vaderland, 03-10-1919).
Pada tahun 1921 Indisch Genootshap di bawah pimpinan yang baru Prof. Mr C. van Vollenhoven mengadakan pertemuan umum di Den Haag (lihat De Maasbode, 05-05-1921). Dalam pertemuan ini didiskusikan topik Moederland en Koloniën (Tanah Air dan Koloni) tentang persatuan Belanda dan Pribumi. Dalam pertemuan ini disebutkan Samsi Widagda menjadi anggota baru. Tahun sebelumnya Sorip Tagor Harahap rekan sesama di Indische Vereeniging lulus di Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Sebagaimana Samsi Widagda sebagai sarjana pertama pribumi dalam bidang perdagangan (ekonomi), Sorip Tagor Harahap adalah sarjana pertama pribumi sebagai dokter hewan.
Beberapa
bulan sebelumnya Soetan Casajangan diundang (kembali) oleh Vereeniging
Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota
organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang
berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek
(modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam pertemuan ini juga dihadiri
oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk
membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren!
(Dear Ladies and Gentlemen).
....saya
berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan
memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28
Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato
karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya
menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato
itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan
akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat
diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah
bekerja keras untuk merealisasikannya…yang membuat ribuan desa dan ratusan
sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi
sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa
(Standaart School).
Sekarang
saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya
sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah
usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam
pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa
Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru
pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan…’.
Samsi Widagda masih mengajar sebagai asisten dosen untuk bahasa Jawa di Universiteit te Leiden (lihat De nieuwe courant, 23-10-1921). Sementara itu Dr Sorip Tagor sudah kembali ke tanah air, Di Batavia, Gubernur Jenderal menunjuk Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan istana. Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat keputusan menteri koloni no 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1921). Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek dari Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto).
Dalam
perkembangannya, karena kesibukan masing-masing Samsi Widagda dan Dahlan
Abdoellah tidak lagi mengajar di Univ Leiden. Untuk mengisi kekosongan itu jabatan
asisten dosen bahasa Melayu di Universiteit Leiden kemudian diisi oleh Soetan
Mohammad Zain (De Maasbode, 27-07-1922). Untuk posisi asisten dosen bahasa Jawa
diisi oleh Perbatjaraka (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Dahlan
Abdoellah kemudian diketahui lulus ujian acte guru MO vóór de Maleis che taal
en letterkunde (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad,
28-06-1923). Dahlan Abdoellah kemudian kembali ke tanah air dan kemudian diangkat
sebagai guru HIS di Tandjong Pinang (De Preanger-bode, 02-07-1924). Gelar MO
adalah setara dengan sarjana pendidikan.
Pribumi pertama yang memperoleh gelar MO adalah Soetan Casajangan (tahun
1911) dan kembali ke tanah air pada tahun 1913 (seperti disebut di atas, Soetan
Casajangan datang ke Belanda tahun 1920).
Samsi Widagda dengan akta diploma ekonomi (perdagangan) kemudian melanjutkan studi ke tingkat sarjana di Nederland Handelhoogeschool. Samsi Widagda lulus ujian sarjana pada tahun 1923 (lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923). Samsi Widagda belum selesai, belum pulang ke tanah air, masih ingin melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor.
Sebagaimana
diketahui bahwa Nederland Handelhoogeschool di Rotterdam menjadi cikal bakal
Universiteit te Rotterdam dimana kemudian Mohamad Hatta kuliah. Mohamad Hatta
lulus HBS di PHS Batavia tahun 1921 pada jurusan perdagangan (hanadelschool).
Pada tahun ini Mohamad Hatta berangkat ke Belanda.
Pada tahun 1925 Samsi Widagda dipromosikan doktor (lihat De Maasbode, 18-11-1925). Disebutkan Samsi Widagda lahir di Soeracarta dengan desertasi berjudul De Ontwikleing voor der Handelspolitiek van Japan. Bagaimana Samsi Widagda memahami sementara tidak pernah ke Jepang? Satu yang pasti bahwa ketika Samsi Widagda masih mengajar bahasa Jawa di Univ Leiden, ada juga guru bahasa Jepang yang mengajar di Univ Leiden (lihat kembali De nieuwe courant, 23-10-1921). Seperti kita lihat nanti Parada Harahap pada tahun 1933 memimpin rombongan tujuh revolusioner ke Jepang termasuk diantaranya Samsi Widagda dan Mohamad Hatta.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tujuh Revolusioner ke Jepang 1933: Parada Harahap, Drs Mohamad Hatta, Andoellah Lubis, Panangian Harahap, Sjamsi Widagda, Ph.D.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar