*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini
Pada masa ini Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Jakarta (IISIP) adalah perguruan tinggi di Jakarta Selatan di Lenteng
Agung yang berdiri pada 5 Desember 1953 (umur 69) sebagai Sekolah Tinggi
Publisistik (STP). Rektornya adalah Dr. Ir. Ilham P. Hutasuhut, M.M (lihat
Wikipedia). Lalu apa hubungannya dengan Akademi Wartawan pertama Indonesia di Djakarta
yang berdiri tahun 1950?
Sejarah Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Bermula pada kuartal akhir 1963 – dua orang yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan pers dan pekerja pers di Jawa Timur. Kedua tokoh itu Pemimpin umum/Pemimpin redaksi (Pemred) Surabaya Post, A. Azis, serta Kepala Jawatan Penerangan (Japen) Propinsi Jawa Timur, R. Moejadi Notowardojo. Saat itu A. Azis, yang juga Ketua PWI cabang Surabaya mengungkapkan pentingnya kontribusi wartawan yang memiliki etika, memiliki pengetahuan dan profesional. Perbagai persiapan dilakukan. Setelah semua unsur berkumpul, maka disetujui untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi berjenjang “akademi” dan sepakat diberi nama “Akademi Wartawan Surabaya (AWS)”. Pada 18 Maret 1964. diadakan pertemuan khusus untuk membahas rencana dan wujud lembaga pendidikan. Hasil besar dari pertemuan 18 Maret 1964 ialah terbentuknya Yayasan Pendidikan Wartawan Surabaya atau disingkat YPWS. Ditunjuklah Mayor Sukarsono untuk menjadi Ketua YPWS, dan Singgih, sebagai Sekretaris Yayasan. Legalitasnya dibuat melalui notaris Gusti Djohan. Kemudian diangkat R. Moeldjadi Notowardojo selaku Direktur Akademi Wartawan Surabaya (AWS) yang pertama. Hari itu, tanggal 11 November 1964, merupakan kelahiran Akademi Wartawan Surabaya. Butuh perjuangan dan kerja keras. Akhirnya para penggagas mampu mendirikan Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Di tengah perkembangan zaman dan tuntutan pasar, pada tahun 1984, AWS meningkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi dengan nama “Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa” atau disingkat “Stikosa” dan, menetapkan sebutan “AWS” masih melekat (https://www.stikosa-aws.ac.id/)
Lantas bagaimana sejarah akademi wartawan di
Indonesia? Seperti disebut di atas, kini sudah banyak lembaga Pendidikan tinggi
yang membina program studi jurnalistik seperti akadami, institute mauoun
universitas. Semuanya bermula dari satu. Parada Harahap sejak 1950 mengembangkan
wawasan metodologi jurnalis muda Indonesia melalui pendirian Akademi Wartawan
di Djakarta. Lalu bagaimana sejarah akademi wartawan di Indonesia? Seperti kata
ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan
dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Akademi Wartawan; Parada Harahap Mengembangkan Wawasan Metodologi Jurnalis Muda Indonesia
Selama ini setiap orang bisa menjadi jurnalis, asal mau dan terus mengembangkan profesinya sebagai jurnalis. Tidak hanya orang pribumi, juga demikian dengan orang Eropa/Belanda di Indonesia. Salah satu pribumi terawal yang terjun ke dunia jurnalistik adalah pensiunan guru Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, yang menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat di kota Padang tahun 1895. Hingga Belanda mengakuai kedaulatan Indonesia (sejak 27 Desember 1949) sudah ribuan orang yang telah menjadi jurnalis, termasuk Parada Harahap, seorang yang menjadi jurnalis kawakan.
Sudah barang tentu para jurnalis Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda
melakukan pengembangan wawasan jurnalistik secara otodidak yang diperkaya
dengan membaca buku-buku jurnalis yang dijual di Hindia Belanda. Sejauh yang
diketahui, selama era Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah ada sekolah
jurnalistik. Namun diantara para jurnalis Indonesia ada juga dengan sadar belajar
jurnalis dengan belajar jurnalistik ke Eropa. Nama-nama yang diketahui belajar
jurnalis ke Eropa antara lain Djamaloedin alias Adinegoro (berangkat tahun 1926),
Mohamad Tabrani (berangkat tahun 1928) dan Saroehoem Harahap berangkat tahun
1930.
Pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, jurnalis senior Parada Harahap berinisiatif mendirikan akademi wartawan tahun 1951 (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Akademi Wartawan Djakarta diresmikan oleh Parada Harahap tanggal 2 Maret 1951 (lihat De nieuwsgier, 03-03-1951).
Lulusan yang diterima di Akademi Wartawan dio Djakarta yang dipimpin
Parada Harahap adalah lulusan sekolah menengah atas atau sederajat. Pada tahun 1951 jumlah
perguruan tinggi belum banyak. Selain Universitas Indonesia di Jakarta dan
Universitas Gadjah Mada di Djokjakarta adalah Perguruan Tinggi Saweri Gading di
Makassar, Universitas Islam di Medan, Universitas Pantja Sila di Padang,
Sekolah Tinggi Hukum di Surabaya, Akademi Perdagangan dan Akademi Nasional
serta Sekolah Tinggi Islam di Jakarta, Universitas Islam dan Universitas Buruh
di Jogja dan Perguruan Tinggi Krisna
Dwipajana di Bandung (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-11-1951).
Dosen-dosen di Akademi Wartawan Djakarta, selain Parada Harahap adalah Drs. Wabman Hilal, Mr. Moh. Sjah, GR. Pantouw, Mr. Drs. Sibarani, Hamka, Schilte, Situmorang dan Nn. Soh (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-02-1951). Selain itu kemudian ditambahkan Mr. Tamboenan (lihat De nieuwsgier, 29-03-1951) dan kemudian menyusul Mr. Soenarjo (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1951). Lalu kemudian menyusul Ds. FKN Harahap, Sumarto Djojodihardjo, Ny. Mr. Sudjanadiwirja-Harahap dan Adinegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-02-1952). Parada Harahap sendiri pada tahbun 1951 telah menerbitkan buku berjudul Kemerdekaan Pers. Anehnya pada tahun ini pula Soekarno dan Mochtar Lubis mulai berseteru. Mochtar Lubis memajukan kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers). Soekarno malah berbalik arah.
FKN Harahap belum lama tiba di tanah air. Selama ini FKN Harahap
kelahiran Depok berada di Belanda (studi). FKN Harahap awalnya semasih remaja
adalah pemain catur yang tergabung dalam klub catur Satoer Batak di Batavia. Setelah
lulus sekolah menengah, FKN Harahap kerap bertanding catur mengikuti kompetisi catur
di Belanda. Dalam satu kesempatan, FKN Harahap pernah mengalahkan juara catur
Belanda Dr Euwe (juara catur Belanda ini kelak menjadi juara dunia). Dalam
konteks inilah, FKN Harahap melanjutkan studi di Vrije Universiteit. Ketika
terjadi pendudukan militer Jerman di Belanda pada bulan Mei 1940 perguruan sempat
ditutup. Namun kemudian dibuka kembali dan FKN Harahap melanjutkannya. Pada
bulan Mei 1945 Belanda terbebaskan dari Jerman. Saat ini FKN Harahap menjadi
salah satu inisiator perjuangan masyarakat Indonesia di Belanda untuk membebaskan
Indonesia dari militer Jepang untuk kemerdekaan Indonesia. FKN Harahap yang
juga menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda juga menggalang penerbitan
majalah (dalam bahasa Belanda/Indonesia) sebagai organ untuk perjuangan.
Akademi ini kemudian telah memiliki badan hukum sebagai bentuk yayasan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-04-1952). Memasuki tahun ketiga, Akademi Wartawan mengangkat guru besar Basaroedin Nasution (lihat De nieuwsgier, 22-08-1952) dan Ketua Senat S. Pirngadie (lihat De nieuwsgier, 03-09-1952).
Salah satu mahasiswa di Akademi Wartawan Djakarta adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang merupakan mahasiswa angkatan pertama. Pada bulan Juni 1952 Ali Mochtar Hoeta Soehoet dinyatakan lulus ujian tingkat satu (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-06-1952). Ali Mochtar Hoeta Soehoet sudah mengenal Parada Harahap bebera tahun lalu. Ini bermula pada tahun 1948 Wakil Presiden Mohammad Hatta meminta Parada Harahap untuk mengelola surat kabar di ibukota RI (PDRI) di pengungsian di Bukittinggi. Nama surat kabarya Detik. Tujuan penerbitan Detik ini untuk media perjuangan diantara titik-titik pengugsian pada era Perang Kemerdekaan. Akses untuk mendatangkan percetakan dan bahan-bahan sudah tertutup karena Kota Padang dan Kota Sibolga sudah diduduki oleh militer Belanda. Parada Harahap lalu mendatangkan percetakan dari Kota Padang Sidempoean. Untuk membawa dan mengamankan percetakan tersebut Parada Harahap meminta bantuan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, Komadan Tentara Pelajar di Padang Sidempoean untuk membawanya ke Bukittinggi. Ali Mochtar Hoeta Soehoet lalu diminta untuk turut mengelola surat kabar Detik. Pasca pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet hijrah ke Djakarta. Awalnya ikut bekerja bersama Parada Harahap, namun kemudian diperbantukan ke surat kabar Indonesia Raya (pimpinan Mochtar Lubis). Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai mahasiswa di Akademi Wartawan sudah bekerja di bidang pers.
Akademi Wartawan Djakarta dalam tempo singkat telah berkembang sebagai perguruan tinggi swasta setingkat akademi. Dalam perkembangannya Akademi Wartawan Djakarta yang berlokasi di Deca Park (kini Lapangan Monad) kemudian menambah ruangan baru untuk perkuliahan di gedung Adhuc Stat di Soeropati, sekitar Menteng yang sekarang (lihat De nieuwsgier, 03-09-1952).
Ali Mochtar Hoeta Soehoet lahir di Sipirok 11 Oktober 1928. Saat usia matang ini, Ali Mochtar Hoeta Soehoet pada
tanggal 28 Oktober 1953 bertindak sebagai Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda.
Tahun 1953 merupakan kali pertama hasil keputusan Kongres Pemuda 1928
diperingati. Saat itu, Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah Ketua Perhimpoenan
Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta. Ali Mochtar Hoeta Soehoet terpilih sebagai
Ketua Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta pada tanggal 19 April
1953 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1953). Ini berarti ketika terpilih sebagai Ketua
Perhimpoenan Mahasiswa Akademi Wartawan Djakarta, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
duduk di tingkat dua.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Parada Harahap Mengembangkan Wawasan Metodologi Jurnalis Muda Indonesia: Yang Pertama Terlupakan, Yang Terakhir Segera Dilupakan
Sejak 1951 Mochtar Lubis terjadi permasalahan denganh Presiden Soekarno. Ini bermula dari tulisan Mochtar Lubis di surat kabar Indonesia Raja yang meminta pertanggungjawaban Soekarno selama pendudukan militer Jepang sebagai ketua Poetera. Dalam situasi yang terus berkembang, Mochtar Lubis menjadi sangat sibuk. Dalam kondisi ini tugas-tugas Ali Mochtar Hoeta Soehort berlipat ganda, apalagi harus juga kuliah di Akademi Wartawan.
Sehubungan dengan kasus Mochtar Lubis, pada akhirnya surat kabar Indonesia
Raja dibreidel, Akibatnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet menganggur dan hanya tugas
aministrasi selama Indonesia Raja dilarang terbit. Mochtar Lubis seakan tanpa
surat kabar tetapi organisasi pers internasional yang dipeloporinya semakin
menguat. International Press Institute chapter Djakarta didirikan tahun 1952 dengan dewan
sebagai berikut: Mochtar Lubis (Indonesia-Raya) sebagai ketua, S. Tasrif
(Abadi) sebagai sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan
Anvvar (Pedoman) sebagai komisaris (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-02-1952).
Mochtar Lubis yang seakan kapten tak bermain dalam tim sepakbola dilihat Parada Harahap sebagai sesuatu yang naïf. Parada Harahap lantas memfasilitasi Mochtar Lubis. Parada Harahap meski telah mendirikan Akademi Wartawan Djakarta tetapi masih aktif dalam dunia jurnalistik. Saat surat kabar Bintang Timoer (yang ditutup tahun 1935) diaktifkan kembali, Parada Harahap mengajak Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan
perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal saham
ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO
adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen Pendidikan.
Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK
Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody
Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan
koran dan majalah non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal
Januari isu percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada
Februari akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru
koran dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April.
Selanjutnya, NV juga akan menerbitkan The lndonesia Times. Staf editorial
adalah Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di percetakan
The Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.
Penekanan pers yang semakin berat dan kebebasan pers yang semaking dikekang, Mochtar Lubis pada bulan Agustus 1953 menggalang massa untuk melakukan demonstrasi terkait dengan isu kebebasan pers di Indonesia.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak
asasi manusia. Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin,
wartawan Indonesia yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber
berita. Dalam demo ini yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS
dan organisasi mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi
demonstrasi adalah Mochtar Lubis. Dalam
dialog dengan pemerintah saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan
terima kasih kepada Jaksa Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’. Foto: Mochtar Lubis
memimpin demonstrasi kebebasan pers
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar