*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini
Ada dua surat kabar dengan motto yang sama: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dua surat kabar tersebut adalah Pikiran Rakyat Bandoeng dipimpin oleh Sakti Alamsjah Siregar dan Indonesia Raya Jakarta dipmpin oleh Mochtar Lubis. Surat kabar Pikiran Rakyat masih eksis hingga ini hari. Indonesia Raya pertama kali terbit sebagai surat kabar di Jakarta pada 29 Desember 1949, atau dua hari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949.
Harian Indonesia Raya adalah surat kabar nasional yang mengalami dua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama dan masa Orde Baru. Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit. Selama masa penerbitan pertama 1949-1968, lima wartawannya pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan. Pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan. Pertama kali Indonesia Raya tutup, ketika di dalam perusahaan terjadi konflik internal antara ketiga pemegang saham, yaitu Mochtar Lubis, Hasjim Mahdan, dan Sarhindi. Mochtar Lubis ingin tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sementara dua lainnya menginginkan "sikap netral". Kedua pemegang saham terakhir ini berhasil memperoleh Surat Izin Terbit (SIT) tanggal 7 Oktober 1958. Para wartawan pengasuh harian itu seluruhnya wajah baru, karena semua wartawan Indonesia Raya lama mendukung pendirian Mochtar Lubis.Indonesia Raya baru ini hanya berumur kurang dari tiga bulan karena kehilangan para pelanggan. Masa penerbitan kedua selama lima tahun (1968-1974). Pada masa pemerintahan Orde Baru, atau pada tanggal 30 Oktober 1968, harian Indonesia Raya kembali terbit. Sebagian wartawan dan staf tata usaha Indonesia Raya generasi pertama mengasuh kembali harian ini di bawah pimpinan Mochtar Lubis sebagai pemimpin umum merangkap pemimpin redaksi (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah kedaulatan pers Indonesia dan pers berdaulat Indonesia? Seperti disebut di atas, pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 muncul dua surat kabar dengan motto yang sama: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu bagaimana sejarah kedaulatan pers Indonesia dan kemerdekaan pers Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kedaulatan Pers Indonesia dan Pers Berdaulat Indonesia; Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat
Selama perang kemerdekaan, sejak Adam Malik sangat sibuk dalam politik, kantor berita Antara dipimpin oleh Mochtar Lubis. Setelah NICA/Belanda menutup kantor berita Antara di Batavia/Djakarta, hanya terbatas di wilayah Republik. Lalu setelah terjadi gencatan senjata (pasa Perjanjian Roem Royen), kantor berita Antara dibuka kembali di Batavia/Djakarta pada bulan Agustus 1949 (lihat Nieuwe courant, 18-08-1949). Disebutkan pada Rabu sore (17 Agustus 1949), dalam rangka pembukaan kembali kantor pers republik "Antara" di Batavia, Adam Malik, direktur, dan Moetar Lubis, pemimpin redaksi kantor pers ini, menerima resepsi di pendopo resepsi. Hotel des Indes. Pada tahun 1949 ini kantor berita Antara kembali dipimpin oleh Adam Malik.
Pada tahun 1948, penerbit surat kabar harian Merdeka, menerbitkan majalah mingguan Merdeka (lihat Nieuwe courant, 22-01-1948). Disebutkan di Batavia, menurut Aneta, selain harian republik 'Merdeka', kini juga telah terbit mingguan bergambar 'Merdeka', dengan pemimpin redaksi: Moohtar Loebis, redaktur: Hiswara Darmapoetra, General manager: MT Hoetagaloeng dan pimpinan publikasi BM Diah. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949: ‘Di Batavia, Persatoean Wartawan Indonesia Bersatu telah didirikan atas dasar nasionalis, dimana wartawan Indonesia dari federalis, republik dan pers lainnya bersatu. Pengurus terdiri sebagai berikut: Ketua Adinegoro, wakil ketua Asa Bafagih, Sekretaris-1 Sugando, Sekretaris-2 Lies Arbi, Bendahara Sudarso, Pengawas: Rosihan Anwar, Mochtar Lubis dan A. Hakim. Catatan: Persatoean Wartawan Indonesia didirikan pada tahun 1946. Adanya tambahan ‘Bersatu’ dalam hal ini jelas memiliki arti tersendiri. Tidak lama setelah itu ada desas-desus kantor berita Antara akan dibuka kembali di Batvaia, tetapi beberapa hari kemudian Mochtar Lubis yang dikonfirmasi menyatakan itu terlalu diri. Seperti dilihat nanti, kantor berita Antara baru dibuka kembali di Djakarta setelah gencatan senjata pasca perjanjian Roem Royen. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950: ‘Adam Malik dan Mochtar Lubis, masing-masing direktur dan kepala departemen internasional Antara, akan segera berangkat ke beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Burma, untuk mempelajari situasi disana dan bertukar kabar dengan berbagai kantor berita di negara-negara tersebut. Foto: Menteri Luar Negeri Republik Hadji Agus Salim berbincang dengan Adam Malik dan Mochtar Lubis dalam resepsi pembukaan kembali kantor berita Antara
Pada awal tahun 1950 ini diketahui telah terbit surat
kabar baru Indonesia Raya (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant,
14-01-1950). Disebutkan surat kabar
harian 'Indonesia Raja' yang baru berdiri. Tidak diketahui secara pasti kapan
surat kabar Indonesia Raja edisi pertama terbit. Saat dimana surat kabar baru
Indonesia Raja terbit, Mochtar Lubis masih berada di kantor berita Antara.
Wikipedia: Indonesia
Raya pertama kali terbit sebagai surat kabar di Jakarta pada 29 Desember 1949,
atau dua hari setelah penandatanganan kedaulatan Republik Indonesia oleh
Belanda tanggal 27 Desember 1949. Pemimpin
Redaksi yang pertama adalah Hiswara Darmaputera, sedangkan pemimpin umum
dijabat oleh Jullie Effendie. Namun, baru menjabat setahun Hiswara dan Jullie
mengundurkan diri. Kemudian jabatan Pemimpin
Redaksi digantikan oleh Mochtar Lubis sejak Agustus 1950.
Pemimpin surat kabar Indonesia Raja adalah Hiswara Darmaputera (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-08-1950). Disebutkan Perserikatan Persuratkabaran di Indonesia (Verenigde Dagbladpers In Indonesia) mengadakan rapat anggota tahunannya di paviliun penerimaan Hotel des Indes di Djakarta. Anggota Dewan yang baru terpilih adalah BM Diah, Merdeka (Ketua); Hiswara Darmaputara, Indonesia Raya (Wakil Ketua); G. Molenaar, Het Nieuwsblad voor Indonesie (sekretaris) dan Nio Joe Lan, Sin Po (bendahara). Tidak lama kemudian diberitakan Mochtar Lubis menjadi pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raja (lihat Nieuwe courant, 13-09-1950). Disebutkan Pemimpin Redaksi Indonesia Raja, Mochtar Lubis, akan melakukan perjalanan orientasi ke Korea Selatan. Dia akan berangkat pada 14 September.
Apa yang terjadi di surat kabar Indonesia Raja? Bagaimana situasi dan
kondisi di kantor berita Antara. Yang jelas pemimpin kantor berita Antara masih
Adam Malik. Sementara itu pimpinan surat kabar Merdeka masih BM Diah. Mochtar
Lubis dan Hiswara Darmaputera pernah Bersama di majalah mingguan Merdeka dimana
sebagai pemimpin redaksi Mochtar Lubis dan Hiswara Darmaputera sebagai salah
satu redaktur. Mengapa kini Hiswara Darmaputera (kembali) ke bawah manajemen Merdeka,
dan Mochtar Lubis keluar dari Antara dan kemudian masuk ke Indonesia Raja?
Apakah ada masalah Hiswara Darmaputera sendiri yang kini bergeser (profesi)
dari jurnlistik menjadi manajerial?
Hiswara Darmaputera kini menjadi bagian dari penerbit surat kabar Merdeka (lihat Nieuwe courant, 02-10-1950). Disebutkan dalam rangka ulang tahun kelima surat kabar harian "Merdeka", manajemen majalah ini mengadakan jamuan pada Minggu sore, Pada kesempatan tersebut diumumkan bahwa tahun depan surat kabar Merdeka akan memiliki percetakan sendiri yang mana Hiswara Darmaputra akan bertindak sebagai kepala percetakan, dan penerbit 'Merdeka', akan menggunakan nama 'Massa Merdeka'. Secara defacto Hiswara Darmaputera sudah memulai pekerjaannya pada bulan November (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,15-11-1950).
Sebagaimana diketahui setelah Negara Sumatera Timur (NST) dibubarkan
sebagai negara federal, lalu dikembalikan sebagai wilayah Republik Indonesia,
akhirnya pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1950
menyatakan Negara Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan kembali ke NKRI. Lalu
keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 Proklamasi NKRI dikumandangkan.
Apakah eskalasi politik ini terkait dengan perubahan yang terjadi di surat
kabar Indonesia Raya? Yang jelas BM Diah dan Hiswara Darmaputra sebelumnya
adalah pendukung negara federalis. Sementara Adam Malik dan Mochtar Lubis sejak
dibuka kembali kantor berita Antara, pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 masih tetap setia dengan negara Republik Indonesia.
Besar Besar dugaan perubahan di jajaran redaksi surat kabar Indonesia Raja dari Hiswara Darmaputra kepada Mochtar Lubis diduga kuat karena tekanan para pemegang saham surat kabar Indonesia Raja yang tetap setia kepada NKRI. Dalam hal ini, Mochtar Lubis ‘terpaksa’ keluar dari kantor berita Antara untuk mengisi kekosongan pemimpin redaksi di surat kabar Indonesia Raja. Sebaliknya Hiswara Darmaputra ditampung di dalam manajemen Merdeka. Dalam hal ini makna Merdeka adalah satu hal, sedangkan makna Indonesia Raja hal lain lagi. Tidak diketahui secara jelas apa yang menjadi motto surat kabar Indonesia Raja sebelumnya, namun sejak masuknya Mochtar Lubis ke dalam Indonesia Raya setelah proklamasi NKRI 18 Agustus 1950, mottonya disebut ‘dari rakjat, oleh rakjat dan oentoek rakjat’. Nama baik Mochtar Lubis tidak pernah putus.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-02-1951: ‘Penghargaan untuk wartawan. Dalam jamuan makan malam, Persatoean Wartawan Indonesia lingkungan Djakarta menyerahkan uang sebesar Rp1000.—kepada Pemimpin Redaksi Indonesia Raja, Mochtar Lubis, sebagai apresiasi atas artikelnya yang berjudul "Nood in Korea" yang mana para juri yang terdiri dari Maria Ulfah Santoso, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Andi Zainal Abidin, Persatuan Wartawan tidak dapat mempersembahkan PWl Award 1950 untuk prestasi jurnalistik terbaik tahun 1950 yang lalu’. Catatan: Tiga penilai tersebut adalah nama yang cukup dikenal: Maria Oelfah adalah sarjana lulusan Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda. Suaminya Mr Santoso dibunuh Belanda pada masa pendudukan Jogjakarta Desember 1948. Sementara Abdi Zainal memulai studi hukum di Rechthoogeschool Batavia lulus tahun 1939. Pada tahun 1950 ini Zainal Abidin menjadi salah satu anggota parlemen RIS. Sedangkan Sjamsuddin Sutan Makmur adalah salah satu tokoh pers era Pemerintah Hindia Belanda. Memulai karir sebagai tokoh pemuda (JIB) di Medan dan menjadi salah satu redaktur Pewarta Deli, hijrah ke Batavia tahun 1929 menjadi salah satu redaktur surat kabar Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap. Pada tahun 1930 Sjamsoedin menjadi salah satu pengurus Partai Rakjat Indonesia (sebagai sekretaris). Pada tahun 1941 Sjamsjoedin menjadi salah satu kandidat dewan kota Batavia dari Parindara yang juga saat itu sebagai salah satu redaktur surat kabar Tjaja Timoer pimpinan Parada Harahap. Pada saat perang kemerdekaan Sjamsoedin juga hijrah ke Jogjakartayang kemudian menjadi salah anggota badan kerja parlemen (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 29-04-1947). Pada tahun 1950 ini Sjamsoedin juga menjadi anggota parlemen RIS. Yang pasti Maria Oelfah dan Sjamsoedin adalah Republiken (pendukung NKRI).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat: Indonesia Raya dan Pikiran Rakyat
Pada tahun 1950 surat kabar Fikiran Rakjat diterbitkan di Bandoeng 1950 dipimpin oleh Djamal Ali (yang juga merangkap kepala editor). Dalam pendirian surat kabar Pikiran Rakyat ini juga termasuk Asmara Hadi dan Sakti Alamsyah (masing-masing sebagai anggota editor dengan tugas khusus). Surat kabar baru ini hadir dengan ‘bernyanyi’ seperti namanya Fikiran Rakyat yang mana di belakangnya terdapat nama salah satu tokoh proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sakti Alamsjah.
Salah satu editorial Fikiran Rakyat pada bulan Agustus 1950 mengingatkan
supaya tidak mentang-mentang (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode,
30-08-1950). Disebutkan ‘editorial di bawah judul: ‘Apakah revolusi kita
gagal?’, Pikiran Rakjat memberi jawaban atas atas pertanyaan ini. ‘belum
tercapai’. Namun disamping itu, revolusi Indonesia telah meraih kemenangan yang
gemilang, yaitu demokrasi politik, kebebasan berekspresi, kebebasan
berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan kebebasan berorganisasi. .Bung Karno
sudah mengatakan dua puluh tahun yang lalu bahwa kebebasan nasional hanyalah
‘sine qua non’ untuk mencapai kemakmuran rakyat. Oleh karena itu kebebasan
nasional hanyalah sebuah syarat, seperti halnya tanah yang subur adalah ‘sine
qua non’ bagi padi untuk tumbuh dan berkembang, tetapi subur tanah harus
dikerjakan dan ditanam, kebebasan nasional juga harus digunakan bekerja dan
jerih payah untuk mencapai kemakmuran rakyat, serta seseorang hanya bisa
memanen padi setelah bergotong royong di tanah yang subur, tulis editorial itu.
Pikiran Rakjat menutup editorial dengan menekankan bahwa demokrasi politik
adalah senjata yang baik di tangan rakyat untuk mencapai kemakmuran, tetapi
senjata ini tidak boleh digunakan dengan cara tebusan yang ‘matagelap’ tetapi
harus digunakan oleh para pemimpin. berpikiran lurus dan bermoral tinggi, yang
dapat bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh untuk rakyat’. Fikiran rakyat
tampak telah menyuarakan dengan cara berpikir dari sudut pandang rakyat.
Sakti Alamsjah Siregar adalah sahabat Mochtar Lubis. Mereka berdua seumur tahun 1922 lahir di tempat yang berjauhan: Mochtar Lubis lahir di Sungai Penuh, Djambi dan Sakti Alamsjah lahir di Sungai Karang, Sumatra Timur. Sama-sama nama sungai, yang satu sudah penuh dan satu lagi masih sekuat karang. Mereka berdua memulai karir di dunia pers semasa pendudukan militer Jepang di Departemen Informasi yang diajak senior mereka Adam Malik. Mochtar Lubis di bagian pemberitaan surat kabar, Sakti Alamsjah Siregar di bagian penyiaran radio. Sementara Adam Malik di bagian jaringan berita (kantor berita).
Fikiran Rakjat adalah nama majalah yang diterbitkan studieckub Bandoeng
yang dipimpin Ir Soekarno pada tahun 1927. Pada tahun 1932 semua majalah dan
surat kabar berhaluan nasionalis termasuk Bitang Timoer, Fikiran Ra’jat dan
Indonesia Raja dilarang terbit (lihat De
Sumatra post, 13-06-1932). Lalu kemudian, di Bandoeng, Fikiran Ra’jat
diterbitkan kembali oleh Drukkerij Economie tetapi kemudian disita (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
20-07-1933). Sejak itu nama Fikiran Ra’jat menghilang. Soekarno juga hilang
dari peredaran karea telah diasingkan ke Flores. Pada saat itu belum ada nama
surat kabar dan majalah yang menggunakan kata Fikiran, kecuali yang telah
dipikirkan Soekarno. Apa maknanya? Ir Soekarno ingin menarik garis antara
pikiran rakyat (penduduk pribumi) dengan pikiran pemerintah (orang Belanda). Selengkapnya
surat-surat kabar yang diberedidel sesuai De
Sumatra post, 13-06-1932 adalah sebagai berikut : Persatoe'an Indonesia, Simpaj, Sediotomo, Aksi, Indonesia Moeda,
Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar
Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sin Po, Warna Warta, Sinar Terang,
Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah
Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmokondo,
Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan Pemoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara
Oemoem, Soeara Oemoem Java
Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, dan Fikiran Ra'jat djeung pergerakan Ir. Soekarno. Sebagaimana Indonesia Raja, setelah itu nama Fikiran Rakjat tidak terbit lagi hingga nama
itu digunakan pada tahun 1950 oleh Sakti Alamsjah dkk di Bandoeng.
Nama Fikiran Rakjat adakalnya berubah eja menjadi Pikiran Rakjat (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 30-12-1950). Ketika Pikiran Rakyat baru memulai kiprahnya mulai timbul permasalahn di tingkat pemerintah (Soekarno). Pangkal perkaranya dimulai dari adanya tulisan Mochtar Lubis di surat kabar Indonesia Raja. Soekarno tersinggung.
De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden,
diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia
Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan
dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang
Indonesia selama pendudukan’.
Pikiran Rajat merespon atas kejadian itu. Lalu menurunkan editorial yang mengingatkan kembali Soekarno atas kiprah politik pertamanya tahun 1927 di majalah Fikiran Ra’jat (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1951). Editorial ini seakan semacam sinyal dari Bandoeng, bahwa Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya tidak sendiri. Boleh jadi suara Pikiran Rakyat merupakan suara hati Sakti Alamsyah dari kamar redaksi Pikiran Rakyat.
Pada bulan Mei ini, Pikiran Ra’jat merayakan ulang tahun yang pertama.
Dalam perayaan ini hadir Adam Malik (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
31-05-1951). Sudah barang tentu, Adam Malik (pimpinan dan kepala editor kantor
berita Antara) mendapat undangan dari sohibnya Sakti Alamsyah. Tentu saja
pertemuan antara Adam dan Sakti tidak sekadar ulang tahun tetapi soal yang
besar: polemik antara Soekarno dan Mochtar Lubis.
Pers bebas tampaknya mulai dikekang Soekarno. Di era Belanda, sesungguhnya pers sangat bebas. Akan tetapi pers yang melanggar akan dituntut dengan dalih delik pers, Sang penguasa memanipulasi undang-undang yang ada untuk membungkam seorang wartawan maupun medianya. Wartawan yang paling banyak terkena jaring delik pers ini adalah Parada Harahap, lebih dari seratus kali dipanggil ke meja hijau dan belasan kali dijebloskan ke penjara. Untuk sekadar menambahkan disini: Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia adalah mentor politik Ir Soekarno. Sementara Adam Malik mentor politiknya adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Mentor polirik Amir Sjarifoeddin Harahap juga adalah Parada Harahap.
Rupanya di era kemerdekaan ini, kebebasan pers juga mulai diganggu oleh
pemerintah. Bagaimana denga Ir Soekarno
(Presiden RI). Tampaknya Ir Soekarno tidak ingin ada yang menghadapi jalannya. Dalih pemerintah terhadap tuduhan kepada
Mochtar Lubis adalah
melindungi hak-hak azasi manusia (Ir. Soekarno) Lantas para jurnalistik bereaksi dan melakukan
demonstrasi.
Terhadap tulisan Mochtar Lubis di Indonesia Raja, akhirnya Mochtar Lubis disidangkan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1956). Mochtar Lubis masuk bui dan Indonesia Raja dibreidel. Dalam perkembangannya Pikiran Rakyat juga berhenti. Hal ini karena disita militer karena dituduh menuding militer sebagai pendukung rezim yang memerintah. Hal ini menyebabkan PR tidak beroperasi lagi dan para pegawai dan wartawan kehilangan pekerjaan.
Pasca peristiwa G 30 S/PKI dan peralihan kekuasaan dari Orde Lama
(Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto) surat kabar Pikiran Rakyat kembali
dihidupkan. Pada saat ini telah muncul Trio Baru di pemerintahan Republik
Indonesia (Soeharto, Hamengkoeboewono IX dan Adam Malik).
Pada awal Orde Baru ini, Angkatan Darat melihat situasi sebagai peluang lalu meminta para kru Pikiran Rakyat untuk menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata (mulai 24 Maret 1966). Dalam perkembangannya, Sakti Alamsjah dengan Atang Ruswita memimpin kawan-kawan mereka eks kru Pikiran Rakyat mendirikan surat kabar baru tetapi dengan nama lama: Pikiran Rakyat. Sakti Alamsjah sebagai pemimpin umum dan Atang Ruswita sebagai pemimpin redaksi. Setelah setahun kemudian Pikiran Rakyat sejak 24 Maret 1967 terbit dengan motto: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Motto yang sama dengan Indonesia Raja-nya Mochtar Lubis.
Mochtar Lubis kembali bernafas dan dibebaskan dari penjara. Mochtar Lubis
menerbitkan kembali surat kabar Indonesia Raya yang sebelum dibreidel sudah
mengusung motto ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Motto Pikiran
Rakyat era sebelum dibreidel adalah ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’. Kini
berganti menjadi ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’ mengikuti motto
Indonesia Raya. Hal ini tidak lazim, dan tidak boleh kecuali diperbolehkan oleh yang satu terhadap yang
lainnya.
Lantas mengapa motto Pikiran Rakyat menjadi sama dengan motto Indonesia Raya? Kisah dua sohib ini bermula ketika pernah sama-sama bekerja di radio militer Jepang dengan Adam Malik. Pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 ketiganya memiliki peran yang khusus. Teks Proklamasi disiarkan di radio Bandoeng (Malabar) oleh Sakti Alamsyah yang dibawa oleh Mochtar Lubis setelah mendapat salinannya dari Adam Malik. Persahabatan yang telah lama dijalin antara Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah inilah yang memungkinkan satu sama lain memiliki motto yang sama.
Awal perkawanan mereka bertiga dimulai pada awal era pendudukan militer
Jepang. Pemerintah Militer Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang
diketuai oleh Ir Soekarno dan wakilnya Drs Mohamad Hatta. Untuk urusan informasi
ditangani oleh Parada Harahap dimana Pemerintah militer Jepang mendirikan
kantor berita Domei yang diintegrasikan dengan pusat informasi rakyat Indonesia
yang dalam hal ini memanfaatkan keberadaan kantor berita Antara yang dipimpin
oleh Adam Malik dkk. Saat inilah bergabung dua pemuda seumuran yakni Mochtar
Lubis dan Sakti Alamsjah (sama-sama lahir 1922). Parada Harahap dan Mochtar
plus BM Diah Harahap di bidang media cetak, Adam Malik di bidang kantor berita
dan Sakti Alamsjah serta Herawaty di bidang
penyiaran (radio). Parada Harahap dan Mohamad Hatta cukup dekat dengan
orang-orang Jepang. Ini bermula tahun 1933, ketika Ir Soekarno dipenjara dan
akan diasingkan, Parada Harahap (pemimpin surat kabar Bintang Timoer) memimpin tujuh revolusinoer ke Jepang,
termasuk diantaranya Mohamad Hatta. Ketika de Jepang Parada Harahap mendapat
julukan dari pers Jepang sebagai The King of Java Press.Dalam hal ini, sebelum
Jepang melakukan invasi ke Indonesia (baca: Hindia Belanda) diduga kuat sudah
ada hubungan rahasia antara orang-orang Jepang dengan orang-orang Indonesia.
Dari pusat informasii yang dipimpin Parada Harahap inilah yang menjadi pangkal
perkara mengapa pada akhirnya Sakti Alamsjah ditempatkan di Radio Bandoeng.
Sedangkan isi teks proklamasi dibawa Mochtar Lubis ke Bandoeng bersumber dari
Adam Malik (yang turut menculik Ir Soekarno ke Rengas Dengklok yang kemudian Ir
Soekarno ‘dipaksa’ membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sesungguhnya di masa awal pergerakan pada tahun
1920an, mentor politik praktis Soekarno dan Mohamad Hatta adalah Parada
Harahap, idem dito pada masa ini Adam Malik adalah mentor politik praktis
Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah..
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar