*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Dimana itu Sengguruh? Itu hanya suatu sebuah
desa Bro. Desa yang kini masuk wilayah kecamatan Kepanjen, kabupaten Malang. Apakah
sejarahnya sekadar itu saja? Okelah. Memang kini Sengguruh hanya sebuah desa di
daerah aliran sungai Brantas (dahulu disebut sungai Metro), sedangkan Kepanjen
sebagai ibu kota kecamatan dan bahkan kini telah dijadikan sebagai ibu kota
kabupaten Malang (sejak 2008). Namun sebelum lupa, dan sebelum Sengguruh
dilupakan, sejatinya sejarah Sengguruh memiliki sejarah panjang hingga ke masa
lampau di wilayah Pegunungan Selatan di Pantai Selatan Jawa. Sejatinya Sengguruh
sendiri lebih dulu dijadikan ibu kota distrik (kecamatan) sebelum direlokasi ke
Kepanjen. Nama besar Sengguruh di masa lampau, masih tersisa pada hari ini
sebagai nama bendungan besar Sengguruh.
Kepanjen, ibu kota kabupaten Malang (sejak 2008). Kepanjen juga merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Malang, berjarak 20 Km di selatan Kota Malang. Singosari, Kota Batu dan Kepanjen dikenal sebagai kota satelit Kota Malang (kawasan metropolitan Malang Raya). Kepanjen merupakan jalur transit yang menjadi pilihan untuk melanjutkan perjalanan melalui jalur selatan menuju Kota Blitar dan Kediri. Selama berada di Kepanjen, pengunjung dapat menikmati berbagai fasilitas yang tersedia seperti akomodasi dan wisata alam. Kecamatan Kepanjen terdiri dari kelurahan Ardirejo, Cepokomulyo, Kepanjen, Penarukan dan desa-desa antara lain Curungrejo, Dilem, Jatirejoyoso, Jenggolo, Kedung Pedaringan, Kemiri, Mangunrejo, Mojosari, Ngadilangkung, Panggungrejo, Sengguruh dan Talangagung. Di wilayah kecamatan Kepanjen yang masuk desa Sengguruh terdapat Bendungan Sengguruh, sebuah bendungan yang dibangun terutama untuk mengurangi sedimen di Waduk Karangkates. Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1982 (selesai 1988), dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik PLTA berkapasitas 29 MW (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Sengguruh, kota kuno
di daerah aliran ‘gemuruhnya’ sungai Metro? Seperti disebut diatas, sejarah
Sengguruh kurang terinformasikan, padahal Sengguruh adalah wilayah Malang di
Pegunungan Selatan, pantai selatan Jawa yang sudah dikenal sejak baheula. Lalu
bagaimana sejarah Sengguruh, kota kuno di daerah aliran ‘gemuruhnya’ sungai
Metro? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sengguruh, Kota Kuno di Daerah Aliran Gemuruhnya Sungai Metro; Wilayah Malang di Pegunungan Selatan
Lupakan dulu sementara nama (tempat) Kepanjen. Hal itu karena pada awal sejarah Malang, nama Kepanjen belum dikenal. Yang cukup dikenal adalah desa Sengoro (baca; Sengguruh) dan desa Gondang (kemudian menjadi Gondang Legi). Nama Sengoro paling tidak diberitakan tahun 1838 (lihat Javasche courant, 20-06-1838).
Dalam berita ini disebutkan di Residentie Pasoeroean dibuka kesempatan
untuk mengadakan kontrak dengan Pemerintah untuk penanaman tembakau yang cocok
untuk pasar Eropa, berdasarkan draf kontrak tembakau tercetak, yang selain cara
kompetisi publik, harus berlangsung di kantor masing-masing keresidenan di
Jawa, untuk informasi para calon telah ditentukan untuk kepentingan perusahaan
di distrivt Kotta Malang, Gondanlegie dan Sengoro. Pada pasal satu jangka waktu
20 tahun terhitung dari penanaman tahun 1839 sampai tahun 1859. Seratus empat
puluh dua acre Belanda.
Tampaknya wilayah Senggoro kerap mengalami banjir. Banjir yang ada adakalanya banjir kiriman, dimana hulu sungai Brantas menjadi jalur keluar semua sungai-sungai di wilayah Malang. Sungai-sungai yang hulunya di gunung Smeru, gunung Arjuno dan gunung Kawi. Pada tahun 1941 terjadi banjir yang sangat luar biasa yang menyebabkan jembatan besar dan dua jembatan kecil di wilayah district Sengoro ambruk ditelan air bah (lihat Javasche courant, 27-02-1841).
Nama Kepandjen diberitakan pada tahun 1853 (lihat Javasche courant, 03-08-1853).
Disebutkan pemerintah mengadakan kontrak dengan tender di kantor Residentie
Pasoeroean di Pasoeroean untuk pengangkutan kopi. Dalam tender yang baru ini
disebutkan ada tiga tambahan gudang kopi yang baru yakni di Poedjon, 6 pal lebih
jauh ke pedalaman dari gudang di Sissie (Batoe), di Kepandjen, 11 paal lebih
jauh ke pedalaman dari gudang di Malang dan di Boeloelawang, 7 paal lebih jauh
ke pedalaman dari gudang di Malang. Volume kopi yang akan diangkut
masing-masing dari Poedjon sebanyak 10.000 picol, dari Kepandjen 5.000 picol dan
dari Boeloelawang 6.000 picol. Catatan: Gudang kopi pertama dibangun di wilayah
afdeeling Malang terdapat di Lawang. Kemudian ditambah di Penanggungan, Singosari,
Batoe dan Pakis serta di Malang sendiri. Biasanya dengan adanya gudang, maka des
aitu akan cepat tumbuh. Dalam perkembangannya gudang kopi di Pakis direlokasi
ke Toempang. Nama Kepandjen sendiri sudah lebih dulu dikenal di Soerabaja. Pada
tahun 1860 di Kapandjen district Sengoro diketahui bupati berkedudukan (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-03-1860). Tampaknya
ibu kota district Sengoro sekarang sudah di Kepandjen, tetapi tidak diketahui
sejak kapan. Di Kepandjen juga sudah diketahui adanya pasar, sekolah, pesanggrahan
dan tentu saja gudang pemerintah. Desa Sengoro tampaknya akan menjadi masa
lampau dan desa Kepandjen akan menjadi masa depan. Meski demikian nama district
tetap sebagai Sengoro. Satu yang penting lagi di Kepandjen terdapat tambang
batu (De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en
advertentieblad, 05-09-1864). Kepandjen dimana terdapat gudang kopi dan gudang
garam telah menjadi masuk dalam rencana pengembangan kereta api di wilayah
afdeeling Malang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-10-1864).
Di Afdeeling Malang sendiri dari Residentie Pasoeroean terdapat tujuh district yang mana dua district di selatan afdeeling Malang, yakni district Sengoro dengan ibu kota di Kepandjen dan district Gondanlegi dengan ibu kota di Gondang Legi. Dua wilayah distrik ini berada wilayah pegunungan selatan (pegunungan Kendeng) di pantai selatan Jawa.
Berdasarkan Almanak `1867, Afdeeling Malang terdiri dari tujuh distrik: Distrik Kota [Malang] terdiri dari 33 desa; District Gondang Legi (95 desa); District Sengoro (85); District Pakis (123); District Penanggungan (121); District Karangloo (135) dan Disttrict Ngantang (63 desa). Semua nama-nama district tersebut sudah teridentifikasi pada Peta 1817. Ini mengindikasikan nama Sengguru sudah dikenal sejak lama. Bagaimana dengan Kapanjen? Mungkin ada diantara 85 desa yang berada di district Sengoro.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Wilayah Malang di Pegunungan Selatan Pantai Selatan Jawa: Sungai Metro, Sungai Numbal dan Sungai Brantas
Dalam Peta 1817 sungai besar di selatan (desa) Malang diidentifikasi sebagai sungai Metro. Mengapa? Fakta bahwa nama sungai Brantas belum ada. Pada Peta 1817 sungai besar yang melalui Modjokerto ke arah Soerabaja diidentifikasi sebagai sungai Kediri (kini disebut sungai Brantas). Oleh karena itu, di wilayah Malang di pedalaman pada awalnya, yang dikenal adalah sungai Metro (karena nama sungai Brantas memang belum ada).
Nama Metro sudah jelas bukan nama local. Metro adalah nama asing yang berasal dari Eropa (Belanda/Inggris). Dalam hal ini Kali Numbal dari Gondanglegi bermuara ke sungai Kali Metro di Sengoro, yang lalu kemudian ke arah hilir disebut Kali Kediri melalui Blitar (tentu saja waduk Karang Kates baru dibangun masa kini).
Mengapa disebut cabang dari sungai Kediri di arah hulu disebut Kali Metro dan Kali Numbal? Besar dugaan sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda (masa pendudukan Inggris), wilayah Malang utara dan wilayah Malang selatan adalah dua Kawasan pegunungan yang terpisah secara ekonomi (perdagangan) dan juga terpisah secara social (penyebaran penduduk). Dalam sejarah pemetaan (kartografi) pemetaan wilayah biasanya dimulai dari muara sungai besar (di pantai).
Sungai sendiri ke arah hulu dijadikan sebagai jalur navigasi (air dan darat) hingga ke wilayah pegunungan (posisi gunung diletakkan peta sungai). Pemetaan sungai dimulai dari Soerabaja, terus ke Modjokerto hingga ke Kediri. Selanjutnya dari Kediri ditelusuri hingga ke hulu melalui Blitar dan selanjutnya ke Sengoro. Pada posisi GPS Sengoro ini cabang sungai ke arah utara dinamai Kali Metro dan cabang sungai ke arah timur disebut sungai Numbal. Di arah hulu sungai Metro ini sungai bercabang dua (di sekitar Kepanjen yang sekarang). Lalu dalam perkembangannya setelah muncul nama Kali Brantas menggantikan nama Kali Kediri, di arah hulu di wilayah (afdeeling) Malang, cabang utama Kali Metro disebut sungai Brantas yang berhulu di Batu, sedangkan cabang yang satu lagi di sisi barat tetap menggunakan nama sungai Metro. Sementara itu arah navigasi (pemetaan) dari pantai timur Jawa dimulai dari Bangil dan Pasoeroean ke arah hulu melalui sungai hingga ke Lawang terus ke Singosari. Dalam hal ini kawasan Singosari adalah dataran tinggi tertinggi, artinya dari area (candi) Singasari anak-anak sungai mengalir ke utara dan juga anak-anak sungai yang lain mengalir ke selatan ke Kali Metro. Desa Malang sendiri berada diantara desa Singasari dan desa Sengoro. Pemerintah Hindia Belanda sendiri sejak 1817 telah menetapkan desa Malang sebagai ibu kota afdeeling). Saat penggabungan peta dari yang bersumber dari navigasi dari yang satu (utara di pnatai utara Jawa) dan yang bersumber dari selatan (pantai selatan) kerap terjadi kesalahan di berbagai pulau termasuk di wilayah Malang (lihat Peta 1724). Silahkan pembaca periksa dimana kesalahan kartografi pada Peta 1724 ini.
Pada saat pemetaan wilayah (Peta 1817), besar dugaan desa terbesar di wilayah selatan (afdeeling) Malang di sungai Metro adalah desa Sengoro (kemudian Senggoeroeh) dan desa terbesar di daerah aliran sungai Numbal adalah Gondanglegi. Atas dasar inilah diduga Pemerintah Hindia Belanda ketika melakukan pembagian wilayah distrik di wilayah (afdeeling) Malang, dua district yang dibentuk di wilayah afdeeling Malang di selatan yang mencakup Kawasan Pegunungan Selatan di Pantai Selatan Jawa ibu kota yang dipilih di Sengoro dan di Gondanglegi.
Desa Sengoro dalam hal ini adalah desa terpenting di hulu sungai Kediri di atas desa Blitar. Tampaknya desa Blitar adalah bagian dari wilayah (eks kerajan Kediri). Lalu bagaimana dengan desa Sengoro. Jelas bahwa dalam hal ini kita belum berbicara desa Malang (yang kemudian menjadi ibu kota afdeeling). Kedudukan desa Sengoro masih sama dengan status desa Malang dan desa Bato di utara, desa Blitar di barat dan desa Gondang dan desa Lumadjang di timur. Besar dugaan, akses menuju desa Sengoro dan desa Gondanglegi dari arah selatan Pegunungan Kendeng di pantai selatan Jawa. Pada Peta 1817 di pantai selatan Jawa yang cukup dekat dengan desa Sengoro antara lain kampong Panaan Bili (Panobasan Boeloe?) dan terus ke pantai di kampong Buta Lulu (Hoeta Djoeloe?) serta kampong Ba. Apakah dalam hal ini Sengoro nama aslinya di zaman kuno Sanggaruh(dang) dan Gondanglegi awalnya hanya disebut Gondang? Entahlah. Dalam Peta 1817 di selatan Gondanglegi di pantai diidentifikasi nama kampong Gondang Mopat. Sejarah zaman kuno menyimpan misterinya sendiri. Tampaknya ada peradaban awal sebenarnya di pantai selatan Jawa (bahkan hingga ke wilayah Sengoro). Dalam Peta 1724 dari arah pantai selatan Jawa di sebelah barat gunung Semeru diidentifikasi gunung Badiri (kini gunung Bendera/gunung Slamet?). Diantara gunung ini ada jalan dari pantai selatan Jawa ke pedalaman (ke arah Malang dan Batu). Jalan ini adalah satu-satunya dari pantai selatan Malang, yang dimulai dari pantai dekat pulau Noesa Sompoe (kini pulau Sempu) dimana di sebelah timur pulau ini diidentifikasi pulau yang lebih besar, pulau Noesa Baron (kini Nusa Barung). Dari pulau Sompoe (Ompoe?) ini terus ke darat kampong Kubu, kemudian kampong Gondang Mapat, Bantur, Luli hingga Gondang Legi dan Sengoro.
Sengoro dan Gondang (Legi) diduga kuat adalah dua desa terbesar sejak awal di belakang pantai gelatan Jawa. Sebagai dua desa terbesar di bagian pedalaman di daerah aliran sungai (Kediri/Brantas) dan juga sudah eksis sejak lama diduga pernah ada peradaban awal sebelum peradaban baru. Hal ini dapat diperhatikan pada Peta 1750, Dalam peta ini, jalur ke pedalaman hanya ada di pantai selatan Jawa (tidak ada jalur perdagangan ke pedalaman di pantai utara dan pantai timur Jawa). Mengapa? Jalur perdagangan di wilayah afdeeling Malang seperti disebut di atas melalui pulau Sompoe, Bantur hingga Gondang dan Sengoro.
Jalur pedagangan dari pantai selatan Jawa ke arah pedalaman lainnya
adalah (1) melalui pulau Barung ke arah Lumajang dan Djember; (2) melalui teluk
Sagara ke Trenggalek; (3) melalui teluk Patjitan ke Wonogiri; (4) melalui teluk
Gading ke Wonosobo dan Purbalingga; (5) dari teluk besar (Tjilatjap?) melalui Noesa
Cambangan ke Bandjar (sungai Tjitandoei) dan Poerwokerto (sungai Serajoe).
Tidak adanya jalur perdagangan ke pedalaman di pantai utara dan pantai timur Jawa
diduga karena banyak rawa-rawa, dan jalur yang ada berpusat melalui navigasi
pelayaran sungai seperti sungai Kediri/Brantas, sungai Semanggi/Bengawan (kini
Bengawan Solo), sungai Tuntang/Demak, sungai Tjitaroem, sungai Bekasi, sungai
Tjiliwong, sungai Tjisadane dan sungai Tjidoerian/Tjikande. Dalam hal ini
peradaban di pedalaman dari arah pantai utara/timur Jawa berkembang di daerah
aliran sungai, sementara peradaban di pedalaman dari pantai selatan berkembang
di jalur perdagangan darat. Dalam hal ini peradaban di Sengoro diduga kombinasinya,
jalur air melalui sungai Kediri dan jalur darat melalu pulau Sompoe.
Nama Sengoro sejatinya tidak hanya ditemukan di afdeeling Malang, tetapi juga ditemukan di afdeeling Koeto Ardjo (residentie Bagelen).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar