*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Wilayah Malang, dari masa ke masa, sejatinya
tidak hanya terhubung dengan pantai timur Jawa di Pasoeroean dan Soerabaja,
tetapi juga ke arah di pantai selatan Jawa. Wilayah selatan Malang ini lebih
dikenal wilayah Pegunungan Selatan. Di wilayah selatan Jawa di Pegunungan
Selatan (Pegunungan Kenden) tidak hanya Malang, juga Blitar dan Lumajang.
Lumajang (Jawa: Lumajang; Madura: Lomajhâng) adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, ibu kotanya kecamatan Lumajang Kota. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo di utara, Kabupaten Jember di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Malang di barat. Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang rawan bencana, khususnya letusan Gunung Semeru. Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga gunung berapi yaitu: Gunung Semeru (3.676 M); Gunung Bromo (2.329); Gunung Lemongan (1.651 M). Ketinggian daerah kabupaten Lumajang bervariasi dari 0-3.676 M dpl., ketinggian 100–500 M (35,40 % wilayah); ketinggian 0–25 M dpl 11,01 %. Penduduk asli atau suku yang mendiami kabupaten Lumajang adalah suku Jawa, demikian juga di kecamatan Lumajang. Meski demikian, penduduk dari suku lain juga ada yang tinggal di kecamatan ini, termasuk suku Madura, kemudian suku Bawean, Tengger, Osing, Samin. Bahasa Jawa yang digunakan di Jawa Timur, bukan bahasa Jawa baku umumnya menggunakan bahasa Jawa kasar (Ngoko). Sementara bahasa Madura terbagi menjadi dialek Kangean, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo. Dalam pemakaiannya, bahasa Madura juga mengenal tiga tingkatan yaitu Enja’iya (bahasa halus), Enghi-enten (bahasa tengahan), dan Enghi-bhunten (bahasa kasar) (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Lumajang di sebelah timur wilayah Malang? Seperti disebut di atas, wilayah Lumajang tidak hanya berbicara di timur Malang, tetapi juga wilayah Malang dan wilayah Lumajang di Pegunungan Selatan, pantai selatan Jawa. Lalu bagaimana sejarah Lumajang di sebelah timur wilayah Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Lumajang di Sebelah Timur Wilayah Malang; Lumajang dan Malang di Pegunungan Selatan, Pantai Selatan Jawa
Seberapa tua nama Lumajang? Itu satu hal. Hal lain adalah apa hubungan Lumajang dan Malang dan demikian sebaliknya? Yang jelas Malang berada di tengah pedalaman Jawa diantara gunung Arjuna dan gunung Semeru; sementara Lumajang berada di wilayah Pegunungan Selatan (antara gunung Semeru dan gunung Argapuro) di Pantai Selatan Jawa. Dalam hal ini Malang terhubung dengan pantai selatan Jawa dan juga terhubung dengan pantai timur Jawa. Bagaimana dengan Lumajang? Apakah hanya terhubung dengan pantai selatan Jawa?
Ada perbedaan antara laut Jawa di pantai utara Jawa dengan lautan India di pantai selatan Jawa. Perbedaannya adalah laut Jawa lebih tenang di atas permukaan dasar laut dangkal, sedangkan lautan India lebih bergelombang di atas laut dalam. Hal itulah yang membedakan intensitas navigasi pelayaran perdagangan di zaman kuno. Jalur navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno di pantai selatan Jawa tertolong karena ada dua hal: adanya pulau-pulau karang di dekat pantai dan adanya teluk yang masuk ke dalam daratan. Jika di pantai utara dan timur Jawa kota-kota perdagangan di pantai, di pantai selatan Jawa justru berkembang kora perdagangan di pedalaman. Pulau-pulau karang teluk hanya menjadi gate saja. Kota-kota perdagangan di belakang pantai selatan Jawa yang diduga terbentuk sejak zaman kuno antara lain Sengoro dan Gondang di selatan (afdeeling) Malang dan Lumajang. Dalam hal ini kita sedang membicaran perdagangan selatan-selatan di (pulau) Jawa. Gate masuk ke Sengoro dan Gondang dari pulau Sompoe, sementara gate ke Lumajang dari pulau Noesa Barung. Sedangkan teluk-teluk kecil di pantai selatan menjadi gate jalur perdagangan ke pedalaman: teluk sagara ke Trenggalek dan Tulungagung dan teluk Patjitan ke Wonogiri. Dalam konteks inilah kita berbicara sejarah Lumajang dan hubungannya dengan selatan Malang di Gondang dan Sengoro.
Wilayah Lumajang awalnya hanya terhubung dengan pantai selatan Jawa, Dalam perkembangannya, terutama sejak awal Pemerintah Hindia Belanda, wilayah Lumajang secara perlahan terintegrasi secara kuat dengan kota-kota di pantai timur Jawa (seperti Pasoeroean, Probolinggo dan Bezoeki. Apakah kemudian peradaban awal di pantai selatan Jawa seperti di Lumajang akan tergerus dengan terbentuknya peradaban baru dari arah utara di pantai timur Jawa? Yang jelas wilayah Lumajang memiliki dua fase sejarah yang berbeda (masa lampau dan masa kini).
Dalam Peta 1724 dan Peta 1750 pantai selatan Jawa teridentifikasi menggambarkan navigasi pelayaran perdagangan yang juga ramai. Hanya saja berbeda dengan di pantai utara Jawa dimana jalur perdagangan terhubung antara kota-kota pantai saja. Di wilayah navigasi pelayaran perdagangan pantai selatan, kota-kota pantai tidak berkembang, tetapi yang terbentuk adalah jalur-jalur perdagangan ke pedalaman melalui pulau dan teluk (Peta 1724). Jalur perdagangan di pedalaman di Lumajang terhubung dengan pulau Noesa Barung sebagai hub perdagangan (Peta 1750). Dalam beberapa titik di wilayah pantai selatan Jawa pada Peta 1750 juga diidentifikasi tentang keberadaan gajah. Artinya apa? Tampaknya ada juga perdagangan gading. Wilayah selatan Jawa juga menggambarkan tanah pegunungan (berbukit-bukit) yang berhutan lebat, selain pertambangan emas juga diduga ada produksi hasil-hasil hutan seperti kayu dan getah damar. .Gunung Semeru menjadi penting, tidak hanya di Lumajang, Gondang dan Sengoro, akan tetapi posisi GPS gunung Semeru adalah gunung terdekat yang dapat dicapai dari pesisir pantai selatan Jawa (kebetulan juga pada masa ini gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Jawa). Entahpun ada kaitanya pantai dengan gunung: gunung-gunung tertinggi dan cukup dekat ke garis pantai di (pulau) Sumatra adalah gunung Kerintji di Djambi gunung Leuser di Atjeh dan gunung Dempo di Bengkulu. Tampaknya pantai dan gunung-gunung tinggi memiliki kaitan dalam navigasi pelayaran zaman kuno yang turut membentuk peradaban zaman kuno yang bertumpu pada navigasi pelayaran perdagangan produk-produk alami seperti kamper, kemenyan gading dan emas. Peta 1724.
Pada Peta 1817 diidentifikasi sejumlah kota-kota penting di pedalaman di belakang pantai selatan Jawa. Empat kota yang berdekatan secara geografis dalam garis horizontal adalah Sengoro (kini Sengguruh), Gondang (kini Gondang Legi), Lamajang (kini Lumajang) dan Jamber (kini Jember). Kota Lamajang dan kota Jamber terhubung di pantai selatan Jawa di (pelabuhan laut) di pulau Noesa Baroeng. Tampaknya pulau Noesa Barung dalam hal ini menjadi hub perdagangan dalam navigasi pelayaran di pantai selatan Jawa. Tampaknya kota-kota pedalaman di selatan Jawa ini (Jamber. Lamajanhg, Gondang) tidak terhubung dengan pantai timur Jawa (seperti Pasoeroean dan Bezoeki). Mengapa? Tidak terindikasi apakah ada jalur transportasi, hanya terkesan dibatasi oleh gunung-gunung tinggi seperti gunung Raung, gunung Argopuro dan gunung Semeru. Kota-kota di selatan Jawa seakan terbentuk peradaban sendiri, peradaban yang terpisah dengan kota-kota pelabuhan di pantai timur Jawa.
Pusat transaksi perdagangan yang ada di pantai selatan Jawa yang terdapat di pulau Noesa Baroeng, menjadi pintu masuk peradaban baru di kota-kota Gondang, Lamajang dan Jamber sejak masa lampau di zaman kuno. Berdasarkan Peta 1817 dari pelabuhan di pulau Noesa Baroeng terhubung ke Lamajang dan ke Jamber. Garis navigasi perjalanan darat ke Lamajang melalui sungai Pangkur, sementara ke Jamber melalui arah navigasi transportasi sungai Pagar. Di muara sungai diidentifikasi nama (kampong) Pagar yang menjadi nama sungai. Sedangkan menuju Gondang yang bermula di pulau Sompoe melalaui jalan darat dari kampong-kampong Kubu, Gondang Mapat, Bantur dan Luli. Tampaknya di wilayah Gondang lebih berkembang, relative terhadap Lamajang dan Jamber. Boleh jadi jalur perdagangan dari Gondang melalui pulau Sompoe berakhir ke pelabuhan laut di pulau Noesa Baroeng.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lumajang dan Malang di Pegunungan Selatan, Pantai Selatan Jawa: Kerjasama Selatan-Selatan di Wilayah Malang Masa ke Masa
Pada masa ini, wilayah Malang, wilayah Lumajang dan wilayah Jember daru sudut pendang pantai selatan Jawa, pada awalnya tidak/belum terhubung satu sama lain. Hubungan ke tiga wilayah ini di masa lampau diperankan oleh pelabuhan laut yang berada di pulau Noesa Baroeng. Peradaban awal di tiga wilayah pantai selatan Jawa ini diduga berbeda dengan wilayah di sebelah utaranya.
Wilayah pantai selatan Jawa sebagian besar dibatasi oleh pegunungan
rendah. Namun ada sejuumlah wilayah yang cukup rendah. Wilayah yang rendah
diduga awalnya adalah teluk zaman kuno. Patjitan pada masa ini masih memiliki
ciri wilayah berupa teluk. Demikian juga wilayah Tjilatjap. Bagaimana dengan
wilayah Lumajang. Tampaknya wilayah Lumajang diduga di zaman kuno adalah teluk
besar, dimana saat itu pantai berada tidak jauh dari Kota Lumajang yang
sekarang. Semua sungai di wilayah Lumajang yang berhulu di gunung Semeru dan
gunung Argopuro bermuara ke pantai selatan Jawa (ke arah teluk zaman kuno
tersebut). Proses sedimentasi jangka panjang telah terjadi di teluk sehingga
pantai Lumajang kini seakan jauh berada di pedalaman. Pemicu utama proses sedimentasi
akibat dampak letusan gunung Semeru dan gunung Argopuro.
Dari pelabuhan laut di pantai selatan Jawa (pulau Noesa Baroeng) ini terbentuk jalur perdagangan ke wilayah pedalaman di belakang pantai selatan Jawa ke Lumajang, Gondanglegi, dan Jember. Sejak terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda (yang berpusat di Batavia) situasi dan kondisi di wilayah Lumajang berubah (demikian juga di Gondanglegi dan Jember).
Diantara tiga wilayah selatan pantai selatan Jaw aini tampaknya yang mengalami lebih awal perkembangan adalah wilayah Gondang di afdeeling Malang di Residentie Pasoeroean. Sejak 1817 di Malang sudah ditempatkan pejabat setingkat Asisten Residen. Dalam pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di afdeeling Malang dibentuk district-district dua diantaranya mewakili tanah selatan adalah district Sengoro dan district Gondanglegi. Bagaimana dengan di Lumajang (maupun di Jember)? Yang jelas dengan semakin berkembangnya ibu kota (afdeeling) Malang, secara social ekonomi wilayah selatan di district Sengoro dan district Gondang Legi semakin terintegrasi dan dayan tarik diantaranya semakin kuat. Tarikan pantai sselatan di Sengoro dan Gondanglegi sebaliknya semakin melemah. Pantai selatan Jawa akan menjadi masa lalu, dan wilayah pedalaman di afdeeling Malang akan memulai masa baru yang arahnya ke Malang yang dengan sendirinya ke arah pantai timur Jawa (di Pasoeroeran dan Soerabaja). Sementara itu, di Lumajang dan juga di Jember masih mengalami permasalahan sendiri-sendiri. Namun seperti kita lihat nanti, sisa-sisa masa lampau di pantai selatan masih tampak pada era Pemerintah Hindia Belanda seperti yang dapat diiidentifikasi pada Peta 1882.
Lumajang berada di afdeeling yang terpisah dengan afdeeling Malang. Lamadjang adalah salah satu district di afdeeling Probolinggi residentie Bezoeki. Pada tahun 1838 nama Loemadjang di pantai selatan Jawa diberitakan (lihat Javasche courant, 23-05-1838). Disebutkan sebuah sekoci berukuran panjang 14 kaki 8 inci dan lebar 5 kaki terdampar di pantai selatan Jawa di district Loemadjang afdeeling Probolinggo. Bagi yang berhak dipersilhkan mengklaim kepada pemerintah di dewan kehakiman di Soerabaja.
Dalam Almanak 1827 Residentie Bezoeki beribukota di Bezoeki dimana
residen berkedudukan. Salah satu afdeeling di Bezoeki, selain Bezoeki sendiri
adalah afdeeling Probolinggo dan afdeeling Banjoewangi dimana masing-masing Asisten
Residen berkedudukan di Probolinggi dan di Banjoewangi. Sehubungan dengan
terbentuknya pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda di Bezoeki sejak 1817
dibentuk sejumlah afdeeling yang mana di afdeeling Probolinggo salah satu
adalah district Loemadjang. Seperti kita
lihat nanti Afdeeling Probolinggo dipisahkan dari Residentie Bezoeki dan
kemudian dimasukkan ke Residentie Pasoeroean (sehingga menjadi empat afdeeling:
Pasoeroean. Bangil, Malang dan Probolinggo). Sementara itu di residentie Bezoeki
dibentuk afdeeling baru yakni afdeeling Panaroekan dan Bondowoso.
Seperti halnya di afdeeling Malang termasuk di district Gondanglegi dan Sengoro, di afdeeling Probolinggo juga sudah diintroduksi penanaman kopi, bahkan hingga ke district Loemadjang. Pada tahun 1840 tanaman kopi di district Loemadjang sudah menghasilkan (lihat Javasche courant, 05-02-1840). Disebutkan Asisten Residen di Probolingo, Residence Besoekie menawarkan kepada public untuk pengangkutan kopi ke gudang di Probolinggo dari afdeeling Kraksan, Loemadjang en Tengger. Kopi-kopi itu diangkut dari gudang pakhuis di Padjarakan, gudang di Loemadjang dan gudang di Patalen. Dalam hal ini di residentie Bezoeki sudah terbentuk afdeeling baru (afdeeling Kraksan, Loemadjang en Tengger).
Seperti kita lihat nanti di residentie Bezoeki dimekarkan dengan membentuk dua residentie yakni Bezoeki dan Banjoewangi; sementara Residentie Pasoeroean dimekarkan dengan membentuk residentie Probolinggo. Di Residentie Probolinggo sendiri terdiri dari empat afdeeling: Probolinggi, Gending, Kraksan dan Loemadjang plus satu regentschap. Secara keseluruhan di Residentie Probolinggo terdiri dari 13 distrik, yakni: Proholingo (55 desa), Soembarkareng (36 desa), Tongas (42), Tengger (22), Gending (40), Padjarakan (47), Dringoe (38), Kraksan (61), Djabong (21), Phaiton (49), Loemadjang (71), Ranoe-Lemongan (52) en Kandangan (23 desa). Sedangkan di resident Bezoeki terdiri dari 3 afdeeling (Bezoeki, Panaroekan dan Bondowoso); Lantas dimana district Djember berada? Berada di afdeeling Bondowoso (residentie Bezoeki).
Pada tahun 1850 di Loemadjang sudah tersedia gudang garam (lihat Javasche courant, 11-09-1850). Ini mengindikasikan bahwa kota Loemadjang sudah menjadi penting, tidak hanya ada gudang kopi juga ada gudang garam, gudang yang mendistribusikan garam di berbagai afdeeling dan district yang berdekatan dengan Loemadjang. Pada tahun yang relative yang sama di wilayah afdeeling Malang juga sudah dibangun gudang garam di Kepandjen di district Sengoro (untuk pendistrubusian di wilayah district Sengoro dan district Gondang Legi).
Dimana kebun-kebun di wilayah (district) Loemadjang? Tentulah pertanian kopi tidak berada di dataran rendah apalagi dekat ke laut. Tanaman kopi hanya sesuai di Kawasan yang lebih tinggi yang memiliki perlindungan dan tanah-tanah humus yang subur. Perkebunan kopi rakyat cenderung mendekati atau di lereng-lereng gunung. Di wilayah district Loemadjang, kawasan itu berada di lereng gunung Bromo/Tengger dan lereng gunung Semeru serta di lereng gunung Argopuro. Seperti kita lihat nanti bagian selatan Loemadjang cenderung rendah mendekati pantai selatan Jawa. Ada kemungkinan di masa lampau wilayah selatan Loemadjang adalah perairan/lautan, suatu teluk besar yang menjorok ke dalam mendekati kota Lumajang yang sekarang. Dengan kata lain kota Lumajang di zaman kuno diduga berada dekat atau tepat berada di garis pantai/teluk. Hal ini dapat diperhatikan pasa Peta 1700 dan Peta 1724. Sebagai pembanding dalam Peta 1700 teluk Patjitan dan teluk Lumadjang jelas diidentifikasi sebagai teluk-teluk besar. Di selatan teluk Lumajang diidentifikasi kemungkinan pulau Nusa Bsrung.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar