*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Selat
Bali di Banyuwangi. Tempo doeloe namanya selat Blambangan (straat van
Balambangan). Itu semua berbeda situasi dan kondisi di kawasan selat.
Sebagaimana penamaan nama geografis sejak awal kehadiran pelaut Eropa
(Portugis/Belanda) ditentukan siapa dan darimana sumber diperoleh. Pada era
VOC, sumber di Banyuwangi, tetapi kemudian sumber merujuk di Bali. Saat mana
selat Blambangan bergeser menjadi nama Selat Bali, lalu selat Bali menjadi
selat Lombok. Mengapa di dua selat di dua sisi pulau Bali ini penting dari masa
ke masa.
Selat Bali adalah selat memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Selat Bali dihubungkan layanan kapal ferry dengan Pelabuhan Gilimanuk (Bali) dan Pelabuhan Ketapang (Jawa). Pelabuhan Ketapang di desa Ketapang, Kalipuro, Banyuwangi. Pelabuhan Gilimanuk pelabuhan feri di kelurahan Gilimanuk, Melaya, Jembranai. Dirut PT Pelindo III, mengatakan, proyek pelabuhan wisata ini akan dibangun di lahan seluas 44,2 hektar di Pantai Boom. Pelabuhan Marina di Pantai Boom ini akan terintegrasi Pelabuhan Benoa di Bali dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur. Pelabuhan Ikan Muncar. Pelabuhan rakyat ini berada di Muncar, Banyuwangi. Kawasan ini juga menjadi salah satu pusat pengalengan ikan terbesar setelah Bagansiapiapi di Rokan Hilir, Riau. Beberapa pantai di selat Bali di Banyuwangi seperti Pantai Watudodol, Pantai Boom, Pantai Cacalan, Pantai Solong, Pantai Cemara, Pulau Santen, Pantai Sobo, Pantai Kampe, Rumah Apung Bangsring, Pantai Blimbingsari, Pantai Muncar, Tanjung Sembulungan dan lainnya. Di sisi Bali ada Pulau Menjangan dan Pantai Gilimanuk. Selat Bali memiliki pemandangan bawah air yang indah. Oleh karena itu terdapat titik-titik dimana pemandangan tersebut bisa dinikmati seperti di Bangsring Underwater (Bunder) di desa Bangsring, Pulau Tabuhan dan Pulau Menjangan bagian dari Taman Nasional Bali Barat. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Selat Bali, tempo doeloe Selat Blambangan? Seperti disebut di atas, dari masa ke masa selat Balambangan/selat Bali begitu penting. Mengapa memiliki keutamaan navigasi pelayaran di Selat Bali dan Selat Lombok. Lalu bagaimana sejarah Selat Bali, tempo doeloe Selat Blambangan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Selat Bali, Tempo Doeloe Selat Blambangan; Keutamaan Navigasi Pelayaran di Selat Bali dan Selat Lombok
Dalam navigasi pelayaran, sejak masa lampau, nama geografis begitu penting. Nama geografis di dalam pemetaan, menjadi penting karena menjadi penanda navigasi di lautan. Di kawasan lautan luas, penanda navigasi terpenting adalah pulau. Oleh karenanya dalan pemetaan oleh para pelaut nama pulau harus diidentifikasi lebih dahulu sebelum yang lain. Di mulai dari pulau-pulau yang lebih besar hingga pulau-pulau kecil yang berpenghuni.
Pemetaan di nusantara (baca: Indonesia) sudah tentu terjadi dari zaman
kuno. Hanya saja peta-peta yang dibuat hanya lestari setelah kehadiran
pelaut-pelaut Eropa. Para pelaut Eropa seperti Portugis dan Belanda selain
menyalin dari peta navigasi terdahulu juga memperkayanya dengan laporan-laporan
(peta) terbaru. Demikian secara kumulatif. Peta-peta yang bersifat kumulatif
itulah terus diperkaya hingga ke masa kini.
Dalam peta-peta Portugis, yang diidentfikasi umumnya adalah nama pulau dan nama sungai. Adakalanya ditambahkan nama gunung. Nama sungai umumnya merujuk pada nama kampong di muara sungai atau kampong besar (kota) di daerah hilir sungai. Dalam perkembangannya, peta-peta Portugis (yang juga dilakukan dalam peta-peta Belanda), identifikasi nama teluk dan nama tanjung. Mengapa? Nama selat jarang, kalua tidak bisa dikatakan tidak pernah diidentifikasi. Akan tetapi kemudian pada peta-peta yang lebih baru pada era Portugis/Belanda mulai diidentifikasi nama-nama selat. Salah satu selat yang diidentifikasi pelaut Portugis adalah selat Sunda. Mengapa?
Selat Sunda adalah selat sempit antara dua pulau besar (pulau Sumatra dan
pulau Jawa). Nama selat tidak mengacu pada nama salah satu pulau besar
tersebut? Mengapa? Yang jelas pelaut-pelaut Portugis ketika menemukan celah
(selat) dari Malaka ke lautan Hindia mereka memberi nama selat mengacu pada
pulau pertama (terpenting dari arah Malaka di dekat selat pada suatu nama pulau
yang dikenal saat itu pulau Zunda. Nama selat Zunda itu menjadi sangat penting,
karena itu juga diberikan kepada populasi di pulau Jawa di bagian barat yang
dekat ke selat sebagai populasi penduduk Zunda (kini Sunda). Nama pelabuhan
baru di muara sungai Tjiliwong diberikan nama pulau Zunda Calapa (merujuk pada pulau
Calapa tidak jauh dari pulau/selat Zunda).
Penamaan nama geografis, sesuai arah navigasi pelayaran perdagangan yang memiliki cara tersendiri, cara yang bersifat alamiah (tidak asal memberi nama). Hal itulah dengan penamaan pulau Sumatra dan pulau Jawa dan nama selat Sunda. Bagaimana dengan nama selat Bali? Pada peta-peta awal disebut selat Balambangan atau selat Plambuam. Mengapa?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Keutamaan Navigasi Pelayaran di Selat Bali dan Selat Lombok: Mengapa Nama Selat Berubah?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar