*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini
Ada satu pertanyaan yang mungkin tidak pernah
ditanyakan dalam narasi sejarah Indonesia khusunya sejarah dewan: Mengapa diperlukan
dewan, mengapa dewan dibentuk di Hindia Belanda? Pertanyaan ini kemudian
dibingkai sebagai ‘desentralisasi’. Pembentukan dewan dalam konteks desentralisasi
ini yang menjadi garis continuum ke masa kini (DPR).
Sejarah terbentuknya DPR RI secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga periode: Volksraad, Masa perjuangan Kemerdekaan, Dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad.Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia.Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945 (12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus 1945) dijadikan sebagai TANGGAL dan HARI LAHIR DPR RI. Dalam Sidang KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan sebagai berikut: Ketua: Mr. Kasman Singodimedjo; Wakil Ketua I: Mr. Sutardjo Kartohadikusumo; Wakil Ketua II: Mr. J. Latuharhary; Wakil Ketua III: Adam Malik (https://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr)
Lantas bagaimana sejarah mengapa diperlukan dewan, mengapa dewan dibentuk? Seperti disebut di atas, pembentukan dewan di Indonesia bermula semasa Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini apakah hubungan Kerajaan Belanda vs Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah mengapa diperlukan dewan, mengapa dewan dibentuk? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Mengapa Diperlukan Dewan, Mengapa Dewan Dibentuk; Kerajaan Belanda vs Hindia Belanda
Pada tahun 1878 pemerintah membentuk komite yang melibatkan warga di Hindia Belanda untuk berpartisipasi dalam pembangunan kota. Bagi sebagian warga Belanda di Hindia Belanda kurang menyetujui caranya. Lalu beberapa tahun kemudian yang muncul adalah kesadaran bernegara diantara orang-orang Eropa/Belanda di Hindia dengan mengajukan usulan untuk pemisahan pemerintahan dengan pemerintahan sendiri (lepas dari kerajaan Belanda).
Untuk memperkuat gerakan ini dibentuk Indisch Bond pada tahun 1881.
Pemerintah Hindia Belanda bereaksi. Pun di pemerintah di Belanda. gerakan pemisahan negara (dari
kerajaan Belanda) dengan sendirinya redup. Gerakan pemisahan ini dapat
dikatakan sebagai bentuk perjuangan untuk desentralisasi secara nasional. Fakta bahwa akomodasi
pemerintah yang dilakukan hanya sekadar melibatkan pihak
swasta, tidak lebih sekadar penasehat (tidak
menentukan). Pemerintah Hindia Belanda show must go on. Embrio desentralisasi
redup.
Sementara isu pemisahan di Hindia Belanda meredup,
pemerintah melalui Gubernur Jenderal dominan sebagai perpanjangan tangan Pemerintah
(kerajaan) Belanda. Sifat eksploitatif di Hindia Belanda. Karakter politik di
Belanda juga tidak kondusif untuk Hindia Belanda (partai Liberal, partai anti-revolusioner,
dan lainnya). Partai-partai di Belanda yang bersaing ketat, lebih mengutamakan
dan mengamankan partainya sendiri-sendiri. Para politisi (tentu saja banyak
yang menjadi bagian dari pemerintahan) menjadi cenderung korup dan memperkaya
diri. Akibat dari itu, wilayah koloni (di Hindia Belanda) terlantarkan. Warga
Belanda di Hindia semakin hari semakin gelisah (dan mulai pasrah). Namun diantara
orang Belanda masih ada yang peduli tentang perlunya desentralisasi di Hindia.
Meski desentralisasi terabaikan di Hindia, tentu saja masih ada orang-orang Belanda yang tetap memperjuangkan desentralisasi di Hindia Belanda. Mereka itu yang menetap di Hindia dan mereka yang pernah di Hindia tetapi kemudian menetap di Belanda. Menteri Koloni Deventer semasa Perdana Menteri Kuyper mulai merealisasikan desentralisasi di Hindia dengan mengusulkan RUU di Tweede Kamer. Usulan ini kemudian tahun 1903 menjadi undang-undang baru di Belanda (Decentralisatie Wet).
Setelah desentralisasi diberlakukan di Hindia dengan
merealisasikan pembentukan dewan kota (gemeenteraad) di Batavia, Meester Cornelis
dan Buitenzorg tahun 1905, orang-orang Belanda tidak sedikit juga skeptis terhadap
realisasi itu. Sebab, kebijakan yang didengungkan di Belanda, di Hindia justru
pemerintahan (Gubernur Jenderal) terkesan menghalangi, paling tidak muculnya
berbagai keputusan/beslit terkait pembentukan dewan itu yang menghambat. Boleh
dikatakan, hanya sedikit perbaikan dari kebijakan desentralisasi terdahulu Komisi
1878.
Bataviaasch nieuwsblad, 03-03-1906: ‘Perluasan sistem Gemeenete.
Kemarin Gubernur Jenderal mengumumkan keputusan yang memberikan status kota
(gemeente) ke kota Semarang, Bandoeng Tegal, Pekalongan dan Cheribon, Magelang
dan Palembang, dan menetapkan kembali tempat-tempat itu menjadi gemeente’.
Catatan: nama-nama kota lainnya sudah disebutkan sebelumnya.
Sehubungan dengan percepatan desentralisasi untuk kota-kota di Hindia Belanda. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-03-1905 menurunkan artikel yang pada intinya meninjau permberlakuan desentralisasi itu sudah sangat terlambat. Penulis juga mengkomparasi dengan yang terjadi kota-kota di Belanda.
‘kami menggali kapak lagi untuk kebaikan Hindia; dengan hidung terangkat
juga, dimana kita akan segera dihadapkan pada situasi politik yang kacau balau.
Kekacauan kotor, kekacauan kotor! Jadi kami ingin menggambarkan situasi politik
ini saat ini. Orang Belanda yang berada tepat di tengah-tengah itu semua, hidup
di tengah-tengahnya, mungkin tidak lagi menyadari betapa baunya di negaranya
(di Belanda). Kami, yang berdiri di seberang perbatasan (di Hindia), dalam udara
yang tertiup angin, mencium bau politik patriotik dari jauh dan karena itu
menyadari mungkin lebih baik daripada patriot mana pun bahwa ada yang salah
dengan itu. Secara politis Belanda mungkin belum pernah tenggelam lebih dalam
ke rawa daripada sekarang. Asap tebal, yang bisa dipotong, membubung dari
bawah. Lebih buruk lagi, pertempuran pemilihan yang membawa bencana kini telah
pecah. Kebisingannya juga melintasi perbatasan (Belanda). Bahkan di luar
perbatasan (di Hindia) pun orang tidak aman dari gema dan asap air di negeri
ini. Dalam keadaan politik kotor yang keruh ini, Hindia kalah. Tidak ada waktu
untuk memikirkan nasib rakyat, murid di mana dalam kekacauan ini wali
berselisih dengan dirinya sendiri, meskipun nasib murid itu juga tergantung
pada nasib wali, dibawa oleh semangat etis saat ini dengan ekspresi perasaan
dan kata-kata cinta platonisnya terhadap Hindia. Tapi kita sekarang hidup di
hari-hari, sangat cocok untuk memimpin dalam pikiran etis-kolonial orang
Belanda. Dan kita kemudian belajar apa yang benar tentang representasi: Moederland
dan Kolonien, dua unit. Siapa pun yang telah mendengarkan, dan mungkin juga
percaya pada semua keindahan yang dapat dibawa ke pasar Hindia, di hari-hari
ini kembali melihat betapa beratnya Hindia benar-benar membebani kepentingan
dan harga diri publik, dan kemudian meletakkan tinjunya di mulutnya. untuk
menahan ejekan atau kutukan yang mungkin keluar dari dadanya. Khotbah etika
kolonial adalah penipuan petani. Lihat sendiri pertanda yang menunjukkan
seberapa tinggi skala kasih sayang publik terhadap Koloni di kotak suara tahun
ini. Sudah ada banyak kemeriahan pemilu di negara (Hindia) ini, tetapi suasana
hati yang lesu terhadap Hindia tidak bisa di atas nol. Hindia akan kembali
bertindak sebagai jumlah yang dapat diabaikan di kotak suara ini. Karena dalam
program aksi persoalan kolonial sudah menjadi paragraf yang terlupakan. Penulis
mengutip suatu artikel di surat kabar Belanda: ‘Untuk menertibkan rumah
kolonial, orang Belanda harus bangun dulu, yang masih beristirahat dalam
hibernasi kolonialnya’.
Pemberlakuan desentralisasi untuk kota-kota di Hindia yang dimulai tahun 1905 dan dilanjutkan tahun 1906, di satu sisi ada harapa, tetapi di sisi lain ada skeptis. Seperti di review surat kabar di atas, tentang pengelolaan kota-kota di Belanda juga tidak dalam kondisi baik-baik saja. Bagaimana dengan di Hindia? Itu yang menjadi kekhawatiran penulis tersebut. Persoalannya bermuara di tingkat parlemen di Belanda (Tweede Kamer). Pertarungan politik sangat tidak menguntungkan kebutuhan desentralisasi di kota-kota Belanda apalagi kota-kota di Hindia.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan Belanda vs Hindia Belanda: Orang Belanda, Orang Indo dan Orang Pribumi
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar