*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
To Napoe menganggap diri mereka sebagian berasal dari Pamona. Pamona konon
merupakan desa utama suku Toraja di danau Posso. Setelah desa ini direbut oleh
orang Loewoean (penduduk Wotoe), dan kepala suku, datu orang Toradja ditawan,
orang Toraja menyebar ke Sulawesi Tengah, dan untuk mengenang fakta ini menanam
7 batu di Pamona di depan batang pohon ek. Meskipun tradisi ini hanya berlaku
bagi suku Toradja yang berbahasa Bareƫ, suku To Napoe mengklaim bahwa salah
satu dari tujuh batu ini ditanam oleh mereka; batu itu menyandang nama watoe
ngkonae (lihat MNZG XLII, 1898).
Bahasa Pamona, juga dikenal sebagai Bahasa Poso adalah sebuah bahasa daerah yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Sulawesi Tengah. Keunikan bahasa Pamona terletak pada huruf terakhir setiap katanya yang pasti diakhiri dengan huruf vokal. Bahasa Pamona memiliki kotak fonem sebagai berikut. Fonem yang dilambangkan menggunakan transkripsi fonetik Alfabet Fonetik Internasional. Berikut ini contoh kata tanya dalam bahasa Pamona beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Nja (apa); Rimbe'i (dimana); Ncema (siapa); Mokuja (mengapa); Mpia (kapan); Wambe'i (bagaimana). Bilangan: 1 Samba'a, 2 Radua, 3 Tatogo, 4 Aopo, 5 Alima, 6 Aono, 7 Papitu, 8 Uayu, 9 Sasio, 10 Sampuyu, 11 Sampuyu samba'a (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Pamona di wilayah Poso, Sulawesi Tengah? Seperti disebut di atas bahasa Pamona di wilayah Poso dihubungkan dengan nama ahli bahasa N Adriani dan misionaris Kruijt, Orang Napu dan Orang Toradja di danau Poso. Lalu bagaimana sejarah bahasa Pamona di wilayah Poso, Sulawesi Tengah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Pamona di Wilayah Poso Sulawesi Tengah; Adriani dan Kruijt, Orang Napu dan Orang Toradja di Danau Poso
Seberapa tua nama Pamona? Seberapa tua Poso? Pamona menjadi nama bahasa di wilayah Poso. Nama tempat Pamona ditemukan di pulau Bawean (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1874). Dua yang pertama yang mengidentifikasi bahasa Pamona adalah Adriani dan Kruijt di Poso. Dr N Adriani, ahli bahasa dari Belanda tiba di Poso pada tahun 1893. Sebelum kehadiran Adriani, Kruijt sudah lebih dahulu berada di Poso (sebagai misionaris muda).
Orang Posso sendiri menceritakan pada zaman dahulu suku Toraja di
Sulawesi Tengah mempunyai seorang pengaren (Datoe), ketika sejumlah suku-suku masih
hidup bersama di sekitar danau (Poso). Tempat tinggal di tepi danau, di bagian
itu, yang disebut dengan Dongi, terletak di titik timur laut danau. Nama tempat
tinggalnya datu tersebut adalah Pamona. Suku Toraja di Sulawesi Tengah sudah
ada sejak berabad-abad yang lalu. Disebutkan orang Toradja beraja ke Loewoe.
Catatan: nama Loewoe sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365).
Sejak kehadiran misionaris di (kampong) Poso, Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang pemerintahan di sekitar Teluk Tomini hingga ke pedalaman di danau Poso. Namun untuk itu pemerintah membutuhkan legitimasi untuk siapa yang berkuasa di wilayah. Lalu pada tahun 1897 dibentuk sebuah komite untuk menyelidiki hak atas bentang alam tersebut.
Komite tersebut kemudian melakukan penyelidikan ke berbagai wilayah di Kawasan
seperti Lage,
Kadomboehoe, Wingkemposo, Rano, Ondae. Hasil penyelidikan mendapat jawabannya bahwa para pemimpin local yang ada menyebut datu Loewoe adalah tuan mereka. Sementara itu orang Toraja di wilayah selatan juga merujuk ke Loowoe. Berbagai cerita diketahui bahwa Wotoe di Teluk Bone mengaku
lebih dahulu menaklukan tanah Toraja, namun setelah ditaklukkan oleh
Sawerigading sendiri, tanah Toraja pun jatuh ke tangan Loewoe. Orang Topebato juga menyebiut ketergantungan mereka pada
Loewoe sejak saat "datoe
Toraja", yang tinggal di Pamona di dekat danau, ditaklukkan oleh Loewoe. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa masyarakat tetap bersikeras bahwa tanah datu adalah
milik Loewoe, dan bahwa orang Toraja
adalah palili (= subyek) Loewoe.
Lantas siapa yang menjadi penutur bahasa Pamona? Pada masa lampau, beberapa keluarga Tolage meninggalkan bentang alam mereka dan kemudian menetap di muara sungai Malei dan Matako, mereka menjadi rakyat Todjo, dan harus membayar upeti berupa beras setiap tahun kepada pangeran kerajaan Todjo. Sejak itu Todjo menganggap Tolage sebagai salah satu subjeknya.
Bagaimana sejarah orang Pamona atau penutur bahasa Pamona tidak diketahui
secara pasti. Jika berdasarkan cerita-cerita di atas, meski dikaitkan dengan
pengaruh Watoe/Loewoe, tetap menjadi tidak terinformasikan. Seperti disebut di
atas keberadaan Loewoe sudah terinformasikan dalam teks Negarakertagama (1365).
Dalam daftar benda kepurbakalaan dicatat di (wilayah) Pamona telah dilakukan
penggalian guci pemakaman, di tepi kiri sungai Poso dekat saluran keluar dari danau
(lihat Oudheidkundig verslag, 1914). Penemuan guci ini tentu sangat penting
karena berada di wilayah Pamonda (dekat danau Poso), dan guci pemakaman salah
satu penanda navigasi sejarah masa lampau di Kawasan.
Orang Pamona juga disebut memiliki kaitan dengan orang Napoe. Orang Napoe dekat danau Poso telah menjadi orang Pamona. Sebaliknya orang Napoe yang asli dianggap terpisah dengan orang Pamona. Sementara itu kelompok populasi Lengaro dan Woeasa, keduanya berada di sisi barat lembah, masing-masing menyebut dirinya sebagai kelompok populasi tersendiri (terpisah dari orang Napoe). Orang To Napoe yang asli konon adalah kelompok populasi di desa induk Lamba.
Suku To Napoe menganggap diri mereka sebagian berasal dari Pamona. Pamona
konon merupakan desa utama suku Toraja di danau Poso. Setelah desa ini direbut
oleh orang Loewoe (penduduk Wotoe), dan kepala suku, datu orang Toraja,
ditawan, orang Toraja menyebar ke Sulawesi Tengah, dan untuk mengenang fakta
ini menanam 7 batu di Pamona, di depan batang pohon ek. Meskipun tradisi ini
hanya berlaku bagi suku Toraja yang berbahasa Bareƫ, orang To Napoe mengklaim
bahwa salah satu dari tujuh batu ini ditanam oleh mereka; batu itu menyandang
nama watoe ngkonae.
Selain itu, sebagian besar keompok populasi Napoe terdiri dari keturunan tawanan perang, yang dibawa oleh puluhan orang To Napoe ke negerinya dari berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Laki-laki dewasa biasanya dibunuh; hanya wanita dan anak-anak yang diambil. Diantara orang Napoe banyak yang menyadari diri sendiri sebagai mantan tawanan perang. Namun mereka itu dibawa ke Napoe di masa mudanya, bahwa mereka telah kehilangan semua ingatan dan keinginan akan tanah dan hubungan kekerabatan. Beberapa dari mereka bahkan mencapai prestise dengan menjadikan diri mereka sangat diperlukan oleh tuannya.
Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa di Napoe, Controleur mengumumkan bahwa semua mantan
tawanan perang yang ingin kembali ke negerinya bebas melakukannya. Namun, tidak ada seorang
pun yang memanfaatkan kebebasan itu. Tidak hanya masyarakatnya yang sudah
terbiasa dengan negerianya sehingga tidak ingin
kembali, namun beberapa perempuan, yang dibawa pergi setelah dewasa, bahkan
masih menyimpan kebencian terhadap sesama suku dan anggota keluarga yang
meninggalkan mereka begitu saja.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Adriani dan Kruijt, Orang Napu dan Orang Toradja di Danau Poso: Studi Bahasa Pamona
Nama Pamona sendiri adalah nama pemukiman tertua suku Toradja di sebuah bukit di tepi sungai Poso, dekat tempat keluarnya air danau. Bentang alam Toradja kuno kemudian disebut benteng alam Pamona. Orang Toradja yang menyebar, kemudian diketahui menjadi orang To Radja di wilayah selatan (di utara Loewoe) yang kini masuk wilayah kabupaten Tana Toradja dan kabupaten Toradja Utara.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar