Kamis, 19 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (87): Bahasa Batin Wilayah Pedalaman Sumatra, Ulu Sungai Batanghari; Dialek-Dialek Bahasa Melayu di Jambi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Batin adalah suku Melayu di provinsi Jambi di pedalaman Sumatra menganut sistem matrilineal. Orang Batin berasal dari orang yg mendiami daerah pegunungan seperti orang Kerinci, menggunakan bahasa Melayu dialek Jambi, sedikit campuran dialek bahasa Minang. Kebudayaan orang Batin kebudayaan berunsur Melayu dan mengalami perpaduan budaya Minangkabau. Wilayah: Jangkat, Muara Siau, Bangko, Tabir, Pauh, Muara Bungo, Rantau Pandan, Tebo Ulu, dan Tebo Ilir.


Bahasa Melayu Jambi adalah dialek bahasa Melayu yang dituturkan khususnya di wilayah provinsi Jambi, bagian selatan provinsi Riau dan bagian utara provinsi Sumatera Selatan. Terdapat dua kontroversi mengenai Bahasa Jambi dengan bahasa Melayu. Sebagian pakar bahasa menganggap bahasa ini sebagai dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya. Sedangkan yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu. Bahasa Melayu Jambi atau masyarakat Jambi sering menyebut dengan Baso Jambi, yang masih satu rumpun dengan bahasa melayu lainnya di Nusantara, yakni rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Melayu Jambi sendiri terkenal dengan dialek "O" nya mirip dengan bahasa Melayu Palembang dan bahasa Melayu Bengkulu yang sama-sama berdialek "O". Bahasa Melayu Jambi digunakan untuk berinteraksi antar suku yang ada di provinsi Jambi. Bahasa Melayu Jambi memiliki delapan dialek: Dialek Kota Jambi, Muaro Jambi, Batanghari, Jabung, Tebo, Bungo, Sarolangun, Merangin (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Batin di wilayah pedalaman Sumatra, hulu sungai Batanghari? Seperti disebut di atas, bahasa Batin di tuturkan orang Bati di wilayah Jambi bagian pedalaman. Dialek-dialek bahasa Melayu di Jambi. Lalu bagaimana sejarah bahasa Batin di wilayah pedalaman Sumatra, hulu sungai Batanghari? Sepert kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Batin di Wilayah Pedalaman Sumatra, Hulu Sungai Batanghari; Dialek-Dialek Bahasa Melayu di Jambi

Bagaimana sejarah bahasa Batin? Pada masa ini tipologi rumah asli penduduk orang Batin di Merangin dijadikan sebagai simbol rumah adat Jambi. Benruk rumah itu ada juga persamaannya dengan rumah penduduk asli di Kerinci. Rumah asli Orang Batin masih dilestarikan di Rantau Panjang (kabupaten) Merangin.


Pada tahun 1906, saat mana Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Jambi (Residentie Djambi) akses ke Bangko dan Sorolangoen hanya ditempuh melalui jalan sungai. Namun sudah ada jalan rintisan dari Soengai Penoeh ke Bangko dan Saroelangoenn. Akses Soengai Penoeh di Kerintji melalui jalan rintisan dari Indrapoera (Padangsche Benelanden). Belum ada akses jalan dari Soengai Penoeh ke Solok (Padangsche Bovenlanden). Moeara Boengo belum ada akses jalan, baik dari Solok maupun dari Bangko (hanya melalui sungai dari Moeara Tebo di sungai Batanghari).

Pada awal permulaan cabang Pemerintah Hindi Belanda di Djambi, Controleur di Afd Jambi adalah H F van Oa; di Afd Moeara Tembesi AF Meijer; di afd. Moera Tebo LC Ouwerling. Sementara di afd Djambi Bovenlanden setingkat Asisten Residen RC van den Bor dimana di masing-masing Bangko, Moeara Boengo dan Soengei Penoeh serta Saeolangoen ditempatkan Controleur.


Masing-masing pejabat Controleur didamping oleh seorang demang. Di wilayah Onderafdeeling Moeara Boengo di Moeara Boengo, Controleur dijabat oleh EWF van Walchren. Sedangkan demangnya adalah Si Ali alias Si Kali gelar Soetan Oloan (Harahap). Soetan Oloan memulai karir di dalam pemerintahan di Padang Sidempoean. Demang di Soengai Penoeh adalah juga berasal dari Padang Sidempoean Ibrahim gelar Soetan Goeroe. Satu lagi demang yang berasal dari Padang Sidempoean adalah Mangaradja Gading yang di Sarolangoen, yang mana Mangaradja Gadin mengawali karir sebagai opziener di Sarolangun yang kemudian diangkat menjadi demang. Salah satu anaknya Mangaradja Gading lahir di Sarolangoen pada tahun 1905 diberi nama Abdoel Hakim. Kelak, Abdoel Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli (1948-1929), Wakil Perdana Manteri RI di Jogjakarta (1950) dan Gubernur Sumatra Utara (1951-1953) dan Menteri Negara bidang pertahanan 1955. Ibrahim gelar Soetan Goeroe adalah anak Hadji Slaeh Harahap gelar Dja Endar Moeda, pemilik surat kabar Pertja Barat di Padang. Ketiga demang pertama tersebut, entah bagaimana sama-sama marga Harahap. Mungkin mereka bertiga yang sama-sama berasal dari Padang Sidempoean heran mengapa arsitektur rumah penduduk di Sarolangun, Bangko dan Moeara Boengo sama dengan di kampong mereka di Angkola Mandailing (Tapanuli Bagian Selatan). Mungkin juga bertanya-tanya mengapa rumah di tiga wilayah ini tidak sama dengan rumah di Minangkabau? 

Selainn soal tiga demang pertama yang ditempatkan di Sungai Penuh, Bangko, Moera Boengo, dan Sarolangoen dalam awal pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belandi Jambi (Residentie Djambi) berasal dari (Afdeeling Angkola Mandailing, Resisidentie Tapanolei), apakah ada kaitannya dengan bentuk arsitektur rumah di empat wilayah ini mirip dengan di Angkola Mandailing? Satu hal yang perlu ditambahkan adalah aksara di Angkola Mandailing mirip dengan aksara di Kerinci.


Apa yang bisa diperhatikan pada masa ini, ciri khas bangunan riumah asli (adat) adalah bentuk atapnya. Secara umum ada kemiripan satu sama lain mulai dari wilayah Rejang hingga ke Atjeh. Antara rumah Jambi (baca: Merangin) dengan rumah Angkola Mandailing kurang lebih sama, punggung atap lebih mendatar dan hanya ada cekungan pada ujung-ujungnya. Ciri khas rumah di dua wilayah ini sama-sama ada tanda semacam tanduk (x). Sementara itu di wilayah Rejang punggung atap sepenuhnya datar tetapi memiliki bentuk tanduk pada dua ujung seperti di Angkola Mandailing dan Merangin. Diantara wilayah Rejang dan Atjeh bentuk punggung atap di wilayah Minangkabau dan wilayah Toba menunjukkan punggungnya tidak datar dan sama-sama berbentuk lengkung dari ujung ke ujung. Hanya bedanya rumah asli Minangkabau memiliki tanduk tunggal yang runcing/lancip (gonjong). Diantara rumah adat di Sumatra, ada perbedaan di Palembang dan Lampung, yang mana punggung atap limasan yang datar mirip di Jawa tetapi bentuk limasan hanya bagian dari tengah atap saja (joglo).

Lantas bagaimana dengan bahasa Batin? Yang jelas di wilayah Kerinci, orang Kerinci bertutur dalam bahasa Kerinci di Jambi (hilir sungai Batanghari) berbahasa melayu; di wilayah Minangkabau berbahasa Minangkabau dan di wilatah Redjang berbahasa Redjang. Bahasa Bati dituturkan orang Batin. Sebagaimana dikutip di atas, kelompok populasi orang Batin berada di Jangkat, Muara Siau, Bangko, Tabir, Pauh, Muara Bungo, Rantau Pandan, Tebo Ulu, dan Tebo Ilir.


Nama Bangko (Merangin) dan Muara Bungo pada masa ini sudah dikenal luas. Wilayah ini termasuk wilayah hulu daerah aliran sungai Batanghari, suatu wilayah yang diduga kuat sudah dikenal pada zaman kuno. Hal ini dikaitkan dengan ditemukan prasasti berasal dari abad ke-7. Nama Bangko sendiri mirip dengan nama pulau Bangka di timur hilir sungai Batanghari. Apakah ada hubungan Bangko dan Bangka di zaman kuno dimana di dua wilayah tersebut (Bangka dan Bangko) ditemukan prasasti yang sama-sama berasal abad ke-7, yakni prasasti Karang Brahi dan prasasti Kota Kapur.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dialek-Dialek Bahasa Melayu di Jambi: Asal Usul dan Terbentuknya Bahasa Batin

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar