Senin, 19 Februari 2024

Sejarah Bahasa (309): Lambang Geometri Bilangan dan Waktu di Nusantara; Sejarah Aksara Batak Versus Evolusi Aksara Eropa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Sejauh ini tidak ada yang membahas asal usul lambang bilangan dalam aksara Batak. Tidak ada, sama sekali tidak ada. Yang ada adalah India, Tiongkok, Arab dan Eropa. Bagaimana dengan lambang bilangan Mesir dan lambang bilangan Batak. Di nusantara juga ada lambang bilangan lainnya seperti lambang bilangan Jawa. Sejarah asal usul aksara dan lambang bilangan Batak tidak


Aksara Latin, dikenal sebagai Aksara Romawi, sistem penulisan alfabet berdasarkan huruf-huruf alfabet Latin klasik, berasal dari bentuk alfabet Yunani yang digunakan di kota Cumae, Yunani kuno, di Italia selatan (Magna Graecia). Alfabet Yunani diubah bangsa Etruria, dan selanjutnya diubah lagi bangsa Romawi. Ada beberapa alfabet aksara Latin, yang berbeda dalam grafem, susunan, dan nilai fonetik dari alfabet Latin klasik. Aksara Latin merupakan sistem penulisan yang paling banyak diadopsi di dunia, sebagai metode penulisan standar bahasa-bahasa di Eropa Barat dan Tengah, serta banyak bahasa di belahan dunia lain. Disebut aksara Latin atau Romawi, mengacu pada asal usulnya di Roma kuno (meskipun beberapa huruf kapital berasal dari bahasa Yunani). Dalam konteks transliterasi, istilah "romanisasi" sering ditemukan. Sistem bilangan disebut sistem bilangan romawi, dan kumpulan unsur-unsurnya disebut dengan bilangan romawi. Angka 1, 2, 3 ... adalah angka aksara Latin/Romawi untuk sistem angka Hindu–Arab. (Wikipedia)

Lantas bagamaimana sejarah lambang geometri, bilangan dan waktu di Nusantara? Seperti disebut di atas aksara yang banyak digunakan adalah aksara Latin. Bagaimana dengan bahasanya sendiri dan lambanga bilangan? Sejarah aksara Batak versus evolusi aksara di Eropa. Lalu bagamaimana sejarah bahasa geometri dan bahasa waktu di Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Lambang Geometri Bilangan dan Waktu di Nusantara; Sejarah Aksara Batak Versus Evolusi Aksara di Eropa

Di wilayah India begitu banyak macam aksara bahkan ada sekitar 50 jenis aksara. Sementara di nusantara jumlah aksara dapat diringkas menjadi aksara mirip aksara Jawa (Jawa) dan aksara mirip aksara Batak (Sumatra). Aksara Jawa ada kemiripan dengan aksara-aksara di India, tetapi aksara Batak berbeda. Aksara Batak lebih mirip aksara Fenisia (Syria). Bagaimana bisa? Penjelasannya dapat dibaca dalam: A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder in Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927.


Abjad Fenisia berasal dari kira-kira tahun 1000 SM dan merupakan turunan langsung Abjad Proto-Sinai dengan origin Mesir Kuno. Huruf Fenisia digunakan oleh orang Fenisia untuk menulis bahasa Fenisia, sebuah bahasa Semit Utara. Abjad-abjad modern yang merupakan turunan huruf Fenisia adalah alfabet Yunani, abjad Latin, abjad Arab, dan abjad Ibrani. Huruf Fenisia termasuk sebuah abjad. Huruf Fenisia adalah sebuah abjad "gundul". Dalam huruf Fenisia, vokal tidak dituliskan (Wikipedia). Sementara aksara Batak vocal (a) dituliskan.

Schröder menunjukkan asakara Batak lebih mirip aksara Fenisia daripada aksara-akasara di India. Lantas bagaimana itu terjadi? Selama ini yang dinarasikan bahwa peradabaan nusantara (termasuk Jawa dan Batak) merujuk pada peradabaan India. Seperti ditunjukkan Schröder justri sebaliknya bahwa aksara Batak berbeda dengan aksara India tetapi lebih mendekati aksara Fenisia.


Aksara Fenisia sudah lama mati, tetapi tidak demikian dengan aksara Batak. Hingga ini hari aksara Batak masih eksis. Ada perbedaan waktu yang lama antara era Fenisia di zaman kuno dengan era masa kini (aksara Batak). Aksara Batak kini seakan warisan aksara tua dunia yang masih lestari dalam askara Barak. Suksesi aksara Fenesia di wilayah Laut Mediterai yang eksis masa kini adalah aksara Latin dan aksara Arab.

Bagaimana dengan lambang bilangan? Lambang bilangan aksara Batak tidak mirip dengan lambang bilangan dalam aksara Jawa maupun aksara-aksara di India. Lambang bilangan dalam aksara Batak lebih mirip dengan lambang-lambang bilangan di Laut Mediternia. Apa yang sama antara aksara Batak dan aksara Jawa? Sebutan bilangan bahasa Jawa ada yang mirip sebutan bilangan Batak: 1=sada (sidji): 2=dua (loro), 3=tolu (telu), 4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), 100=saratus (seratus), 1000=saribu (seribu). Sebutan bilangan Batak konsisten bersifat biner.


Seperti disebut di atas aksara bermula di Mesir lalu kemudian mengalami transformasi di Fenisia. Bagaimana dengan lambang bilangan? Tidak ada yang melaporkan keberadaan lambang bilangan Fenisia. Lambang bilangan tua yang ada antara lain lambang bilangan Sumeria, lambang bilangan Maya. Lambang bilangan dari peradaban kuno ini berbeda dengan lambang bilangan Mesir Kuno. Sedangkan lambang bilangan Romawi, Arab dan Latin adalah lambang bilangan pada era-era terakhir masa kini. Bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Seperti disebut di atas lambang bilangan Batak berbeda dengan lambang bilangan Jawa.

Sebelum membicarakan lambang bilangan Romawi (sebelum terbentuknya lambang bilangan Latin), lambang bilangan awal antara lain Sumeria (Babilonia/Irak) dan Maya (Amerika). Keduanya secara umum memiliki pola yang mirip yakni semacam urutan/penjumlahan. Lambang bilangan Maya merujuk pada titik dan garis, sedangkan lambang bilangan Sumeria pada paku. Untuk Maya pada bilangan lima membuat lambang baru (garis). Sedangkan lambang bilangan Sumeria baru membuat lambang baru pada bilangan 10. Bagaimana lambang bilangan Batak? Lambang bilangan Batak mirip lambang bilangan Sumeria dan Maya, tetapi hanya sampai bilangan ketiga namun pada bilangan lima kembali ke pola sebelumnya (garis).


Mengapa lambang bilangan Batak untuk 4 dibuat lambang baru (bidang) segitiga? Lambang bidang segitiga ini haruslah dibaca sebagai ruang segitiga (limas) yang memiliki empat bidang. Jadi secara umum sebenarnya masih memimiliki pola umum urutan/penjumlahan seperti Sumeria dan Maya. Bagaimana dengan lambang bilangan 6 berupa segi empat/kubus? Seperti halnya segitiga, lambang bidang kubus dibaca sebagai ruang kubus (kotak) yang jumlah bidangnya sebanyak enam bidang.

Untuk angka 7 adalah lambang baru tetapi dipinjam dari lambang bilangan lima. Sementara lambang bilangan delapan dipinjam dari lambang 4 (segitiga) tetapi dengan menggandakannya dua buah (2 kali empat). Sedangkan lambang bilangan sembilan dipinjang dari angka 7 tetapi dengan menambah guratam kecil. Dengan demikian lambang bilangan Batak lebih beragam symbol/lambang yang digunakan tetapi berurutan mulai dari 1 sampai 9.


Lambang bilangan sembilan Batak juga mirip dengan aksara Fenesia yakni B (Bet). Sebagaimana disebut di atas, Schroder (1927) menyatakan aksara Batak mirip aksara Fenesia. Aksara Fenesia menjadi akar dari aksara Yunani dan kemudian Romawi (Latin). Lambang angka 7 Batak juga mirip dengan aksara C Fenesia. Lantas apakah dalam hal ini aksara Batak yang mirip aksara Fenesia, juga mengembangkan lambang bilangan sendiri dari aksara Fenesia? Proses serupa ini kelak diketahui apa yang terjadi dalam lambang bilangan Romawi mengambil dari aksara sendiri (I V X L D C M). Hanya aksara Fenesia yang diketahui, sementara lambang bilangan Fenesia tidak pernah terinformasikan/ Lantas apakah lambang bilangan Fenesia mirip dengan lambang bilangan Batak?

Lantas bagaimana dengan lambang bilangan 10? Seperti halnya Sumeria dan Maya, dalam sebutan bilangan Batak juga tidak memiliki angka nol (kosong). Angka sepuluh Batak adalah lambang bilangan tunggal yang disebut pulu (10). Oleh karena bilangan sepuluh dilambangkan dengan satu garis dan diamond (- 0) maka penyebutannnya dalam aksara Batak sada-pulu (satu puluh) atau disingkat sapulu (sepuluh).


Angka 10 Batak adalah lambang bilangan tunggal yang dapat dibandingkan dengan lambang bilangan 10 Sumeria (topi/kepala dari paku) dan lambang bilangan 10 Maya (dua garis, penggandaan lambang bilangan lima). Jadi, ketiganya memiliki pola yang sama, pola lambang yang mirip dan pola sebutan bilangan yang mirip.

Untuk lambang bilangan ‘belasan’ dan sebutan ketiganya (Batak, Sumeria dan Maya) memilili pola yang sama yang bersifat biner. Sebutan bilangan Batak untuk 11=sapulu sada; 12=sapulu dua. Sifat biner ini berlaku untuk sebutan bilangan selanjutnya untuk 20an, 30an dast. Dalam hal ini secara umum dapat dikatan lambang dan sebutan bilangan Batak, Maya dan Simeria sejaman.


Seperti kita lihat nanti berbeda dengan sebutan bilangan belasan dalam bahasa Jawa, bahasa Inggris (Eropa). Dalam bahasa Jawa 11=sebelas, 12=rolas; dalam bahasa Inggris 11=eleven, 12=twelve. Masih dalam sebutan bilangan Jawa juga bersifat unik misalnya untuk sebutan bilangan 21=selikur, 22=rolikur, dst tetapi untuk 25=selawe, 50=skeet, 60=sewidak dan kemudian 100=satus dan 1000=sewu.

Bagaimana dengan lambang bilangan Romawi? Sebelum terbentuknya lambang bilangan Latin (1,2,3,4 dst), lambang bilangan yang digunakan di Eropa adalah lambang bilangan Yunani/Romawi. Idem dito dengan lambang bilangan Arab.


Dalam silsilah aksara yang dinarasikan pada masa ini setelah Mesir Kuno lalu muncul Semit Kuno yang melahirkan dua turunan aksara yang berbeda: Aramea dan Fenisia. Salah satu cabang Arame aini adalah aksara Brahmi yang ke bawahnya termasuk aksara Batak (anak dari Pallawa/Kawi). Seperti disebut di atas, ada jemiripan aksara Batak dengan asakara Fenesia. Artinya dalam silsilah aksara tersebut aksara Batak masuk dalam silsilah Fenesia (bukan Bradmi). Fakta bahwa aksara Batak dan aksara Jawa yang sekarang jelas berbeda. Bukankah aksara Batak setua aksara Fenesia dan lambang bilangan Batak setua lambang bilangan Sumeria/Maya?

Lambang bilangan Romawi diduga seusia dengan aksara Romawi sendiri. Lambang bilangan Romawi lebih sederhana, yakni hanya meminjam dari aksara Romawi sendiri: I, V, X. L, C, D dan M. Untuk lambang bilangan Romawi satu, dua dan tiga mirip dengan pola lambang Sumeria, Batak dan Maya yakni dengan aturan berurutan/penjumlahan (I, II dan III). Untuk angka 4 dilambangkan dengan IV dan baru kemudian V (lima), Ini bertentantangan dengan pola pembentukan lambang bilangan Batak, Sumeria dan Maya yang bersifat maju (forward). Lambang bilangan Romawi 4 (IV) bersifat mundur, artinya ditetapkan dulu lambang bilangan lima baru dibentuk lammbang bilangan empat. Demikian seterusnya seperti 9=IX; 40=XL dst.


Seperti disebut di atas, pendahulu aksara dan lambang bilangan Romawi/Latin adalah aksara dan lambang bilangan Yunani. Aksara Yunani merujuk ke aksara Fenesia. Dalam hal ini harus diingat kembali seperti disebut di atas aksara Fenisia mirip aksara Batak. Perhatikan aksara Yunani A kapital mirip aksara A Fenisia dan aksara A kecil mirip aksara Batak. Untuk aksara B Yunani kapital dan kecil mirip aksara Fenesia dan aksara Batak. Demikian seterusnya. Lantas bagaimana lambang bilangan Yunani? Lambang bilangan Yunani dipinjam dari aksara Yunani huruf kecil. Hal serupa inilah kemudian yang berlaku dalam lambang bilangan Romawi yang meminjam dari aksara Roamwi.  

Seperti disebut di atas, tidak ditemukan lambang bilangan Fenesia, namun lambang bilangan Batak hingga kini masih eksis. Aksara Batak berbeda dengan lambang bilangan Batak (tidak saling terkait, tidak saling meminjam. Bandingkan dengan lambang bilangan Yunani dan lambang bilangan Romawi yang meminjam dari aksaranya. Seperti disebut di atas, hal yang unik dalam lambang bilangan Batak adalah berurutan/penjumlahan, konsisten bersfat biner dan juga lambangnya bersifat geometrik.


Lambang bilangan Batak yang mirip dengan lambang bilangan Arab adalah angka/nomor 1, 9 dan 10. Seperti disebut di atas dalam aksara Batak tidak mengenal lambang bilangan nol (kosong). Yang ada adalah lambang bilangan pulu (10). Lantas apakah lambang bilangan Arab 10 sama dengan lambang bilangan Batak 10? Perhatikan bentuk lambang bilang pulu Batak (diamond) yang mirip dengan lambang bilangan 10 dalam aksara Arab. Lantas sejak kapan muncul lambang bilangan nol (0)? Lambang bilangan nol baru ditemukan dalam lambangan bilangan Latin. Dalam hal ini lambang bilangan Latin diturunkan dari lambang bilangan Arab.

Lambang aksara Batak berbeda dengan lambang aksara Arab. Lambang aksara/lambangan bilangan Batak juga berbeda dengan lambang aksara dan lambang bilangan di berbagai aksara yang ditemukan di India. Dalam silsilah aksara yang dinarasikan pada masa ini terdapat dua cabang aksara yakni Aramea dan Fenesia. Jalur turunan aksara Aramea adalah Arab dan Brahmi dan yang selanjutnya cabang Brahmi ke India dan lalu ke Jawa. Lantas mengapa dalam narasi masa kini aksara Batak disebut satu rumpun dengan aksara Jawa? Fakta bahwa aksara dan lambang bilangan Batak justru lebih mirip dengan aksara dan lambang bilangan zaman kuno di Laut Mediterania seperti Fenisia, Sumeria Mesir dan Maya di Amerika.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Aksara Batak Versus Evolusi Aksara dan Lambang Bilangan di Eropa: Lambang dan Makna Bilangan di Nusantara

Seperti di Eropa, soal lambang dan sebutan bilangan di nusantara juga memiliki pemaknaan dan memiliki makna yang penting. Disebutkan di (pulau) Jawa angka 3 adalah angka kramat karena lambang kesempurnaan yang dikaitkan dengan bumi (tanah), air (laut), dan api (matahari). Angka 4 melambangkan ketetapan dan keteguhan yang dikaitkan empat penjuru mata angin yaitu utara (lor), selatan (kidul), timur (wetan), dan barat (kulon). Demikian seterusnya. Di daerah Toba sekitar danau purba angka 7 adalah angka penting. Lantas apakah angka 9 menjadi sangat penting dalam peradaban di Angkola Mandailing?


Yang jelas jumlah satuan bilangan Batak sebanyak 9 (tidak mengenal angka nol). Pulu adalah sebutan bilangan yang dilambangkan tersendiri bukan nol tetapi diartikan bulat dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu 10 dibaca sada pulu atau disingkan sapulu. Untukl seterusnya hanya dianggap sebagai pengulangan. Sembilan angka satua ini tidak hanya sebutannya yang berbeda, juga lambang yang diberikan berbeda-beda secara berurutan. Lambang bilangan Batak tidak mengikuti huruf seperti Romawi, tetapi dengan lambang geometris (titik, garis, bidang dan ruang): 1=satu garis; 4=satu bidang terkecil (segitigas) dan satu ruang terkecil (limas) yang memiliki empat bidang; 6=satu bidang kedua terkecil (empat persegi dan satu ruang kesdua terkecil yang memiliki enam bidang. 8=dua bidang terkecil (dua kali empat); pulu=kebalikan lambang bilangan bilangan 8 sebagai diamond yang merupakan dua segitiga (bidang/ruang terkecil). Sementara itu dalam system social orang Batak yang menjadi angka dasar (internal) adalah bilangan tiga (dalihan na tolu). Secara eksternal membentuk angka 9 yakni tiga kali tiga). Salah satu alat musik di Angkola Mandailing yang bersifat sakral adalah gondang sambilan, sementara itu dalam bentuk permainan orang Batak yang disebut kusir merupakan gabungan dua segitiga dan satu kubus. Kata pulu dalam bahasa Batak adalah kata sacral karena bulat, satu kata, satahi dalam dalihan na tolu. Lambang bilangan pulu ini digambatkan gabungan dua segitiga (bidang terkecil) yang kampak (berbeda dengan lambang bilangan delapan).

Dalam system perlambangan biilangan Batak yang merujuk pada bentuk geometric (titik, garis, bidang dan ruang). Hanya ada dua yang bersifat bidang yakni segitiga dan segiempat. Angka delapan (wolu) dan angka pulu adalah gabungan dua segitiga. Nah, dua segitiga inilah yang menjadi dasar perhitungan waktu bagi orang Batak: mulai dari satuan waktu terkecil detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun,


Dua segitiga (delapan dan pulu) besarnya sudut yang ada adalah 360 derajat (baca:3+6+0=9. Satu segitiga (angka empat) memiliki sudut keseluruhan 180 derajat (baca: 1+8+0=9) yang merupakan 3 kali 60 derajat (baca: 3+6+0=9). Oleh karena orang Batak tidak mengenal angka nol maka dasar yang digunakan (proksi) untuk menghitung besarnya sudut lingkaran (bidang paling sempurna, paling kompak dan pulu) adalah bentuk geometric angka delapan dan angka pulu yakni sebesar 360 derajat. Oleh katena itu besarnya sudut lingkaran adalah 360 derajat. Angka unik sembilan lainnya adalah dari penjumlah bilangan 1sampai 8 yakni 1+2+3+4+5+6+7+8=36 (baca: 3+6=9). 

Begitu pentingnya bilangan bagi orang Batak, demikian juga denngan pentingnya waktu dalam peradaban sejak awal. Seperti disebut di atas nama-nama bilangan Batak, demikin juga di dalam peradaban awal orang Batak sudah memiliki penamaan waktu. Seperti bilangan nol tidak dikenal orang Batak, satu waktu detik dan menit juga tidak ada dalam perhitungan waktu dalam peradaban awal orang Batak. Yang ada adalah perhitungan hari (perputaran matahari) yang mana satu hari adalah 24 jam (satu hari sebagai satu putran waktu). Orang Batak memiliki sebutan (bilangan) setiap jamnya yang jumlahnya sebanyak 24 nama berbeda (tidak ada di tempat manapun di muka bumi ini yang melakukan serupa itu). Lalu tujuh hari disebut satu minggu yang mana setiap nama hari sebanyak tujuh nama berbeda (bandingkan dengan di Jawa dengan lima sebutan). Nama hari menjadi dasar dalam menentukan nama pekan (satu pekan=satu minggu). Kemudian empat minggu (empat putran minggu) disebut satu bulan dan 12 bulan disebut satu tahun. Tidak ada sebutan nama pekan/minggu (hanya didasarkan pada nama tempat; tempat dimana diadakan pasar secara berulang pada hari apa). Nama bulan memiliki nama yang berbeda diantara 12 bulan.   


Orang Batak memiliki 24 nama berbeda untuk satu hari (24 jam). Bandingkan dengan di Eropa hanya mengenal nama dawn (pukul 6 pagi); morning (pukul 8); 12=noon (pukul 12); afternoon (pukul 15 mereka menyebut pukul 3 pm); dusk (pukul 5); evening (puku; 6); dan night (pukul 9 pm). Meski demikian, dalam perkembangan peradaban Eropa mulai dipekemallam satu waktu menit dan detik, yang mana satu jam adalah 60 menit dan satu menit adalah 60 detik. Lalu satu jam adalah 360 detik (60 menit kali 60 detik). Angka 360 detik (satuan waktu) di Eropa dikenal sebagai satuan derajat yang mana dalam system geometric (tempat) orang Batak besarnya sudut dua segitiga pada angka 8 dan 10 adalah 360 derajat. Lantas pertanyaannya dimana pertama kali dikenal angka 360? Di Eropa atau di nusantara (Batak)? Di Eropa disebut 360 detik di nusantara disebut 360 derajat. Dalam navigasi pelayaran kuno, orang Batak sudah mengenal satuan waktu (jam) dan juga satuan besarnya sudut (elevasi) yang sangat diperlukan untuk menentukan letak asal dan letak tujuan. Dalam konteks ini dalam navigasi pelayaran orang Batak tidak memerlukan satuan waktu menit dan detik tetapi lebih membutuhkan satuan besarnya sudut.

Dalam navigasi pelayaran orang Batak menyebut pulo. Apakah kata pulo ini merujuk pada nama bilangan pulu, suatu nama bilangan bukan nol tetapi bilangan sepuluh yang bulat. Dalam navigasi semua pulau yang dapat digambarkan sebagai suatu yang bentuk yangan utuh, suatu daratan di depan mata yang utuh sepertti angka pulu. Sebutan pulu dan pulo inilah yang diduga menjadi asal usul sebutan pulau dalam bahasa Melayu. Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, diduga kuat bahasa Melayu terbentuk (asal-usulnya) dari bahasa Batak.


Dalam bahasa Batak angka 4 disebut opat, angkan 6 disebut onom dan angka 8 disebut walu dan angka 9 disebut sia dan 10 disebut pulu. Semua bilangan tersebut dilambangkan dengan bentuk geometric (bidang) kecuali angka 9 (yang merupakan bentuk garis). Sebutan opat ini menjadi papat dalam bahasa Jawa dan empat dalam bahasa Melayu; onom (enem, enam), walu (wolu, delapan), sia (sanga, sembilan). Mengapa angka 8 dalam bahasa Melayu tidak merujuk pada sebutan walu tetapi menyebutnya delapan. Apakah dalam bahasa Melayu sebutan delapan berasal dari dua lapan (2 lapan) yang digambarkan angka 8 dalam aksara Batak dengan bentuk dua segitiga? Bagaimana dengan angka 9 dalam bahasa Melayu disebut sembilan? Apakah merujuk pada sada ambilan atau sa-ambilan (satu-ambilan) dalam konstruksi bilangan Romawi? Dalam bahasa Sunda angka 8 disebut dalapan atau dualapan (2-lapan) dan angka 9 disebut salapan (sa-lapan atau 1-lapan).  

Dari semua yang dibicarakan di atas, lantas apakah hanya sekadar mengada-ada membandingkan peradaban awal nusantara (Batak) dengan peradaban di barat (Mesir, Mediterania, Eropa, Arab dan India)? Pemahaman terjadap aspek (aksara) linguistic dan (lambang) bilangan tidak cukup. Banyak aspek lain yang dapat ditambahka seperti aspek navigasi, aspek permainan, aspek muzik, aspek sisten social, aspek system pemerintahan dan lain sebagainya termasuk aspek perdagangan komoditi. Wilayah Batak yang sekarang pada masa lampau terkenal dengan sumber tambang (emas) dan sumber kehutanan (kapur/kamper, kemenyan, damar dan sebagainya). Kamper adalah komoditi kuno yang paling terkenal dari tanah Batak, karena satu-satunya sumber pemasok yang dikenal sejak zaman Mesir Kuno.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar