*Untuk melihat semua artikel Sejarah Sepak Bola Indonesia di blog ini Klik Disini
Marga
adalah family name yang kemudian menjadi nama belakang. Marga awalnya adalah
suatu kelompok kekerabatan (hubungan darah) seperti di Tanah Batak, yang
kemudia terminology ini menjadi bersifat generic untuk kata lain family name.
Sebagai suatu family name, dan kemudian menjadi nama belakang setiap orang,
pada dasarnya setiap orang/keluarga/sekerabat bisa membuat family name baik
secara independent maupun yang disahkan di pengadilan.
Nama Hindia Belanda dan nama Indonesia menunjukkan suatu rezim yang berkuasa di wilayah/tanah (land) yang sama. Yang berubah adalah rezimnya, tanahnya tetap tidak berubah. Harus pula diingat di tanah yang sama juga pernah berkuasa Inggris dan Jepang. Dalam konteks inilah Indonesia masa kini sebagai nama suatu tanah, suatu bangsa dan suatu bahasa. Di laman Wikipedia, Timnas Indonesia pada era Hindia Belanda pada tahun 1938 diberi tanda bendera Hindia/Belanda. Lalu bagaimana dengan naturalisasi? Pada era Hindia Belanda sudah ada naturalisasi dan pada era Republik Indonesia juga ada naturalisasi. Untuk aturan naturalisasi di Indonesia, dengan kriteria tertentu paling tidak sudah lima tahun tinggal. Namun untuk yang memiliki darah Indonesia (kakek/nenek dan ayah/ibu) bisa langsung dinaturalisasi. Yang disebut darah Indonesia juga termasuk yang moyangnya lahir di Hindia Belanda/Indonesia meski bukan terikat dengan darah penduduk local.
Lantas bagaimana sejarah marga pemain Timnas naturalisasi
di Indonesia? Seperti disebut di atas. marga adalah nama family name. Orang
Eropa umumnya sangat peduli dengan marga/family name di belakang nama seperi Faes,
Haye dan Verdonk. Penduduk Indonesia sejak Hindia Belanda (Cina, Arab dan
pribumi) mulai mengadopsi nama family name di belakang nama, yang mana bagi
orang Batak cukup dengan menambahkan nama marganya saja. Dalam konteks inilah
kita juga membicarakan marga Tjoa-A-On dan Pattinama. Lalu bagaimana sejarah marga
pemain Timnas naturalisasi di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo
doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Marga Pemain Timnas Naturalisasi di Indonesia; Paes,
Haye, Verdonk, Tjoa-A-On, Pattynama dan Piroe
Tidak ada marga Tjoa A On di Indonesia. Yang ada marga Tjoa di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda. A On adalah nama orang Tionghoa di Hindia Belanda dengan marga Tjoa. Lalu kemudian Tjoa A On ikut bemigrasi ke Suraname. Keturunannya kemudian di Suriname dan di Belanda menggunakan family name (marga) dengan Tjoa A On. Hal itulah kemudian diketahui Nathan menggunakan nama marganya Tjoa A On. Pada saat ini Nathan Tjoa A On menjadi salah satu pemain Timnas diaspora Indonesia yang telah dinaturalisasi. Bagaimana dengan marga Piroe?
Pattinama sebagai suatu marga
paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1861 (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-03-1861). Marga
Pattinama ini umumnya ditemukan di pulau Haroekoe (lihat Regerings-almanak voor
Nederlandsch-Indië, 1865). Dalam perkembangannya penulis Pattinama muncul sebagai
Pattynama (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor 1898). Disebut
sejumlah nama-nama yang disetarakan dengan Eropa/Belanda, antara lain EP Pattynama,
CM Pattynama dan LA Pattynama. Tidak diketahui apa yang menyebkan penulisan
tersebut berbeda dari dulu hingga ini hari.
Pattinama di wilayah Ambon (pulau Haruku. Maluku) adalah nama marga (genealogis) sejak lama seperti Pattimura di Latu (Seram Barat). Seperti halnya marga di Tanah Batak yang mengindikasikan tempat (wilayah), di Maluku juga mengindikasikan wilayah (tempat) dimana marga berasal. Namun tidak ada marga Piroe di Maluku, tetapi ada nama tempat Piroe (baca: Piru) di pulau Seram bagian barat.
Piroe adalah nama tempat di
wilayah Teluk Piroe (pantai selatan di pulau Seram bagian barat). Di Teluk Piru
ini terdapat beberapa kelompok populasi dengan bahasa yang berbeda yang masuk
rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Kelompok-kelompok populasi yang berbasaha berbeda
ini tak satu pun memiliki lebih dari dua puluh ribu penutur, dan beberapa di
antaranya terancam punah. Bahasa-bahasa tersebut di Teluk Piru Barat (pulau
Seram dan pulau Ambon) yakni Asilulu, Hoamoal: Luhu (Piru), Manipa;
Larike-Wakasihu, Boano.
Lalu apakah ada hubungan nama tempat (wilayah) Piroe yang sudah dikenal sejak dulu dengan marga (baru) Piroe yang ditemukan di Suriname dan Belanda? Pertanyaan ini menjadi penting karena belum lama ini beredar rumor bahwa Joel Piroe akan dinatiralisasi sebagai pemain Timnas (sepak bola) Indonesia. Ada yang bertanya-tanya apakah Joel Piroe memiliki hubungan darah dengan Indonesia?
Pada masa ini di Indonesia,
nama-nama marga (family name) di (wilayah) Piru adalah Titawanno, Pirsouw, Laturette,
Nindatu, Kukupessy, Manupassa, Kikalessy, Sulilatu, Sulipatty, Pattirua, Latusia,
Lewaru, Manuputty, Mandaku, Sapasuru dan Sepalatu. Dari daftar tersebut tidak
ada nama family name Piroe.
Pada masa era Pemerintah Hndia Belanda, Piroe adalah salah satu pelabuhan penting di pulau Seram (bagian barat). Oleh karena itu, di Piroe juga ditemukan banyak orang Belanda yang berugas dan bertempat tinggal. Salah satu orang Belanda yang lahir di Piroe adalah Gijsbertus Johannes Willem Koolemans Beijnen pada tahun 1904. Ayahnya adalah Gijsbertus Johannes Willem Koolemans Beijnen dan ibu Elisabeth Cramer.
Pada tahun 1904, petugas kesehatan kelas 2 GJW Koolemans Beijnen dipindahkan
dari Amboina ke Piroe (lihat De Locomotieg, 03-03-1904). GJW Koolemans Beijnen dengan
E Cramer terinformasikan menikah di Gravenhaag tahun 1901 (lihat De Sumatra post, 14-05-1901).
Tidak lama kemudian pasangan muda ini berangkat ke Hindia (lihat De Telegraaf. 02-08-1901).
Disebutkan dalam manifes kapal st Prins Hendrik dari Amsterdam dengan tujuan
akhir Batavia terdapat nama GJW Koolemans Beijnen dan istri. Selanjutnya,
sebagai petugas kesehatan GJW Koolemans Beijnen dipindahkan dari Batavia ke
Amboina (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-04-1902).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Paes, Haye, Verdonk, Tjoa-A-On, Pattinama, Piroe: Kediri, Semarang, Sigli, Ambon, Soerabaja, Jember, Solo, Poerworedjo dan Piroe
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar