Senin, 29 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (262): Pahlawan Indonesia Mochtar Lubis; Kantor Berita ANTARA dan Surat Kabar Indonesia Raya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Mochtar Lubis adalah Pahlawan Indonesia sejati. Rekannya pernah mengatakan: Negara tidak memberi apapun baginya, kecuali penjara. Satu sisi boleh jadi itu benar. Akan tetapi di sisi yang lain, boleh jadi Mochtar Lubis sendiri menganggap penjara adalah hukuman: antara si penghukum di seberang yang satu dan si terhukum di seberang yang lain. Mochtar Lubis adalah Mochtar Lubis seperti judul novelnya: Harimau! Harimau! Satu yang pasti Mochtar Lubis sangat mencintai tanah air dan rakyatnya. Ini dapat dipahami dari nama surat kabarnya Indonesia Raya dengan motto: dari rakyat oleh rakyak untuk takyat.

Mochtar Lubis (7 Maret 1922 – 2 Juli 2004) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Dia merupakan lulusan HIS dan Sekolah Ekonomi Kayu Tanam yang belajar tentang jurnalisme dan beberapa bahasa asing secara autodidak. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).  Pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), dan anggota World Futures Studies Federation. Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh AH John menjadi A Road With No End, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN 1952; cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, Harimau! Harimau! (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novelnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992). Bersama sejumlah cendekiawan, dia mendirikan Yayasan Obor Indonesia, sebuah penerbit buku. Pidato kebudayaannya pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul Manusia Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (YOI) ini mendapat pro dan kontra dari masyarakat karena mengungkap stereotipe manusia Indonesia, terutama sifat-sifat negatifnya (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia Mochtar Lubis? Tentulah sudah banyak ditulis. Seperti disebut di atas, Mochtar Lubis adalah bagian dari Manusia Indonesia, ada yang berjuang dan ada yang berhianat. Mochtar Lubis tanpa pernah berhenti berjuang untuk Indonesia Raya dengan motto dari takyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu bagaima sejarah Mochtar Lubis? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 28 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (261): Pahlawan Indonesia Adinegoro; Bintang Timoer di Batavia, Pewarta Deli, ANTARA dan PWI

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Djamaluddin alias Adinegoro adalah salah satu Pahlawan Indonesia. Adinegoro menjadi populer ketika menjadi pemimpin redaksi surat kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan yang dipimpin Abdoellah Lubis. Sebelum itu Adinegoro adalah pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer di Batavia yang dipimpin Parada Harahap. Terakhir Adinegoro pemimpin redaksi kantor berita Antara yang dipimpin Adam Malik. Last but not least, Adinegoro dan Mochtar Lubis menginisiasi pembentukan organisasi jurnalis Persatuan Wartawan Indonesia.

Djamaluddin Adinegoro gelar Datuak Maradjo Sutan (14 Agustus 1904 – 8 Januari 1967) adalah sastrawan dan wartawan kawakan Indonesia. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925). Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin. Ia adalah adik sastrawan dan pejuang Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Siti Saadah. Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Maradjo Sutan. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin. Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman (1926-1930).  Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari kartografi, geografi, politik, dan geopolitik. Tentu saja pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro memang lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan (Wikipedia).:

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia Adinegoro? Seperti disebut di atas, Adinegoro adalah salah satu wartawan Indonesia yang memiliki ‘pendidikan’ pers di Eropa. Adinegoro juga memiliki minat di bidang sastra. Lalu bagaimana sejarah Adinegoro? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.