Sabtu, 15 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (12): Sejarah Perkebunan di Depok dan Sekitarnya; Gula, Kopi Hingga Karet

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Setiap wilayah memiliki kekhususan sendiri dalam bidang perkebunan. Preanger terkenal dengan kopi dan kina, Buitenzorg terkenal dengan kopi dan teh, Deli terkenal dengan tembakau dan kelapa sawit. Lantas, Depok dan sekitarnya terkenal dengan tanaman dan perkebunan apa? Itu pertanyaannya yang perlu ditelusuri. Keutamaan Depok dan sekitarnya dalam peta sejarah perkebunan Indonesia karena terbilang awal dan eksistensinya masih terlihat masif hingga tahun 1970an.

Onderneming Chastelein di Sringsing (sejak 1691)
Hingga tahun 1980an sisa-sisa perkebunan tanaman keras seperti karet masih ditemukan cukup luas di Depok dan sekitar, seperti di Pondok Tjina (lahan UI yang sekarang), Sawangan, Tjitajam, Tjinere, Tjilodong, Tapos, Bodjong Gede, Kaoem Pandak dan Tjimanggis. Semua plantation itu telah punah. Namun bukan itu saja yang ingin ditelusuri, tetapi juga perkebunan-perkebunan yang pernah ada sejak awal ketika Cornelis Chastelein, orang Eropa pertama yang membuka usaha pertanian (ondernemig) di Depok (1696).

Pionir-pionir perkebunan juga perlu ditelusuri. Di Deli terkenal dengan nama Nienhuys (tembakau), di Preanger terkenal dengan Junghuhn (kina), di Buitenzorg terkenal dengan Motman (hortikultura). Lantas di Depok dan sekitarnya siapa? Tentu saja yang pertama Cornelis Chastelein. Lantas siapa pionir-pionir berikutnya di Depok dan sekitarnya. Itu juga pertanyaan penting dan memerlukan penelusuran. Mari kita lacak.

Land Depok

Pada saat Cornelis Chastelein membuka lahan pertanian di Depok tahun 1696, komoditi ekspor VOC dari Hindia Timur masih berupa komoditi kuno seperti benzoin, kamper, pala, lada, puli dan gambir. Semua itu masih produk hutan yang didatangkan dari Maluku, Barus dan sebagainya.

36 jenis komodi ekspor VOC
Informasi tentang adanya ekspor dari Batavia ditemukan dalam surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c edisi 31 Juli 1627: ‘Kapal kargo dari Batavia pada bulan Desember 1626 telah tiba di Texel pada tanggal 24 Juli 1627’. Berita ini mengindikasikan bahwa perjalanan kapal kargo ini sejak dikirim dari Batavia hingga tiba di Texel membutuhkan waktu tujuh bulan. Suatu waktu yang sangat lama, tapi begitulah pelayaran saat itu. Sejak berita kapal kargo yang pertama dari Batavia, semakin kerap kapal kargo dari Oost Indisch yang dilaporkan yakni dari Batavia. Kapal kargo yang dilaporkan surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633 memberitakan sangat rinci. Kapal-kapal yang tiba tersebut terdiri dari kapal Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah komandan Jenderal Specx. Muatan kapal-kapal tersebut berisi 36 jenis komoditas yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Komoditi tersebut antara lain lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan permata. Secara keseluruhan komoditi tersebut komoditas tahan lama. Dari tahun ke tahun frekuensi kapal kargo dari Batavia semakin tinggi. Jumlah kapal juga semakin banyak, jenis komoditas semakin banyak dan volume masing-masing komoditas semakin besar, yang mana kapal-kapal tersebut dicarter oleh Nederlantfe Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) seperti dilaporkan surat kabar Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648.

Perdagangan komoditi-komoditi kuno ini telah berlangsung sekitar dua abad sejak ekspedisi Cornelis de Houtman tiba di Soenda Kalapa dan VOC mendirikan koloni di Batavia tahun 1619 hingga dimulai komoditi modern yang dibudidayakan di Batavia dan sekitarnya pada akhir abad ke-17. Komoditi modern tersebut adalah gula (suiker). Perkebunan gula ini dilakukan oleh investor-investor VOC dengan mendatangkan kuli dari Tiongkok. Industri gula ini dengan cepat merangsek hingga ke hulu sungai Tjiliwong termasuk bidang usaha yang dilakukan oleh Cornelis Chastelein di Depok.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar