Sabtu, 12 Agustus 2017

Sejarah Kota Depok (37): Seputar Pengakuan Kedaulatan RI di Depok; Abdul Haris Nasution dan Ibrahim Adji

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Belanda tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Belanda hanya mengakuinya pada tanggal 27 Desember 1949. Mengapa bisa begitu? Belanda menganggap tidak merasa memberikan kemerdekaan bagi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena saat itu Indonesia ‘merebut’ kemerdekaan dari Jepang. Jika Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1945, sesungguhnya Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun Belanda sendiri tidak mengakuinya, padahal negara-negara lain sudah mengakuinya sejak 17 Agustus 1945. Jadi, urusan Indonesia sudah selesai, bahwa Belanda tidak mengakuinya, itu urusan Belanda sendiri.

Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli
Dalam hal ini, pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 adalah penanda waktu dimana Belanda harus keluar dari Indonesia. Sebagaimana diketahui, pada bulan Oktober 1945 Belanda menyusup ke Indonesia di belakang pasukan sekutu Inggris, padahal pasukan sekutu Inggris adalah satu-satunya negara sekutu yang mendapat mandat untuk memasuki Indonesia dalam rangka membebaskan tawanan Belanda dan melucuti tentara Jepang. Selesai tugas itu pasukan sekutu Inggris keluar dari Indonesia. Namun dalam perjalanan waktu yang begitu cepat, tiba-tiba pasukan Belanda menjadi 'penumpang gelap' dari pasukan sekutu Inggris. Akan tetapi, pasukan sekutu Inggris malah membiarkan kendali diambil alih oleh pasukan Belanda. Dalam hal ini pasukan sekutu Inggris sesungguhnya pasukan tidak bertanggungjawab. Dengan demikian: Belanda dan Inggris melakukan perbuatan curang di Indonesia, negara yang telah memproklamasikan kemerdekaan.

Apa yang terjadi di Depok dan sekitar pada seputar tanggal 27 Desember 1949 yang disebut tanggal pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda? Pertanyaan itu tentu perlu ditelusuri karena selama ini kurang terinformasikan. Lantas apa menariknya? Itu pertanyaannya. Mari kita telusuri.

Gencatan Senjata: Evakuasi Militer Belanda dan Konsolidasi Militer Indonesia

Tanggal 27 Desember 1949 tidak hanya tanggal pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia, tetapi juga tanggal dimana pasukan (militer) Belanda keluar dari wilayah Indonesia. Sebelum tanggal pengakuan itu, pasukan Belanda terdapat di seluruh Indonesia dalam posisi wait and see (gencatan senjata) sejak 3 Agustus 1949 sambil menunggu dilaksanakannya KMB di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Singkat kata: akhirnya, KMB menghasilkan keputusan: Belanda mengakuai kemerdekaan RI tanggal 27 Desember 1949 dan pasukan militer Belanda harus keluarga dari Indonesia tanpa syarat.

Nieuwe courant, 04-01-1950
Para pasukan militer Belanda yang harus pulang kampung ini di West Java dikumpulkan di empat rayon: 1. Rayon Bogor: Bogor, Tjibadak, Soekaboemi, Tjiandjoer dan Poentjak; 2. Rayon Garoet: Garoet, Leles, Tjibatoe, Tjiawi, Tasikmalaja, Tjikadjang dan Pameungpeuk; 3. Rayon Bandoeng: Bandoeng, Pengalengan, Poerwakarta en Soebang, Soemedang, Madjelengka, Cheribon dan Indramajoe; 4. Rayon Djakarta: Tg. Priok, Djakarta, Djatinegara, Depok dan Tangerang. Disamping itu terdapat dua kantor di Balarardja dan Tjoeroeg yang akan dimasukkan ke dalam Rayon Djakarta (lihat Nieuwe courant, 04-01-1950).       

Proses evakuasi pasukan militer Belanda di Depok menjadi satu rayon dengan Tandjong Priok, Djakarta, Djatinegara dan Tangerang. Seluruh pasukan Belanda di rayon ini kemudian menuju pelabuhan Tandjong Priok untuk memasuki kapal perang untuk keluar dari wilayah Indonesia. Evakuasi pasukan militer Belanda dari Indonesia menandai berakhirnya kolonial Belanda di Indonesia (hingga ini hari).

Di satu pihak, habis sudah kehadiran militer Belanda di Indonesia. Sementara di pihak lain, pasukan militer Indonesia segera melakukan konsolidasi. Dalam proses konsolidasi ini Gubernur Militer Djakarta Raya meminta seluruh militer berkomunikasi di lima tempat yang ditentukan: 1. KMK Djatinegara; 2. KMK Djakarta p/a Basis Commando, Willemslaan No. 2; 3. KMK Tandjong Priok p/a Kantor Kawedanaan Tandjong Priok; 4. Territoriale Stafofficier Tangerang; dan 5. Territoriale Stafofficier Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-01-1950)..

Posisi Depok pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda ini cukup strategis. Hal ini karena Depok menjadi pusat evakuasi pasukan militer Belanda dan Depok juga menjadi pusat konsolidasi pasukan militer Indonesia.

Pusat militer ini di Depok berada di Mampang (Kantor Kodim Depok yang sekarang). Lokasi Mampang di Depok sejak 1924 sudah menjadi pusat militer Belanda. Hal ini sehubungan dengan pembentukan garis pertahanan Belanda terluar (outer ring) terkait dengan meningkatkan suhu politik (kebangkitan bangsa Indonesia). Garis pertahanan ini di selatan (Depok, Tjipoetat, Paroeng, Sawangan dan Tjisalak) yang dihubungkan dengan di timur (Bekasi) dan di barat (Tangerang). Inisiasi garis pertahanan ring terluar di selatan ini ditandai dengan latihan perang di garis Depok, Tjipoetat, Paroeng, Sawangan dan Tjisalak (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1924). Mengapa Mampang? Hal ini karena sejak lama path antara Buitenzorg dan Batavia via Tjiliboet, Bodjong Gede, Pondok Terong, Ratoedjaja Mampang dan Tjinere adalah lintasan para penentang Belanda (untuk menghindar dari jalan raya via Tjimanggis dan via Paroeng serta jalur kereta api via Depok). Jakur lintasan ini terbilang sepi dari aktivitas orang-orang Eropa/Belanda. Dalam perang kemerdekaan, lintasan ini menjadi area strategis dalam perang gerilya. Penempatan militer di Depok sendiri baik oleh Belanda (selama perang kemerdekaan) maupun oleh Indonesia (pasca pengakuan kedaulatan) boleh jadi untuk menghindari terulangnya kasus kerusuhan di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945. Sebagaimana diketahui di Land Depok banyak warga yang berafiliasi dengan Belanda. Boleh jadi riwayat ini yang menjadi sebab mengapa Depok (termasuk Bodjong Gede) pada masa kini menjadi wilayah Kodam Jaya dan Polda Metro Jaya.    

Lantas bagaimana dengan orang-orang sipil Belanda atau orang-orang pribumi yang disetarakan dengan orang Belanda. Orang Belanda (Indo) tidak otomatis menjadi warga negara RI, tetapi orang pribumi yang disetarakan (naturalisasi) atau tidak disetarakan dengan sendirinya otomatis menjadi warga negara RI. Namun demikian, tidak sedikit warga pribumi yang hengkang ke negeri Belanda pasca pengakuan kedaulatan RI.

Orang-orang sipil Belanda di Indonesia cukup banyak yang tidak segera ke Belanda, melainkan tetap menetap di Indonesia. Hal ini karena mereka ini masih memiliki usaha di Indonesia, seperti perkebunan-perkebunan. Untuk konsolidasi diantara masyarakat sipil Belanda di berbagai tempat didirikan perhimpunan Belanda atau De Nederlandse Vereniging (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 28-11-1950).

Di negeri Belanda yang warga pribumi yang belum mendapat status naturalisasi atau orang Indo dibuka kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda (naturalisasi). Warga Depok pertama yang dinaturalisasi di Belanda terdeteksi pada bulan Juni 1950 (lihat Nederlandsche staatscourant, 05-06-1950).

Sementara itu, tidak semua veteran perang kemerdekaan RI (militer dan laskar) melanjutkan karir di militer. Ada sebagian yang kembali ke masyarakat, sedangkan yang lainnya dikaryakan menjadi pegawai perusahaan. Di Depok, dilaporkan sebanyak 50 mantan pejuang (gerilyawan) mendapat izin dari pemilik NV Harapan di Jakarta, perusahaan perkebunan karet Tjinere ditampung untuk bekerja (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-01-1951). Boleh jadi gagasan ini dipicu oleh banyaknya kasus perampokan yang terjadi di tengah masyarakat termasuk di lingkungan perusahaan perkebunan, seperti perampokan yang dilakukan orang tidak dikenal di perusahaan perkebunan karet di Tjitajam (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-10-1950).   

Seputar Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda

Sejatinya, perang (mempertahankan) kemerdekaan di Depok dan sekitarnya telah dimulai pada tanggal 11 Oktober 1945 yang dikenal dengam kerusahan di Depok. Perang kemerdekaan sendiri di seluruh Indonesia ini baru berhenti (berakhir) pada tanggal 3 Agustus 1949 saat mana disepakati antara pemimpin Belanda dan pemimpin Indonesia untuk maju ke meja perundingan di Den Haag yang dikenal sebagai KMB (Konferensi Meja Bundar).

Perang (mempertahankan) kemerdekaan Indonesia secara prinsipal dimulai di Depok dan berakhir di Padang Sidempoean. Permulaan perang bermula ketika pasukan sekutu Inggris memulai tugas membebaskan tawanan Belanda dan melucuti tentara Jepang, pasukan Belanda menyusup di belakangnya. Reaksi bermuculan, pemerintah (Soekarno) kesal, kelompok keamanan rakyat geram dan mengumumkan Proklamasi Perang 13 Oktober 1945 di Batavia. Perang kemerdekaan ini cukup lama (1945-1949). Ketika semua tempat di wilayah Indonesia sudah berhasil diduduki oleh militer Belanda, masih ada satu wilayah yang tersisa dimana perang frontal terjadi antara militer Belanda dengan militer Indonesia. Pusat pertempuran itu berada di Padang Sidempoean. Pertempuran dua belah pihak ini untuk sementara dihentikan sejak tanggal 3 Agustus 1945 karena pengumuman gencatan senjata antara militer Belanda dan militer Indonesia karena proses politik sedang bersiap-siap melakukan perundingan di Den Haag (KMB). Panglima tertinggi di pusat pertempuran terakhir ini di Padang Sidempoean adalah Letkol AE Kawilarang (Gubernur Militer Tapanuli) dan Mayor Ibrahim Adji (Komandan Territorial-VII). Kawilarang dan Ibrahim Adji sebelumnya adalah petinggi militer di Buitenzorg yang juga meliputi wilayah gerilya di Depok yang menjadi komandan dari Kapten Muslihat, Letnan Margonda dan Letnan Tole Iskandar. Kawilarang dan Ibrahim Adji secara sengaja ditugaskan oleh Kolonel Abdul Haris Nasoetion, Komandan Divisi III/Siliwangi. Dua orang ini terbilang kepercayaan Abdul Haris Nasution di Divisi III/ Siliwangi. Sebagaimana kita ketahui nanti ibukota RI di pungungsian telah pindah ke Bukittinggi. Dua jalur utama menuju ibukota RI tersebut adalah melalui (pelabuhan) Padang di selatan dan (pelabuhan) Sibolga di utara. Kota Padang Sidempuan adalah batas terakhir pertempuran saat itu (sebelum gencatan senjata). Jika Padang Sidempuan dapat ditembus militer Belanda maka ada dua tempat yang akan bisa diduduki militer Belanda yakni Bukittinggi dan Kotanopan. Untuk sekadar diketahui: Bukittinggi adalah kota kelahiran M. Hatta (Wakil Presiden) dan Kotanopan adalah kampung kelahiran Abdul Haris Nasution. Kotanopan berada persis di tengah diantara Bukittinggi dan Padang Sidempoen. Untuk sekadar diketahui Padang Sidempuan adalah kampung halaman Amir Sjarifoeddin, mantan Menteri Pertahanan RI yang pertama dan tempat kelahiran Soetan Goenoeng Moelia, mantan Menteri Pendidikan RI yang kedua).

Pemimpin delegasi Indonesia ke KMB adalah M. Hatta dan Penasehat Umum adalah Residen Tapanoeli, Abdul Hakim Harahap. Kedua orang inilah saat itu orang Indonesia yang memiliki kapasitas untuk berunding di Eropa (Belanda). Sementara itu, pada saat itu wilayah Indonesia yang masih independen (merdeka) adalah Bukittinggi sekitar di pedalaman Sumatra Barat dan Padang Sidempuan sekitar di pedalaman Sumatra Utara. Ibukota RI pindah dari Djakarta ke Jogjakarta lalu ke Bukittingi (terjadi kekosongan pemimpin Indonesia setelag Soekarno dan Hatta menyerah dan lalu diasingkan dan terbentuk PDRI), ibukota Residen Tapanuli pindah dari Sibolga ke Tarutung lalu ke Padang Sidempuan. Wilayah antara Bukittinggi dan Padang Sidempuan adalah wilayah iondependen yang tidak pernah tersentuh militer Belanda selama perang kemerdekaan (sisa Republik Indonesia merdeka). Pimpinan delegasi RI ke KMB dan asal mereka klop: M. Hatta dari Bukittinggi dan Abdul Hakim dari Padang Sidempuan. Situasi dan kondisi krusial ini terabaikan (atau sengaja diabaikan) dalam sejarah Indonesia (sangat ironis!)  

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota
Abdul Hakim lahir di Sarolangoen, Djambi tahun 1905 ketika ayahnya ditugaskan dari Padang Sidempoean ke Djambi. Memulai pendidikan di sekolah dasar Belanda (ELS) di Djambi dan diselesaikan di ELS Sibolga melanjutkan MULO ke Padang dan AMS di Wilhelmina school di Batavia, Setelah lulus sekolah tinggi ekonomi di Batavia ditempatkan di Medan sebagai pehawai Bea dan Cukai. Pada tahun 1927 Abdul Hakim menang dalam pemilihan dewan Kota Medan yang dijabatnya hingga tahun 1937 (10 tahun). Pada tahun 1938 pindah tugas ke Batavia lalu menjadi kepala cabang ekonomi di Jawa Barat di Bandung (yang juga diperbantukan untuk Kalimantan Barat). Pada tahun 1940 Abdul Hakim dipromosikan menjadi Kepala Ekonomi wilayah timur Hindia Belanda di Makassar hingga berakhirnya kolonial Belanda. Pemimpin pendudukan militer Jepang tetap mempertahankan posisi itu untuk dijabat Abdul Hakim karena memiliki kemampuan tiga bahasa asing: Belanda, Inggris dan Perancis. Oleh karena ayahnya meninggal di Padang Sidempuan tahun 1943, Abdul Hakim pulang kampung dan tidak kembali ke Makassar. Akan tetapi pemimpin militer Jepang di Tapanuli yang berkedudukan di Tarutung diangkat untuk menjadi Ketua Dewan Tapanuli. Pasca proklamasi kemerdekaan Abdul Hakim diangkat menjadi wakil residen Tapanuli mendampingi Dr. FL. Tobing. Pada masa agresi militer Belanda FL Tobing diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara, lalu Abdul Hakim menjadi Residen Tapanuli dengan wakilnya Binanga Siregar. Pada awal tahun 1949 ibukota Residentie Tapanuli dipindahkan ke Padang Sidempuan dengan komandan militer Mayor Maraden Panggabean. Oleh karena terjadi kekacauan menghadapi pasukan militer Belanda yang memasuki Padang Sidempuan lalu Gubernur Militer Sumatra Utara yang dipimpin Dr. Gindo Siregar dilikuidasi dan mengangkat Gubernur Militer Tapanuli, seorang militer profesional AE Kawilarang dan Ibrahim Adji dari Buitenzorg (anak buah Kolonel Abdul Haris Nasution). Pada saat pertempuran yang sengit terutama di Benteng Huraba (jalan munuju Kotanopan dan Bukittinggi) gencatan senjata terjadi karena proses perundingan KMB di Den Haag. Abdul Hakim yang menjabat Residen Tapanuli ditunjuk menjadi Penasehat Umum delegasi ke KMB yang dipimpin M. Hatta.

Penunjukan Abdul Hakim bukan karena berposisi sebagai Residen Tapanuli tetapi kapabilitasnya sebagai orang Indonesia yang berpengalaman dalam bidang ekonomi pada era pemerintahan Belanda dengan penguasaan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Perancis). Abdul Hakim saat itu adalah orang Indonesia yang memiliki portofolio tinggi. Pada saat kabinet terakhir di Jogjakarta tahun 1950 Abdul Hakim menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri. Pada tahun 1952 Abdul Hakim diangkat sebagai Gubernur Sumatera Utara (yang meliputi Residentie Sumatra Timur, Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh).

Perihal kapabilitas ini pernah mengemuka jelang proklamasi kemerdekaan. Kala itu, hanya ada tiga tokoh utama pemimpin Indonesia sejak era Belanda dan pendudukan Jepang, yakni: Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin. Ketiga orang ini kerap diringkas sebagai tiga founding father RI (minus Sjahrir). Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin sama-sama penentang imperialis Belanda, namun di masa pendudukan Jepang hanya Amir Sjarifoeddin yang menentang kehadiran Jepang (sementara Soekarno dan Hatta bekerjasama). Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Adam Malik dkk hanya bisa menghubungi Soekarno dan Hatta, karena Amir Sjarifoeddin masih disiksa di sel tahanan Jepang di Soerabaja. Peneliti asing saat itu menyebut Amir Sjarifoeddin adalah pemegang portofolio tertinggi pemimpin Indonesia (yang paling kapabel untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia), akan tetapi disayangkan Amir Sjarifoeddin masih di dalam penjara yang dijaga ketat elite militer Jepang. Untuk sekadar diketahui: ketiga tokoh revolusioner ini merupakan ‘anak buah’ sang revolusioner sejati Parada Harahap di era Belanda. Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer di Batavia (pemilik surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean 1919-1923) yang juga kepala pengusaha pribumi (semacam Kadin) di Batavia 1927 memimpin orang Indonesia pertama ke Jepang tahun 1933 (termasuk diantaranya M. Hatta yang baru pulang studi di Belanda untuk menggantikan posisi Soekarno, tokoh muda lainnya yang tengah berada di penjara/diasingkan). Parada Harahap selama di Padang Sidempuan (saat memimpin surat kabar Sinar Merdeka, surat kabar kali pertama menggunakan kata merdeka) belasan kali dimejahijaukan karena delik pers dan beberapa kali dibui di penjara Padang Sidempuan (tempat dimana Adam Malik pada usia 17 tahun pada tahun 1935 ditahan karena kasus politik menentang imperialis Belanda). Pada tahun 1954, Soekarno-Hatta ‘memberikan hadiah’ kepada tokoh revolusioner tua ini untuk memimpin 33 orang ahli ekonomi dan pembangunan Indonesia ke 13 negera di Eropa untuk studi banding dalam bidang ekonomi. Laporan yang ditulis sendiri Parada Harahap dijadikan Soekarno-Hatta sebagai rencana pembangunan ekonomi lima tahun (semacam buku Repelita pertama) yang kemudian dicetak dan disebarluaskan ke publik. Penghargaan para junior (Soekarno dan Hatta) kepada senior (Parada Harahap) tentu saja atas dasar kapabilitas (pernah memiliki dan memimpin langsung tujuh surat kabar berbahasa Melayu dan satu berbahasa Belanda plus menulis sebelas buku diantaranya Perjalanan ke Matahari Terbit yang merupakan kisah perjalanan memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang tahun 1933 dan diterbitkan tahun 1934). Masa kini, ibarat Darmin Nasution memiliki dua anak buah yang cerdas: Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Bambang Brodjosumatri (Kepala Bappenas).

Serah Terima Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda

Tamu yang hadir pada serah terima (27-12-1949)
Serah terima pengakuan kedaulatan terjadi di dua tempat: di Amsterdam dan di Djakarta (lihat Amigoe di Curacao, 27-12-1949). Puncak acara menghadirkan Ratu dari Kerajaan Belanda dan M. Hatta dari Indonesi Dari pemerintah dipimpin Perdana Menteri, dan menteri lainnya. Turut hadir perwakilan dari Suriname dan Antillen Belanda. Ratu akan menyerahkan langsung akta pengakuan kedaulatan yang merupakan hasil rapat umum RTC di Den Haag yang disepakati pada tanggal 2 November 1949. Upacara resmi ini mengakhiri Indonesia dan telah menjadi negara berdaulat dan mandiri dan munculnya hubungan Uni Belanda-Indonesi. Ratu mengambil tempat di meja untuk menandatangani tiga dokumen yang berada diantara M. Hatta di kanan dan Perdana Menteri Drees di kiri. Sebelum menandatangai terlebih dahulu  membaca dokumen ini yang dilakukan oleh Direktur Kabinet. Dokumen itu terdiri empat salinan, dua di antaranya dalam bahasa Belanda dan dua dalam bahasa Indonesia. Dokumen itu juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris satu salinan untuk Belanda dan satu salinan untuk Indonesia. Setelah memperdengarkan lagu Indonesia Raya yang pertama dan kemudian disusul lagu kebangsaan Belanda, Ratu kemudian memberi pidato singkat.

Ratu Juliana pada serah terima (27-12-1949)
Upacara ini merupakan pemisahan bangsa Belanda dan bangsa Indonesia setelah berabad-abad yang dilangsungkan di sebuah gedung di Amsterdam. Gedung yang menjadi Balai Kota dengan konstruksi yang dimulai pada 1648 atas Pemerintah Kota Amsterdam, meski sudah bisa digunakan pertama kali tahun 1655 dan baru pada tahun 1705 benar-benar selesai, seperti yang terlihat sekarang yang dapat dikatakan ‘keajaiban dunia kedelapan’. Gedung ini melayani sebagai Balai Kota sampai tahun 1808. Setelah itu Lodewijk Napoleon menghiasnya untuk kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal dan sejak itu tetap tidak berubah. Gedung yang menjadi tempat upacara ini menyediakan kursi untuk 250 orang yang turut hadir seperti jajaran menteri, anggota senat dan anggota DPR serta korps diplomatik. Upacara dimulai tepat ketika lonceng menara Dampaleis berbunyi sepuluh kali menandakan pukul sepuluh pagi.

Selanjutnya di Djakarta upacara dilakukan di Istana (istana Negara yang sekarang) dari perwakilan Indonesia seperti Sultan Jogja, Sjafroeddin dan Maria Ulfah juga hadir dari kalangan TNI yakni Kolonel TB Simatupang, Kolonel Abdul Haris Nasution dan Commodore Suryadarma.

Selain hadir perwakilan UNCL, tamu asing tiba untuk menghadiri serah terima. Australia telah mengirimkan MacIntyre Critchley dan Filipina, Siam, Pakistan, Inggris, Ethiopia, Mesir, Cina, Burma, Amerika, dan Belgia mengirimkan duta dan India, Afghanistan, Arab Saudi, Portugal dan Burma mengirimkan wakil.

Sebelum upacara yang dimulai pukul 10 pagi di depan istana, kereta dari Buitenzorg membawa penumpang dari Buitenzorg dan Depok ke Batavia. Sedangkan yang dari Batavia dan sekitarnya datang dengan jalan kaki. Stasion oto dan trem dihiasi bendera-bendera merah putih, Demikian juga di beberapa titik lingkungan dan rumah-rumah penduduk.

Bendera merah putih biru merah di istana diturunkan dengan diiringi lagu kebangsaan Belanda dan lalu kemudian diikuti menaikkan bendera merah putih dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia. Sebelum acara bendera ini, terlebih dahulu di aula diadakan serah terima antara Dr. Lovink dan Sultan Djogja dan menandatangani protokol lalu mendengarkan pidato Ratu yang ditransfer via radio. Setelah serah terima perwakilan pemerintah langsung dilanjutkan di tempat lain serah terima militer antara TNI dan militer Belanda di lapangan terbang Kemajoran.

RIS vs (NK)RI, 1949-1950
Dari deskripsi yang disajikan Amigoe di Curacao edisi 27-12-1949 terungkap bahwa penyerahan kedaulatan itu adalah antara Belanda (Ratu) dan Hatta sebagai wakil dari Indonesia (RIS). Sebagaimana diketahui, sebelum Hatta dan Abdul Hakim berangkat ke KMB sisa republik Indonesia hanya tinggal beberapa wilayah yang beribukota di Bukittinggi, yakni Jogjakarta, Tapanoeli, Atjeh dan Lampoeng. Di daerah lainnya sudah berdiri negara bagian (negara boneka Belanda) dan daerah-daerah otonom. Gabungan negara-negara (yang disebut RIS) minus Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta dalam penyerahan kedaulatan di Djakarta. Soekarno dan Hatta dalam hal ini telah meninggalkan Republik Indonesia di Jogjakarta dan lebih memilih RIS.
Lalu di Jogjakarta Republik Indonesia tetap eksis dengan Presiden Assaat, Perdana Menteri Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim. Oleh karenanya saat itu ada dua versi negara: RIS (Djakarta) dan RI (Jogjakarta). Hatta kalah diplomasi di Den Haag dan bersama Soekarno lebih memilih RIS dan meninggalkan RI. Namun, tidak lama (seperti kita lihat nanti). Soekarno menyadari telah terjadi penyimpangan cita-cita lalu meninggalkan RIS dan kembali ke RI. Soekarno membatalkan secara sepihak hasil KMB. Soekarno merasa Indonesia telah ‘dikadali’ oleh Belanda. Satu per satu negara bagian (negara boneka yang kehadiran Belanda sangat kenatl) dibubarkan dan kemudian terbentuk KNRI (harga mati). Soekarno dan Hatta dengan sendirinya telah melakukan koreksi terhadap kesalahan yang telah dibuat.
Dalam upacara serah terima akta pengakuan kedaulatan RI di istana (27 Desember 1949) di istana, Abdul Haris Nasution hadir bersama petinggi militer yang lainnya, yakni: Kolonel TB Simatupang dan Commodore Suryadarma. Seminggu kemudian dilaporkan bahwa pimpinan TNI diputuskan yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Java-bode, 04-01-1950
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1950: ‘Dengan keputusan dari Presiden RIS (Soekarno) tanggal 28 Desember 1949, Mr. Ali Budiardjo ditunjuk Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan RIS, Letnan Jenderal R. Sudirman, Kepala Staf Angkatan Perang RIS, Kolonel TB Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat, Commodore Suryadarma RS, Kepala Staf Angkatan Udara, dan Kolonel R. Subijakto, Kepala Staf Angkatan Laut’.

Pengangkatan Abdul Haris Nasution sebagai KASAD sangat mengkhawatirkan sejumlah pihak. Sebagaimana diketahui, Abdul Haris Nasution berasal dari wilayah Republik Indonesia (Tapanoeli) seperti halnya Wakil KASAB TB Simatupang. Kekhawatiran itu karena diduga kuat Abdul Haris Nasution akan melabrak (membubarkan) negara-negara bagian (federal) di bawah BFO (boneka Belanda). Abdul Haris Nasution sangat teguh dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanpa perlu terpecah-pecah (yang dibelakangnya tetap eksis Belanda meski namanya sudah ada pengakuan kedaulatan).

Abdul Haris Nasution ditanyakan sejumlah wartawan di lapangan terbang Maguwo sebelum beangkat ke Djakarta: ‘Pak Kolonel, apakah Negara Pasundan akan dibubarkan sehubungan dengan kembalinya TNI ke Pasundan?’. Nasution hanya menjawab simpel: ‘Dalam melaksanakan tugasnya, TNI tidak pernah mencampuri urusan dalam politik dan pekerjaan TNI hanya untuk menjamin keamanan, ketentraman dan ketertiban di wilayah-wilayah di bawah kendalinya. TNI ke Pasundan hanya untuk melakukan tugasnya. TNI hanya mengambil alih tugas dari tentara Belanda. Itu saja. Sekarang, TNI menguasai situasi’ (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-01-1950). Pernyataan simpel ini bersayap.  

Kalimat bersayap dari Abdul Haris Nasution ini mudah ditebak. Ketika Abdul Haris Nasution menjabat sebagai Panglima Divisi III/Siliwangi, dikirim ke Tapanoeli Letkol Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adji, orang-orang yang dipercayanya agar Tapanoeli tidak sampai jatuh ke tangan Belanda. Jika jatuh maka Belanda akan mempengaruhi pimpinan lokal di Tapanoeli untuk membentuk negara bagian. Saat pertempuran masih berkecamuk di Padang Sidempoean tiba-tiba dilakukan gencatan senjata (karena proses politik menuju perundingan KMB di Den Haag). Sebelum konferensi KMB muncul maklumat dari Padang Sidempuan, Tapanoeli tetap setia kepada Republik Indonesia. Pimpinan Republik Indonesia di Tapanoeli, Abdul Abbas (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-03-1949). Abdul Abbas (Siregar) adalah anggota PPKI, orang yang diutus mengabarkan bahwa Indonesia telah merdeka (27 Agustus 1945) ke Palembang dan Lampoeng. Foto: Abdul Abbas pidato pada pertemuan dua pihak Republik Indonesia dan BFO di Batavia (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-03-1949).

Seperti diketahui, di negara-negara bagian KNIL masih eksis. Dengan kata lain ada dua jenis tentara: TNI dan KNIL. Akhirnya muncul bentrok antara TNI dan KNIL di Makassar. Antara TNI dan KNIL terus muncul sentimen. Kolonel Simatupang, Kepala Staf APRI dan Mayor Jenderal Scheffelaar (Negara Indonesia Timur) saling mengklaim menuduh pihak lain yang tidak bertanggungjawab. Kemudian dilakukan pertemuan untuk membahasnya. Yang hadir TB Simatupang, Abdul Haris Nasution, Suryadarma, Subijakto dan Ali Budiardjo. Muncul inisiatif untuk melucuti KNIL, sebab selama ada dua ‘species’ tentara akan tetap terjadi kesulitan dimana-mana di Indonesia. Untuk itu diangkat Komandan Teritorial yang baru di Negara Indonesia Timur, seperti mudah diduga akan dikirim Letkol AE Kawilarang (mantan Gubernur Militer Tapanoeli, orang kepercayaan Nasution) dan akan tiba di Makassar tanggal 7 Agustus (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,    07-08-1950).

Dua pucuk pimpinan di tubuh militer (Simatupang dan Nasution) yang sama-sama dari Tapanuli (wilayah Republik Indonesia) semakin gerah dengan dualisme kepemimpinan (RIS berbau Belanda dan RI) dan ulah para KNIL. Pada lain pihakm Soekarno mulai menyadari bahwa RIS bukanlah cita-cita sejati rakyat Indonesia dan justru sumber masalah. Akhirnya Kabinet RIS (hasil KMB) pimpinan M. Hatta lalu dibubarkan pada tanggal 6 September 1950 dan kembali menjadi NKRI (Soekarno dan militer menjadi sepaham) dengan mengangkat Perdana Menteri yang baru Natsir.

Seperti diduga, kembalinya ke NKRI (negara-negara bagian akan dilikuidasi), di berbagai tempat muncul gejolak seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Tugas militer (TNI) makin berat sebab berpotensi munculnya perang saudara. Pertanyaan wartawan yang sebelumnya diajukan kepada Abdul Haris Nasution akan dijawab kembali: ‘TNI tidak pernah mencampuri urusan dalam politik dan pekerjaan TNI hanya untuk menjamin keamanan, ketentraman dan ketertiban di wilayah-wilayah di bawah kendalinya’. Dari sinilah pangkal perkara mengapa NKRI disebut ‘Harga Mati’. Simatupang dan Nasution yang tetap setia NKRI semakin kuat setelah Soekarno dan Hatta yang sempat mengingkarinya dengan memilih RIS daripada RI. M. Hatta dan Abdul Hakim yang sama-sama berangkat ke KMB diduga telah pecah kongsi, karena kenyataanya M. Hatta memilih RIS dan Abdul Hakim Harahap tetap setia RI. Saat M. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS (di Djakarta), Abdul Hakim Harahap adalah Wakil Perdana Menteri RI (di Jogjakarta).

Setelah RIS dibubarkan dan dibentuk (NK)RI, Abdul Hakim Harahap pensiun. Selesai sudah mengantarkan Indonesia ke bentuk (NK)RI. Boleh jadi Abdul Hakim percaya, Soekarno dan Hatta akan tetap setia kepada (NK)RI dan tidak akan mengingkarinya lagi. Itulah Republiken sejati, tidak mencla-mencle. Abdul Hakim Harahap semakin yakin, karena dua adik-adiknya Simatupang dan Nasution tetap pro (NK)RI.

Abdul Haris Nasution, Kawilarang, Ibrahim Adji, Margonda dan Tole Iskandar

Pada perang kemerdekaan Indonesia, ada dua Panglima Besar di Jawa Barat (1945-1949), yakni: Panglima militer (TNI) Kolonel Abdul Haris Nasution dan Panglima Islam (Hisbullah) Ustad Zainul Arifin. Keduanya saling bahu membahu memimpin untuk melancarkan perang gerilya terhadap markas/ganisun dan konvoi militer Belanda, Dua kesatuan Indonesia ini tidak hanya bergerak dan melakukan menuver di seputar Jawa Barat bahkan sampai ke Jawa Tengah.

Dua pimpinan perang melawan militer Belanda ini, ibarat dua pimpinan mahasiswa yang melakukan perlawanan terhadap agresi militer Belanda, yakni: Lafran Pane dan Ida Nasution. Lafran Pane pada bulan Februari 1947 di Jogjakarta mendirikan persatuan mahasiswa yang disebut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi mahasiswa ini berada di luar kampus (ekstrakurikuler). Sementara pada bulan Oktober 1947 Ida Nasution dari Departemen Sastra dan G. Harahap dari Departemen Publisistik Universiteit van Indonesia mendirikan organisasi mahasiswa di dalam kampus (intrakurikuler) yang disebut Persatoean Mahasiswa Universiteit van Indonesia (PMUI) yang mana sebagai ketua Ida Nasution. Universiteit van Indonesia saat itu terdiri beberapa fakultas yang tersebar di Djakarta (kedokteran, sastra, hukum dan sosial kelak menjadi UI), di Buitenzorg (pertanian dan kedokteran hewan kelak menjadi IPB), di Bandoeng (teknik menjadi ITB dan MIPA menjadi UPI), Soerabaja (kedokteran menjadi Unair) dan Makassar (ekonomi menjadi UNHAS). Dua organisasi mahasiswa ini melakukan perlawanan terhadap agresi militer dengan cara mereka sendiri-sendiri. Lafran Pane, Ida Nasution dan G. Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Lafran Pane adalah adik dua sastrawan terkenal Armijn Pane dan Sanusi Pane. Ida Nasution pada bulan Maret 1948 setelah dilakukan pencarian menghilang selamanya (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948). Ida Nasution diduga kuat diculik intel dan dibunuh militer Belanda. Untuk sekadar diketahui: pendiri organisasi mahasiswa pertama adalah Soetan Casajangan di Leiden, Belanda bulan Oktober 1908 yang disebut Indisch Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang kelak (1920) menjadi Perhimpunan Peladjar Indonesia (PPI) yang dipimpin M. Hatta dan pada periode berikutnya dipimpin Parlindoengan Loebis (kelahiran Padang Sidempoean). Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah kelahiran Padang Sidempoean. Sedangkan PMUI adalah cikal bakal Dewan Mahasiswa (Dema). Ketua Dewan Mahasiswa UI 1973 yang melawan agresi ekonomi Jepang yang dikenal Peristiwa Malari adalah Hariman Siregar (kelahiran Padang Sidempuan).
.
Kolonel Abdul Haris Nasution kelahiran Kotanopan, Afdeeling Padang Sidempoean. Ustad Zainul Arifin Pohan, kelahiran Barus, Afdeeling Sibolga. Abdul Haris Nasution dan Zainul Arifin Pohan sama-sama mengikuti pendidikan dasar dan agama di (Pesantren Mustofawiyah) Kotanopan. Ayah Zainul Arifin Pohan berasal dari Barus, ibunya adalah asli Kotanopan. Oleh karenanya dua panglima yang ada di Jawa Barat boleh dikata dua pemuda ‘anak Kotanopan’ (semua pionir organisasi mahasiswa adalah ‘anak Padang Sidempoean’).

Untuk melanjutkan sekolah menengah (atas), Abdul Haris Nasution hijrah ke Bandoeng, sedangkan Zainul Arifin Pohan hijrah ke Djakarta. Di era pendudukan Jepang, Abdul Haris Nasution mengikuti pendidikan militer (PETA) sedangkan Zainul Arifin Pohan awalnya menjadi pegawai pemerintah di Djakarta. Sejak kedatangan pasukan sekutu Inggris yang diikuti pasukan militer Belanda. Abdul Harus Nasution dan Zainul Arifin Pohan lalu sama-sama mengangkat senjata di luar Batavia yang telah diduduki Inggris/Belanda (yang menjadi wilayah perang gerilya Indonesia di Jawa Barat).

Abdul Haris Nasution setelah Indonesia Merdeka 17 Agustud 1945 diangkat menjadi Kepala Staf Komando Pertama di Bandung dengan pangkat Kolonel. Oleh karena semakin intensnya gerakan dan manuver pasukan militer Belanda, Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Komandan Divisi III/Siliwangi. Pada saat ibukota RI terusir dari Djakarta (dipindahkan) ke Jokjakarta tahun 1946 Abdul Haris Nasution dipromosikan menjadi Komandan Divisi I di Poerwakarta untuk lebih menekan pasukan militer Belanda yang berpusat di Batavia.

De nieuwsgier, 29-10-1955: ‘Abdul Haris Nasution lahir tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan (Tapanoeli). Mengikuti pendidikan dasar di HIS di Kotanopan dan sekolah guru (HIK). Pada tahun 1939 menjadi guru di Palembang. Abdul Haris Nasution kemudian hijrah dan mengikuti pendidikan AMS-B (sekolah menengah IPA) dan selanjutnya mengikuti pendidikan militer di KMA (Koninklijk Militaire Academie) di Bandoeng. Pada tahun 1941 menjadi anggota angkatan darat Hindia Belanda (KNIL). Pada era pendudukan Jepang Abdul Haris Nasution menjadi perwira menengah dan pada tahun 1944 diangkat menjadi Komandan Batalion Barisan Pelopor di Bandoeng, Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 menjadi Kepala Staf Komando Pertama di Bandung dengan pangkat Kolonel, lalu menjadi Komandan Divisi III. Pada tahun 1946 ia dipromosikan menjadi Komandan Divisi I di Poerwakarta. Setelah itu menjadi Wakil Kepala di Yogyakarta pada tahun 1948. Pada tahun 1948 menjadi Kepala Staf Umum di Jogjakarta lalu kemudian diangkat dengan pangkat kolonel memimpin tentara di seluruh Jawa pada tahun 1949, Abdul Haris Nasution akhirnya ditunjuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (awal tahun 1950: lihat kembali Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1950).

Abdul Haris Nasution memiliki sejumlah rekan seprofesi di militer Bandoeng yakni TB Simatupang. Ketika Jepang melakukan pendudukan, sejumlah militer diinternir, yakni TB Simatupang, Abdul Haris Nasution, Alexander Kawilarang, Mokoginta, Askari dan Kartakusuma. Setelah diinternir dan dibebaskan Abdul Haris Nasution kemudian diangkat menjadi perwira menengah.

Sementara itu TB Simatupang, setelah diinternir dan dibebaskan  merantau ke Jawa sebagai pedagang dan sambil mengorganisaskikan gerakan bawah tanah dengan rekan-rekannya tersebut. Pada tanggal 5 Oktober. 1945 Simatupang datang berdiskusi dengan semua pemimpin militer lainnya tentang dasar-dasar tentara Indonesia dan Simatupang kemudian bertugas di Markas Besar TNI sebagai Kepala Departemen Organisasi dengan pangkat Mayor. Simatupang kemudian bergabung dengan komite reorganisasi TNI dan Jenderal Soedirman dipromosikan menjadi Komandan Militer dengan Kolonel, langsung melampaui pangkat Letnan Kolonel. Selama pemerintah darurat RI menjadi komandan di Sumatra (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-07-1951). Untuk komandan di Jawa adalah Kolonel Abdul Haris Nasution.

Di Depok setelah pasukan sekutu Inggris detasemen Gurkha membebaskan tawanan (15 Oktober 1945) dan membawanya ke Buitenzorg untuk dipersatukan dengan laki-laki yang telah disandera dan dibawa ke Buitenzorg, situasi dan kondisi Depok dikuasai sepenuhnya oleh nasionalis pemuda.

Sekutu sudah berada di Bandoeng. Kini mereka mulai nekad setelah pejuang terus menembaki mereka. Pasukan sekutu Inggris Memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution. Saat terjadi pengosongan ini, nasionalis di Bandoeng Selatan melakukan pembakaran (Algemeen Handelsblad, 25-03-1946). Ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.

Nieuwe Apeldoornsche courant, 26-03-1946: ‘Politik bumi hangus menyebabkan pembakaran intens di Bandung. Terjadi sebelum meninggalkan kota, mereka memiliki bangunan utama dan juga rumah-rumah pribadi dibakar. Adegan bumi hangus ini menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama, disebabkan oleh serangan udara Jerman di London pada tahun 1940. Senin siang terlihat TRI yang tersisa sebagai dalam kelompok-kelompok, yang mungkin bersembunyi. Pagi-pagi Britsch Indiers, Poenjabs dan Mahratta berhasil menembus di bagian timur dari Bandung Selatan. Mereka bertemu lawan sehingga terjadi pertempuran. Bangunan kota rusak berat dan juga di jalan-jalan ditemukan granat besar yang digunakan tentara republic yang bersumber dari Japanneezen. Dalam penyisiran ini ditemukan mayat dua sersan mayor Jepang. Hal ini jelas bahwa sejumlah Japanneezen berkolaborasi dengan para pasukan republic. Semua itu berawal dari permohonan penundaan operasi pendudukan (yang dilakukan Amir Sjarifoeddin dan Abdul Haris Nasution) ditolak oleh Inggris, sehingga TRI, tentara Republik, tidak mampu untuk menenangkan penduduk’.

Nieuwe courant, 26-06-1946: ‘melaporkan dengan judul Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic di Bandung selatan melancarkan protes. Pengambilalihan resmi komando Inggris oleh pasukan Belanda di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18 tempat. Markas Nederlandsche terletak di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal De Waal. Markas Green Brigade dibawah Kapten Van Gulik konsentrasi di Tjiiandjoer. Brigade-7 Infanteri Britisch Indiers sudah melakukan perjalanan (kembali) ke Batavia. Bandara di Andir telah digantikan oleh sebuah unit dari penerbangan militer Belanda, untuk kepentingan pengamatan udara’.   

Nieuwe courant, 27-03-1946: ‘Koresponden kami di Bandung melaporkan hari Minggu di markas (sebelum politik bumi hangus), Komandan Divisi 3 Kolonel Abdul Haris Nasution menjawab saat dikonfirmasi: ‘Saya telah mencoba untuk mengakhiri semua pertempuran, tapi situasi sangat sulit’. Nasution hari Minggu pagi kembali ke Bandung dari Batavia dimana sebelumnya Nasution telah memberitahukan Sjahrir tentang situasi di Bandung. Dari Batavia, Nasution membawa pesan khusus dari Sjahrir, TRI untuk tidak melawan dan pemerintah Indonesia menugaskan Bandung selatan agar terus melindungi dua ratus ribu orang Indonesia dan Cina. Oleh karena permintaan untuk menunda sepuluh hari pengosongan ditolak Inggris maka terjadi peristiwa lautan api. Dalam situasi kejadian itu terdapat banyak tentara independen, seperti Banteng Hitam dan organisasi lainnya. Di dalam operasi pengosongan ini Jepang mengangkat bendera kuning dan tidak mengganggu jalannya operasi, sebaliknya bahwa tidak ada pasukan Belanda yang ikut berpartisipasi aktif dalam operasi’.

Algemeen Handelsblad, 30-03-1946: ‘Politik bumi hangus di Bandung telah menyebabkan lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga dari Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan’.

Pada waktu yang relatif bersamaan  dengan di Bandoeng militer Belanda coba membebaskan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg. Di Depok terjadi perlawanan oleh pejuang terhadap militer. Lalu kemudian militer Belanda memasuki Depok dan menemukan sepi. Di dapat kabar dua hari sebelumnya TRI ditarik dari Depok Belanda (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-03-1946). Laporan lain menyebutkan Depok telah diduduki (Leeuwarder koerier, 25-03-1946). Sekarang di Depok, dimana sekarang bendera Belanda bertiup lagi (Nieuwe Apeldoornsche courant, 25-03-1946).

Pendudukan Bandoeng dan Depok yang relatif bersamaan mengindikasikan Bandoeng dan Depok terdapat konsentrasi TRI dan kelompok-kelompok perlawanan masyarakat. Di Buitenzorg sendiri sejak menduduki 15 Oktober, situasi dan kondisi lebih terkendali, karena  BKR/TRI telah mengungsi ke luar kota, termasuk ke Depok. Pendudukan Depok pada tanggal 24 Maret 1946 merupakan tindakan Belanda untuk mengamankan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg.

Setelah terjadi perlawanan heroik di Bandoeng dan terjadinya Bandoeng Laoetan Api, Kolonel Abdul Haris Nasution dipromosikan menjadi Komandan Divisi I Poerwakarta. Teman lamanya, AE Kawilarang berada di Buitenzorg.

AE Kawilarang pada bulan Januari 1946 diangkat sebagai Kepala Staf Resimen Infantri Bogor Divisi II dengan pangkat Letnan Kolonel. Tidak lama kemudian Kawilarang dipromosikan menjadi Komandan Resimen Infantri Bogor. Karirnya terus ditingkatkan sebagai Komandan Brigade II/Soeryakancana yang menjadi bagian Divisi III/Siliwangi untuk wilayah Buitenzorh, Tjiandjoer dan Soekaboemi. Brigade ini termasuk elit di Divisi III/Siliwangi di bawah komando Kolonel Andul Haris Nasoetion (kini wilayah ini disebut Korem Soeryakencana).
  
Akhirnya politik yang berkembang  menyebabkan Jawa Barat menjadi wilayah Belanda yang harus dikosongkan. Lalu Abdul Haris Nasution dialihkan dan dipromosikan menjadi Wakil Kepala di Jogjakarta pada tahun 1948. Sesuai dengan eskalasi politik yang makin cepat, perubahan di tubuh militer juga bergeser secara cepat. Pada tahun 1948 Abdul Haris menjadi Kepala Staf Umum di Jogjakarta lalu kemudian diangkat dengan pangkat Kolonel untuk memimpin tentara di seluruh Jawa pada tahun 1949. Brigade di bawah pimpinan Letkol Kawilarang juga turut bergeser ke Jawa Tengah. Konsentrasi militer Indonesia semakin meningkat di Jawa Tengah/Jogjakarta.

Nun di sana di Padang Sidempuan (Tapanoeli) di kampong halaman Abdul Haris Nasution juga terjadi konsentrasi militer yang terus terdesak dari Medan, Sumatera Timur sebagaimana militer di Jawa Barat yang bergeser dan terkonsentrasi di Jawa Tengah. Abdul Haris Nasution tampaknya mulai khawatir keadaan di Jawa Tengah/Jogjakarta dan situasi di Tapanoeli akan munculnya kekacauan. Untuk di Jawa Tengah/Jogjakarta Abdoel Haris Nasution mungkin bisa diatasinya, tetapi di Tapanoeli siapa yang mampu mengatasinya. Pilihan jatuh kepada eks Brigade elit dari Bogor. Kawilarang sohib lama diyakini mampu mengatasi situasi dan kondisi yang semakin kritis di Padang Sidempoean: militer Belanda terus memborbardir kota sementara diantara para pasukan terjadi friksi-friksi antara pasukan yang mengungsi dari Sumatra Timur dengan pasukan yang berada di Tapanoeli. Komando tertinggi di Sumatra berada di bawah kendali TB Simatupang. Inilah saatnya tiga legiun Bandoeng (Simatupang, Nasution dan Kawilarang) berkoordinasi secara intensif.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar