Sabtu, 12 Mei 2018

Sejarah Kota Medan (71): Ida Nasution dan Chairil Anwar, Kritikus Sastrawan Terkenal; Ida Nasution Dibunuh Intel Belanda, 1948

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
 

Banyak sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara (Tapanoeli dan Sumatra Timur) yang berkiprah di ibukota (Batavia/Djakarta), tetapi hanya satu yang menekuni esai, yakni Ida Nasution. Sastrawan-sastrawan yang terkenal adalah Merari Siregar, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Soetan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Dalam daftar ini masih dapat ditambahkan satu lagi: Mochtar Lubis.

Ida Nasution (1947)
Ida Nasution lahir di Sibolga, Chairil Anwar lahir di Medan. Mereka berdua  semakin matang di Batavia. Charil Anwar menjadi sastrawan dan seorang penyair, Ida Nasution menjadi esais dan seorang kritikus. Banyak syair Chairil Anwar yang cenderung bertema cinta yang diantaranya ingin memikat Ida (Nasution), tetapi Ida Nasution terlalu sibuk mengkritisi para sastrawan yang cengeng. Chairil Anwar tertinggal jauh di belakang ketika Ida Nasution terus berjuang merdeka yang setiap saat diincar para intel/polisi yang bermuka centeng.

Ida Nasution hanya satu diantara laki-laki pada zamannya. Ida Nasution masih hidup di tengah para senior. Ida Nasution seorang diri, penulis berbakat, esais cerdas dan kritikus pemberani. Ketika Ida Nasution sudah dikenal sebagai esais dan kritikus sastra, bahkan HB Jassin belum apa-apa.Ida Nasution berkiprah jauh sebelum muncul Ike Soepomo dan NH Dini. Ida Nasution, diantara laki-laki, hubungannya dengan Chairil Anwar pasang surut. Ida Nasution lupa mengurus ‘kecantikan berbahasa’, dan hanya mengedepankan ‘ketajaman berbahasa’. Karena itu, penulis sejarah sastra kurang memperhatikannya (kalau tidak dikatakan sengaja melupakannya). Untuk itu mari kita gali kiprahnya sebelum semuanya lupa

Dalam penulisan sejarah para sastrawan Indonesia, para penulis terbagi ke dalam beberapa golongan. Golongan pertama adalah para sastrawan sendiri dan golongan terakhir adalah penulis independen (berada di luar dunia sastra). Golongan pertama lebih mengacu pada ukuran bahasa itu sendiri (bersifat eksklusif), sedangkan golongan terakhir pada dimensi sosial (bersifat inklusif). Pendekatan sosial membuka koridor pemahaman lebih luas (kontekstual). Golongan terakhir ini cenderung mereka adalah sejarawan (yang seharusnya lebih bersifat netral). Akan tetapi, diantara para sejarawan juga muncul ego dan memiliki sifat preferensi tertentu. Golongan lainnya adalah golongan yang tidak memiliki data otentik dan tidak tahu apa-apa tetapi coba mereka-reka saja alias ‘pembual’.

Ida Nasution, Pribadi Anggun, Otak Cerdas dan Aktivis Mahasiswa Pemberani

Ida Nasoetion lahir  tahun 1922 dan mengikuti pendidikan dasar Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan dengan ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida Nasoetion didaftarkan di Koning Willem III School. Di sekolah elit Belanda ini Ida Nasoetion menempuh pendidikan lima tahun (setingkat SMP dan SMA). Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di KW III School yang mana diantaranya Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa KW III School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di KW III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda.

Rekomendasi ini hanya ditujukan untuk siswa-siswa pribumi (yang bukan berbahasa ibu Bahasa Belanda) dengan tingkat kecerdasan tinggi. Ini tidak hanya lulusan sekolah menengah atas (seperti Koning Willem III School dan Prins Hendrik School) juga mahasiswa yang diterima di sekolah tinggi (seperti Geneeskundige hoogeschool dan Rechthoogeschool). Sejumlah pribumi yang direkomendasikan antara lain Ida Loemongga dan Parlindoengan Lubis. Pada tahun 1922 Ida Loemongga lulus afdeeling-B (IPA) di Prins Hendrik School, lantas diterima ujian masuk di STOVIA. Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas, maka Ida Loemongga termasuk yang direkomendasikan langsung untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda. Ida Loemongga sukses studi di Belanda hingga meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930 di Univesiteit Leiden. Parlindoengan Loebis lulus ujian kandidat bagian I sebagai asisten medis di Geneeskundige hoogeschool. Namun karena dianggap memenuhi syarat, Parlindoengan Loebis direkomendasikan menjalani pendidikan yang lebih tinggi di bidang kedokteran di Negeri Belanda. Parlindoengan Loebis yang pernah menjadi Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) di Belanda (1936-1940) berhasil menjadi dokter. Karena dianggap anti fasis, Parlindoengan Lubis ditangkap polisi Jerman dan dijebloskan ke kamp NAZI.

Ida Nasoetion tidak tertarik kuliah ke negeri Belanda. Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak sekolah menengah lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van Indonesie.  Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di KW III School. Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah.

Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah. Setelah suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus. Pada masa ini Ida Nasoetion banyak berinteraksi dengan sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan angkatan Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua nama-nama yang disebut tersebut berasal dari kampungnya di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor.

Pada tahun 1948, muncul majalah bulanan Oriëntatie yang nomor pertama bulan Agustus (De nieuwsgier, 08-10-1948). Di dalam edisi pertama ini terdapat dua cerita pendek oleh para penulis muda Indonesia dan sebuah deskripsi berjudul Enam Tahun Sastra Indonesia yang ditulis oleh HB Jassin. Dalam deskripsi ini, HB Jassin mengulas tentang perbedaan generasi Poedjangga Baroe (STA , Amir Hamzah dan San oesi Pane) dengan generasi muda. Sebagaimana judul deskripsi HB Jasin, sastra Indonesia masih baru enam tahun yang maksudnya dimulai saat pemerintah militer Jepang mengizinkan bahasa Indonesia (1943-1948). Sastra Indonesia dalam hal ini dibedakan dengan sastra Poedjangga Baroe (1933-1942). Sastra Indonesia ini pada masa ini disebut Angkatan 45. HB Jasin menyebut generasi muda (1943-1948) adalah Chairil Anwar (puisi); Djuhana, Idroes, Balfas dan Usmar Ismail (prosa); dan penulis esai Ida Nasution, HB Jassin, Gadis Rasid dan Noegroho.

Ida Nasution adalah editor majalah mingguan Republik ‘Het Inzicht’. Pada edisi 7 Mei 1947 para editor menutup karena adanya kerjasama baru antara orang Indonesia dan orang Belanda sehubungan dengan  masalah penting mendesak tentang pembangunan dengan pembentukan majalah mingguan ‘Opbouw’ (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-05-1947). Komposisi para editor dalam majalah baru ini akan bersifat campuran orang Indonesia dan orang Belanda. Salah satu editor majalah ‘Opbouw’ adalah Ida Nasution sedangkan yang menjadi Ketua Editor adalah Prof. Dr. Beerling. Hal kerjasama ini juga terjadi dalam banyak bidang, seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Ketika ditanyakan dalam sebuah wawancara. jika Republik tidak memutuskan untuk memperkenalkan Belanda ke sekolah-sekolah, bukankah pengaruh Belanda ditakdirkan untuk menghilang? Sjahrir menjawab bahwa kerjasama masih diperlukan, Indonesia tidak bisa menarik diri ke dalam isolasi yang sempit Kontak budaya dengan seluruh dunia sangat penting untuk pembangunan nasionalnya. Dunia itu terbagi menjadi tiga: Amerika, Rusia, dan Eropa Barat. Sekarang daya tarik budaya Amerika tidak besar bagi kita dan Rusia secara praktis, oleh bahasa dan politik, area tertutup. Oleh karena itu Indonesia tetap bergantung pada Eropa Barat untuk kebutuhan budayanya. Secara alami, Belanda memiliki peluang terbaik dari negara-negara Eropa Barat, baik sebagai pembawa budaya mereka sendiri, dan bertindak sebagai perantara bagi seluruh budaya Barat. Kekhawatiran Belanda tidak beralasan, bukankah sebagian besar penulis terbaik Belanda seperti Multatitli, Couperus, Van Schendel. du Perron, tidak akan lahir tanpa Indonesia. Dalam hal ini Indonesia juga seperti Chairil Anwar mendapat kesempatan. Dalam hubungan ini, majalah Opbouw’ di bidang pembangunan, juga diterbitkan majalah budaya yang diseut Orientatie (Nieuwe courant, 12-10-1948). Di majalah inilah tulisan HB Jassin dimuat yang mengenalkan sastrawan generasi muda dengan nama yang menonjol dalam empat bidang: puisi (Chairil Anwar), prosa (Idroes), esai (Ida Nasution); dan drama (Usmar Ismail). Kehadiran dua majalah ini seiring dengan kehadiran kembali Belanda di Indonesia, sementara di era pendudukan Jepang entah seperti apa.

HB Jassin boleh jadi menyebut 1943 tahun permulaan mengacu pada pendirian (lembaga) Kebudayaan Jepang 1 April 1943 yang mana Bahasa Indonesia diizinkan (menjadi resmi). Ini untuk kali pertama, hilangnya Belanda akhirnya mendorong bahasa Indonesia sepenuhnya keluar dari kepentingan publik. Inilah awal pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia yang paling pesat. Periode inilah yang menandai munculnya begitu banyak penyair dan penulis Indonesia yang lebih muda (tanpa harus sekolah tinggi-tinggi sekolah yang berbahasa Belanda yang mahal dan sulit). Pemuda yang tidak lulus MULO pun dapat melakukannya, seperti Chairil Anwar.

Chairil Anwar tidak ada kaitan dengan Rosihan Anwar yang bersama-sama dengan AB Loebis mendirikan surat kabar Siasat pada tanggal 19 Juli (Nieuwe courant, 01-10-1947). Dalam berbagai literatur masa ini disebut bahwa Chairil Anwar sebelum 1943 sudah berada di Batavia/Djakarta. Artinya, Chairil Anwar sudah berada di Djakarta sejak pendudukan Jepang hingga era perang kemerdekaan. Chairil Anwar sendiri lahir  di Medan 26 Juli 1922. Chairil Anwar memulai pendidikan sekolah dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) lalu dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada tahun 1941 Chairil Anwar dari Medan pindah ke Djakarta. Sementara itu, HB Jassin lahir Di Gorontalo, 31 Juli 1917. Memulai pendidikan di HIS Gorontalo. Pada tahun 1932, HB Jassin melanjutkan studi ke HBS di Medan dan lulus 1938. Pada tahun 1940, HB Jassin baru melamar untuk bekerja di Balai Poestaka (hingga tahun 1947). Pekerjaannya di Balai Poestaka antara lain sebagai editor.

Sastrawan generasi muda ini (Ida Nasution, Charil Anwar dan HB Jassin dan lainnya) kembali berada ditengah orang-orang Belanda (setelah Batavia/Djakarta dikuasai kembali oleh Belanda). Diantara sastrawan generasi muda ini, hanya Ida Nasution yang pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte). Ida Nasution kembali kuliah sejak tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit van Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat). Ida Nasution, tidak hanya seorang mahasiswa, juga semasa SMP dan SMA sudah tertempa dengan pendidikan yang ketat di sekolah elit (KW III School te Batavia). Fondasi pendidikan inilah yang menyebabkan Ida Nasution berbeda dengan rekannya generasi muda. Bandingkan dengan Charil Anwar yang tidak tamat MULO dan HB Jassin HBS di Medan. Dari segi usia Ida Nasution tidak berbeda jauh dengan Chairil Anwar dan HB Jassin.

Sempat muncul polemik apakah sastra berorientasi kembali ke Barat atau bersumber dari Indonesia (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 04-11-1947). Kehadiran orang Belanda ini dapat dimaklumi karena sastra generasi muda telah mengkristal menjadi sastra Indonesia (setelah pemerintah militer Jepang menginzinkan pada tahun 1943). Sebaliknya, pendapat bahwa soal kehilangan karakter (orientasi) itu tidak perlu menjadi masalah besar, sebab sejak dulu pengarang-pengarang Eropa/Belanda seperti Multatuli, Couperus, van Schendel. du Perron tidak akan muncl tanpa (sumber) Indonesia.

Para sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Ida Nasution mendapat predikat sebagai ‘seorang esais dan kritikus muda Indonesia yang paling berbakat’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948
Ida Nasution adalah seorang esais dan kritikus muda Indonesia yang paling berbakat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948). Penilaian terhadap Ida Nasution sebagai ‘seorang esais dan kritikus muda Indonesia yang paling berbakat’ (een der begaafdste jonge Indonesische essayisten en critici). Disebutkan bahwa Ida Nasution ‘lulusan KW III School dan studi sastra di Universiteit van Indonesie’. Disebutkan ‘banyak kritik dan artikel yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda di berbagai majalah (Het Inzicht, Siasat, Sadar, Pembaroean, Opbouw, dan lainnya). Dia juga menerjemahkan sejumlah buku dari Prancis (Malraux). Di antara para pemuda Indonesia, ada beberapa seniornya yang memiliki kecerdasan, kapabilitas, indera kritis, pengetahuan sastra Barat dalam gaya atau ketekunan, tetapi dalam dirinya semua kualitas ini sangat melimpah sehingga dia, dengan sifat-sifat baiknya yang lain bersama-sama, kepribadian yang unik’. Penilaian ini mengindikasikan Ida Nasution berada di atas generasi muda (junior) dan bahkan secara tegas disebutkan Ida Nasution lebih unggul dari para seniornya (seperti STA). Jika sebelumnya HB Jassin mengkategorikan Ida Nasution, seperti halnya dengan dirinya sebagai generasi muda, HB Jassin saat itu soal sastra belum ada apa-apanya. Saat HB Jassin baru melamar di Balai Poestaka tahun 1940, Ida Nasution sudah duduk di bangku kuliah fakultas sastra. HB Jaassin di sekolah menengah adalah jurusan eksak, sedangkan Ida Nasution adalah jurusan sosial budaya.  

Penilaian tersebut saat itu, sejak kedatangan kembali Belanda, perang terus terjadi antara militer Belanda dan TRI/laskar Republik di berbagai tempat. Di dalam situasi perang (kemrdekaan) tersebut, Ida Nasution tetap terus berpikir dan menulis dengan pena yang tajam dalam artikel yang semua terjaga kualitasnya. Singkatnya: bakat dan pendidikan yang unggul menghasilkan karya-karya bermutu tinggi.

Ida Nasution, sambil kuliah, dipromosikan oleh penerbit majalah-majalah opbouw (pembangunan) dan cultuural (kebudayaan) Belanda di Indonesia. Ida Nasoetion direkrut menjadi anggota dewan redaksi Het Inzicht dan Ida Nasoetion juga menjadi anggota staf redaksi majalah Opbouw yang ketuanya seorang guru besar Belanda, Prof. dr. RF Beerling (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia 09-05-1947). Beerling adalah associate professor di Fakultas Ekonomi Universiteit van Indonesia (faculteit der economische). Meski Ida Nasoetion berada di lingkungan akademisi sastra dan pembangunan orang-orang Belanda, tetapi rasa gerahnya terhadap kolonialisme tidak berkurang. Untung para pegiat penerbitan Belanda tetap respek atas karakter independent dari Ida Nasoetion. 

Ida Nasution selain piawai dengan pena yang tajam, juga seorang aktivis. Ini juga yang membedakan Ida Nusution dengan sastrawan  generasi muda. Ketika situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion yang berada di lingkungan otonomi kampus mulai mendirikan organisasi mahasiswa. Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia.

Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.

Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda. Apalagi selama ini, di dalam tulisan-tulisan kerap muncul perkataan ‘merdeka’. Ida Nasution adalah satu dari tiga orang yang kerap disebut tokoh: Chairil Anwar mewakili puisi; Idroes mewakili prosa dan Ida Nasution mewakili esai (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1948).

Upaya Ida Nasution dan G Harahap mempersatukan mahasiswa (di era perang) adalah respon dari upaya mempersatukan mahasiswa yang beragama Islam dalam wadah organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dimototi oleh Lafran Panen di Djogjakarta (ibukota RI). HMI berdiri tanggal 6 Februari 1947, sedangkan PMUI didirikan tanggal 20 November 1947. Ini seakan berulang ketika Sorip Tagor Harahap mendirikan Sumatra Sepakat di Belanda pada tanggal 1 Januari 1917, lalu direspon mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di Batavia dengan mendirikan Sumatranen Bond pada tanggal 9 Desember 1917. Setali tiga uang, ketika perhimpoenan mahasiswa Indonesia di Belanda, Indische Vereeniging didirikan tahun 1908 oleh Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan yang kemudian diubah namanya di era Mohammad Hatta (1922) menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) lalu direspon mahasiswa Indonesia di Batavia dengan mendirikan PPPI (Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia) tahun 1928 (jelang Kongres Pemuda, 1928).
                                                                                                                           
Ida Nasution, seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, seorang mahasiswa Indonesia sejak 23 Maret 1948 menghilang ketika Ida Nasution dan kawan-kawanya ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong. Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Ida Nasution diduga kuat telah diculik dan dibunuh oleh intel/polisi Belanda.

De vrije pers : ochtendbulletin, 03-01-1951: ‘GH von Faber, Direktur Pendidikan Umum...telah menyusun statistik orang-orang muda dan mengelompokkan sastrawan muda Indonesia. Kelompok pertama penyair Chairil Anwar yang terdepan. Dibelakangnya berdiri Asrul Sani, Aoh Kartahadimadja, Mahatmanito, K. Mansur,  Rivai Apin, M. Taslim Ali, Amal Hamzah, Atmadja, J. Muljono, Mohaninjad Akbar Djuhana en Bahnun Rongkuti. Sementara untuk prosa di depan Idrus kemudian disusul Balfas, Achdiat Kartamihardja, Matu Mona dan  Rusmnn Sutiasumarja. Sedangkan kritikus dan esais yang utama adalah  Ida Nasution dan kemudian baru HB Jassin, O. Effendi. Rosihan Anwar, S Sudjatmoko en Laurens Koster Bohang. Untuk pementasan adalah Usmar Ismail, Utuy T. Sontani dan Aboe Hanifah. Secara umum, hingga sejauh ini para sastrawan terbagi ke dalam tiga asal komunitas: 1 Pedjangga Baroe (reborn) warisan era Belanda; 2. Rubrik Gelanggang dari surat kabar Siasat (termasuk Ida Nasution dan Chairil Anwar), dan 3, Lembaga Kebudayaan Indonesia (warisan era Jepang).

Beberapa bulan kemudian terjadi terhadap Masdoelhak Nasution. Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Yogyakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili’.

Mengapa PBB demikian marahnya atas kasus ini? Masdoelhak adalah seorang intelektual paling terkemuka di jajaran inti pemerintahan Republik Indonesia. Masdoelhak adalah akademisi muda bergelar doktor di bidang hukum lulusan Eropa. Masdoelhak juga menjadi adviseur der regering (penasehat pemerintah), penasehat pimpinan republik (Soekarno dan Hatta). Masdoelhak adalah satu-satunya sarjana bergelar doktor di lingkaran satu pemerintahan Republik Indonesia. Inilah alasan mengapa petinggi Belanda (van Moek dan Spoor)  menaruh nama Masdoelhak pada baris pertama dalam list orang yang paling dicari sesegera mungkin (wanted): dead or alive.

De waarheid, 25-02-1949 melaporkan duduk perkara yang mengerikan itu dari ruang pengadilan. Kejadian ini bermula ketika Belanda mulai menyerang Yogya pukul lima pagi, 19 Januari 1948, tentara Belanda bergerak dan intelijen bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan dimana Masdoelhak. Lalu tentara menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Yogya dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas ditempat. Di pengadilan, menurut De waarheid jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’.

Koran ‘De waarheid’ melihat kasus ini selama ini sengaja ditutup-tutupi. Awalnya resolusi Dewan Keamanan hanya menuntut Belanda bahwa semua tahanan politik harus dibebaskan, malahan membunuh dengan cara keji begini. Koran ini memberi judul beritanya sebagai metode teror fasis (Fascistische terreur-methoden). Desas-desus yang sebelumnya diterima Dewan Keamaman PBB yang membuat mereka marah dan meminta dilakukan penyelidikan secara tuntas akhirnya terungkap di pengadilan. Hasilnya penyelidikan yang diungkapkan oleh koran ‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan keji para intelektual, pembunuhan secara pengecut dan penggunaan metode fasis.

Berdasarkan kasus pembunuhan Masdoelhak Nasution ini sangat beralasan menuduh intel/militer Belanda telah membunuh Ida Nasution. Sebab Ida Nasution adalah aktivis mahasiswa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sebagaimana semangat ini sudah muncul dalam tulisan-tulisannya sebelumnya.

Surat kabar Merdeka, pimpinan BM Diah, akhirnya menyimpulkan Ida Nasution dianggap telah meninggal dunia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948). Meski demikian, investigasi surat kabar Merdeka tidak bisa menemukan dan yang melakukan siapa. Tentu saja para jurnalis surat kabar Merdeka, salah satu koran pro-republik memiliki akses ke pihak republik (TNI dan laskar). Ida Nasution dan kawan-kawannya tanggal 23 Maret 1948 ke Tjigombong dan pada hari itu menghilang. Enam bulan bagi surat kabar Merdeka sudah cukup untuk mengasumsikan bahwa Ida Nasution telah meninggal. Jika surat kabar Merdeka memiliki akses ke republik tentu mudah terjawab, oleh karena itu Ida Nasution diduga kuat diculik intel/polisi Belanda.
                                                                                                                           
Untuk sekadar catatan, surat kabar Merdeka sendiri dipimpin oleh BM Diah, seorang yang berasal dari Tapanoeli. Investigasi surat kabar Merdeka sudah barang tentu menjadi sangat serius dan intens, tetapi hasilnya tetap nihil. Kasus Ida Nasution seakan dilihat berbeda dengan kasus Masdoelhak Nasution, kasusnya terungkap setelah ada tekanan dari PBB. Masdoelhak orang muda berinteligensi berskala internasional di lingkungan elit atas pimpinan Indonesia, sementara Ida Nasution hanya tokoh lokal yang menjadi kritikus andal di lingkungan sastrawan muda. Siapa yang mau membantu menekan Belanda untuk menyelidiki kasus kematian Ida Nasution? Inilah masalahnya dan yang menjadi hambatannya mengapa kasus Ida Nasution tidak pernah terungkap. 
                                                                                                                           
Ida Nasution versus Chairil Anwar: Ida Nasution Memicu Chairil Anwar Ikut Berjuang

Antara Ida Nasution dan Chairil Anwar lebih banyak perbedaan daripada persamaan. Ida Nasution dan Chairil Anwar pernah bekerjasama dalam satu hal tetapi dalam banyak hal berjalan sendiri-sendiri. Chairil Anwar hanyalah seorang penyair, sementara Ida Nasution selain esais juga seorang aktivis mahasiswa. Sebagai seorang penyair, Chairil Anwar dalam menulis puisi-puisinya penuh penghayatan (berifat afeksi), sementara Ida Nasution dalam mengkritisi dan menyusun esai (artikel) dilakukan dengan penuh pemikiran (bersifat kognitif).

Ida Nasution tidak hanya mengkritis karya-karya sastrawan muda. Ida Nasution juga kerap mengkritik karya-karya Chairil Anwar. Sedangkan Chairil Anwar tidak pernah mengkritik Ida Nasution. Ini disebabkan karena Ida Nasution adalah kritikus sastra yang esainya dimuat di berbagai media.

Chairil Anwar dalam satu puisinya terdapat nama Ida. Penulis-penulis masa kini, sebutan Ida dalam puisi Chairil Anwar adalah Ida Nasution. Itu ada benarnya. Ida Nasution adalah rekan kerja Chairil Anwar dalam membangun karya sastra Indonesia yang baru. Anehnya lagi, penulis-penulis masa kini, sebutan Ida dalam puisi Chairil Anwar bertajuk ‘Merdeka’ ‘Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida’ diartikan bahwa Chairil Anwar sedang ingin merebut hati Ida Nasution. Itu jelas sangat keliru dan konyol.

Anehnya lagi, tiga baris puisi tersebut ditafsirkan bahwa Chairil Anwar telah jatuh cinta dengan Ida Nasution, namun karena cinta ditolak, lalu ingin bebas (merdeka). Semakin keliru lagi. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Puisi bertajuk Merdeka yang didalamnya terdapat ‘Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida’ ditulis Chairil Anwar setelah beberapa lama sejak Ida Nasution menghilang yang diduga kuat diculik dan dibunuh intel/polisi Belanda pada akhir Maret 1948.

Ida Nasution menjadi tumbal revolusi. Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’. Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?

Dalam penantian, Chairil Anwar yang menganggap Ida Nasution adalah teman seperjuangan di dalam membangun sastra Indonesia yang baru mulai pasrah. Ida Nasution tidak mungkin kembali. Ida Nasution telah mati dibunuh. Perasaan gundah inilah yang dengan cara penghayatan yang mendalam menulis puisi bertajuk Merdeka: ‘Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida’.

Sudah jelas baris-baris puisi ini  Chairin Anwar ingin ‘move on’. Dengan meyakini bahwa Ida Nasution telah mati dibunuh (intel/polisi Beanda), Chairil Anwar ingin bebas dari semua. Tidak ada keragu-raguan lagi, Chairil Anwar ingin bebas merdeka seperti yang telah dilakukan selama ini oleh Ida Nasution. Ida Nasution sebagai rekan kerja dalam membangun sastra Indonesia baru tidak ingin terus terbebani (teringat galau dan sedih) dengan kehilangan Ida Nasution. Karena itu, Chairul Anwar melanjutkan baris berikutnya (Juga dari Ida). Puisi ini seakan proklamasi Chairi Anwar untuk dirinya bahwa dirinya sudah waktunya ikut berjuang (mempertahankan kemerdekaan).      

Sejak terbitnya puisi bertajuk Merdeka tersebut, Chairil Anwar menulis puisi yang bertajuk ‘Karawang-Bekasi’. Dalam puisi heroik ini, Chairil Anwar benar-benar seorang sastrawan bagaikan The Last Mohicans. Puisi-puisi Chairil Anwar sebelumnya banyak bertema cinta dan lingkungan. Setelah kehilangan Ida Nasution (yang diduga kuat diculik dan dibunuh intel/polisi Belanda) muncullah tema-tama perjuangan dalam puisinya. Yang paling kuat adalah bertajuk Karawang-Bekasi. Dalam puisi Karawang-Bekasi ini, Chairil Anwar sudah siap mati (seperti yang dialami oleh srikandi Ida Nasution). Chairil Anwar seakan mengajak semua untuk menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta dan menjaga Bung Sjahrir.

Saat itu pemimpin revolusioner berada di tangan tiga orang: Soekarno (Presiden), Mohammad Hatta (Wakil Presiden) dan Sjahrir (Perdana Menteri). Ketiganya tidak pernah surut untuk berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Sjahrir pernah mengatakan bahwa sastrawan juga telah turut dalam perjuangan bangsa Indonesia, yakni meng-Indonesia-kan Indonesia lewat sastra. Sjahrir dalam kesempatan wawancara tersebut mencontohkan salah satu diantaranya Chaiiril Anwar (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 04-11-1947). Sehubungan dengan kematian Ida Nasution dan panggilan Sjahrir, kini Chairul Anwar telah mengganti pena yang lebih tajam (sebagaimana sudah lebih dahului dilakukan oleh Ida Nasution).  

Itulah karakter Chairil Anwar. Awalnya penuh glamor, cengeng lalu bisa ‘move on’ karena ingin mengikuti langkah rekannya Ida Nasution yang sudah lebih dahulu melakukannya. Chairil Anwar tidak hanya sekadar memproklamasikan ‘move on’ tersebut (puisi ‘Merdeka’), nyata-nyata Chairil Anwar melakukannya dengan puisi tajuk ‘Karawang-Bekasi’.

Chairil Anwar penyair dan penulis Indonesia dilaporkan Niewsgier meninggal pada Kamis sore di CBZ di Batavia (De vrije pers : ochtendbulletin, 30-04-1949). Disebutkan orang Indonesia yang cerdas makin berkurang dalam waktu singkat: Sujitno Mangoenkusumo meninggal 1947, diikuti oleh Ida Nasution pada tahun 1948 dan sekarang Chairil Anwar. Karyanya oleh hampir semua majalah-majalah Indonesia dipublikasikan. Puisi-puisinya akan segera diterbitkan dalam sebuah bundel berjudul 'Deru tjamour debu'.

Chairil Anwar meninggal dunia dalam status duda di Djakarta (28 April 1949), setahun setelah hilangnya nona Ida Nasution di Bogor (23 Maret 1948). Chairil Anwar sempat dirawat di CBZ sebelum meninggal dunia. Chairil Anwar meninggalkan seorang putri, dari hasil pernikahannya dengan Hapsah. Sebagaimana Ida Nasution, surat kabar Merdeka juga memberi ulasan khusus sehubungan dengan meninggalnya Chairil Anwar (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,          03-05-1949). Editor surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra menduga Chairil Anwar adalah seorang republiken (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1949).

Surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra (HNvS) yang terbit di Medan kali pertama tanggal 1 Juli 1948 sudah sejak awal mencari Chairil Anwar untuk diwawancarai. Boleh jadi karena Chairil Anwar di Batavia sejak pendudukan Jepang sudah terkenal dalam urusan puisi dan kebetulan anak Medan. Namun hingga kabar meninggalnya Chairil Anwar tidak pernah berhasil ditemui. Awalnya, wartawan HNvS memulai pencarian dengan melihat profil Chairil Anwar di arsip majalah Criterium  edisi Agustus 1957 (lalu digantikan oleh Orientatie) biografinya hanya tertulis singkat: ‘Chairil Anwar, berusia sekitar 26 tahun, otodidak, tanpa profesi’. Sayangnya, kami belum pernah bertemu [Chairil] Anwar. Dia selalu melarikan diri di kerumunan, sulit ditemukan di Batavia yang besar dan jorok. Terkadang dia berkeliaran sebagai seorang kusir betja, dan biasanya dia sakit di suatu tempat atau di rumah sakit. Dia melakukan apa yang ia lakukan dengan keluyuran yang tidak teratur, terlihat aneh dan gelisah dan mengharapkan munculnya keajaiban, sering membicarakan Slauerhoff. Slauerhoff juga menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di rumah sakit. Suatu kemiripan luar biasa. Dia menerjemahkan Slauerhoff (juga Marsman, juga Rilke) di zaman Jepang, ketika dia mengalami kesulitan, karena peradaban batinnya menolak budaya sepatu bot (laarzencultuur) dari para peniru pruissian dari Tokyo. Pengaruh dalam karyanya oleh tiga penyair yang disebutkan, dia sendiri mempengaruhi sastra Indonesia yang lebih muda (pasca Poedjangga Baroe yang penuh retorika dan manisnya seni kata). Kepahitan dan kerinduan juga mewarnai karya Anwar; tidak ada kepahitan politik tetapi kesedihan atas kegelapan hidup. Dan ini diringankan oleh kerinduan yang selalu melankolis untuk kecantikan abadi dan kemurnian kebahagiaan, yang kadang-kadang dia tiba-tiba (seperti) cangkang yang indah! seperti..di pelabuhan, di pantai, seorang gadis berkemeja putih terperangkap dalam mimpi. Ini mengingatkan, seperti yang banyak disebutkan di dalam Slauerhoff (flagiat?). Kematian Chairil Anwar adalah perubahan besar bagi orang muda Indonesia yang (dapat dikatakan) inovatif. Ini adalah hilangnya pembawa budaya kreatif yang penting (Willem Brandt),

Informasi ini sedikit banyak mengungkap kehidupan dan kegiatan awal Chairil Anwar di era pendudukan Jepang, cara kerja, perilaku dan imajinasi, kehidupan yang sering sakit-sakitan pada hari-hari jelang kematiannya.

Chairil Anwar yang Sebenarnya: Slauerhoff?

Lantas mengapa muncul nama-nama dalam puisi Chairil Anwar, baik yang disebut dalam bait maupun sub judul ditujukan kesiapa. Lalu mengapa Chairil Anwar menyebut nama dan apa hubungan nama (tertentu) dengan diri Chairil Anwar. Nama Ida muncul dalam sajak-sajak Chairil Anwar tahun 1943. Siapa Ida, tidak jelas. Jelas, bukan Ida Nasution. Lalu, mengapa nama Ida muncul lagi pada tahun 1948. Ida yang ini serba kebetulan adalah Ida Nasution, gadis yang telah menghilang sejak Maret 1948. Ida Nasution adalah rekan kerjanya di Siasat.

Chairil Anwar
Chairil Anwar memberikan puisi kepada Dien Tamaela berjudul Cerita Buat Dien Tamaela. Setelah Dien Tamaela meninggal, Chairil Anwar mendedikasikan sebuah puisi kepada Dien Tamaela (Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-05-1949). Puisi tersebut berjudul Cintaku Jauh di Pulau. Dien Tamaela meninggal pada tanggal 8 Agustus 1948 (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 14-08-1948). Foto (Het Parool, 06-05-1949)

Chairil Anwar adalah tokoh penting dalam sastra Indonesia. Karya-karyanya yang berceceran dimana-mana sejak 1943 baru dibukukan setelah kematiannya dengan judul Deroe Tjampoer Deboe. Selain itu, beberapa puisi Chairil Anwar tidak memiliki tanggal (bulan dan tahun). Dalam menafsirkan puisi Chairil Anwar seharusnya memperhatikan kapan puisi dibuat. Hal ini penting untuk sesuai dengan konteks ketika bait per bait puisi Chairil Anwar ditafsirkan (kembali).

Chairil Anwar juga pernah membuat puisi yang ditujukan kepada Sri Arjati berjudul Senja di Pelabuhan Kecil.  Chairil Anwar juga membuat puisi yang diminta Gadis Rasid, judulnya sesuai nama gadis tersebut.

Chairil Anwar juga membuat puisi berjudul Isa yang ditujukan kepada Nasrani sejati (1943). Puisi lainnya Chairil Anwar adalah Tamu Malam Natal. Chairil Anwar sejak lahir adalah Islam dan tetap selamanya menjadi Islam hingga meninggal dunia. Meski demikian, Chairil Anwar juga membuat puisi kepada Nasrani sejati. Siapa Nasrani sejati. Nasrani sejati adalah seorang Nasrani yang tetap Nasrani. Puisi ini tampaknya ditujukan kepada pacarnya yang pernah menjadi istrinya.

Het Parool, 06-05-1949
Het Parool, 06-05-1949: ‘Van een bijzondere medewerker....Ketika dia datang untuk berbicara dengan saya, dan merokok satu demi satu, tiba-tiba dia berkata: ‘Saya orang buangan, orang buangan’. Sulit menemukan dia di Batavia, dia tinggal di tempat lain lagi, biasanya di kampung, tidak ada yang tahu orang biasa Batavia lebih baik dari dia dan tidak ada yang berkeliaran di kota seperti itu. Mereka bertemu dengannya secara tak terduga dalam sebuah betjak, tetapi pengaturannya sulit dilakukan bersamanya. Kemudian dia datang untuk makan untuk berbicara dengan antusias tentang semua jenis rencana, rencana yang dengan cepat terhanyut oleh angin. Ada sesuatu dalam dirinya yang membangkitkan belas kasih, suatu keputusasaan tertentu, ketidakpedulian yang tampaknya berpura-pura. Seringkali seolah-olah dia hidup tanpa kendali diri dan tanpa rem, dan bahwa dia tidak akan menjadi tua bagi banyak teman-temannya... Anwar mengawani seorang gadis Kristen dan dia pernah menanyakan saya sebuah Alkitab. Kemudian sepertinya dia menyesalinya. Ketika dia dirawat di rumah sakit Selasa, teman-temannya mengira dia mengidap malaria. Dua hari kemudian dia meninggal....’.

Apakah Chairil Anwar telah secara diam-diam mengawini seorang gadis Kristen yang taat? Dan, secara diam-diam pula menceraikannya? Pertanyaan-pertanyaan ini boleh jadi ditemukan dalam puisi-puisinya yang lain seperti Doa (Kepada Pemeluk Tegoeh,1943), Kabar dari Laoet (1946) dan Sorga (1947). Chairil Anwar tidak hanya mendedikasikan puisi kepada (seorang gadis) Nasrani sejati, juga kepada dirinya, juga didedikasikan kepada Dien Tamaela, Sri Arjati dan tentu saja kepada Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Chairil Anwar juga mendedikasikan kepada Diponegoro.

Chairil Anwar datang dari keluarga pegawai/pejabat pemerintah. Jika ayahnya adalah bernama Toeloes, itu berarti seorang jaksa di Medan. Pada tahun 1925, Toeloes seorang pegawai di Pelaboehan Roekoe dipromosikan menjadi djaksa di Medan (De Sumatra post, 24-04-1925). Toeloes memulai karir sebagai pegawai tahun 1919 (Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1919). Toeloes pernah bertugas lagi di Laboehan Reoekoe dan kembali lagi ke Medan (De Sumatra post, 07-05-1929). Toeloes kemudian dari Medan dipindahkan ke Tandjong Balai tahun 1934 (De Sumatra post, 17-11-1934). Tidak lama kemudian, Toeloes dipindahkan lagi ke Kabandjahe (De Sumatra post, 08-12-1934). Lalu kemudian Toeloes menjadi pejabat di Pangkalan Brandan. Pada tahun 1937, Toeloes diberikan cuti panjang karena sakit (De Sumatra post, 16-11-1937). Sejak itu nama Toeloes tidak pernah terdeteksi lagi. Pada fase-fase ini diduga Chairil Anwar menyelesaikan pendidikan HIS dan mengikuti sekolah di HBS Medan (lima tahun). Belum sampai pada level tiga (setingkat MULO), Chairil Anwar harus keluar, karena soal pembiayaan, sebab ayahnya, Toeloes sudah sejak November 1937 tidak bekerja lagi.

Chairil Anwar lahir di Medan tahun 1922. Kota Medan adalah kota Melting Pot. Berbagai ras, berbagai etnik dan berbagai agama serta berbagai latar belakang lainnya. Setelah Nienhuys sukses membuka kebun baru di Medan, pada tahun 1875, seorang controleur ditempatkan di Onderafdeeling Medan yang berkedudukan di Medan. Sejak itu, secara perlahan, kota Medan menjadi pusat pemerintahan yang utama. Pada tahun 1879, ibukota Afedeeling Deli dipindahkan dari Laboehan  ke Medan. Pada fase ini kebutuhan kuli sangat tinggi sehingga didatangkan dari Tiongkok (utamanya Swatow), Djawa (utamanya Begelen), Siam dan India (utamanya Bengalen). Kota Medan dengan cepat berubah menjadi kota yang unik dan banyak sisi: para pejabat pemerintah Belanda, para planter berbagai bangsa, para pengeran Melayu, para kuli, dan para perantau (terutama dari Agdeeling Mandailing dan Angkola).

Pada tahun 1915 Province Oostkust Sumatra terdiri dari tiga wilayah dengan pusat di Medan (Deli, Serdang dan Langkat), Pematang Siantar (Simaloengoen dan Karo) dan Tandjong Balai (Asahan, Batoebara dan Laboehan Batoe). Residentie Oost Sumatra dibentuk tahun 1887 dengan ibukota Medan dipindahkan dari Bengkalis). Pejabat pribumi pertama di Medan adalah kakek dari Amir Sjarifoeddin yang dipindahkan sebagai djaksa dari Sipirok ke Medan tahun 1887. Pada tahun 1915 status residentie Oostkust Sumatra ditingkatkan menjadi province. Sejak Medan menjadi ibukota Oostkust Sumatra (dari residentie menjadi province) kebutuhan pegawai/pejabat sangat tinggi. Ini sangat terasa sejak tahun 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust, banyak orang-orang Tapanoeli yang direkrut menjadi pegawai dan para pejabat dipindahkan ke Sumatra’s Oostkust, seperti ayah Mengaradja Soeangkoepon, ayah Amir Sjarifoeddin, ayah Mochtar Lubis dan ayah Abdoel Abbas Siregar. Bahkan lurah pertama Kota Medan tahun 1905 adalah Mohammad Jaqob  asal Mandailing (kemudian dikenal sebagai Sjech Ibrahim). Itu ternyata tidak cukup, karena kebutuhan yang banyak di Oostkust Sumatra, lalu pejabat dari Residentie West Sumatra juga didatangkan ke Oostkust Sumatra, Hal ini juga terkait dengan dilikuidasinya Province Sumatr’s Westkust menjadi hanya setingkat residentie (namanya kemudian disebut Residentie West Sumatra). Pejabat-pejabat dari Residentie West Sumatra yang menyusul pejabat-pejabat Tapanoeli ke Oostkust Sumatra dan Medan antara lain ayah dari Agus Salim dan ayah dari Sjahrir.

Anak-anak Medan (Medaner) cenderung sangat percaya diri ketika merantau ke Djawa terutama ke Batavia. Mereka sudah terbiasa dengan persaingan yang ketat dan keras di Medan. Karena itu anak-anak Medan sangat ambisius dan ingin selalu di depan, tidak terlalu menonjolkan adat lama. Cara berpikir menjadi lebih modern. Amir Sjarifoeddin bahkan tamat ELS langsung melanjutkan sekolah menengah ke Belanda (sesuatu yang tidak pernah terjadi, biasanya studi ke Belanda untuk perguruan tinggi). Anak-anak Medan keakuannya (sikap percata diri) sangat terasa. Itu juga yang terkesan dari Chairil Anwar ketika sudah berada di Batavia. Para senior mereka juga demikian, macam Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe, jurnalis Pertja Timor yang pemberani dan disegani pers Belanda (1902-1908), Soetan Casjangan mendirikan organisasi mahasiswa di Belanda (1908), Parada Harahap yang membongkar kasus Poenale Sanctie (1918) yang kemudian memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang (1933) dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, macan parlemen dari dapil Oostkust Sumatra yang selalu menggebrak di Vorlksraad di Pedjambon (1927-1942) dan lalu kemudian Amir Sjarifooedn dan Sjahrir yang secara terang-terangan menentang (kehadiran) Jepang. Dengan latar itu, anak-anak Medan, boleh jadi Chairil Anwar, kerap menyurakan jargon: Ini Medan, Bung!

Mungkin ada pergeseran karakter anak-anak Medan (yang lahir di rantau) dengan anak-anak Tapanoeli yang lahir di tanah asal kampong halaman. Soetan Casajangan dan Ida Nasution mewakili anak-anak Batak yang lahir di Tapanoeli, masih dekat dengan tradisi: Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907: ‘…mengapa anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi...Anda tahu dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek; Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948, yang menulis tentang profil Ida Nasution. Paragraf pertama: ‘Ida Nasution adalah seorang esais dan kritikus muda Indonesia yang paling berbakat'. Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948, mengakhiri dengan paragraf ‘Haar Bataks erfgoed, de nuchtere intelligentie, wars van alle rhetoriek en bombast, die haar door alle frases deed heen zien, maakte haar tot een door velen gevreesde critica (Warisan Bataknya, intelijen yang tenang, menolak semua retorika dan bombastis, yang melihatnya melalui semua frasa, membuatnya menjadi sangat ditakuti oleh banyak orang).

Parada Harahap memiliki pengalaman yang lengkap. Lahir tahun 1899 dan sekolah di Tapanoeli (Padang Sidempoean), lalu merantau ke Deli (1915) dan menjadi jurnalis di Medan tahun 1918 dan 1919 lalu kemudian mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919-1922). Dengan pengalaman sebagai pemimpin pemuda di Tapanoeli (Sibolga), Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1922. Parada Harahap mulai menemukan sukses di Batavia tahun 1923 dengan mendirikan surat kabar Bintang Hindia, kantor berita Alpena, surat kabar Bintang Timoer dan sejumlah media lainnya dengan percetakan bernama NV Bintang Hindia.

Pada saat pendudukan Jepang, Parada Harahap mendapat tempat yang strategis, sebagaimana Soekarno dan Mohammad Hatta. Kedekatan Parada Harahap dengan Jepang tidak terbantahkan. Parada Harahap membongkar prostitusi Jepang di Medan tahun 1918 (wanita-wanita Jepang dieksploitasi germo Singapoera di Medan). Parada Harahap memimpin tujuh orang Indonesia pertama (revoluisioner) ek Jepang tahun 1933 (termasuk didalamnya Abdullah Lubis pemimpin Pewarta Deli di Medan dan Mohamamd Hatta yang baru pulang studi dari Belanda). Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Parada Harahap adalah orang yang memperkenalkan Soekarno dan Mohammad Hatta kepada Jepang. Pemerintah Jepang menempatkan Soekarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Indonesia, dan Parada Harahap sebagai koordinator media dan propaganda. Ada tiga bidang yang dikoordinasikan oleh Parada Harahap, yakni radio, media cetak dan lembaga kebudayaan. Dibawah koordinasinya menempatkan sejumlah pemuda di radio: Adam Malik (Batoebara), Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (Siregar); di media cetak Asia Raja, selain dirinya juga ditempatkan pemuda seperti BM Diah (marga Pohan) dan Rosihan Anwar. Lalu di lembaga kebudayaan ditempatkan Armijn Pane dan kawan-kawan. Pada tahun 1945 (proklamasi kemerdekaan RI), Adam Malik kembali meneruskan kantor berita Antara, BM Diah mendirikan surat kabar Merdeka. Para jurnalis Merdeka antara lain Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Mochtar Lubis juga masih merangkap di kantor berita Antara. Pada tahun 1947 Rosihan Anwarc mendirikan surat kabar Siasat. Mochtar Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raja tahun 1949. Sakti Alamsjah bersama rekan mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng. Tidak lama setelah terbit surat kabar Siasat, organisasi sastrawan muda digagas oleh Chairil Anwar dan kawan-kawan. Lalu, Rosihan Anwar membuka peluang kepada Chairil Anwar dan Ida Nasution mengasuh rubrik Gelanggang di surat kabar Siasat. Dalam perkembangannya antara Soekarno dan Mochtar Lubis berseteru. Surat kabar Indonesia Raja dibreidel oleh rezim orde lama dan surat kabar Pikiran Rakyat terkooptasi oleh militer. Pada awal orde baru (selepas G30S/PKI) ketika Adam Malik menjadi trio orde baru (Soeharto, Adam dan Hamengkoeboewono), surat kabar Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis terbit kembali dan surat kabar Pikiran Rakya diperbarui yang dipimpin oleh Sakti Alamsjah. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah terlihat bahwa sua surat kabar yakni Indonesia Raja dan Pikiran Rakjat memiliki motto yang sama: Dari Rakjat, Oleh Rakjat, Oentoek Rakjat. Surat kabar Indonesia Raja sudah dibreidel pada era orde baru, tetapi Pikiran Rakyat masih eksis hingga ini hari (dipimpin oleh anak Sskti Alamsjah).

Chairil Anwar pada era pendudukan Jepang sesungguhnya masih belajar (pemula). Chairil Anwar belum mendapat tempat di Lembaga Kebudayaan yang dipimpin oleh Armijn Pane. Sastrawan senior masih memimpin seperti STA, Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Chairil Anwar baru mendapat tempat ketika mendirikan Gelanggang dan dirangkul oleh surat kabar Siasat sejak tahun 1947. Namun tidak lama kemudian, Chairil Anwar meninggal tahun 1949. Tahun 1947 inilah yang diklaim oleh STA sebagai tonggak awal sastrawan muda (yang kini disebut angkatan 45).



Chairil Anwar meninggal tanggal tanggal 28 April 1949 di rumah sakit yang diduga karena penyakit tifus. Teman-teman Chairil Anwar sangat kehilangan. Setahun sebelumnya Ida Nasution menghilang tanggal 24 Maret 1948 dan tidak pernah ditemukan lagi sebagaimana hasil penyelidikan surat kabar Merdeka pimpinan BM Diah. Tentu saja beberapa jurnalis pada masa itu sangat peduli dengan Ida Nasution, selain BM Diah (Pohan) juga ada Mochtar Lubis, Adam Malik (Batoebara) dan juga Sakti Alamsjah (Siregar). Namun itu tidak cukup, Ida Nasution tetap tidak ditemukan jejaknya, Ida Nasution diasumsikan telah meninggal dunia, Ida Nasution diduga kuat telah diculik dan dibunuh oleh intel/polisi Belanda. Satu pertanyaan yang tersisa: Segera setelah kematian Chairil Anwar, mengapa anak-anak Tapanoeli/Medan (kecuali Sjahrir) tidak peduli Chairil Anwar, juga Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tidak pebuli Chairil Anwar? Dan, mengapa sastrawan asal Jawa (Taman Siswa) sangat peduli dengan riwayat Chairil Anwar? [perlu penelitian lebih lanjut].    


Tulisan dan Pementasan Bertajuk ‘Perempuan-Perempuan Chairil’: Salah Kaprah

Puisi-puisi Chairil Anwar di satu sisi adalah buah imajinasi sendiri, tetapi di sisi lain itu (adalah dekat dengan) kenyataan. Esai-esai dalam Ida Nasution mengkritisi sastra Indonesia (generasi muda) adalah buah pemikiran yang didasarkan pada fakta-fakta (empiris) berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan dan telah dibacanya dengan cermat dengan pendekatan metodologis.  Kegiatan aktivis Ida Nasution dalam mempertahankan kemerdekaan adalah hasil pemikiran dengan dilandasi keberanian ketika Belanda ingin merebut kembali kemerdekaan rakyat Indonesia.

Sangat disayangkan puisi-puisi Chairil Anwar, terutama bertajuk Merdeka yang menyebut nama Ida (Nasution) dikaitkan soal romantika cinta (birahi) semata. Itu jelas jauh panggang dari api. Munculnya pentas teater baru-baru ini yang mengangkat nama Chairil Anwar dengan judul lakon Perempuan-Perempuan Chairil haruslah dipandang sebagai buah imajinasi si pengarang yang keliru menafsirkan. Dalam kenyataan itu jelas keliru. Sejauh itu tafsiran/khayalan si pengarang anggaplah itu sebagai cerita saja.

Judul pentas Perempuan Perempuan Chairil terkasan bahwa Chairil Anwar (dalam kehidupannya) telah dibuat sedemikian rupa seakan-akan Chairil Anwar memiliki sejumlah perempuan termasuk Ida Nasution. Judul ini sangat persuasif. Penafsiran puisi bertajuk Merdeka yang begini ini hanya merendahkan Chairil Anwar yang nyata-nyata seorang sastrawan yang andal dan patriotik.

Oleh karena untuk merebut pembaca/penonton, judul itu dikemas sedemikian rupa sehingga memunculkan opini bahwa Chairil Anwar seorang yang perkasa. Padahal faktanya tidak demikian. Lucunya, pemeran Ida di dalam pentas itu dicarikan aktris yang kira-kira ada kemiripan dengan Ida Nasution. Di satu sisi tokoh Ida dengan pemilihan artis oke-oke saja tetapi di sisil lain dialog apa yang dimunculkan adalah salah besar. Alih-alih ingin mengingat Chairil Anwar, justru merendahkan (martabat) Chairil Anwar. Satu hal lagi dalam pementasan tersebut ditafsirkan Ida Nasution dianggap menghilang di Bogor karena diduga dibunuh para laskar (republik). Padahal kenyataannnya, Ida Nasution tidak pernah punya hutang kepada laskar yang memperjuangkan kemerdekaan, sebab Ida Nasution juga termasuk orang yang berada di dalam barisan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Memang tidak ada bukti siapa yang menculik dan membunuhnya, tetapi dugaan terkuat adalah diculik dan dibunuh oleh intel/polisi Belanda. Track record Ida Nasution sebelum menghilang adalah seorang penulis yang didalam tulisannya kerap muncul semangat merdeka dan Ida Nasution adalah aktivis mahasiswa yang mempersatukan mahasiswa untuk bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hilangnya Ida Nasution sudah dikonfirmasi oleh surat kabar Merdeka, surat kabar yang memiliki akses ke kantong-kantong perlawanan (TNI/laskar).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948 menulis bahwa ‘Merdéka’ (baca: Chairil Anwar) sekarang berpikir bahwa dia harus mengasumsikan dengan pasti bahwa Ida Nasution tidak lagi hidup, dia (Ida Nasution) pergi ke Tjigombong beberapa bulan yang lalu dengan kereta api dan sejak itu tidak ada yang terdengar darinya. Itulah faktanya. Pementasan berjudul Perempuan-Perempuan Chairil, seakan-akan Ida Nasution adalah teman cinta (birahi) dari Chairil Anwar. Yang benar adalah Ida Nasution adalah teman seperjuangan Chairil Anwar dalam mempertahankan kemerdekaan.

Chairil Anwar sejatinya membuat puisi didalamnya lebih pada mengedepankan tokoh yang diperlukannya, tokoh yang benar-benar dikenalnya. Sejak hilangnya Ida Nasution (23 Aprl 1948), Chairil Anwar membuat puisi Krawang-Bekasi dengan menampilkan tiga tokoh, Soekarno, Hatta dan Sjahrir, padahal Sjahrir bukan lagi perdana menteri dan sudah digantikan oleh Amir Sjarifoeddin dan kemudian Mohammad Hatta. Tiga tokoh inilah yang diinginkannya dan mungkin dikenalnya secara dekat. Hal ini juga tentang Dien Tamaela, orang yang dikenalnya lalu muncul puisi tentang legenda Maluku. Chairil Anwar setelah mengetahui meninggalnya Dien Tamaela mendedikasikan sebuah puisi buat Dien Tamaela.

Buku Deroe Tjampoer Deboe

Segera setelah meninggalnya Chairil Anwar muncul gagasan dari teman-temannya untuk membukukan puisinya dalam satu buku yang diberi judul nama Deroe Tjampoer Deboe (Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-05-1949). Judul buku tersebut merupakan kristalisasi pejalanan Chairil Anwar sendiri yang menderu di jalanan dengan liar yang membuat dirinya berdebu.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-09-1949: ‘Pameran lukisan. Batavia 10 Sept. (Aneta): Sehubungan dengan perayaan ulang tahun ke-20 Taman Siswa di Batavia, dari Sabtu 10 September sebuah pameran lukisan akan diadakan di sekolah Taman Siswa di Vliegveldlaan Batavia. Sejumlah besar pelukis Indonesia dan Tionghoa yang terkenal dan juga muda dapat dilihat, sementara bagian terpisah dari ruang pameran digunakan untuk mengumpulkan semua karya penyair Indonesia yang meninggal, Chairil Anwar’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-10-1949:‘Pameran lukisan di Medan. Satu hal yang menarik dalam pemeran ini adalah lukisan Affandi yang menampilkan potret sosok Chairil Anwar’. Nama Chairil Anwar ditabalkan sebagai nama jalan di Soerabaja sebagai bagian dari penamaan nama-nama jalan yang baru (De vrije pers: ochtendbulletin, 25-03-1950). Muncul gagasan dari sastrawan muda untuk mengelompokkan diri sebagai Gerakan 45. Asrul Sani bermaksud untuk mengklaim aliran tahun 1945 (kemerdekaan). STA berbeda pendapat dengan Asrul Sani. STA berpendapat bahwa yang disebut aliran1945 dasarnya hanya pada fase akhir-akhir  kehidupan Chairil Anwar (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 13-09-1950). Untuk sekadar catatan: puisi-puisi Charil Anwar dalam buku Deroe Tjampoer Deboe adalah puisi-puisi 1943-1949. Sementara itu, Sjahrir tidak hanya mengakui Chairil Anwar sebagai penyair muda berbakat, juga Sjahrir memajang lukisan potret Chairil Anwar di rumahnya (Het nieuws: algemeen dagblad, 21-10-1950). Boleh jadi Sjharir yang membeli lukisan Chairil Anwar pada pameran lukisan di Medan. Penulis-penulis Belanda kembali menempatkan Chairil Anwar sebagai penyair muda di depan; Idroes untuk prosa dan Ida Nasution untuk esai (De vrije pers : ochtendbulletin, 03-01-1951). Ini sesuai pengelompokkan yang dibuat oleh HB Jassin pada tahun 1947 di Orientatie. Dalam perkembangannya, dibuat patung Chairil Anwar yang ditaruh di taman Sekolah Taman Siswa di Kemajoran (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 23-01-1951). Patung ini dibuat oleh pematung dan pelukis Hendra yang sebelumnya telah membuat patung Jenderal Soedirman di Djogjakarta. De nieuwsgier, 28-04-1952 menulis bahwa Chairil Anwar penggagas perhimpoenan sastrawa muda Gelanggang yang juga menjadi rubrik budaya pada surat kabar baru Siasat (1947). Apakah ini dasar STA mengklaim era sastrawan muda dimulai?

Chairil Anwar menjadi seorang perintis untuk golongannya yang lebih muda. Chairil Anwar berkembang di era pendudukan Jepang. Kepahitan, kesedihan, liar dan boleh jadi di persimpangan jalan. Meski demikian, Chairil Anwar yang tergesa-gesa dan gelisah telah menghasilkan puisi-puisi yang justru telah menjadi tonggak puisi modern, puisi yang ditransformasikan dari Barat dengan roh di Timur. Chairil Anwar tidak hanya belajar dari Slauerhoff, juga mempersonifikasikan dirinya sebagai Slauerhoff. De vrije pers : ochtendbulletin, 09-12-1950 mencatat Chairil Anwar seorang  bohemian, seorang anti sosial, soliter, berkeliaran dan hampir sendirian. Mereka (kawan-kawannya) tidak mengerti dia dan dia (Chairil Anwar) tidak bisa memahami orang lain. Itulah Chairil Anwar.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

1 komentar: