*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Banyak sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara (Tapanoeli dan Sumatra Timur) yang berkiprah di ibukota (Batavia/Djakarta), tetapi hanya satu yang menekuni esai, yakni Ida Nasution. Sastrawan-sastrawan yang terkenal adalah Merari Siregar, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Soetan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Dalam daftar ini masih dapat ditambahkan satu lagi: Mochtar Lubis.
Banyak sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara (Tapanoeli dan Sumatra Timur) yang berkiprah di ibukota (Batavia/Djakarta), tetapi hanya satu yang menekuni esai, yakni Ida Nasution. Sastrawan-sastrawan yang terkenal adalah Merari Siregar, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Soetan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Dalam daftar ini masih dapat ditambahkan satu lagi: Mochtar Lubis.
Ida Nasution (1947) |
Ida Nasution hanya
satu diantara laki-laki pada zamannya. Ida Nasution masih hidup di tengah para
senior. Ida Nasution seorang diri, penulis berbakat, esais cerdas dan kritikus
pemberani. Ketika Ida Nasution sudah dikenal sebagai esais dan kritikus sastra,
bahkan HB Jassin belum apa-apa.Ida Nasution berkiprah jauh sebelum muncul Ike
Soepomo dan NH Dini. Ida Nasution, diantara laki-laki, hubungannya dengan
Chairil Anwar pasang surut. Ida Nasution lupa mengurus ‘kecantikan berbahasa’,
dan hanya mengedepankan ‘ketajaman berbahasa’. Karena itu, penulis sejarah
sastra kurang memperhatikannya (kalau tidak dikatakan sengaja melupakannya).
Untuk itu mari kita gali kiprahnya sebelum semuanya lupa
Dalam penulisan sejarah para sastrawan Indonesia, para penulis terbagi ke
dalam beberapa golongan. Golongan pertama adalah para sastrawan sendiri dan
golongan terakhir adalah penulis independen (berada di luar dunia sastra).
Golongan pertama lebih mengacu pada ukuran bahasa itu sendiri (bersifat eksklusif),
sedangkan golongan terakhir pada dimensi sosial (bersifat inklusif). Pendekatan
sosial membuka koridor pemahaman lebih luas (kontekstual). Golongan terakhir
ini cenderung mereka adalah sejarawan (yang seharusnya lebih bersifat netral).
Akan tetapi, diantara para sejarawan juga muncul ego dan memiliki sifat preferensi
tertentu. Golongan lainnya adalah golongan yang tidak memiliki data otentik dan tidak
tahu apa-apa tetapi coba mereka-reka saja alias ‘pembual’.
Ida Nasution, Pribadi Anggun, Otak Cerdas dan Aktivis Mahasiswa Pemberani
Ida Nasoetion lahir tahun 1922 dan mengikuti pendidikan dasar
Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan dengan
ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida Nasoetion
didaftarkan di Koning Willem III School. Di sekolah elit Belanda ini Ida
Nasoetion menempuh pendidikan lima tahun (setingkat SMP dan SMA). Bataviaasch nieuwsblad,
05-06-1935 melaporkan ujian transisi di KW III School yang mana diantaranya
Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch
nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa KW III School yang naik ke
kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun
1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di KW III School dan direkomendasikan
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda.
Rekomendasi ini hanya ditujukan untuk siswa-siswa pribumi (yang bukan
berbahasa ibu Bahasa Belanda) dengan tingkat kecerdasan tinggi. Ini tidak hanya
lulusan sekolah menengah atas (seperti Koning Willem III School dan Prins
Hendrik School) juga mahasiswa yang diterima di sekolah tinggi (seperti Geneeskundige
hoogeschool dan Rechthoogeschool). Sejumlah pribumi yang direkomendasikan antara
lain Ida Loemongga dan Parlindoengan Lubis. Pada tahun 1922 Ida Loemongga lulus
afdeeling-B (IPA) di Prins Hendrik School, lantas diterima ujian masuk di STOVIA.
Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas, maka Ida Loemongga termasuk yang
direkomendasikan langsung untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda. Ida
Loemongga sukses studi di Belanda hingga meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930
di Univesiteit Leiden. Parlindoengan Loebis lulus ujian kandidat bagian I
sebagai asisten medis di Geneeskundige hoogeschool. Namun karena dianggap
memenuhi syarat, Parlindoengan Loebis direkomendasikan menjalani pendidikan
yang lebih tinggi di bidang kedokteran di Negeri Belanda. Parlindoengan Loebis
yang pernah menjadi Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) di Belanda (1936-1940)
berhasil menjadi dokter. Karena dianggap anti fasis, Parlindoengan Lubis
ditangkap polisi Jerman dan dijebloskan ke kamp NAZI.
Ida Nasoetion tidak tertarik
kuliah ke negeri Belanda. Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak sekolah menengah
lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty)
Universiteit van Indonesie. Fakultas
Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas
Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan
memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk
mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (awal
pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu
Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena bakatnya di
bidang sastra sejak masuk di KW III School.
Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian
preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion yang
baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah.
Pada akhir
Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan
Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di
Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi
berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal
perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang
dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di
Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah
pemerintahan Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion
berhenti pula kuliah. Setelah suasana menjadi tenang, pemerintahan militer
Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29
April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun
karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke
Negeri Belanda, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula
jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang
beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri
dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus. Pada masa ini Ida Nasoetion
banyak berinteraksi dengan sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama
majalah menggantikan Balai Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan
Armijn Pane. Sedangkan angkatan Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan
Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua nama-nama yang disebut
tersebut berasal dari kampungnya di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie
Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor.
Pada tahun 1948, muncul majalah bulanan Oriëntatie yang nomor pertama
bulan Agustus (De nieuwsgier, 08-10-1948). Di dalam edisi pertama ini terdapat
dua cerita pendek oleh para penulis muda Indonesia dan sebuah deskripsi
berjudul Enam Tahun Sastra Indonesia yang ditulis oleh HB Jassin. Dalam
deskripsi ini, HB Jassin mengulas tentang perbedaan generasi Poedjangga Baroe
(STA , Amir Hamzah dan San oesi Pane) dengan generasi muda. Sebagaimana judul
deskripsi HB Jasin, sastra Indonesia masih baru enam tahun yang maksudnya
dimulai saat pemerintah militer Jepang mengizinkan bahasa Indonesia
(1943-1948). Sastra Indonesia dalam hal ini dibedakan dengan sastra Poedjangga
Baroe (1933-1942). Sastra Indonesia ini pada masa ini disebut Angkatan 45. HB
Jasin menyebut generasi muda (1943-1948) adalah Chairil Anwar (puisi); Djuhana,
Idroes, Balfas dan Usmar Ismail (prosa); dan penulis esai Ida Nasution, HB
Jassin, Gadis Rasid dan Noegroho.
Ida Nasution adalah editor majalah mingguan Republik ‘Het Inzicht’. Pada
edisi 7 Mei 1947 para editor menutup karena adanya kerjasama baru antara orang
Indonesia dan orang Belanda sehubungan dengan
masalah penting mendesak tentang pembangunan dengan pembentukan majalah
mingguan ‘Opbouw’ (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 09-05-1947). Komposisi para editor dalam majalah baru ini akan
bersifat campuran orang Indonesia dan orang Belanda. Salah satu editor majalah
‘Opbouw’ adalah Ida Nasution sedangkan yang menjadi Ketua Editor adalah Prof.
Dr. Beerling. Hal kerjasama ini juga terjadi dalam banyak bidang, seperti
pendidikan, kesehatan dan lainnya. Ketika ditanyakan dalam sebuah wawancara. jika
Republik tidak memutuskan untuk memperkenalkan Belanda ke sekolah-sekolah,
bukankah pengaruh Belanda ditakdirkan untuk menghilang? Sjahrir menjawab bahwa
kerjasama masih diperlukan, Indonesia tidak bisa menarik diri ke dalam isolasi
yang sempit Kontak budaya dengan seluruh dunia sangat penting untuk pembangunan
nasionalnya. Dunia itu terbagi menjadi tiga: Amerika, Rusia, dan Eropa Barat.
Sekarang daya tarik budaya Amerika tidak besar bagi kita dan Rusia secara
praktis, oleh bahasa dan politik, area tertutup. Oleh karena itu Indonesia
tetap bergantung pada Eropa Barat untuk kebutuhan budayanya. Secara alami,
Belanda memiliki peluang terbaik dari negara-negara Eropa Barat, baik sebagai
pembawa budaya mereka sendiri, dan bertindak sebagai perantara bagi seluruh
budaya Barat. Kekhawatiran Belanda tidak beralasan, bukankah sebagian besar
penulis terbaik Belanda seperti Multatitli, Couperus, Van Schendel. du Perron,
tidak akan lahir tanpa Indonesia. Dalam hal ini Indonesia juga seperti Chairil
Anwar mendapat kesempatan. Dalam hubungan ini, majalah Opbouw’ di bidang
pembangunan, juga diterbitkan majalah budaya yang diseut Orientatie (Nieuwe
courant, 12-10-1948). Di majalah inilah tulisan HB Jassin dimuat yang
mengenalkan sastrawan generasi muda dengan nama yang menonjol dalam empat bidang:
puisi (Chairil Anwar), prosa (Idroes), esai (Ida Nasution); dan drama (Usmar
Ismail). Kehadiran dua majalah ini seiring dengan kehadiran kembali Belanda di
Indonesia, sementara di era pendudukan Jepang entah seperti apa.
Chairil Anwar tidak ada kaitan dengan Rosihan Anwar yang bersama-sama
dengan AB Loebis mendirikan surat kabar Siasat pada tanggal 19 Juli (Nieuwe
courant, 01-10-1947). Dalam berbagai literatur masa ini disebut bahwa Chairil
Anwar sebelum 1943 sudah berada di Batavia/Djakarta. Artinya, Chairil Anwar
sudah berada di Djakarta sejak pendudukan Jepang hingga era perang kemerdekaan.
Chairil Anwar sendiri lahir di Medan 26
Juli 1922. Chairil Anwar memulai pendidikan sekolah dasar di HIS
(Hollandsch-Inlandsche School) lalu dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs). Pada tahun 1941 Chairil Anwar dari Medan pindah ke Djakarta.
Sementara itu, HB Jassin lahir Di Gorontalo, 31 Juli 1917. Memulai pendidikan
di HIS Gorontalo. Pada tahun 1932, HB Jassin melanjutkan studi ke HBS di Medan
dan lulus 1938. Pada tahun 1940, HB Jassin baru melamar untuk bekerja di Balai
Poestaka (hingga tahun 1947). Pekerjaannya di Balai Poestaka antara lain
sebagai editor.
Sastrawan generasi muda ini
(Ida Nasution, Charil Anwar dan HB Jassin dan lainnya) kembali berada ditengah
orang-orang Belanda (setelah Batavia/Djakarta dikuasai kembali oleh Belanda).
Diantara sastrawan generasi muda ini, hanya Ida Nasution yang pendidikannya ke
tingkat perguruan tinggi (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte). Ida Nasution
kembali kuliah sejak tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit van Indonesie
dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat). Ida
Nasution, tidak hanya seorang mahasiswa, juga semasa SMP dan SMA sudah tertempa
dengan pendidikan yang ketat di sekolah elit (KW III School te Batavia).
Fondasi pendidikan inilah yang menyebabkan Ida Nasution berbeda dengan rekannya
generasi muda. Bandingkan dengan Charil Anwar yang tidak tamat MULO dan HB
Jassin HBS di Medan. Dari segi usia Ida Nasution tidak berbeda jauh dengan
Chairil Anwar dan HB Jassin.
Sempat muncul polemik apakah sastra berorientasi kembali ke Barat atau
bersumber dari Indonesia (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 04-11-1947).
Kehadiran orang Belanda ini dapat dimaklumi karena sastra generasi muda telah
mengkristal menjadi sastra Indonesia (setelah pemerintah militer Jepang
menginzinkan pada tahun 1943). Sebaliknya, pendapat bahwa soal kehilangan
karakter (orientasi) itu tidak perlu menjadi masalah besar, sebab sejak dulu
pengarang-pengarang Eropa/Belanda seperti Multatuli, Couperus, van Schendel.
du Perron tidak akan muncl tanpa (sumber) Indonesia.
Para sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari
angkatan Poejangga Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan
gaya retorika keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di
awal era revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Ida
Nasution mendapat predikat sebagai ‘seorang esais dan kritikus muda Indonesia
yang paling berbakat’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948 |
Ida Nasution adalah seorang esais
dan kritikus muda Indonesia yang paling berbakat (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948).
Penilaian terhadap Ida Nasution sebagai ‘seorang esais dan kritikus muda Indonesia
yang paling berbakat’ (een der begaafdste jonge Indonesische essayisten en
critici). Disebutkan bahwa Ida Nasution ‘lulusan KW III School dan studi sastra
di Universiteit van Indonesie’. Disebutkan ‘banyak kritik dan artikel yang
ditulisnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda di berbagai majalah (Het
Inzicht, Siasat, Sadar, Pembaroean, Opbouw, dan lainnya). Dia juga
menerjemahkan sejumlah buku dari Prancis (Malraux). Di antara para pemuda
Indonesia, ada beberapa seniornya yang memiliki kecerdasan, kapabilitas, indera
kritis, pengetahuan sastra Barat dalam gaya atau ketekunan, tetapi dalam
dirinya semua kualitas ini sangat melimpah sehingga dia, dengan sifat-sifat
baiknya yang lain bersama-sama, kepribadian yang unik’. Penilaian ini
mengindikasikan Ida Nasution berada di atas generasi muda (junior) dan bahkan secara
tegas disebutkan Ida Nasution lebih unggul dari para seniornya (seperti STA). Jika sebelumnya HB Jassin mengkategorikan Ida Nasution, seperti halnya
dengan dirinya sebagai generasi muda, HB Jassin saat itu soal sastra belum ada
apa-apanya. Saat HB Jassin baru melamar di Balai Poestaka tahun 1940, Ida
Nasution sudah duduk di bangku kuliah fakultas sastra. HB Jaassin di sekolah
menengah adalah jurusan eksak, sedangkan Ida Nasution adalah jurusan sosial
budaya.
Ida Nasution, sambil kuliah, dipromosikan oleh penerbit majalah-majalah
opbouw (pembangunan) dan cultuural (kebudayaan) Belanda di Indonesia. Ida
Nasoetion direkrut menjadi anggota dewan redaksi Het Inzicht dan Ida Nasoetion
juga menjadi anggota staf redaksi majalah Opbouw yang ketuanya seorang guru
besar Belanda, Prof. dr. RF Beerling (lihat Het dagblad : uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia 09-05-1947). Beerling adalah associate
professor di Fakultas Ekonomi Universiteit van Indonesia (faculteit der
economische). Meski Ida Nasoetion berada di lingkungan akademisi sastra dan
pembangunan orang-orang Belanda, tetapi rasa gerahnya terhadap kolonialisme
tidak berkurang. Untung para pegiat penerbitan Belanda tetap respek atas
karakter independent dari Ida Nasoetion.
Ida Nasution selain piawai
dengan pena yang tajam, juga seorang aktivis. Ini juga yang membedakan Ida
Nusution dengan sastrawan generasi muda.
Ketika situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte,
Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion yang berada di
lingkungan otonomi kampus mulai mendirikan organisasi mahasiswa. Ida Nasoetion
bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik menggagas dan mendirikan
perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan
organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang
disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa
ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum
ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya
memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan
mahasiswa Indonesia.
Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia
terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang
semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen
dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran
(faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten
der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw
wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der
rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra
dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah
Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik
(faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada
dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor
lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di
Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan.
Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada
di fakultas dan institut tersebut di bawah naungan Universiteit Indonesie
sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya
merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi
sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.
Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan mahasiswa ini tercium juga
oleh intelijen Belanda. Apalagi selama ini, di dalam tulisan-tulisan kerap
muncul perkataan ‘merdeka’. Ida Nasution adalah satu dari tiga orang yang kerap
disebut tokoh: Chairil Anwar mewakili puisi; Idroes mewakili prosa dan Ida
Nasution mewakili esai (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
02-12-1948).
Upaya Ida Nasution dan G
Harahap mempersatukan mahasiswa (di era perang) adalah respon dari upaya
mempersatukan mahasiswa yang beragama Islam dalam wadah organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang dimototi oleh Lafran Panen di Djogjakarta (ibukota
RI). HMI berdiri tanggal 6 Februari 1947, sedangkan PMUI didirikan tanggal 20
November 1947. Ini seakan berulang ketika Sorip Tagor Harahap mendirikan
Sumatra Sepakat di Belanda pada tanggal 1 Januari 1917, lalu direspon
mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di Batavia dengan mendirikan Sumatranen Bond
pada tanggal 9 Desember 1917. Setali tiga uang, ketika perhimpoenan mahasiswa
Indonesia di Belanda, Indische Vereeniging didirikan tahun 1908 oleh Radjieoen
Harahap gelar Soetan Casajangan yang kemudian diubah namanya di era Mohammad
Hatta (1922) menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) lalu direspon mahasiswa
Indonesia di Batavia dengan mendirikan PPPI (Persatoean Peladjar-Peladjar
Indonesia) tahun 1928 (jelang Kongres Pemuda, 1928).
Ida Nasution, seorang esais Indonesia berumur 26
tahun, seorang mahasiswa Indonesia sejak 23 Maret 1948 menghilang ketika Ida
Nasution dan kawan-kawanya ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di
danau Tjigombong. Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama,
tetapi hilang entah dimana. Ida Nasution diduga kuat telah diculik dan dibunuh
oleh intel/polisi Belanda.
De vrije pers : ochtendbulletin, 03-01-1951: ‘GH von Faber, Direktur
Pendidikan Umum...telah menyusun statistik orang-orang muda dan mengelompokkan
sastrawan muda Indonesia. Kelompok pertama penyair Chairil Anwar yang terdepan.
Dibelakangnya berdiri Asrul Sani, Aoh Kartahadimadja, Mahatmanito, K. Mansur, Rivai Apin, M. Taslim Ali, Amal Hamzah, Atmadja,
J. Muljono, Mohaninjad Akbar Djuhana en Bahnun Rongkuti. Sementara untuk prosa
di depan Idrus kemudian disusul Balfas, Achdiat Kartamihardja, Matu Mona dan Rusmnn Sutiasumarja. Sedangkan kritikus dan
esais yang utama adalah Ida Nasution dan
kemudian baru HB Jassin, O. Effendi. Rosihan Anwar, S Sudjatmoko en Laurens
Koster Bohang. Untuk pementasan adalah Usmar Ismail, Utuy T. Sontani dan Aboe
Hanifah. Secara umum, hingga sejauh ini para sastrawan terbagi ke dalam tiga
asal komunitas: 1 Pedjangga Baroe (reborn) warisan era Belanda; 2. Rubrik
Gelanggang dari surat kabar Siasat (termasuk Ida Nasution dan Chairil Anwar),
dan 3, Lembaga Kebudayaan Indonesia (warisan era Jepang).
Beberapa bulan kemudian terjadi terhadap Masdoelhak
Nasution. Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa
yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan
penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Yogyakarta 21
Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar
dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier :
onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel,
01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala kantor Republik
Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual
terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah
dibunuh hingga tewas tanpa diadili’.
Mengapa PBB demikian marahnya atas kasus ini? Masdoelhak adalah seorang
intelektual paling terkemuka di jajaran inti pemerintahan Republik Indonesia.
Masdoelhak adalah akademisi muda bergelar doktor di bidang hukum lulusan Eropa.
Masdoelhak juga menjadi adviseur der regering (penasehat pemerintah), penasehat
pimpinan republik (Soekarno dan Hatta). Masdoelhak adalah satu-satunya sarjana
bergelar doktor di lingkaran satu pemerintahan Republik Indonesia. Inilah alasan
mengapa petinggi Belanda (van Moek dan Spoor)
menaruh nama Masdoelhak pada baris pertama dalam list orang yang paling
dicari sesegera mungkin (wanted): dead or alive.
De waarheid, 25-02-1949 melaporkan duduk perkara
yang mengerikan itu dari ruang pengadilan. Kejadian ini bermula ketika Belanda
mulai menyerang Yogya pukul lima pagi, 19 Januari 1948, tentara Belanda
bergerak dan intelijen bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan dimana
Masdoelhak. Lalu tentara menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan
membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan
penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa
berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu,
beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam
orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas
ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka
sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan
ke Yogya dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu
ditembak dan tewas ditempat. Di pengadilan, menurut De waarheid jaksa penuntut
umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’.
Koran ‘De waarheid’ melihat kasus ini selama ini sengaja ditutup-tutupi.
Awalnya resolusi Dewan Keamanan hanya menuntut Belanda bahwa semua tahanan
politik harus dibebaskan, malahan membunuh dengan cara keji begini. Koran ini
memberi judul beritanya sebagai metode teror fasis (Fascistische
terreur-methoden). Desas-desus yang sebelumnya diterima Dewan Keamaman PBB yang
membuat mereka marah dan meminta dilakukan penyelidikan secara tuntas akhirnya
terungkap di pengadilan. Hasilnya penyelidikan yang diungkapkan oleh koran
‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan keji para intelektual, pembunuhan secara
pengecut dan penggunaan metode fasis.
Berdasarkan kasus pembunuhan Masdoelhak Nasution ini
sangat beralasan menuduh intel/militer Belanda telah membunuh Ida Nasution.
Sebab Ida Nasution adalah aktivis mahasiswa dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan sebagaimana semangat ini sudah muncul dalam tulisan-tulisannya
sebelumnya.
Surat kabar Merdeka, pimpinan BM Diah, akhirnya menyimpulkan Ida Nasution
dianggap telah meninggal dunia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948). Meski
demikian, investigasi surat kabar Merdeka tidak bisa menemukan dan yang
melakukan siapa. Tentu saja para jurnalis surat kabar Merdeka, salah satu koran
pro-republik memiliki akses ke pihak republik (TNI dan laskar). Ida Nasution
dan kawan-kawannya tanggal 23 Maret 1948 ke Tjigombong dan pada hari itu
menghilang. Enam bulan bagi surat kabar Merdeka sudah cukup untuk mengasumsikan
bahwa Ida Nasution telah meninggal. Jika surat kabar Merdeka memiliki akses ke
republik tentu mudah terjawab, oleh karena itu Ida Nasution diduga kuat diculik
intel/polisi Belanda.
Untuk sekadar catatan, surat kabar Merdeka sendiri
dipimpin oleh BM Diah, seorang yang berasal dari Tapanoeli. Investigasi surat
kabar Merdeka sudah barang tentu menjadi sangat serius dan intens, tetapi
hasilnya tetap nihil. Kasus Ida Nasution seakan dilihat berbeda dengan kasus
Masdoelhak Nasution, kasusnya terungkap setelah ada tekanan dari PBB.
Masdoelhak orang muda berinteligensi berskala internasional di lingkungan elit atas
pimpinan Indonesia, sementara Ida Nasution hanya tokoh lokal yang menjadi
kritikus andal di lingkungan sastrawan muda. Siapa yang mau membantu menekan
Belanda untuk menyelidiki kasus kematian Ida Nasution? Inilah masalahnya dan yang
menjadi hambatannya mengapa kasus Ida Nasution tidak pernah terungkap.
Ida Nasution versus
Chairil Anwar: Ida Nasution Memicu Chairil Anwar Ikut Berjuang
Antara Ida Nasution dan Chairil Anwar lebih banyak perbedaan daripada
persamaan. Ida Nasution dan Chairil Anwar pernah bekerjasama dalam satu hal
tetapi dalam banyak hal berjalan sendiri-sendiri. Chairil Anwar hanyalah
seorang penyair, sementara Ida Nasution selain esais juga seorang aktivis
mahasiswa. Sebagai seorang penyair, Chairil Anwar dalam menulis puisi-puisinya
penuh penghayatan (berifat afeksi), sementara Ida Nasution dalam mengkritisi
dan menyusun esai (artikel) dilakukan dengan penuh pemikiran (bersifat
kognitif).
Ida Nasution tidak hanya
mengkritis karya-karya sastrawan muda. Ida Nasution juga kerap mengkritik
karya-karya Chairil Anwar. Sedangkan Chairil Anwar tidak pernah mengkritik Ida
Nasution. Ini disebabkan karena Ida Nasution adalah kritikus sastra yang esainya
dimuat di berbagai media.
Chairil Anwar dalam satu puisinya terdapat nama Ida. Penulis-penulis masa
kini, sebutan Ida dalam puisi Chairil Anwar adalah Ida Nasution. Itu ada
benarnya. Ida Nasution adalah rekan kerja Chairil Anwar dalam membangun karya
sastra Indonesia yang baru. Anehnya lagi, penulis-penulis masa kini, sebutan
Ida dalam puisi Chairil Anwar bertajuk ‘Merdeka’ ‘Aku mau bebas dari
segala/Merdeka/Juga dari Ida’ diartikan bahwa Chairil Anwar sedang ingin
merebut hati Ida Nasution. Itu jelas sangat keliru dan konyol.
Anehnya lagi, tiga baris puisi
tersebut ditafsirkan bahwa Chairil Anwar telah jatuh cinta dengan Ida Nasution,
namun karena cinta ditolak, lalu ingin bebas (merdeka). Semakin keliru lagi.
Padahal kenyataannya tidak demikian.
Puisi bertajuk Merdeka yang didalamnya terdapat ‘Aku mau bebas dari
segala/Merdeka/Juga dari Ida’ ditulis Chairil Anwar setelah beberapa lama sejak
Ida Nasution menghilang yang diduga kuat diculik dan dibunuh intel/polisi
Belanda pada akhir Maret 1948.
Ida Nasution menjadi tumbal
revolusi. Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar
buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu
dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida
Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil.
Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari
dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar
Masing, Tjiawi’. Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut:
‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada
tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau
Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari
yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?
Dalam penantian, Chairil Anwar yang menganggap Ida Nasution adalah teman
seperjuangan di dalam membangun sastra Indonesia yang baru mulai pasrah. Ida
Nasution tidak mungkin kembali. Ida Nasution telah mati dibunuh. Perasaan
gundah inilah yang dengan cara penghayatan yang mendalam menulis puisi bertajuk
Merdeka: ‘Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida’.
Sudah jelas baris-baris puisi
ini Chairin Anwar ingin ‘move on’. Dengan
meyakini bahwa Ida Nasution telah mati dibunuh (intel/polisi Beanda), Chairil
Anwar ingin bebas dari semua. Tidak ada keragu-raguan lagi, Chairil Anwar ingin
bebas merdeka seperti yang telah dilakukan selama ini oleh Ida Nasution. Ida
Nasution sebagai rekan kerja dalam membangun sastra Indonesia baru tidak ingin
terus terbebani (teringat galau dan sedih) dengan kehilangan Ida Nasution.
Karena itu, Chairul Anwar melanjutkan baris berikutnya (Juga dari Ida). Puisi ini
seakan proklamasi Chairi Anwar untuk dirinya bahwa dirinya sudah waktunya ikut
berjuang (mempertahankan kemerdekaan).
Sejak terbitnya puisi bertajuk Merdeka tersebut, Chairil Anwar menulis
puisi yang bertajuk ‘Karawang-Bekasi’. Dalam puisi heroik ini, Chairil Anwar
benar-benar seorang sastrawan bagaikan The Last Mohicans. Puisi-puisi Chairil
Anwar sebelumnya banyak bertema cinta dan lingkungan. Setelah kehilangan Ida
Nasution (yang diduga kuat diculik dan dibunuh intel/polisi Belanda) muncullah
tema-tama perjuangan dalam puisinya. Yang paling kuat adalah bertajuk Karawang-Bekasi.
Dalam puisi Karawang-Bekasi ini, Chairil Anwar sudah siap mati (seperti yang
dialami oleh srikandi Ida Nasution). Chairil Anwar seakan mengajak semua untuk
menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta dan menjaga Bung Sjahrir.
Saat itu pemimpin revolusioner
berada di tangan tiga orang: Soekarno (Presiden), Mohammad Hatta (Wakil
Presiden) dan Sjahrir (Perdana Menteri). Ketiganya tidak pernah surut untuk
berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Sjahrir pernah mengatakan bahwa
sastrawan juga telah turut dalam perjuangan bangsa Indonesia, yakni
meng-Indonesia-kan Indonesia lewat sastra. Sjahrir dalam kesempatan wawancara
tersebut mencontohkan salah satu diantaranya Chaiiril Anwar (lihat Het nieuws :
algemeen dagblad, 04-11-1947). Sehubungan dengan kematian Ida Nasution dan panggilan
Sjahrir, kini Chairul Anwar telah mengganti pena yang lebih tajam (sebagaimana
sudah lebih dahului dilakukan oleh Ida Nasution).
Itulah karakter Chairil Anwar. Awalnya penuh glamor, cengeng lalu bisa ‘move
on’ karena ingin mengikuti langkah rekannya Ida Nasution yang sudah lebih
dahulu melakukannya. Chairil Anwar tidak hanya sekadar memproklamasikan ‘move
on’ tersebut (puisi ‘Merdeka’), nyata-nyata Chairil Anwar melakukannya dengan
puisi tajuk ‘Karawang-Bekasi’.
Chairil Anwar penyair dan
penulis Indonesia dilaporkan Niewsgier meninggal pada Kamis sore di CBZ di
Batavia (De vrije pers : ochtendbulletin, 30-04-1949). Disebutkan orang
Indonesia yang cerdas makin berkurang dalam waktu singkat: Sujitno
Mangoenkusumo meninggal 1947, diikuti oleh Ida Nasution pada tahun 1948 dan
sekarang Chairil Anwar. Karyanya oleh hampir semua majalah-majalah Indonesia dipublikasikan.
Puisi-puisinya akan segera diterbitkan dalam sebuah bundel berjudul 'Deru
tjamour debu'.
Chairil Anwar meninggal dunia dalam status duda di Djakarta (28 April
1949), setahun setelah hilangnya nona Ida Nasution di Bogor (23 Maret 1948). Chairil
Anwar sempat dirawat di CBZ sebelum meninggal dunia. Chairil Anwar meninggalkan
seorang putri, dari hasil pernikahannya dengan Hapsah. Sebagaimana Ida
Nasution, surat kabar Merdeka juga memberi ulasan khusus sehubungan dengan
meninggalnya Chairil Anwar (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-05-1949). Editor surat kabar Het
nieuwsblad voor Sumatra menduga Chairil Anwar adalah seorang republiken (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1949).
Surat kabar Het nieuwsblad voor
Sumatra (HNvS) yang terbit di Medan kali pertama tanggal 1 Juli 1948 sudah
sejak awal mencari Chairil Anwar untuk diwawancarai. Boleh jadi karena Chairil
Anwar di Batavia sejak pendudukan Jepang sudah terkenal dalam urusan puisi dan
kebetulan anak Medan. Namun hingga kabar meninggalnya Chairil Anwar tidak
pernah berhasil ditemui. Awalnya, wartawan HNvS memulai pencarian dengan
melihat profil Chairil Anwar di arsip majalah Criterium edisi Agustus 1957 (lalu digantikan oleh
Orientatie) biografinya hanya tertulis singkat: ‘Chairil Anwar, berusia sekitar
26 tahun, otodidak, tanpa profesi’. Sayangnya, kami belum pernah bertemu [Chairil]
Anwar. Dia selalu melarikan diri di kerumunan, sulit ditemukan di Batavia yang
besar dan jorok. Terkadang dia berkeliaran sebagai seorang kusir betja, dan
biasanya dia sakit di suatu tempat atau di rumah sakit. Dia melakukan apa yang
ia lakukan dengan keluyuran yang tidak teratur, terlihat aneh dan gelisah dan
mengharapkan munculnya keajaiban, sering membicarakan Slauerhoff. Slauerhoff
juga menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di rumah sakit. Suatu kemiripan
luar biasa. Dia menerjemahkan Slauerhoff (juga Marsman, juga Rilke) di zaman
Jepang, ketika dia mengalami kesulitan, karena peradaban batinnya menolak
budaya sepatu bot (laarzencultuur) dari para peniru pruissian dari Tokyo. Pengaruh
dalam karyanya oleh tiga penyair yang disebutkan, dia sendiri mempengaruhi
sastra Indonesia yang lebih muda (pasca Poedjangga Baroe yang penuh retorika
dan manisnya seni kata). Kepahitan dan kerinduan juga mewarnai karya Anwar;
tidak ada kepahitan politik tetapi kesedihan atas kegelapan hidup. Dan ini
diringankan oleh kerinduan yang selalu melankolis untuk kecantikan abadi dan
kemurnian kebahagiaan, yang kadang-kadang dia tiba-tiba (seperti) cangkang yang
indah! seperti..di pelabuhan, di pantai, seorang gadis berkemeja putih
terperangkap dalam mimpi. Ini mengingatkan, seperti yang banyak disebutkan di
dalam Slauerhoff (flagiat?). Kematian Chairil Anwar adalah perubahan besar bagi
orang muda Indonesia yang (dapat dikatakan) inovatif. Ini adalah hilangnya
pembawa budaya kreatif yang penting (Willem Brandt),
Informasi ini sedikit banyak mengungkap kehidupan dan kegiatan awal Chairil
Anwar di era pendudukan Jepang, cara kerja, perilaku dan imajinasi, kehidupan yang
sering sakit-sakitan pada hari-hari jelang kematiannya.
Chairil Anwar yang
Sebenarnya: Slauerhoff?
Lantas mengapa muncul nama-nama dalam puisi Chairil Anwar, baik yang
disebut dalam bait maupun sub judul ditujukan kesiapa. Lalu mengapa Chairil
Anwar menyebut nama dan apa hubungan nama (tertentu) dengan diri Chairil Anwar.
Nama Ida muncul dalam sajak-sajak Chairil Anwar tahun 1943. Siapa Ida, tidak
jelas. Jelas, bukan Ida Nasution. Lalu, mengapa nama Ida muncul lagi pada tahun
1948. Ida yang ini serba kebetulan adalah Ida Nasution, gadis yang telah
menghilang sejak Maret 1948. Ida Nasution adalah rekan kerjanya di Siasat.
Chairil Anwar |
Chairil Anwar adalah tokoh penting dalam sastra Indonesia. Karya-karyanya
yang berceceran dimana-mana sejak 1943 baru dibukukan setelah kematiannya
dengan judul Deroe Tjampoer Deboe. Selain itu, beberapa puisi Chairil Anwar
tidak memiliki tanggal (bulan dan tahun). Dalam menafsirkan puisi Chairil Anwar
seharusnya memperhatikan kapan puisi dibuat. Hal ini penting untuk sesuai
dengan konteks ketika bait per bait puisi Chairil Anwar ditafsirkan (kembali).
Chairil Anwar juga pernah
membuat puisi yang ditujukan kepada Sri Arjati berjudul Senja di Pelabuhan
Kecil. Chairil Anwar juga membuat puisi
yang diminta Gadis Rasid, judulnya sesuai nama gadis tersebut.
Chairil Anwar juga membuat puisi berjudul Isa yang ditujukan kepada Nasrani
sejati (1943). Puisi lainnya Chairil Anwar adalah Tamu Malam Natal. Chairil
Anwar sejak lahir adalah Islam dan tetap selamanya menjadi Islam hingga
meninggal dunia. Meski demikian, Chairil Anwar juga membuat puisi kepada
Nasrani sejati. Siapa Nasrani sejati. Nasrani sejati adalah seorang Nasrani
yang tetap Nasrani. Puisi ini tampaknya ditujukan kepada pacarnya yang pernah
menjadi istrinya.
Het Parool, 06-05-1949 |
Apakah Chairil Anwar telah secara diam-diam mengawini seorang gadis
Kristen yang taat? Dan, secara diam-diam pula menceraikannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini boleh jadi ditemukan dalam puisi-puisinya yang lain
seperti Doa (Kepada Pemeluk Tegoeh,1943), Kabar dari Laoet (1946) dan Sorga
(1947). Chairil Anwar tidak hanya mendedikasikan puisi kepada (seorang gadis)
Nasrani sejati, juga kepada dirinya, juga didedikasikan kepada Dien Tamaela,
Sri Arjati dan tentu saja kepada Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Chairil Anwar
juga mendedikasikan kepada Diponegoro.
Chairil Anwar datang dari
keluarga pegawai/pejabat pemerintah. Jika ayahnya adalah bernama Toeloes, itu
berarti seorang jaksa di Medan. Pada tahun 1925, Toeloes seorang pegawai di
Pelaboehan Roekoe dipromosikan menjadi djaksa di Medan (De Sumatra post, 24-04-1925).
Toeloes memulai karir sebagai pegawai tahun 1919 (Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1919).
Toeloes pernah bertugas lagi di Laboehan Reoekoe dan kembali lagi ke Medan (De
Sumatra post, 07-05-1929). Toeloes kemudian dari Medan dipindahkan ke Tandjong
Balai tahun 1934 (De Sumatra post, 17-11-1934).
Tidak lama kemudian, Toeloes dipindahkan lagi ke Kabandjahe (De Sumatra post, 08-12-1934).
Lalu kemudian Toeloes menjadi pejabat di Pangkalan Brandan. Pada tahun 1937,
Toeloes diberikan cuti panjang karena sakit (De Sumatra post, 16-11-1937). Sejak
itu nama Toeloes tidak pernah terdeteksi lagi. Pada fase-fase ini diduga Chairil
Anwar menyelesaikan pendidikan HIS dan mengikuti sekolah di HBS Medan (lima
tahun). Belum sampai pada level tiga (setingkat MULO), Chairil Anwar harus
keluar, karena soal pembiayaan, sebab ayahnya, Toeloes sudah sejak November
1937 tidak bekerja lagi.
Chairil Anwar lahir di Medan tahun 1922. Kota Medan adalah kota Melting
Pot. Berbagai ras, berbagai etnik dan berbagai agama serta berbagai latar
belakang lainnya. Setelah Nienhuys sukses membuka kebun baru di Medan, pada
tahun 1875, seorang controleur ditempatkan di Onderafdeeling Medan yang
berkedudukan di Medan. Sejak itu, secara perlahan, kota Medan menjadi pusat
pemerintahan yang utama. Pada tahun 1879, ibukota Afedeeling Deli dipindahkan
dari Laboehan ke Medan. Pada fase ini
kebutuhan kuli sangat tinggi sehingga didatangkan dari Tiongkok (utamanya
Swatow), Djawa (utamanya Begelen), Siam dan India (utamanya Bengalen). Kota
Medan dengan cepat berubah menjadi kota yang unik dan banyak sisi: para pejabat
pemerintah Belanda, para planter berbagai bangsa, para pengeran Melayu, para
kuli, dan para perantau (terutama dari Agdeeling Mandailing dan Angkola).
Pada tahun 1915 Province Oostkust
Sumatra terdiri dari tiga wilayah dengan pusat di Medan (Deli, Serdang dan
Langkat), Pematang Siantar (Simaloengoen dan Karo) dan Tandjong Balai (Asahan,
Batoebara dan Laboehan Batoe). Residentie Oost Sumatra dibentuk tahun 1887
dengan ibukota Medan dipindahkan dari Bengkalis). Pejabat pribumi pertama di
Medan adalah kakek dari Amir Sjarifoeddin yang dipindahkan sebagai djaksa dari
Sipirok ke Medan tahun 1887. Pada tahun 1915 status residentie Oostkust Sumatra
ditingkatkan menjadi province. Sejak Medan menjadi ibukota Oostkust Sumatra
(dari residentie menjadi province) kebutuhan pegawai/pejabat sangat tinggi. Ini
sangat terasa sejak tahun 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari
Province Sumatra’s Westkust, banyak orang-orang Tapanoeli yang direkrut menjadi
pegawai dan para pejabat dipindahkan ke Sumatra’s Oostkust, seperti ayah
Mengaradja Soeangkoepon, ayah Amir Sjarifoeddin, ayah Mochtar Lubis dan ayah
Abdoel Abbas Siregar. Bahkan lurah pertama Kota Medan tahun 1905 adalah Mohammad
Jaqob asal Mandailing (kemudian dikenal
sebagai Sjech Ibrahim). Itu ternyata tidak cukup, karena kebutuhan yang banyak
di Oostkust Sumatra, lalu pejabat dari Residentie West Sumatra juga didatangkan
ke Oostkust Sumatra, Hal ini juga terkait dengan dilikuidasinya Province Sumatr’s
Westkust menjadi hanya setingkat residentie (namanya kemudian disebut
Residentie West Sumatra). Pejabat-pejabat dari Residentie West Sumatra yang
menyusul pejabat-pejabat Tapanoeli ke Oostkust Sumatra dan Medan antara lain
ayah dari Agus Salim dan ayah dari Sjahrir.
Anak-anak Medan (Medaner) cenderung sangat percaya diri ketika merantau
ke Djawa terutama ke Batavia. Mereka sudah terbiasa dengan persaingan yang
ketat dan keras di Medan. Karena itu anak-anak Medan sangat ambisius dan ingin
selalu di depan, tidak terlalu menonjolkan adat lama. Cara berpikir menjadi
lebih modern. Amir Sjarifoeddin bahkan tamat ELS langsung melanjutkan sekolah
menengah ke Belanda (sesuatu yang tidak pernah terjadi, biasanya studi ke
Belanda untuk perguruan tinggi). Anak-anak Medan keakuannya (sikap percata
diri) sangat terasa. Itu juga yang terkesan dari Chairil Anwar ketika sudah
berada di Batavia. Para senior mereka juga demikian, macam Hasan Nasution gelar
Mangaradja Salamboewe, jurnalis Pertja Timor yang pemberani dan disegani pers Belanda
(1902-1908), Soetan Casjangan mendirikan organisasi mahasiswa di Belanda
(1908), Parada Harahap yang membongkar kasus Poenale Sanctie (1918) yang
kemudian memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang (1933) dan Abdoel
Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, macan parlemen dari dapil Oostkust
Sumatra yang selalu menggebrak di Vorlksraad di Pedjambon (1927-1942) dan lalu
kemudian Amir Sjarifooedn dan Sjahrir yang secara terang-terangan menentang (kehadiran)
Jepang. Dengan latar itu, anak-anak Medan, boleh jadi Chairil Anwar, kerap menyurakan
jargon: Ini Medan, Bung!
Mungkin ada pergeseran karakter
anak-anak Medan (yang lahir di rantau) dengan anak-anak Tapanoeli yang lahir di
tanah asal kampong halaman. Soetan Casajangan dan Ida Nasution mewakili
anak-anak Batak yang lahir di Tapanoeli, masih dekat dengan tradisi: Surat
kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir
Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907: ‘…mengapa anda mengambil risiko jauh studi
kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya sudah
pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia
menunggumu…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan,
kami punya mimpi...Anda tahu dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa
itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek; Het
nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948, yang menulis tentang profil Ida Nasution. Paragraf
pertama: ‘Ida Nasution adalah seorang esais dan kritikus muda Indonesia yang
paling berbakat'. Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948, mengakhiri dengan
paragraf ‘Haar Bataks erfgoed, de nuchtere intelligentie, wars van alle
rhetoriek en bombast, die haar door alle frases deed heen zien, maakte haar tot
een door velen gevreesde critica (Warisan Bataknya, intelijen yang tenang,
menolak semua retorika dan bombastis, yang melihatnya melalui semua frasa,
membuatnya menjadi sangat ditakuti oleh banyak orang).
Parada Harahap memiliki pengalaman yang lengkap. Lahir tahun 1899 dan
sekolah di Tapanoeli (Padang Sidempoean), lalu merantau ke Deli (1915) dan
menjadi jurnalis di Medan tahun 1918 dan 1919 lalu kemudian mendirikan surat
kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919-1922). Dengan pengalaman sebagai
pemimpin pemuda di Tapanoeli (Sibolga), Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun
1922. Parada Harahap mulai menemukan sukses di Batavia tahun 1923 dengan
mendirikan surat kabar Bintang Hindia, kantor berita Alpena, surat kabar
Bintang Timoer dan sejumlah media lainnya dengan percetakan bernama NV Bintang
Hindia.
Pada saat pendudukan Jepang,
Parada Harahap mendapat tempat yang strategis, sebagaimana Soekarno dan
Mohammad Hatta. Kedekatan Parada Harahap dengan Jepang tidak terbantahkan.
Parada Harahap membongkar prostitusi Jepang di Medan tahun 1918 (wanita-wanita
Jepang dieksploitasi germo Singapoera di Medan). Parada Harahap memimpin tujuh
orang Indonesia pertama (revoluisioner) ek Jepang tahun 1933 (termasuk didalamnya
Abdullah Lubis pemimpin Pewarta Deli di Medan dan Mohamamd Hatta yang baru
pulang studi dari Belanda). Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada Harahap
sebagai The King of Java Press. Parada Harahap adalah orang yang memperkenalkan
Soekarno dan Mohammad Hatta kepada Jepang. Pemerintah Jepang menempatkan
Soekarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Indonesia, dan Parada
Harahap sebagai koordinator media dan propaganda. Ada tiga bidang yang
dikoordinasikan oleh Parada Harahap, yakni radio, media cetak dan lembaga
kebudayaan. Dibawah koordinasinya menempatkan sejumlah pemuda di radio: Adam
Malik (Batoebara), Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (Siregar); di media cetak
Asia Raja, selain dirinya juga ditempatkan pemuda seperti BM Diah (marga Pohan)
dan Rosihan Anwar. Lalu di lembaga kebudayaan ditempatkan Armijn Pane dan
kawan-kawan. Pada tahun 1945 (proklamasi kemerdekaan RI), Adam Malik kembali meneruskan
kantor berita Antara, BM Diah mendirikan surat kabar Merdeka. Para jurnalis
Merdeka antara lain Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Mochtar Lubis juga masih
merangkap di kantor berita Antara. Pada tahun 1947 Rosihan Anwarc mendirikan
surat kabar Siasat. Mochtar Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raja tahun
1949. Sakti Alamsjah bersama rekan mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di
Bandoeng. Tidak lama setelah terbit surat kabar Siasat, organisasi sastrawan
muda digagas oleh Chairil Anwar dan kawan-kawan. Lalu, Rosihan Anwar membuka
peluang kepada Chairil Anwar dan Ida Nasution mengasuh rubrik Gelanggang di
surat kabar Siasat. Dalam perkembangannya antara Soekarno dan Mochtar Lubis
berseteru. Surat kabar Indonesia Raja dibreidel oleh rezim orde lama dan surat
kabar Pikiran Rakyat terkooptasi oleh militer. Pada awal orde baru (selepas
G30S/PKI) ketika Adam Malik menjadi trio orde baru (Soeharto, Adam dan
Hamengkoeboewono), surat kabar Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis terbit
kembali dan surat kabar Pikiran Rakya diperbarui yang dipimpin oleh Sakti
Alamsjah. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah terlihat bahwa sua surat
kabar yakni Indonesia Raja dan Pikiran Rakjat memiliki motto yang sama: Dari
Rakjat, Oleh Rakjat, Oentoek Rakjat. Surat kabar Indonesia Raja sudah dibreidel
pada era orde baru, tetapi Pikiran Rakyat masih eksis hingga ini hari (dipimpin
oleh anak Sskti Alamsjah).
Chairil Anwar pada era pendudukan Jepang sesungguhnya masih belajar
(pemula). Chairil Anwar belum mendapat tempat di Lembaga Kebudayaan yang
dipimpin oleh Armijn Pane. Sastrawan senior masih memimpin seperti STA, Sanoesi
Pane dan Armijn Pane. Chairil Anwar baru mendapat tempat ketika mendirikan
Gelanggang dan dirangkul oleh surat kabar Siasat sejak tahun 1947. Namun tidak
lama kemudian, Chairil Anwar meninggal tahun 1949. Tahun 1947 inilah yang diklaim
oleh STA sebagai tonggak awal sastrawan muda (yang kini disebut angkatan 45).
Chairil Anwar
meninggal tanggal tanggal 28 April 1949 di rumah sakit yang diduga karena
penyakit tifus. Teman-teman Chairil Anwar sangat kehilangan. Setahun sebelumnya Ida Nasution menghilang tanggal 24 Maret
1948 dan tidak pernah ditemukan lagi sebagaimana hasil penyelidikan surat kabar
Merdeka pimpinan BM Diah. Tentu saja beberapa jurnalis pada masa itu sangat
peduli dengan Ida Nasution, selain BM Diah (Pohan) juga ada Mochtar Lubis, Adam Malik
(Batoebara) dan juga Sakti Alamsjah (Siregar). Namun itu tidak cukup, Ida
Nasution tetap tidak ditemukan jejaknya, Ida Nasution diasumsikan telah meninggal dunia, Ida Nasution diduga kuat telah diculik
dan dibunuh oleh intel/polisi Belanda. Satu pertanyaan yang tersisa: Segera setelah
kematian Chairil Anwar, mengapa anak-anak Tapanoeli/Medan (kecuali Sjahrir)
tidak peduli Chairil Anwar, juga Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tidak pebuli Chairil Anwar? Dan,
mengapa sastrawan asal Jawa (Taman Siswa) sangat peduli dengan riwayat Chairil
Anwar? [perlu penelitian lebih lanjut].
Puisi-puisi Chairil Anwar di satu sisi adalah buah imajinasi sendiri, tetapi
di sisi lain itu (adalah dekat dengan) kenyataan. Esai-esai dalam Ida Nasution mengkritisi
sastra Indonesia (generasi muda) adalah buah pemikiran yang didasarkan pada
fakta-fakta (empiris) berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan dan telah
dibacanya dengan cermat dengan pendekatan metodologis. Kegiatan aktivis Ida Nasution dalam
mempertahankan kemerdekaan adalah hasil pemikiran dengan dilandasi keberanian
ketika Belanda ingin merebut kembali kemerdekaan rakyat Indonesia.
Sangat disayangkan puisi-puisi
Chairil Anwar, terutama bertajuk Merdeka yang menyebut nama Ida (Nasution) dikaitkan
soal romantika cinta (birahi) semata. Itu jelas jauh panggang dari api. Munculnya
pentas teater baru-baru ini yang mengangkat nama Chairil Anwar dengan judul
lakon Perempuan-Perempuan Chairil haruslah dipandang sebagai buah imajinasi si
pengarang yang keliru menafsirkan. Dalam kenyataan itu jelas keliru. Sejauh itu
tafsiran/khayalan si pengarang anggaplah itu sebagai cerita saja.
Judul pentas Perempuan Perempuan Chairil terkasan bahwa Chairil Anwar
(dalam kehidupannya) telah dibuat sedemikian rupa seakan-akan Chairil Anwar memiliki
sejumlah perempuan termasuk Ida Nasution. Judul ini sangat persuasif. Penafsiran
puisi bertajuk Merdeka yang begini ini hanya merendahkan Chairil Anwar yang
nyata-nyata seorang sastrawan yang andal dan patriotik.
Oleh karena untuk merebut pembaca/penonton, judul itu dikemas sedemikian
rupa sehingga memunculkan opini bahwa Chairil Anwar seorang yang perkasa.
Padahal faktanya tidak demikian. Lucunya, pemeran Ida di dalam pentas itu
dicarikan aktris yang kira-kira ada kemiripan dengan Ida Nasution. Di satu sisi
tokoh Ida dengan pemilihan artis oke-oke saja tetapi di sisil lain dialog apa
yang dimunculkan adalah salah besar. Alih-alih ingin mengingat Chairil Anwar,
justru merendahkan (martabat) Chairil Anwar. Satu hal lagi dalam pementasan
tersebut ditafsirkan Ida Nasution dianggap menghilang di Bogor karena diduga
dibunuh para laskar (republik). Padahal kenyataannnya, Ida Nasution tidak
pernah punya hutang kepada laskar yang memperjuangkan kemerdekaan, sebab Ida
Nasution juga termasuk orang yang berada di dalam barisan untuk memperjuangkan
kemerdekaan. Memang tidak ada bukti siapa yang menculik dan membunuhnya, tetapi
dugaan terkuat adalah diculik dan dibunuh oleh intel/polisi Belanda. Track
record Ida Nasution sebelum menghilang adalah seorang penulis yang didalam
tulisannya kerap muncul semangat merdeka dan Ida Nasution adalah aktivis
mahasiswa yang mempersatukan mahasiswa untuk bersama-sama berjuang
mempertahankan kemerdekaan. Hilangnya Ida Nasution sudah dikonfirmasi oleh
surat kabar Merdeka, surat kabar yang memiliki akses ke kantong-kantong
perlawanan (TNI/laskar).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-09-1948 menulis bahwa ‘Merdéka’ (baca:
Chairil Anwar) sekarang berpikir bahwa dia harus mengasumsikan dengan pasti
bahwa Ida Nasution tidak lagi hidup, dia (Ida Nasution) pergi ke Tjigombong
beberapa bulan yang lalu dengan kereta api dan sejak itu tidak ada yang
terdengar darinya. Itulah faktanya. Pementasan berjudul Perempuan-Perempuan
Chairil, seakan-akan Ida Nasution adalah teman cinta (birahi) dari Chairil
Anwar. Yang benar adalah Ida Nasution adalah teman seperjuangan Chairil Anwar
dalam mempertahankan kemerdekaan.
Chairil Anwar sejatinya membuat
puisi didalamnya lebih pada mengedepankan tokoh yang diperlukannya, tokoh yang
benar-benar dikenalnya. Sejak hilangnya Ida Nasution (23 Aprl 1948), Chairil
Anwar membuat puisi Krawang-Bekasi dengan menampilkan tiga tokoh, Soekarno,
Hatta dan Sjahrir, padahal Sjahrir bukan lagi perdana menteri dan sudah
digantikan oleh Amir Sjarifoeddin dan kemudian Mohammad Hatta. Tiga tokoh
inilah yang diinginkannya dan mungkin dikenalnya secara dekat. Hal ini juga
tentang Dien Tamaela, orang yang dikenalnya lalu muncul puisi tentang legenda
Maluku. Chairil Anwar setelah mengetahui meninggalnya Dien Tamaela
mendedikasikan sebuah puisi buat Dien Tamaela.
Buku
Deroe Tjampoer Deboe
Segera setelah meninggalnya Chairil Anwar muncul gagasan dari
teman-temannya untuk membukukan puisinya dalam satu buku yang diberi judul nama
Deroe Tjampoer Deboe (Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-05-1949). Judul buku
tersebut merupakan kristalisasi pejalanan Chairil Anwar sendiri yang menderu di
jalanan dengan liar yang membuat dirinya berdebu.
De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 13-09-1949: ‘Pameran lukisan. Batavia 10 Sept.
(Aneta): Sehubungan dengan perayaan ulang tahun ke-20 Taman Siswa di Batavia,
dari Sabtu 10 September sebuah pameran lukisan akan diadakan di sekolah Taman
Siswa di Vliegveldlaan Batavia. Sejumlah besar pelukis Indonesia dan Tionghoa yang
terkenal dan juga muda dapat dilihat, sementara bagian terpisah dari ruang
pameran digunakan untuk mengumpulkan semua karya penyair Indonesia yang
meninggal, Chairil Anwar’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-10-1949:‘Pameran lukisan di Medan. Satu hal yang menarik
dalam pemeran ini adalah lukisan Affandi yang menampilkan potret sosok Chairil
Anwar’. Nama Chairil Anwar ditabalkan sebagai nama jalan di Soerabaja sebagai
bagian dari penamaan nama-nama jalan yang baru (De vrije pers: ochtendbulletin,
25-03-1950). Muncul gagasan dari sastrawan muda untuk mengelompokkan diri
sebagai Gerakan 45. Asrul Sani bermaksud untuk mengklaim aliran tahun 1945
(kemerdekaan). STA berbeda pendapat dengan Asrul Sani. STA berpendapat bahwa yang
disebut aliran1945 dasarnya hanya pada fase akhir-akhir kehidupan Chairil Anwar (Algemeen Indisch
dagblad : de Preangerbode, 13-09-1950).
Untuk sekadar catatan: puisi-puisi Charil Anwar dalam buku Deroe Tjampoer Deboe
adalah puisi-puisi 1943-1949. Sementara itu, Sjahrir tidak hanya mengakui
Chairil Anwar sebagai penyair muda berbakat, juga Sjahrir memajang lukisan potret
Chairil Anwar di rumahnya (Het nieuws: algemeen dagblad, 21-10-1950). Boleh
jadi Sjharir yang membeli lukisan Chairil Anwar pada pameran lukisan di Medan.
Penulis-penulis Belanda kembali menempatkan Chairil Anwar sebagai penyair muda
di depan; Idroes untuk prosa dan Ida Nasution untuk esai (De vrije pers :
ochtendbulletin, 03-01-1951). Ini sesuai pengelompokkan yang dibuat oleh HB
Jassin pada tahun 1947 di Orientatie. Dalam perkembangannya, dibuat patung
Chairil Anwar yang ditaruh di taman Sekolah Taman Siswa di Kemajoran (Algemeen
Indisch dagblad : de Preangerbode, 23-01-1951). Patung ini dibuat oleh pematung
dan pelukis Hendra yang sebelumnya telah membuat patung Jenderal Soedirman di
Djogjakarta. De nieuwsgier, 28-04-1952
menulis bahwa Chairil Anwar penggagas perhimpoenan sastrawa muda Gelanggang
yang juga menjadi rubrik budaya pada surat kabar baru Siasat (1947). Apakah ini
dasar STA mengklaim era sastrawan muda dimulai?
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Kereen.. tulisan yg informatif
BalasHapus