Sabtu, 09 Juni 2018

Sejarah Kota Padang (52): Ekspedisi Awal Belanda ke Pagaruyung (1684), Tionghoa di Angkola 1690; Negeri Sembilan en Selangor


Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini

Informasi tentang pedalaman Sumatra pada masa lampau sangat minim, meski keberadaan penduduk di Ranah Minangkabau dan Tanah Batak sudah diketahui sejak lama. Seiring dengan perubahan kebijakan VOC (dari kontak perdagangan di sekitar pantai menjadi penduduk sebagai subjek) mulai dilakukan ekspedisi-ekepedisi ke pedalaman. Ekspedisi ke Pagaruyung dilakukan pada tahun 1684 dapat dianggap sebagai ekspedisi pertama Belanda/VOC ke pedalaman Sumatra.  

Mandailing dan Angkola migrasi ke Selangor (Peta 1862)
Ekspedisi pertama Belanda/VOC dilakukan ke pedalaman di Jawa dilaukan tahun 1681. Untuk memasuki wilayah pedalaman yang berpusat di Mataram VOC memulai ekspedisi dari benteng Missier, tiga jam perjalanan dari Tegal. Ekspedisi ke Mataram dipimpin oleh Jacob Couper. Setelah ekspedisi ke Pagaroejoeng, ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dimulai tahun 1687 yang dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio. Ekspedisi dari arah timur Jawa baru dimulai tahun 1706. Ekspedisi Mayor Govert Knol dari Soerabaja menuju pedalaman. Ekspedisi boleh dikatakan sebagai permulaan kolonisasi di wilayah pedalaman.

Ekspedisi-ekspedisi semakin intens dilakukan terutama pasca VOC baik pada era permulaan Pemerintahan Hindia Belanda maupun semasa pendudukan Inggris. Ekspedisi adalah prakondisi munculnya kolonisasi di pedalaman. Namun kolonisasi lambat laun menjadi berifat eksploitatif. Penduduk banyak yang tidak senang dan muncul pemberontakan. Eksesnya terjadi eksodus, suatu tindakan penduduk melarikan diri ke wilayah baru yang lebih aman dan nyaman, seperti ke Semenanjung. Dua wilayah tujuan eksodus penduduk Sumatra ini adalah Negeri Sembilan (Minangkabau) dan Selangor (Mandailing dan Angkola). Pendiri Kota Kuala Lumpur, ibukota negara Malaysia adalah Sutan Puasa, asal Mandailing (lihat Abdur-razzaq Lubis, Penang: Areca Books, 2018).

Laporan ekspedisi adalah salah satu sumber data penting dalam mengenal suatu wilayah baru. Kedalam golongan sumber data ini termasuk laporan-laporan perjalanan terawal (pionir) seperti yang dilakukan seorang pegawai atau pejabat kolonial, wisatawan atau petualang-petualang yang menembus jauh ke pedalaman melalui rintangan berbahaya karena kondisi alam (sungai yang deras, tebing yang curam) dan ancaman yang datang (perampok atau binatang buas). Para pionir ini telah menjadi pengumpul data caranya sendiri dalam bentuk laporan reportase, peta, lukisan atau foto, meski terkesan sepintas tetapi karena ketiadaan yang akurat, data dari para pionir ini tetap sangat bergunan sebagai bahan penulisan sejarah. Mereka ini antara lain: Thomas Dias, Pieter Scipio, Charles Miller, Raffles, W. Marsden, John Anderson, TJ Willer, Jung Huhn, F. de Haan dan lainnya.

Ekspedisi ke Pagaruyung: Thomas Dias, Seorang Portugis Utusan VOC

Keberadaan sebuah kerajaan di pedalaman Sumatra, Pagerroejoeng (Pagarruyung) sudah sejak lama diketahui, sejak era Portugis yang dapat dilihat pada peta-peta buatan Portugis. Namun sedikit terkuak ketika ditemukan laporan Thomas Dias yang pernah mengunjungi Pagarruyung pada tahun 1684 sebagai tugas ekspedisi yang diberikan oleh Gubernur Malacca Cornelis Van Quaalbergen. Laporan Thomas Dias, seorang Portugis, menjadi heboh tahun 1897 yang disarikan oleh F. De Haan yang dimuat dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap [Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde]. Laporan Thomas Dias diperoleh dari cara mengulik catatan harian Casteel Batavia, Dagh Register dua abad yang lampau. Dr. F. De Haan sendiri telah banyak melakukan ekspedisi ke pedalaman termasuk yang dilakukannya dari Laboehan (Deli) ke pedalaman Tanah Batak hingga jauh ke danau Toba.

Berita tentang ekspedisi ke Pagaruyung yang terdapat dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap dimuat pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 12-01-1897 yang lalu diperkaya surat kabar Algemeen Handelsblad, 14-04-1897. Laporan tentang keberadaan Pagaruyung yang ditulis oleh Thomas Dias dengan sendirinya membatalkan berita-berita yang ada selama ini hanya mengakui Thomas Stamford Raffles sebagai orang Eropa pertama ke pedalaman Minangkabau tahun 1818. Thomas Dias tidak hanya seorang perintis ke pedalaman Minangkabau tetapi juga telah menjalankan tugas dengan baik bagaakan seorang diplomat Belanda/VOC.

Dagh Register telah berperan sebagai pencatat perihal yang penting masa itu dan pengarsip dokumen-dokumen kuno yang arsip-arsipnya kemudian telah dijadikan sumber informasi masa lampau. Arsip-arsip Dgah Register seakan menjadi mesin waktu ke masa lampau. Dagh Register juga beberapa tahun kemudian mencatat laporan seorang pedagaang Tionghoa yang telah lama tinggal di Tanah Batak di Angkola (kini Padang Sidempoean). Laporan Tionghoa ini dicatat dalam Dagh Register di Batavia 1 Maret 1701. Pedagang Tionghoa ini bolak-balik antara pantai timur Sumatra dan Angkola selama 10 tahun sebelum kembali ke Batavia. Jika merujuk pada informasi catatan Dagh Register 1701 tersebut, pedagang Tionghoa ini yang berangkat dari Singapoera dan Malacca sudah berada di Angkola sejak 1690 (enam tahun setelah ekspedisi Thomas Dias ke Pagaruyung).

Sejatinya catatan tertua tentang ekspedisi ke Tanah Batak yang dapat dilihat dalam laporan perjalanan Mendes Pinto tahun 1539 dari Malacca ke Panaju, ibukota Are Batak Kingdom yang telah dibukukannya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul The Travels of Mendes Pinto bab 13-8 (The Battak Envoy, Through the Jungles of Sumatra, At the Court of the Battak, Observing the Battak at War, The Battak Army in Retreat, The Battaks Warning). Meski masih perdebatan soal dimana kota yang dikunjungi, Aroe, Batak Kingdom sangat besar kemungkinan di hulu sungai Baroemoen di sekitar Padang Lawas yang sekarang (60 Km dari Padang Sidempoean). Mendes Pinto menyebut kota Panaju (Panai/Pane; sungai Batang Pane) yang dilakukan dari pantai dengan pelayaran sungai lima hari ke pedalaman, suatu daerah yang menghasilkan daging (kini masih terkenal sebagai daerah peternakan), menghasilkan benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu, dan beras. Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya adalah orang-orang dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo. Pasukan Aroe ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam. Pasukan cadangan ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63 kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Jika tepat apa yang disebut Mendes Pinto memiliki cadangan pasukan di Minangkabau itu mengindikasikan dua hal, bahwa Pagaruyung adalah kerajaan tetangga, hubungan partnership antara Kerajaan Aroe di dataran rendah (Padang Lawas) dengan Kerajaan Pagarroejoeng di dataran tinggi (Tanah Datar) dan presisi Aroe Batak Kingdom di Padang Lawas ini wilayahnya sangat dekat dan bersebelahan dengan Minangkabau. Masih menurut Mendes Pinto, duta besr Aroe Batak Kingdom pernah ke Malacca bernama Aquareng Daholay (Abdul Karim Daulay?). Pada masa ini di wilayah Padang Lawas ini masih ditemukan situs-situs candi kuno peninggalan kerajaan Hindu/Budha di era Cola Kingdom (asal nama Angkola?) yang sebelumnya menaklukkan Sriwijaya pada abad ke-11.

Laporan Thomas Dias tahun 1684 yang telah ditemukan dalam arsip Dagh Register tersebut mengindikasikan Pagaruyung ditempuh berhari-hari yang dimulai dari sungai Sick (Siak) lalu ke Patapan (Patapahan) dan Ajer Tiris (Air Tiris). Lalu perjalanan dimulai dari Ajer Tiris ke Pagaruyung. Perjalanan menuju Pagaruyung di dalam beberapa etafe harus melalui jalan huta berhari-hari untuk menghindari musuh, suatu jalan yang ditempuh berbeda ketika melakukan perjalanan pulang yang melalui jalan tradisional. Setelah beberapa hari di kota Pagaruyung dan sudah bertemu Raja, Thomas Dias (dan para pembantunya, pemandu dan kuli angkut) mengikuti jalan sebagai berikut: Luca (Siluka), Maranty (Menganti), Sunipo (Sumpo/Sumpur), Ungam (Ungan), Madiangem (Mandiangin), Air Tanam (Air Tanang), Pancalan Serre (Pangkalan Sarai), Turusan (Tarusan), Costa Bato (Kota Batu), Meroroem (Mariring), Tandjong Bale (Tandjong Balit), Passar Rama (Pasa Ramoh), Odjom Boket (Oedjoeng Bukit), Damo (Domo), Padan Sava (Padang Sawah), Cuncto (Kuntu), Liepa Cain (Lipat Kain), Pacu (Pakoe), Calubee, Nugam, Pima, Catapadan (Kota Padang), Belenbum (Sibelimbing), Ridan dan Ajer Tiris.

Ada perbedaan waktu sekitar 150 tahun antara Mendes Dias ke Aroe Batak Kingdom (terbit buku 1539) dan Thomas Dias ke Pageroejoeng Minangkabau Kingdom (laporan 1684). Kebetulan laporan Aroe Kingdom dan Pagerroejoeng Kingdom sama-sama ditulis oleh orang Portugis. Sebagaimana diketahui sebelumnya Portugis telah menaklukkan Malaka 1511 dan mampu berkuasa tahun 1641 sebelum ditaklukkan oleh VOC. Sementara itu, sebelum kedatangan Portugis, persaing kuat Malaka adalah Kerajaan Atjeh (yang rajanya yang pertama dinobatkan pada tahun 1507). Pada saat saat Atjeh mulai menunjukkan kekuatan, Malaka ditaklukkan dan lalu yang muncul adalah persaingan Atjeh vs Malaka/Portugis. Pada saat inilah Mendes Pinto ke Aroe Batak Kingdom untuk menjalin hubungan diplomatik antara Malaka/Portugis dengan Aroe Barak Kingdom dalam menghadapai musuh bersama Atjeh Kingdom. Lalu kemudian, Malaka/Portugis ditaklukkan oleh VOC/Belanda pada tahun 1641. VOC/Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman bersama Pasukan Aroe Pallakka (Bugis) kemudian menaklukkan Kerajaan Gowa/Makassar yang dipimpin oleh Hasan Oedin yang beribukota di Sombaopoe pada tahun 1667. Pangeran-pangeran Gowa mengungsi jauh ke selatan (Sumbawa) dan Rioaw/Semenanjung. Pasukan Aroe Palakka membantu VOC/Belanda ke Gowa/Makaksar setelah Aroe Pallaka dengan Komandan Poolman sukses menghancurkan musuh di Padang (Sumatra’s Westkust) pada tahun 1666. Pemimpin lokal di Padang dalam hal ini untuk mengusir pengaruh Atjeh. Pada saat perang Gowa ini masih terlihat sangat kuat armada Portugis yang mengambil posisi tidak jauh dari lokasi pertempuran di Panaccucang. Dengan kata lain pengaruh Portugis di Nusantara masih ada. Tidak lama setelah perang Gowa, Thomas Dias diutus Gubernur Malaka/VOC ke Pagerroejong tahun 1684. Sementara di Sumatra’s Westkust VOC/Belanda, setelah Padang mulai membangun pos-pos perdagangan di Baros tahun 1668 dan di Singkel tahun 1872. VOC/Belanda kembali ke Sumatra’s Westkust 1879 dan kemudian membuka tambang di Solok tahun 1681. Ekspedisi Thomas Dias ke Pagerroejoeng sudah barang tentu antara Gubernur Malaka/VOC dengan Radja Pegerroejoeng telah mengetahui eskalasi politik di Sumatra’s Westkust. Dalam laporan Thomas Dias terkesan Gubernur Malaka menganggap sangat penting ekspedisi ke Pageeroejoeng, sebaliknya Pagerroejoeng dengan cepat merespon niat Gubernur Malaka untuk bekerjasama di Sumatra’s Oostkust. Dalam hubungan ini, VOC/Belanda di Malaka mendapat izin perdagangan di Siak. Sementara sebelum Thomas Dias ke Pagerroejoeng Kerajaan Johor mengklaim Siak sebagai kuasaannya, dan Pagerroejoeng menolak klaim tersebut. Atas persetujuan Pagerroejoeng VOC/Belanda membelakangi Johor dan mulai melakukan aktivitas perdagangan di Siak dengan bersekutu dengan Pagerroejoeng. Setelah kunjungan Thomas Dias ke Pagerroejoeng, pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda di Sumatra’s Westkust, lalu Inggris pindah dari Padang ke Bengkoelen tahun 1686. Bagi Pagerroejoeng tampaknya ada dua keuntungan dengan kerjasama dengan VOC/Belanda ini, pertama VOC/Belanda telah berhasil mengusir pengaruh Kerajaan Atjeh di Sumatra’s Weskust dan kedua VOC/Belanda telah mengembalikan hak Pagerroejoeng terhadap klaim Johor di Siak. Dengan demikian, VOC/Belanda melakukan aktivitas di pantai-pantai dan Pagerroejoeng melakukan aktivitas dengan tenang di pedalaman (pengaruh Atjeh dan Johor telah tereliminasi). Atjeh sendiri telah menjadi terisolasi baik pada era Portugis (Aroe Batak Kingdom yang berpartner dengan Pagerroejoeng Minangkabau Kingdom) maupun pada era Belanda/VOC yang bekerjasama denga Pagerroejoeng. Hanya satu-satunya peluang kerjasama Atjeh dengan Inggris. Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan lada (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Perkara inilah yang diduga memicu perang antara Inggris vs Belanda/VOC tahun 1685 yang lalu menyebabkan Inggris menyingkir ke Bengkoelen tahun 1686.  

Sejak ekspedisi Thomas Dias ke Pagerroejoeng tahun 1684 tidak pernah ada laporan yang mengindikasikan VOC/Belanda melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau maupun ke pedalaman Batak. Sebab yang terjadi di pantai-pantai (terutama di Sumatra’s Westkust) adalah persaingan yang sengit antara tiga pihak (Belanda, Inggris dan Prancis) dalam memperebutkan pos-pos perdagangan di Padang, Pariaman, Ajer Bangies, Natal, Poelaoe Pontjang (Tapanoeli), Baros dan Singkel serta Poelaoe Chinco, Ajer Hadji (Painan) dan Indrapoera. Pada era peraingan ini, Padang sendiri belumlah tempat utama (hoofdplaat) di Sumatra’s Westkust, bahkan Air Bangis sendiri masih lebih penting dari Padang. Pada era Portugis baru terdapat empat kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatra yakni Baros, Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Dengan demikian eskalasi politik yang terjadi tidak terlalu berimbas ke Pagerroejoeng. Bangsa-bangsa adikuasa Inggris, Belanda (plus Prancis) saling berganti menjadi tuan untuk pos-pos perdagangan. Inggris sempat menguasai beberapa lama yang telah bekembang pesat seperti Padang, Natal dan Tapanoeli.

Benteng-benteng Belanda/VOC sudah pernah dibangun di Singkel, Baros dan Padang. Kesulitan Belanda/VOC untuk melakukan ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766) disebutkan sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kesultanan Atjeh (De Koning van Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel), Barros, Batahan, Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar kekuasaan kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King of Kings). Pada saat perseteruan Belanda/VOC dengan Kerajaan Atjeh, Inggris mendapat angin. Pos perdagangan Belanda/VOC di Singkel dan Baros ditinggalkan. Wilayah teritori Belanda/VOC hanya di Padang dan sekitarnya (hingga Pariaman dan Indrapoera). Saat inilah  melemah dan posisi VOC/Belanda di Sumatra’s Westkust terjepit. Inggris yang sudah bercokol di bengteng Bengkoelen memperluas pengaruh di utara Padang. Pos perdagangan Inggris yang sudah ada di Poelao Pontjang (Tapanoeli) diperluas dengan membangun benteng di Natal. Benteng di Natal ini dibangun sangat kuat yang ampir menyamai kekuatan benteng Bengkoelen.

Untuk meningkatkan volume perdagangan dan kerjasama perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di pedalaman Sumatra, Charles Miller ditugaskan melakukan ekspedisi ke Tanah Batak di Angkola sekaligus untuk melakukan eksplorasi. Ekspedisi Charles Miller, seorang botanis Inggris, dilakukan pada tahun 1772. Laporan Charles Miller ini dikutip oleh William Marsden dalam bukuya berjudul History of Sumatra (1783). Besar kemungkinan Miller adalah orang Eropa pertama memasuki Tanah Batak, sebagaimana halnya Thomas Dias pada tahun 1684 ke Minangkabau. Kisahnya adalah sebagai berikut (diringkas dari Marsden edisi 1811):

Pada tanggal 21 Juni, 1772, kami (Charles Miller dan pemandu dan koeli angkut) berangkat dari Pulau Punchong (kini Poncang) dengan kapal lalu memasuki muara sungai Pinang Suri. Keesokan paginya kami naik sampan sekitar enam jam, tiba di muara Lumut. Sepanjang kiri kanan sungai dipenuhi pohon-pohon kamper, oak, meranti dan lainnya, tidak lama kemudian terdapat kampong Batak terletak di puncak bukit kecil. Berdasarkan pemandu kami orang Melayu, Radja dari kampong ini mengundang kami ke rumahnya. Lalu kami diterima dengan upacara besar dan memberi hormat dengan tembakan ke udara dari tiga puluh senjata, Kampung ini terdiri dari delapan atau sepuluh rumah yang masing-masing rumah memiliki padi. Kampung mereka dibentengi dengan kayu kamper dan juga bamboo duri. Juga tampak kandang kerbau. Tanggal 23 Juni 1772, kami melanjutkan ke kampong Lumut dan hari berikutnya Sa-Tarong dimana saya mengamati perkebunan pohon benzoin, kapas, nila, kunyit, tembakau, dan beberapa tanaman lada merambat. Selanjutnya kita sampai di Tappolen, kemudian Sikka dan Sa-Pisang yang terletak di tepi sungai Batang Tara (perjalanan tiga sampai empat hari ke hilir di pantai). Pada tanggal 01 Juli 1772, kami melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah ladang, lalu cuaca buruk kami menempati pondok padi. Keesokan paginya sungai meluap dan tidak bisa menyeberang lalu bermalam lagi di tempat yang tidak nyaman. Pada tanggal 03 Juli 1772 kami meninggalkan ladang berjalan melalui jalan yang tidak teratur tidak berpenghuni penuh dengan batu dan ditutupi dengan hutan. Kami hari ini juga melintasi punggung bukit yang sangat curam dan di sore hari tiba di sebuah Negara yang dihuni dengan budidaya baik di pinggir dataran Ankola. Kami malam ini tidur di pondok kecil terbuka dan hari berikutnya melanjutkan perjalanan ke kampong bernama Koto Lambong (Huta Lambung). Pada tanggal 05 Juli 1772 kami berangkat melalui wilayah yang lebih terbuka dan menyenangkan di Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi selatan dataran Ankola. Tanah di sekitar ini sepenuhnya dibajak dengan kayu secara baik dan ditaburi dengan padi atau jagong, di padang rumput mereka terlihat banyak ternak kerbau, kambing dan kuda. Setelah diinformasikan kepada Radja, lalu menyuruh anaknya datang menemui kami dengan 30-40 orang bersenjata tombak dan senapan locok (matchlock), lalu membawa kami, yang sepanjang jalan dilakukan pemukulan gong dan tembakan ke udara. Radja yang menerima kami bertubuh besar, dan dengan hormat memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Kami diminta menginap semalam. Saya mengamati semua perempuan yang belum kawin mengenakan sejumlah cincin timah besar di telinga mereka (penyelidikan saya lebih lanjut bahwa timah itu datang dari Selat Makala). Pada tanggal 07 Juli 1772, ketika kami melanjutkan perjalanan Radja meminta anaknya untuk mengawal kami. Dari Terimbaru kami terus ke Sa-masam (Simasom). Kami bertemu radja yang mana dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah rumah untuk kami dan memperlakukan kami dengan keramahan dan hormat. Wilayah ini dikelilingi bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian besar tanah padang rumput untuk ternak mereka yang tampaknya memiliki kelimpahan yang besar. Selanjutnya kami berangkat ke Batang Onang satu hari perjalanan untuk melihat hutan kulit manis yang di sana-sini terlihat batangnya ada yang berdiameter dua meter. Batang Onang sudah termasuk wilayah Padang Lawas. Pada tanggal 14 Juli 1772, kami meninggalkan Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto Moran (Huta Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam. Namun setelah itu kami mengambvil jalan yang berbeda sebelum Sa-pisang. Dengan mengambil sampan kami menyusuri sunga Batang Tara ke laut. Pada tanggal 22 Juli 1772, kami tiba kembali di Pulo Punchong.

Sejak ekspedisi Charles Miller ke Tanah Batak di Angkola dan Padang Lawas tidak pernah lagi ekspedisi orang-orang Eropa ke pedalaman Sumatra. Konsentrasi tiga adikuasa (Belanda, Inggris dan Prancis) telah meningkat di Jawa. Wilayah-wilayah Sumatra’s Westkust seakan terabaikan. Prancis menduduki Batavia dan sekitarnya tahun 1795 hingga 1899. Saat inilah VOC dianggap lemah dan berada pada situasi krisis sehingga akhirnya VOC bubar. Pada tahun 1800 Belanda kembali menguasai Batavia dengan bendera pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian disebut Pemerintahan Hindia Belanda (menggantikan VOC/swasta). Guberrnur Jenderal pada permulaan era Pemerintah Hindia Belanda ini adalah Daendels. Program pertamanya adalah meningkatkan eksploitasi Jawa dengan membangun jalan trans-Java dari Anjer hingga Panaroekan tahun 1909-1910. Ini semua dimaksudkan untuk melancarkan perdagangan dari pedalaman Jawa, seperti Preanger sehubungan dengan kebutuhan permintaan kopi di pasar dunia.

Namun tidak lama kemudian, Inggris menduduki Batavia dan selanjutnya mengakuisisi Jawa dari tangan Belanda sejak 1811. Letnan Gubernur Jenderal Thomas Raffles mendirikan ibukota di Buitenzorg. Sumatra’s Westkust masih dalam situasi dan kndisi hening, tidak ada kabar berita apa yang terjadi di Sumatra. Namun belum lama Inggris menata pemerintahan di Jawa, kembali Belanda mengambil alih kekuasaan dari Inggris. Dalam perjanjian Inggris dan Belanda masih terdapat wilayah Inggris yang berpusat di Bengkoelen. Ini mengindikasikan Belanda yang masih terkonsentrasi di Jawa, sementara Inggris mengalihkan perhatian ke Sumatra khususnya Sumatra’s Westkust.

Pada saat inilah Thomas Stamford Raffles yang masih menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Inggris (yang berpusat di Calcutta, India) melakukan ekspedisi ke Minangkabau pada tahun 1818. Ekspedisi yang dipimpin oleh Raffles ini hingga ke Pagerroejoeng. Inilah untuk kali kedua orang Eropa mengunjungi Pagerroejoeng setelah kunjungan Thomas Dias pada tahun 1684. Terdapat jarak waktu yang lama sekitar 134 tahun. Jarak waktu yang kurang lebih (140 tahun) ketika Mendes Minto mengunjungi Tanah Batak (di Padang Lawas?) dan tentang keberadaan pedagang Tionghoa di Angkola (1530-1890). Dan ketika Charles Miller mengunjungi Angkola/Padang lawas tahun 1772 dan kembalinya pedagang Tionghoa ke Batavia dari Angkola tahun 1701 terdapat jarak waktu sekitar 70 tahun. Dengan jarak waktu yang begitu lama, tidak diketahui apa yang telah terjadi dan apa yang telah berubah di antara tahun-tahun tersebut di pedalaman Sumatra khususnya di Pagerroejoeng dan Angkola/Padang Lawas.

Setelah Pemerintah Hindia Belanda mulai menguat di Jawa, Belanda mulai melakukan ekspansi ke Sumatra yang dimulai di Palembang dan lalu menyusul ke Sumatra’s Westkust. Pada tahun 1819 Belanda berhasil mengambil alih propertinya di sejumlah tempat termasuk Padang. Pada tanggal 17 Mei 1819 Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air Bangies dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 1820. Residenti Natal dibebaskan tanggal 17 Oktober 1820. Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih wilayah dan properti VOC/Belanda tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli termasuk kantor di Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara keseluruhan baru terbebaskan (kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921 berdasarkan Resolutie Gouverneur Generaal. Sejak inilah Pemerintah Hindia Belanda mulai menata pemerintahan di Sumatra’s Westkust.

Dalam permulaan Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust penetapan ibukota tidak dilakukan di Padang melainkan ibukota ditetapkan di Tapanoeli di Poelaoe Pontjang sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust. Meski Padang sudah terbebaskan dari Inggris, tetapi karena di pantai barat Sumatra masih bercokol Inggris di Bengkoelen (di selatan), untuk menghindarkan bentrok (kembali), penetapan Tapanoeli sebagai ibukota menjadi satu pilihan yang terpaksa. Mengapa? Tapanoeli berada tidak jauh dari pengaruh Kerajaan Atjeh yang terdekat di Singkel.

Sementara itu ketika Inggris memindahkan pusatnya dari Buitenzorg ke Bengkoelen (pasca akuisisi Belanda atas Inggris di Jawa), Inggris sudah menancapkan kekuatannya di Penang (yang tidak jauh dari Atjeh). Sementara Inggris berada di Penang, Belanda masih memiliki properti di Malaka (sejak 1643). Saat inilah John Anderson memulai tugas ekspedisi tahun 1821 ke wilayah-wilayah potensial yang terbilang belum memiliki tuan (independen) di Sumatra’s Oostkust, seperti Deli, Batoebara, Asahan dan Laboehan Batoe. Laporan John Anderson ini kemudian dibukukan (1823). Hasil ekspedisi Jhon Anderson telah memberi pemahaman yang luas bagi Inggris tentang situasi dan kondisi di sisi timur Sumatra mulai dari Langkat hingga Indragiri.

Eskalasi politik di Eropa terutama antara Inggris dan Belanda telah berimbas ke Nusantara khususnya di Sumatra. Pada tahun 1924 diadakan perjanjian antara Belanda dan Inggris yang dikenal sebagai perjanjian Traktak London. Keputusan yang penting, terjadi tukar guling antara Bengkeolen (Inggris) dengan Malaka (Belanda). Sejak itu, Sumatra seluruhnya dibawah otoritas Belanda (kecuali Atjeh yang masih independen) dan Semenanjung dibawah otoritas Inggris. Meski Sumatra sudah diklaim sebagai wilayah Belanda, tetapi Pemerintah Hindia Belanda masih terkonsentrasi untuk pemulihan di Sumatra’s Westkust, sementara Sumatra’s Oostkuet belum tersentuh sama sekali.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda memulai eksploitasi di Sumatra’s Westkust, situasi politik di pedalaman Sumatra khususnya di Miangkabaoe yang berpusat di Pegerroejoeng dan di Manadailing dan Angkola sudah sejak lama menghangat. Ini bermula dari perbedaan prinsip antara golongan agama (Padri) dengan golongan aristokrat di Pagerroejoeng dan aristokrat di Mandailing dan Angkola. Padri bahkan sudah melakukan aneksasi di Mandailing dan Angkola sejak tahun 1816 (tahun berakhirnya pendudukan Inggris di Jawa).

Perseteruan Padri dengan aristokrasi Pagerroejoeng dan Mandailing/Angkola di satu pihak memunculkan inisiatif Radja Pegerroejoeng untuk bekerjasama dengan Belanda. Inilah kerjasama kali kedua Pagerroejoeng dengan Belanda sejak Thomas Dias melakukan ekspedisi dari Malaka ke Pageroejoeng tahun 1684. Kerjasama Pagerroejoeng dengan Belanda ini lalu kemudian diikuti oleh pemimpin-pemimpin Mandailing dan Angkola. Para pemimpin Mandailing dan Angkola sudah pada puncaknya tidak menginginkan kehadiran Padri di Tanah Batak. Kerjasama antara Pageroejoeng dengan Belanda di satu pihak dan kerjasama para pemimpin Angkola’Mandaiing dengan Belanda di pihak lain membuat pasukan Padri terjepit di Bondjol. Perang inilah yang kemudian disebut Perang Bondjol yang berakhir pada tahun 1837. Pasukan Padri yang melarikan diri ke Angkola kemudian kolaborasi pemimpin Angkola/Mandailing dengan Belanda berhasil mengusir Padri dari Angkola dan kemudian berujung pada pengepungan pasukan Padri di Padang Lawas dan Daloe-Daloe. Pada bulan Oktober 1838 Tanah Batak (Mandailing, Angkola dan Padang Lawas) bebas dari Padri, sebagaimana setahun sebelumnya Minangkabau dibersihkan dari Padri.

Jalur yang sudah terhubung antara Pagerroejoeng dengan Malaka sebelum ekspedisi Thomas Dias tahun 1684 memungkinkan perdagangan dari pedalaman Minangkabau via sungai Siak ke pusat perdagangan utama di Malaka. Seiring dengan arus perdagangan ini sudah barang tentu arus orang juga terjadi walau dalam skala kecil karena hanya terbatas pada urusan perdagangan dan diplomasi. Arus orang diduga kuat semakin deras ke Sumatra’s Oostkust (Siak dan sekitar) dan Semenanjung ketika terjadi pergolakan di Minangkabau yang berpusat di Pagerrojoeng sehubungan dengan semakin meningkatnya tekanan Padri bagi kalangan aristokrasi di Pagerroejoeng. Pada fase ini terjadi eksodus penduduk dari Minangkabau menyingkir dari kampung halamannya sendiri di pedalaman Sumatra ke wilayah Sumatra’s Oostkust dan sebagian menyeberang ke Semenanjung. Hal serupa juga terjadi ketika Padri semakin menekan penduduk sebagai lumbung pasokan pangan dan moneter ketika Padri berperang melawan Belanda/kaum aristokrat di Minangkabau. Tekanan yang semakin menjadi-jadi dari Padri mengakibatkan penduduk yang tidak senang melakukan eksodus ke berbagai tempat di Padang Lawas lalu begeser ke Sumatra’s Ooskust dan sebagian menyeberang ke Semenanjung. Penyeberangan penduduk Sumatra dari pedalaman (Minangkabau dan Mandailing/Angkola) semakin dimungkinkan ketika Malaka berada dibawah kekuasaan Inggris (sejak Traktat London 1924). Mereka ini telah merintis jalan untuk generasi berikutnya.  

Saat Radja Pageroejoeng di pedalaman Minangkabau semakin kewalahan menghadapi Padri, mulailah Radja Pagerroejoeng kalau tidak bisa disebut meminta bantuan paling tidak melakukan kerjasama menghadapi Padri. Di Padang sendiri, mana kala pada tahun diplomasi Thomas Dias dari Malaka ke Pegeroejoeng tahun 1684, sejak tahun 1666 ketika pengaruh Atjeh diusir dari Padang sudah dibentuk pemerintahan di Padang dengan mengangkat jabatan Panglima sejak 1666. Sejak ini dianggap sebagai tahun kelahiran pemerintahan lokal di Padang (merdeka dari Atjeh). Para pemimpin lokal di Padang ini dapat dilihat pada stambuk berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-03-1884). Panglima pertama adalah Orang Kaja Ketjil (mulai tahun 1666). Panglima yang ke-23 (1834-1867) Soetan Iskandar III dari orang Melayo. Panglima yang terakhir adalah Maharadja Besar III (Si Megat) yang diangkat tahun 1876.

Pada dasarnya pemerintahan lokal di Padang (pantai) dengan pemerintah lokal di Pegerroejoeng (pedalaman) terpisah, tidak ada hubungan satu sama lain. Pemerintahan di Padang yang dipimpin oleh Panglima adalah pemimpin yang awalnya didudukkan oleh Belanda/VOC (setelah pembebasan Atjeh di Padang). Panglima tunduk ke VOC/Belanda. Sementara pemerintahan di Pageroejoeng yang dipimpin oleh Radja adalah raja yang diturunkan secara temurun yang tetap bersifat independen. Hubungan Radja Pageroejoeng dengan Gubernur Malaka (via diplomasi Thomas Dias tahun 1684) hanyalah hubungan bersifat bilateral.

Panglima Soetan Iskandar III (panglima ke-23) sejak tahun 1834 sudah diintegrasikan dengan struktur saat mana pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status Residentie Sumatra’s Westkust menjadi Province Sumatra’s Westkust yang dikepalai oleh seorang Gubernur pertama. AV Michiels. Titel panglim Padang ini disebut Regent van Padang. Dengan kata lain: Soetan Iskandar III adalah panglima dan juga Regent van Padang.

Jabatan Resident van Padang sebelum Soetan Iskandar III dipegang oleh Soetan Mansoer Alam Shah (tokoh yang dikaitkan dengan aristokrasi Pagarroejoeng). Untuk regent van Pagarroejoeng sendiri dipegang oleh Soetan Alam Bagagar Shah (yang diangkat Belanda untuk menggantikan Moening Sjah, radja terakhir Pagarroejoeng). Radja Moening Sjah pada tahun 1815 harus menyingkir dari singgasana Istana Pageroejoeng karena Padri. Sejak inilah Kerajaan Pageroejoeng meminta bantuan kepada pihak Belanda di Padang dan melakukan perjanjian kerjasama dilakukan pada tahun 1921 untuk melumpuhkan Padri. Pada tahun ini merupakan tahun-tahun awal pembentukan pemerintahan Belanda di Padang yang mana ibukota Sumatra’s Westkust masih berada di Tapanoeli. Dengan perjanjian ini Kerajaan Pageroejoeng yang bebas merdeka sejak doeloe menjadi tunduk di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Invasi Belanda ke Minangkabau lalu dimulai dan kemudian berhasil mengusir Padri dari Pageroejoeng tahun 1824. Tidak lama kemudian setelah Radja Pageroejoeng dari pengungsian dikabarkan tahun 1825 meninggal dunia. Radja Moening Sjah wafat, raja terakhir Kerajaan Pageroejoeng dan Kerajaan Pagerroejoeng tamat. Sebab otoritas kerajaan telah berakhir, pengganti raja terakhir Pegeroejoeng hanya didudukkan setingkan regent (dan hanya terbatas di pedalaman di Minangkabau). Regent van Padang sempat kosong untuk beberapa tahun dan baru tahun 1834 difungsikan kembali. Pengangkatan kembali regen van Padang ini diduga terkait dengan dihilangkannya regent van Pageroejoeng tahun 1833 (karena tidak cooperative). Tamat sudah pengeran-pangeran Pageroejoeng di dalam berbagai pemerintahan. Dengan diangkatnya Soetan Iskandar III sebagai Regent van Padang berarti Soetan Iskandar III mengalami promosi selain menjadi Toeankoe Panglima juga sekaligus menjadi Regent van Padang (yang telah difungsikan kembali).

Migrasi Minangkabau ke Negeri Sembilan dan Migrasi Angkola dan Mandailing ke Selangor: Sutan Puasa, Pendiri Kota Kualalumpur

Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust mulai dibentuk tahun 1821. Asisten Residen WJ Wateeloo. Ibukota pemerintahan di Sumatra’s Westkust berada di Tapanoeli (lihat Almanak tahun 1921). Dalam Pemerintahan Hindia Belanda yang pertama ini di Sumatra’s Westkust, Asisten Residen didukung oleh tiga komisaris dan tiga pejabat keuangan. Selain itu Asisten Residen dibantu oleh sejumlah pejabat sipil dan komandan militer di sejumlah tempat. Di Padang ditempatkan dua pejabat sipil yakni kepala pelabuhan (havenmeester) dan kepala gudang (pakhuismeester). Pejabat sipil lainnya ditempatkan di Natal yang berfungsi sebagai kepala pelabuhan yang juga merangkap kepala gudang.

Komandan militer tertinggi di Sumatra's Westkust berpangkat Majoor yang ditempatkan di Natal (dekat Tapanoeli). Komandan militer dibawahnya berpangkat Kapitein ditempatkan di Padangsch Bovenlanden. Selain itu ada sejumlah  komandan berpangkat Luitenan yang ditempatkan di tempat berbeda, diantaranya Letnan Dua berada di Pariaman dan Letnan Satu di Ajer Bangies. Beberapa posthouder (kepala kantor dagang) ditempatkan diantaranya di Poeloe Chinco, di Air Hadji (Painan), Tikoe, Poeloe Batoe dan di Baros. Penempatan ‘markas’ militer di Natal dengan pangkat tertinggi mayor besar kemungkinan karena di Natal sejak era VOC sudah didirikan benteng yang setara dengan benteng Marlborough di Bencoolen. Oleh karenanya, penetapan ‘kota’ Tapanoeli sebagai hoofdplaat (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust yang pertama adalah atas dasar pertimbangan bahwa teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra dan benteng di Natal sebagai benteng terbaik kedua setelah benteng Bencoelen (Inggris). Pemilihan benteng Natal sebagai markas militer utama dengan sendirinya menjadikan ibukota Sumatra's Westkust di Tapanoeli lebih menjauhkan diri dari pihak Inggris yang berada di selatan Sumatra di Bencoelen (Bengkulu). Padang sendiri pada era VOC belumlah tempat utama (hoofdplaat) di pantai barat Sumatra. Bentuk pemerintah di era VOC yang dibentuk masih sangat. Sebagaimana diketahui, Padang sempat ditinggalkan sebagai posthiuder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota penting, bahkan Air Bangis sendiri masih lebih penting dari Padang. Hal ini terindikasi dalam berita Leydse courant, 04-05-1764 sebagai berikut: ‘Pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau) Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan di Padang hanya menempatkan administrator tingkat dua'. Oleh karenanya, pada saat mulai membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra's Westkust, pilihan kota cukup banyak, salah satu diantaranya 'kota' Tapanoeli. Jika mundur lagi ke belakang di masa lampau, pada era Portugis, empat kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Pada awal era VOC muncul nama-nama pelabuhan baru: Tapanoeli, Natal, Air Bangies, Ticoo, Padang, Chinco dan Air Hadji (Painan). Pelabuhan Tapanoeli menggantikan popularitas pelabuhan Baros, Natal menggantikan Batahan dan Padang menggantikan Indrapoera

Reiden dan Gubernur di Sumatra's Westkust
Pada tanggal 17 Maret 1824 terjadi perundingan yang diakhiri dengan perjanjian dan penandatanganan antara Belanda dan Inggris yang dikenal sebagai Traktat London. Satu kesapakatan dalam perjanjian ini adalah ‘tukar guling’ antara Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak perjanjian ini, Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Ini dengan sendirinya, Residentie Sumatra’s Westkust bertambah luas menjadi wilayah baru antara Singkel dan Bengkulu. Sejak perubahan wilayah inilah terjadi proses pemindahan ibukota Residentie Sumatra’s Westkust dari kota Tapanoeli ke kota Padang.

Pada tahun 1825 Kol. HJJL de Stuers diangkat menjadi residen dan komandan militer di Sumatra’s Westkust, Berdasarkan resolutie van den Gouv.-Gen. 1 November 1825, Majoor Rothmalder, komandan berpangkat tertinggi di Natal en Onderhoorigheden menjadi berada di bawah komando Kol. HJJL de Stuers. Dengan diangkatnya Stuers sebagai residen, status Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Residen. Lalu, Padang menjadi ibukota Sumatra’s Westkust yang baru (lihat juga Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 1887).

Setelah berakhir pengaruh Padri di Minangkabau (1837) dan di Mandailing/Angkola (1838). Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust mulai mengefektifkan fungsi pemerintahan seiring dengan misi pemerintahan untuk memulai eksploitasi (penjajahan penduduk). Program pertama pemerintahan Gubenur AV Michiel adalah penerapan kofficultuur. Program koffiekultuur ini kemudian diperluas ke wilayah Mandailing dan Angkola pada tahun 1840.

Pada tahun 1840 Residentie Bengkoelen dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Sebagai pengantinya dibentuk Residentie Air Bangies (termasuk afdeeling Natal dan afdeeling Mandailing en Ankola) dan kemudian disusul dibentuknya Residentie Tapanoeli. Namun pada tahun 1845 Residentie Air Bangies dihapus yang mana Afddeling Mandailing en Ankola yang disusul kemudian afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sementara afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden (kemudian dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden). Sedangkan afdeeling Air Bangies dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden. Sejak itu, Province Sumatra’s Westkust tidak berubah lagi hingga waktu yang lama (hingga nanti 1905) yang terdiri dari tiga residentie: Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Yang terjadi adalah pemekaran atau penggabungan pada wilayah-wilayah yang lebih rendah.

Pada permulaan penerapan koffiecultuur ini yang kemudian bergeser menjadi koffiestelsel seperti yang dilakukan di Preanger (sejak 1830) beberapa pemimpin lokal mulai keberatan dan melakukan pembangkangan. Sejumlah kejadian bermunculan. Pemberontakan di Batipoeh pada tahun 1841 dan kemudian disusul di Mandailing dan Angkola pada tahun 1842. Pada saat pemberontakan inilah kemudian timbul eksodus penduduk ke Semenanjung, menyusul para pendahulu mereka yang telah lebih dahulu pada era Padri. Kelak para penduduk asal Minangkabau ini terkonsentrasi di Negeri Sembilan dan penduduk Mandailing dan Angkola terkonsentrasi di Selangor. Beberapa tempat di Malaysia pada masa ini ditemukan cukup banyak entik Minangkabau di Rembaoe, Soengai Oedjong dan Jeleboe. Sementara etnik Mandailing dan Angkola selain di Kuala Lumpur dan daerah-daerah di Selangor juga ditemukan di Klang, Perak, Ipoh dan Penang.

Dengan semakin banyaknya penduduk Minangkabau yang bermukim di Negeri Sembilan dan penduduk Mandailing/Angkola di Selangor kesatuan dan persatuan semakin menguat di rantau di Semenanjung. Awalnya pemukim-pemungkim yang hijrah ke Semenanjung berada di pantai-pantai mulai membuka perkampungan-perkampungan di pedalaman. Salah satu kampung yang dibuka oleh penduduk Mandailing dan Angkola di hulu sungai Klang adalah perkampuangan yang disebut Kwala Loempoer. Kampung inilah yang kelak menjadi cikal bakal Kota Kualalumpur yang sekarang. Pendirian perkampungan Kwala Loempoer ini dipimpin oleh Soetan Puasa yang berasal dari Mandailing.

Para pendiri perkampungan Kwala Loempoer, banyak turunan mereka yang menjadi petinggi di Selangor. Orang-orang Mandailing dan Angkola yang pernah menjabat di Malaysia antara lain: Dato Harun bin Idris Harahap, Menteri Besar Selangor, Tan Sri Dato’, Tun Mohammad Hanif Nasution, Ketua Polis Diraja Malaysia (setara Kapolri), Tun Daim Batubara, Menteri Keuangan, Tan Sri Dato’ Senu Abdurrahman Siregar (pernah menjadi Duta Besar Malaysia untuk Indonesia dan juga mantan Menteri Penerangan Kerajaan Malaysia), Tun Mohammad Haniff bin Omar Nasution (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia), Laksamana Dato’ Mohammad Zain Salleh Nasution (mantan Panglima Angkatan Laut Diraja Malaysia), Tan Sri Dato’ Haji Mohammed Azmi bin Haji Kamaruddin Harahap (Hakim Agung), dan Dato’ Kamaruddin bin Idris Harahap (mantan Ketua Polis Diraja Malaysia. Faktor mereka inilah di bawah bayang-bayang peristiwa konfrontasi terhadap Malaysia yang kemudian memudahkan pemulihan hubungan Indonesia dan Malaysia. Saat itu peran Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri sangat strategis dalam pemuluhan negara bertetangga tersebut. Kerabat Adam Malik yang berasal dari Mandailing tentu saja banyak di Malaysia.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar