Minggu, 02 Juni 2019

Sejarah Jakarta (52): Sejarah Cikeas dan Presiden SBY; Kanal Irigasi Oosterslokkan, Kampong Tjikeas-Nagrak di Sungai Tjikeas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Cikeas (Tjikeas) pada msa kini menjadi sangat populer, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan Presiden RI dan keluarga beberapa tahun lalu telah membangun sebuah puri (rumah) tidak jauh di sisi timur sungai Cikeas.di bilangan kawasan Perumahan Cibubur. Kehadiran Puri Cikeas, membuat nama Cikeas meroket. Posisi GPS tempo doeloe adalah kampong Tjikeas Nagrak yang telah bertransformasi dari sebuah kampong kecil menjadi nama sebuah kawasan pemukiman yang elite, asri dan hijau. Keluarga SBY bermukim disitu.

Tjikeas Doeloe (Peta 1901) dan Cikeas Now (googlemap)
Pada hari kemarin Ibu Ani, Ibu Negara, istri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meninggal dunia di Singapura dan disemayamkan di Puri Cikeas. Pada hari ini almarhum Ibu Ani dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta. Nama Ibu Ani meninggalkan banyak kesan baik, apakah diantara anggota keluarga maupun sahabat. Cikeas dan Nagrak juga kehilangan Ibu Ani. Selamat jalan Ibu Ani, semoga diterima di sisi-Nya.

Lantas bagaimana dengan sejarah Cikeas sendiri?  Nama Cikeas bukanlah baru. Nama (sungai) Tjikeas sudah dikenal sejak tempo doeloe, sebagai bagian dari pembangunan sistem irigasi (kanal) di era Gubernur Jenderal van Imhoff (1743-1750). Di sisi timur sungai Tjikeas terdapat kampong Tjikeas Nagrak (lihat Peta 1901). Lalu seperti apa sejarah lengkap sungai Tjikeas dan kampong Tjikeas Nagrak? Itulah pertanyaan yang ingin dijawab. Untuk itu, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai Tjikeas dan Gubernur Jenderal van Imhoff

Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff (1743-1750) memiliki minat yang kuat untuk mengembangkan pertanian di sisi timur sungai Tjiliwong di sepanjang jalur jalan poros dari Batavia di hilir hingga hulu sungai Tjiliwong. Hal ini boleh jadi karena sebelumnya, pada tahun 1745 van Imhoff telah membangun sebuah villa di hulu sungai Tjiliwong. Villa ini kelak bertransformasi menjadi Istana Bogor yang sekarang.

Eksplorasi sisi timur sungai Tjiliwong dimulai pada tahun 1687 dengan mengirim sebuah tim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Sersan Scipio. Tim ekspedisi ini kemudian menemukan reruntuhan eks kerajaan di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong dengan sungai Tjisadane. Tim ini kemudian menetapkan dan membangun sebuah benteng (fort) di titik tertentu yang disebut Fort Padjadjaran (mengambil nama eks kerajaan).

Jembatan konstruksi lengkung di Batoe Toelis, 1890
Di depan fort inilah kemudian van Imhoff pada tahun 1745 membangun sebuah villa. Untuk melancarkan lalu lintas kemudian dibangun jembatan baru terbuat dari kayu di atas sungai Tjiliwong di Waroeng Djamboe yang sekarang. Sebelumnya sudah ada jembatan kuno yang terbuat dari bambu di arah hulu. Jembatan ini kini dikenal sebagai jembatan Otista di jalan Otista yang sekarang. Jembatan ini diduga sudah seusia dengan kerajaan Pakuan-Padjadjaran. Jembatan van Imhoof di Waroeng Djamboe yang sekarang merupakan jembatan kedua yang dibangun VOC setelah di sebelumnya di masa lampau dibangun jembatan di atas sungai Tjiliwong di dekat fort Noordwijk yang kemudian dikenal sebagai jembatan Sluisburg (jembatan Pintu Air stasion Juanda yang sekarang).

Sejak adanya villa itu, area yang indah tersebut kemudian dikenal nama Buitenzorg. Berasal dari kosa kata Belanda yang artinya tempat peristirahatan yang sehat jauh di luar kota. Batavia dan Buitenzorg menjadi dua nama kota yang diperkenalkan oleh orang Belanda. Kelak area benteng dan villa di Buitenzorg ini, Gubernur Jenderal Daendels membangun villa yang baru berupa istana yang disebut istana Gubernur Jenderal. Istana inilah yang menjadi cikal bakal Istana Bogor yang sekarang.

Setelah selesai pembangunan villa tersebut, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mulai merancang pembangunan pertanian di sepanjang jalan dari stad (kota) Batavia ke Buitenzorg. Untuk mendukung program tersebut mulai dibangun kanal (irigasi) dengan menyodet sungai Tjiliwong di Katoelampa. Kanal ini dari Katoelampa melalui (kampong) Tjiloear dan dialirkan mengikuti (sisi) jalan poros menuju Batavia. Kanal ini disebut Tjibaroe (lihat Peta 1900).

Bendungan Katorlampa (Peta 1900)
Bendungan ini diduga kuat adalah bendungan kuno yang dibangun sejak era Pakuan-Padjadjaran. Namun saat itu bendungan hanya berupa tanggul sungai yang tersusun dari bebatuan. Air dari bendungan ini dialirkan ke hilir berupa kanal untuk kegunaan irigasi persawahan. Diduga kuat nama kampong Tjiloear berasal dari terminologi setempat di jaman kuno yakni air yang dikeluarkan dari sungai Tjiliwong sebagai sungai Tjiloear. Kampong yang berada di daerah aliran sungai (kanal) Tjilioear ini disebut kampong Tjiloear. Dalam habungannya dengan program van Imhoff, bendungan Katoelampa bukanlah baru, tetapi sudah muncul sejak dahulu kala yang menjadi heritage kerajaan Pakuan-Padjadjaran. Dalam bahasa Wali Kota Bogor yang sekarang: DI NU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA AYEUNA SAMPEUREUN JAGA.

Pembanguuan pertanian ini tentu saja tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi (terutama pertanian) tetapi juga untuk menciptakan suasana lebih ramai dengan masuknya lebih banyak para investor Eropa/Belanda membangun plantation. Insentif yang diberikan bagi investor adalah pemberian berupa hak penguasaan penuh yang kemudian dikenal sebagai tanah-tanah partikelir (landerein).Dengan demikian koneksi Batavia-Buitenzorg menjadi lebih meningkat.

Fort Padjadjaran, 1772
Sehubungan dengan program tersebut, untuk meningkatkan keamanan di hulu sungai Tjiliwong, benteng (fort) Padjadjaran ditingkatkan menjadi sebuah garnisun militer. Awalnya garnisun ini berada dekat dengan villa tetapi dalam perkembangannya direlokasi ke area tertentu, di seberang jalan Istana Bogor sekitar lampu merah yang sekarang. Sisi bagian belakang di bawah kantin dari garnisun ini kelak disebut nama kampong, yakni kampong Labak Kantin yang sekarang.

Namun dalam perjalanan waktu kanal yang dibangun sejak era van Imhoff ini tidak berkembang. Lebar kanal yang hanya dua meter tidak sebanding dengan perkembangan wilayah (intensifikasi land-land di hulu) dengan kebutuhan air yang meningkat di hilir. Aliran kanal yang awalnya sampai ke Meester Cornelis lambat laun kanal di bagan hilir hanya berfungsi sebagai saluran drainase di musim hujan dan kering di musim kemarau.

Selain kanal di sisi timur sungai Tjiliwong, di sekitar Buitenzorg juga dibangun kanal kecil. Kanal ini dibuat untuk meneruskan air sungai di kampong Bondongan yang jatuh ke sungai Tjisadane dengan cara dibelokkan dengan membuat kanal di Paledang untuk menuju Kedong Badak. Dalam pembangunan kanal ini juga dibangun jembatan di atas kanal yang kini disebut Jembatan Merah.

Sejak awal pembangunan kanal (era van Imhoff) praktis tidak ada intervensi yang dilakukan pemerintah VOC untuk perbaikan atau peningkatan fugsi kanal. Sistem pengairan hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh para pemilik tanah partikelir di sepanjang jalan poros antara Batavia (Bidara Tjina) dan Buitenzorg (Tjiloear). Peningkatan fungsi kanal baru terjadi pada era Pemerintahan Hindia Belanda di masa Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811).

Kanal, jalan poros dan sungai Tjikeas di Tjiloear (Peta 1901)
Keberadaan kanal makin ke hilir makin tidak berfungsi (mati suri). Boleh jadi ini seiring dengan melemahnya pemerintahan VOC. Pada akhirnya VOC dibubarkan pada tahun 1799. Sebagai penggantinya Kerajaan Belanda membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Gubernur Jenderal  Daendels mulai menata vills/istana dan membangun kota Buitenzorg, mulai diperhatikan keberadaan irigasi (kanal) dalam hubungannya dengan pembangunan  pertanian. Ini sesuai dengan program Daendels dalam inegrasi ekonomi perdagangan dengan membangun jalan poros trans-Java antara Anjer dan Panaroekan. Pembangunan pertanian yang dalam hal ini pembangunan kanal akan menunjang laju perekonomian dan perdagangan.
.
Gubernur Jenderal Daendels menginstruksikan untuk peningkatan kanal dan pembangunan kanal-kanal baru. Dalam instruksi ini tidak hanya upaya untuk meningkatkan fungsi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong (peninggalan Gubernur Jenderal van Imhoff) juga membangun kanal-kanal baru di sisi barat sungai Tjiliwong.

Pembangunan kanal di sisi barat sungai Tjiliwong tidak sempat terlaksana karena terjadinya pendudukan Inggris pada tahun 1816. Realisasinya baru dimulai pada tahun 1821. Pembangunan kanal yang dimaksud dalam hal ini adalah memperbesar kanal Paledang dengan cara mengangkat air dari sungai Tjisadane dan mengalirkannya ke kanal. Untuk melaksanakan ini dilakukan pembendungan sungai Tjisadane di wilayah Empang. Bendungan ini kemudian disebut bendungan Empang. Dengan masuknya air dari (bendungan) sungai Tjisadane ke kanal maka kanal diperlebar. Aliran kanal semakin jauh tidak lagi hanya terbatas di Kedong Badak tetapi sudah dapat menjangkau Tjilieboet dan Bodjong Gede. Kanal inilah yang kemudian disebut Westerslokkan (Kanal Barat), sedangkan kanal di sisi timur sungai Tjiliwong yang dirintis sejak era van Imhoff disebut sebagai Oosterslokkan (Kanal Timur).

Dalam rehabilitasi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong, kanal diperlebar menjadi empat meter sehubungan dengan pembangunan baru bendungan Katoelampa. Debit air dari Katoelampo akan menjadi besar maka kanal yang menjadi lebih lebar menjadi empat meter akan memiliki jangkauan yang lebih jauh ke hilir hingga Batavia. Namun dalam perkembangannya kebutuhan air di hilir lambat laun tidak mencukupi sehubungan dengan semakin meluasnya intensifikasi pertanian dan pencetakan sawah baru yang dihubugkan dengan program radikal yang dijalankan Gubernur Jenderal van den Bosch yang disebut cultuurstelsel..

Peta 1845
Jalan poros dan kanal (slokkan) berada di antara sungai-sungai. Di sebelah barat sungai besar Tjiliwong dan di sebelah timur tiga sungai kecil yakni sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang. Secara teknis tidak dimungkinkan untuk menyodet sungai Tjiliwong di hilir (karena air berada di bawah), tetapi tiga sungai kecil di wilayah hulunya ketinggian air masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan aliran kanal di arah hilir.

Pada era Gubernur Jenderal JC Baud (1833-1836), upaya peningkatan kanal ini dilakukan lagi. Namun pelebaran kanal tidak mungkin dilakukan lagi karena sulit mengandalkan debit air yang lebih banyak dari bendungan Katoelampa. Untuk menambah debit air di hilir, kanal (slokkan; selokan) yang bermula di Katoelampa ini didukung tiga sungai kecil yakni sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang. Di masing-masing hulu sungai ini dibendung (terbentuk bendungan) dan kemudian luapan air bendungan dialirkan ke kanal yang berada di jalan pos. Sungai Tjikeas bermuara di Tjiloear, tepatnya di sisi selatan kanal yang berasal dari Katoelampa.

Tjikeas Nagrak (Peta 1901)
Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tjikeas terdapat nama-nama kampong yang mengadopsi nama sungai Tjikeas. Di hulu sungai Tjikeas terdapat nama kampong Babakan Tjikeas (di sekitar Tjitrap). Di hilir sungai Tjikeas terdapat nama-nama kampong  Bodjong Tjikeas, Tjikeas Oedik, Tjikeas Ilir, Tjikeas Nagrak dan Tjikeas Tengah. Kampong Bodjong Tjikeas berada di sisi barat sungai Tjikeas, sedangkan Tjikeas Oedik, Tjikeas Ilir, Tjikeas Tengah dan Tjikeas Nagrak berada di sisi timur sungai Tjikeas. Tjikeas Oedik di hulu kampong Tjikeas Nagrak. Sementara di hilir kampog Tjikeas Nagrak beturut-turut ke hilit adalah kampong Tjikeas Tengah, kampong Tjiangsana dan kampong Tjikeas Ilir. Empat kampong ini berada diantara sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi. Di Banter Gebang sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi bertemu yang ke hilir disebut sungai Bekasi.

Kampong Tjikeas-Nagrak: Beberapa Kejadian

Bagaimana asal usul terbentuknya nama kampong Tjikeas Nagrak, Tjikeas Oedik, Tjikeas Tengah dan Tjikeas Ilir  tidak diketahui secara jelas. Ketiga nama kampong ini paling tidak sudah dipetakan pada tahun 1901 (Peta 1901). Secara spasial, diduga nama kampong Tjikeas Nagrak lebih dulu ada dari kampong Tjikeas Oedik, Tjikeas Tengah dan Tjikeas Ilir. Hal ini karena kampong Tjikeas Oedik, Tjikeas Tengah dan Tjikeas Ilir mengindikasikan posisi spasial yang memusat di kampong Tjikeas Nagrak.

Tjitrap dan Goenoeng Poetri (Peta 1901)
Secara morfologis, nama empat kampong Tjikeas ini (Nagrak, Oedik, Tengah dan Ilir) diduga adalah kampong-kampong  yang lebih tua jika dibandingkan dengan dua nama kampong lainnya yakni Babakan Tjikeas dan Bodjong Tjikeas. Secara geografis nama kampong Babakan Tjikeas dan kampong Bodjong Tjikeas mengindikasikan nama kampong baru. Bojong dalam bahasa Sunda kuno adalah tanah/lahan yang dikitari oleh sungai; babakan adalah tanah/lahan yang baru untuk pemukiman; satu lagi yang kerap menunjukkan nama kampong adalah lebak yang artinya tanah/lahan yang lebih rendah (tanah rendah). Bojong, lebak dan babakan adalah terminologi yang diasosiasikan dengan tanah/lahan marjinal (tanah sisa) yang dijadikan pemukiman. Sedangkan arti nagrak/nagrok adalah tanah/lahan kering selamanya; sedangkan tanah tegalan (tegal) untuk nama pemukiman artinya tanah/lahan yang basah di musim hujan dan kering di musim kemarau.

Dalam daftar nama desa yang dipersiapkan menjelang sensus penduduk tahun 1930 (SP-1930) kampong Tjikeas Nagrak, kampong Tjikeas Oedik, Tjikeas Tengah, Tjiangsana dan Tjikeas Ilir digabung menjadi satu desa dengan nama desa Tjikeas-Nagrak. Penggabungan terkait dengan keperluan jumlah penduduk minimum dalam pembentukan satu wilayah administrasi sebuah desa.

View Land Tjitrap (lukisan, 1872)
Nama desa Tjikeas-Nagrak kali pertama diberitakan di surat kabar pada tahun 1937 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1937). Desa Tjikeas-Nagrak sendiri masuk wilayah Onderdistrict Tjiteureup, District Tjibinong, Afdeeling Buitenzorg  Namun dalam persepsi umum, adakalanya nama desa Tjikeas-Nagrak hanya disebut desa Tjikeas (saja). Hal ini diduga karena gabungan kampong Tjikeas (oedik dan ilir) lebih besar dari kampong Nagrak. Akses menuju desa Tjikeas-Nagrak, meski jarak garis lurus lebih dekat ke (land) Tapos, tetapi akses (infrastruktur) jalan justru hanya dari arah (land) Tjitrap atau Goenoeng Poetri di dekat jalan pos Batavia-Buitenzorg. Namun, seperti kita ketahui pada masa kini lebih mudah diakses dari jalan alternatif Cibubur (Jakarta).

Secara historis, meski nama Tjikeas sudah dikenal sebagai nama sungai sejak era Gubernur Jenderal van Imhoff dalam program pembangunan kanal irigasi, akan tetapi nama Tjikeas sebagai nama tempat sangat jarang terberitakan di surat kabar. Boleh jadi wilayah di sisi timur sungai Tjikeas, wilayah dimana terdapat kampong Tjikeas, termasuk wilayah yang jauh dari sisi jalan poros (raya) trans-Java.

Java-bode, 12-10-1871
Tjikeas sebagai nama kampong paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1871 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1871). Disebutkan pada tanggal 20 bulan lalu, di kampung Kadoemangoe, Lewi-Jambc, Tjikeas dan Sentul, di Land Tjitrap, di district Tjibinong, sebanyak 15 buah rumah dari kayu dan bambu, dua buah lumbung padi dan 94 pohon buah-buahan dihancurkan oleh angin kencang (badai).

Kampong Tjikeas yang berada di wilayah yang terbilang jauh dari hiruk pikuk lalu lintas antara Batavia dan Buitenzorg menjadi rawan. Sulitnya akses dari land Tapos dan land Tjilengsi karena barier sungai dan buruknya jalan dari tempat utama di Goenoeng Poetri  menyebabkan kampong Tjikeas sering menjadi sasaran operasi perampokan.

Situ dan puncak gunung di Goenoeng Poetri (Peta 1901)
Tempat utama (hoofdplaat) di Goenong Poetri dalam perkembangannya, sebagai tempat yang ramai dijadikan sebagai pusat zending. Pada tahun 1907 terbit surat keputusan pemerintah menetapkan di Goenoeng Poetri sebagai pusat zending yang dijalankan oleh pribumi di bawah pengawasan pusat di Rotterdam (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-09-1907). Pada tahun 1915 di Goenoeng Poetri didirikan sekolah alkitab (lihat De Preanger-bode, 30-09-1915). Tidak diketahui secara jelas apakah sekolah alkitab di Goenoeng Poetri ini terkait dengan sekolah yang sama di Depok (sekolah zending) yang telah didirikan sejak 1867. 

Kampong Goenoeng Poetri, 1915
Yang jelas sejak adanya pusat zending, kampong Goenoeng Poetri melesat maju dan menjadi tempat utama yang penting di wilayh remote area. Tempat utama (hoofdplaat) Goenoeng Poetri secara perlahan telah memotong jalan dari Tjitrap dan menggantikannya. Kelak, Goenoeng Poetri dijadikan sebagai ibukota onderdsitrict yang baru (pemekaran dari onderdistrict Tjitrap). Semua desa yang sebelumnya sulit dijangkau dari Tjitrap, seperti kampong/desa Tjikeas Nagrak disatukan menjadi bagian dari onderdistrict Goenoeng Poetri.

Landhuis terdekat dari kampong Tjikeas adalah landhuis Land Tapos dan Land Tjilengsi. Landhuis Tapos berada di sisi barat sungai Tjikeas (diakses dari Tjimanggies). Sedangkan landhuis Tjilengsie berada di sisi timur sungai Tjitrap (juga disebut sungai Tjilengsi). Secara geografis, landhuis Tjilengsi lebih mudah diakses dari Bekasi (District Bekasi). Berdasarkan Peta 1845 akses menuju Tjilengsi dan Tjibaroesa hanya melalui utara dari Bekasi (Meester Cornelis), tetapi dalam perkembangannya justru sebaliknya dari selatan di Tjibinong (Buitenzorg). Boleh jadi perubahan itu karena terjadinya perang tahun 1869 di Bekasi.

Landguis Tapos, 1930
Landhuis adalah rumah tuan tanah (landheer) dari tanah partikelir (land). Landhuis dapat dikatakan sebagai tempat utama di suatu wilayah (land). Dalam hal ini tanah partikelir (land) adalah tanah yang dikuasai perorangan. Pembangunan kawasan (land) dilakukan sendiri oleh landheer (tanpa ada intervensi pemerintah). Sebab, land adalah semacam negara di dalam negara.

Kampong Tjikeas berada di antara sungai Tjikeas dan sungai Tjitrap/Tjilengsi. Kampong- lainnya di antara dua sungai yang berdekatan dengan kampong Tjikeas adalah kampong Tjiangsana. Kampong-kampong ini dulunya masuk Onderdistrict Tjitrap, tetapi dalam perkembangannya menjadi bagian dari Onderdistrict Goenoeng Poetri (pemekaran). Kampong-kampong yang masuk Onderdistrict Goenoeng Poetri berada di sisi barat sungai Tjilengsi.

Landhuis Tjitrap (1930)
Land Tjilengsi sendiri yang berada di sisi timur sungai Tjilengsi masuk ke wilayah administratif Onderdistrict Tjilengsi, District Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorg. Landhuis Tjilengsi sendiri sesungguhnya secara geografis sangat dekat dengan kampong Tjikeas, Oleh karena landhuis Tjilengsi masuk administratif District Tjibaroesa, maka akses menuju landhuis Tjilengsi datang dari (land) Tjibaroesa atau (land) Kelapanoenggal. Sementara ibukota (hoofdplaat) Tjibaroesa dari jalan poros Batavia-Buintenzorg diakses dari (land) Tjibinong (Oost) melalui (land) Tjitrap dan (land) Kelapanoenggal. Dapat dibayangkan betapa jauhnya landhuis Tjilengsi dari jalan raya (jalan poros), padahal jika menarik garis lurus ke (land) Tjimanggis betapa dekat Landhuis Tjilengksi ke (land) Landhuis Tapos dan kampong Tjikeas ke arah jalan jalan raya (jalan poros) di (land) Tjimanggis. Ini semua karena tanah partikelir (land) sebagai satu hal, sedangkan kewenangan pemerintah sebagai hal lainnya.

Kantor Demang Tjibaroesa berbendera (Peta 1905)
Bagaimana gambaran District Tjibaroesa dilaporkan oleh seorang pelancong pada tahun 1897 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-08-1897). Pelancong tersebut menyebut District Tjibaroesa seakan bagian dari sebuah provinsi Cina (Bekasi). Untuk masuk ke district ini dari jalan raya dimulai dari Tjibinong dengan mengikuti jalan kelas satu (jalan yang sangat baik). Land Tjibinong sendiri adalah milik orang Eropa tetapi disewakan kepada orang Cina. Tjibaroesa bukan land orang Eropa/Belanda tetapi sebuah wilayah (gewest) yang dipimpin oleh Demang seorang Cina yang tinggal di Buitenzorg dan bertanggungjawab kepada pemerintah. Asisten Residen di Buitenzorg setiap dua minggu datang ke Tjibaroesa untuk audensi. Sebelum Asisten Residen tiba dalam kunjungannya, Demang Cina sudah lebih dahulu hadir di Tjibaroesa untuk menyiapkan penyambutan. Pelancong tersebut juga menjelaskan jalur lalu lintas dari Land Kelapanoenggal ke Tjibaroesa dan land Tjilengsi. Di perbatasan land Kelapanoenggal (yang masuk Onderdistrict Tjitrap, District Tjibinong) dengan (district) Tjibaroesa di sungai Tjilengsi terdapat tol penyeberangan sungai (dikutip bayaran) yang diusahakan oleh seorang Cina. Pengusaha tol ini membayar verponding sebesar f800 setahun kepada pemerintah (melalui demang Tjibaroesa). District Tjiobaroesa ini berbatasan dengan District Bekasi. Pelancong menyebut wilayah di utara ke laut Java (District Bekasi) sering disebut Provinsi Cina (wilayah yang dikuasai oleh orang-orang Cina). Karena itulah District Tjibaroesa yang dipimpin oleh Demang seorang Cina seakan menjadi dependensi dari Provinsi Cina (District Bekasi). Wilayah Tjibaroessa hingga perbatasan Preanger sangat kaya dengan produksi sarang burung (walet?), suatu produk yang disukai oleh orang-orang Cina. Di gua-gua dan di ngarai-ngarai yang terjal banyak ditemukan sarang burung. Dekat dengan gua-gua, tempat tinggal para Buddha, dikunjungi empat kali setahun untuk mengumpulkan sarang burung. Para pekerja pengumpul sarang burung bekerja dengan risiko tinggi di tebing-tebing yang curam dengan tangga rotan hanya dibayar dengan upah rendah sekitar f5 dan f7 per bulan ditambah empat gantang beras per bulan. Para pekerja ini diberi izin mengeksploitasi beberapa areal hutan dan menanam padi gogo, tjegèr dan lombok, ketimoen, dll. Itulah land Tjibaroesa yang kaya dengan jalan yang bagus yang dikuasai oleh seorang Demang yang juga merangkap sebagai pemiliki land. Pelancong juga menyebut dari Land Tjilengsi terdapat jalan menuju Bekasi yang panjangnya 15 pal yang disana-sini terdapat kubangan di sepanjang jalan. Selain jalan dari Kelapanoenggal ke Tjibaroesa dan ke Tjilengsi, juga terdapat jalan yang baik dari Tjibaroesa ke Lemahabang.

Tjibinong-Tjibaroesa (Peta 1905)
Wilayah yang kaya dan berkembang di arah timur Batavia (sisi timur sungai Tjiliwong) pemerintah merencanakan pengembangan jalur kereta api (lihat Bataviaasch handelsblad, 23-05-1884). Disebutkan panjang jalur kereta api 26 Km dengan nilai f1.700.000. Jalur ini disebut  Ooster-Spoorweg. Sebelumnya di sisi barat sungai Tjiliwong sudah sejak tahun 1873 kereta api swasta dioperasikan (dan diteruskan ke Bandoeng yang mulai beroperasi tahun 1883. Jalur timur ini dari stad (kota) Batavia melalui Pasar Senen ke arah Bekasi. Pengembangan jalur ini untuk menarik produk terutama beras dari wilayah-wilayah di selatannya seperti dari Tjipamingkies (Djonggol); Tjibaroesa (juga menghasilkan babi); Tjilengsi; Telok Poetjong; Karang Tjongok dan Gaboes. Tegalwaroe, Kedong Gedeh, Tjikarang, Tamboen dan Tjakoeng serta Babelen.

Kapak batu ditemukan di Tjibaroesa, 1890
Bagaimana pengaruh orang Cina di Bekasi dan Tjibaroesa begitu kuat dapat dikaitkan dengan terjadinya perang yang dipimpin oleh Rama van Ratoe Djaja di wilayah Bekasi, Tjibaroesa, Tjilengsi pada tahun 1869. Dalam peristiwa itu seorang Cina penyewa lahan di Telok Poetjong dibunuh dan rumah dibakar. Ketika datang Asisten Residen dari Meester Cornelis juga ikut dibunuh. Setelah dikerahkan satu detasemen infantri dari Meester Cornelis yang dibantu kaveleri dari Buitenzorg, Rama dan pengikutnya ditangkap dan beberapa orang dihukum mati. Setelah perang itu berakhir di Tjimanggis dibangun garnisun militer sebagai kekuatan penghubung antara Meester Cornelis dan Buitenzorg (di Tjiloear). Sejak situasi dan kondisi wilayah menjadi aman, orang-orang Cina yang menyewa lahan menjadi sangat powerful di Bekasi dan Tjibaroesa, suatu remote area yang tidak terlalu disukai oleh orang Eropa/Belanda yang kemudian disewa oleh orang-orang Cina. Sejak disewa orang-orang Cina, Land Tjibaroesa yang masuk Afdeeling Buitenzorg boleh dikatakan adalah ‘sorga’ bagi seorang penguasa land yang juga merangkap sebagai Demang. Itulah mengapa Tjibaroesa menjadi sangat unik, suatu wilayah yang dipimpin oleh seorang demang Cina. Wilayah Tjibaroesa meski secara administratif masuk Buitenzorg, tetapi secara sosio-politik lebih dekat dengan District Bekasi (Afdeeling Meester Cornelis). Dependensi Tjibaroesa terhadap Bekasi nyata adanya. Sebagai catatan tambahan pada tahun1890 di Tjibaroesa ditemukan kapak batu (dari jaman kuno). Pada era jaman Hindu muncul kerajaan Tarumanegara di sungai Bekasi. Seperti dilaporkan pelancong di Tjibaroesa terdapat tempat suci Budha di dekat gua/ngarai. Semua ini jika disatukan seakan mengindikasikan bahwa wilayah Tjibaroesa adalah termasuk wilayah hunian manusia yang sudah ada sejak lama bahkan sejak jaman purba.

Posisi geografis Cibarusa (googlemamp)
Boleh jadi atas dasar itulah pada era kedaulatan Indonesia, land Tjilengsi dan land Tjibaroesa dipisahkan yang masing-masing dibentuk menjadi kecamatan. Land Tjilengsi masuk Kabupaten Bogor, sementara land Tjibaroesa dimasukkan ke dalam Kabupaten Bekasi. Satu hal yang tidak berubah sejak doeloe, land Tjilengsi, Tjibaroesa dan Kampong Tjikeas (Goenoeng Poetri) tetap sebagai remote area (jauh dari lalu lintas jalan poros.

Kampong Tjikeas (Ilir, Oeloe) dan kampong (Tjikeas) Nagrak merupakan kampong-kampong terjauh dari ibukota Onderdistrict Goenoeng Poetri. Wilayah dimana berada kampong-kampong ini menjadi semacam wilayah sisa. Wilayah yang tidak berada di bawah kontrol landheer Tapos maupun landheer Tjilengsi, tetapi sangat jauh dari jangkaun landheer di Goenoeng Poetri. Akibatnya pembangunan terutama infrastruktur jalan tidak berkembang. Di kampong-kampong yang kemudian disatukan (Tjikeas dan Nagrak) menjadi sering terjadi perampokan. Hanya berita buruk yang selalu datang dari wilayah Tjikeas. Bad news, good news.

Algemeen Handelsblad, 05-06-1913: ‘Kasus penculikan. Dilaporkan di bawah hukum kemarin, lima orang pribumi dijatuhi hukuman mati, menyangkut pembunuhan seorang lelaki Tionghoa yang sedang melintasi sungai Tjikeas, sementara beberapa anak yang tengah mandi di sungai itu berteriak ‘chulik’ ketika mereka melihat mayat orang Chinese tersebut mengapung'.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tidak pernah ada akses jalan dari jalan poros Batavia-Buitenzorg dari Tjimanggis garis lurus ke timur melalui Tapos hingga Tjilengsi. Jika terwujud jalan ini maka kampong Tjikeas-Nagrak akan dibebaskan dari isolasi. Tentu saja ada jalan setapak, tetapi tidak cukup membuka ruang lebih terbuka sehingga wilayah kampong Tjikeas-Nagrak lebih aman. Apakah karena pemilik land Tapos yang orang Eropa/Belanda kurang akur dengan penyewa land Tjilengsi yang orang Cina? Tentu saja bukan itu satu-satunya faktor. Namun alasan yang kuat adalah karena untuk mewujudkan jalan pintas (jarak pendek) itu membutuhkan biaya tinggi sebab harus membangun tiga jembatan di atas sungai Soenter, sungai Tjikeas, dan sungai Tjilengsi. Biaya itu mungkin berat bagi landheer Tapos dan penyewa land Tjilengsi. Wilayah kampong Tjikeas-Nagrak di antara sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi tetap terisolasi dan rawan.

Sebagai wilayah yang sulit dan rawan keamanan, pada tahun 1916 militer melakukan latihan perang di  wilayah tengah antara Batavia0Buitenzorg termasuk areaTjikeas-Nagrak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-10-1916). Tidak diketahui secara jelas mengapa di wilayah ini ditetapkan sebagai arena latihan perang. Dalam latihan perang ini melibatkan dua batalion (Brigade-2 dan Brigade-4). Area lain yang digunakan adalah wilayah Tjilengsi, wilayah Tjikeas dan Tjirioeng (Tjibinong). Boleh jadi dipilihnya wilayah ini karena belum lama ini terjadi pembunuhan seorang Cina di sungai Tjikeas (lihat kembali Algemeen Handelsblad, 05-06-1913). Trauma akibat gerakan perlawanan (perang) yang dilancarkan oleh Rama van Ratoe Djaja (Tjitajam) pada tahun 1869 boleh jadi menjadi alasan lainnya untuk menunjukkan psywar bagi para revolusioner di kawasan antara Ratoe Djaja/Tjitajam dan Telok Poetjong/Bekasi. Secara teknis, saat itu wilayah ini memang cocok untuk arena latihan perang.

Wilayah yang juga terbilang terisolasi juga ditemukan di sisi barat sungai Tjiliwong  yakni Sawangan yang berada diantara sungai Kroekoet dan sungai Pesanggrahan. Setelah melakukan beberapa konferensi, akhirnya pada tahun 1936 antara Administrateur (Onderneming) Sawangan dan Gemeente Besturr Depok mulai menemukan titik temu. Dalam konferensi yang diadakan pada tahun 1936 turut dihadiri oleh Asisten Wedana Depok. Dalam keputusan akhir, kedua belah pihak terlibat dan diharapkan dengan adanya jalan akses ini. Dalam pembicaraan ini juga termasuk satu paket dengan pembukaan jalan baru ke Mampang Oedik. Wilayah Sawangan dalam waktu singkat telah dibebaskan dari isolasi (lihat De Indische courant, 13-07-1936).

Pembukaan isolasi dan peningkatkan akses serupa ini, dua dasarwarsa sebelumnya sudah pernah dilakukan yakni untuk membuka akses antara Land Tjimanggis dengan Gemeente Depok. Sebagaimana diketahui, jalan akses Depok-Tjimanggis telah terbuka yang ditandai dengan pembangunan jembatan di atas sungai Tjiliwong tahun 1917. Jembatan ini kelak disebut Jembatan Panus (satu-satunya jembatan di atas sungai Tjiliwong antara Jembatan Meester Cornelis dengan Jembatan Buitenzorg (di Waroeng Djamboe). Selanjutnyaa pada tahun 1922 dilakukan perbaikan jalan akses antara Depok dan (simpangan) Tjimanggis untuk membuat jarak lebih pendek yang selesai pada tahun 1922.

Dengan demikian akses antara ibukota district Paroeng dan district Tjimanggis melalui Depok dan Sawangan sudah terwujud pada tahun 1936. Dalam hal ini, pembukaan akses antara Tjimanggis dengan Depok dibiayai oleh pemerintah (Batavia) sedangkan jalan akses antara Sawangan Depok dibiayai sebagian besar oleh onderneming Sawangan dan sisanya dari Gemeente Depok.

Garis imajiner jalan akses Paroeng-Tjibaroesa (Peta 1932)
Selama ini onderneming Sawangan hanya dapat diakses dari Parong (Buitenzorg). Produk-produk yang dihasilkan dari onderneming Sawangan dialirkan ke stasion Tjitajam dan ke Tangerang dan Tanah Abang mengikuti jalan poros Westerweg. Boleh jadi onderneming Sawangan untuk meningkatkan efisiensi agar lebih pendek ke stasion Depok. Kerena itulah diduga mengapa onderneming Sawangan berani mengeluarkan uang lebih banyak jika dibandingkan dengan Gemeente Depok.

Lantas mengapa pemerintah tidak berkeinginan membangun jalan akses dari Tjimanggis ke Tjilengsi (melalui Tapos dan kampong Tjikeas-Nagrak)? Apakah karena harus membangun tiga buah jembatan yang jauh lebih besar biayanya jika dibandingkan satu jembatan antara Tjimanggis dengan Depok di atas sungai Tjiliwong?

District Paroeng, Afdeeling Buitenzorg terdiri dari sejumlah desa yang terbagi ke dalam dua onderdistrict (Paroeng dan Depok). Demang Paroeng berkedudukan di Paroeng, dimana di Depok ditempatkan seorang Asisten Wedana. District Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorgjuga terdir dari sejumlah desa yang terbagi ke dalam dua onderdistrict (Tjibaroesa dan Tjilengsi). Demang Tjibaroesa berkedudukan di Tjibaroesa, dimana di Tjilengsi ditempatkan seorang Asisten Wedana.

Landhuis Tapos (Peta 1901) dan Landhuis Tjilengsi (Peta 1901)
Land Tjilengsi luasanya 25,627 bau. Landhuis Tjilengsi letaknya 21,5 pal dari Buitenzorg. Land ini diusahakan produksi beras yang dimiliki oleh maskapai Michiels-Arnold di Den Haag yang telah disewakan kepada Thio Tiauw Siat dengan administratur Liem Siong Hoa. Nilai verponding sebesar f800.000. Populasi pendudukan berjumlah 36.011 jiwa pada 1 Januari. 1902. Selain produksi beras juga kopi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-01-1904).

Okelah, tetapi untuk meringankan beban pemerintah apakah tidak mungkin land Tapos dan land Tjilengsi ikut berpartisipasi?  Nah, apakah hambatan ini ada karena antara land Tapos dan land Tjilengsi tidak akur? Semua itu tetap menjadi pertanyaan. Dalam kenyataannya semua gagasan itu tetap tidak terwujud. Dalam hubungan ini, kampong Tjikeas-Nagrak tetap terisolasi dan tetap rawan dalam hal keamanan. Tentu saja juga ditemukan persoalan tanah.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-12-1932: ‘Pada malam 25 November di warung Lioe A Touw, seorang Cina di Tjikeas (Tjiteureup) sekitar jam 7 (malam), sementara warong belum ditutup, beberapa orang secara berurutan datang dan bertemu pemilik warung untuk membeli bensin dan korek api. Setelah dibayar dan barang diterima orang-orang tersebut menggunakan bensin untuk menyirami pakaian yang dikenakan oleh pemilik warong. Di bawah ancaman bahwa pakaian yang dibasahi dengan bensin akan dibakar, pemilik warong dan istrinya terpaksa memberikan uang mereka. Ancaman ini diperburuk oleh salah seorang menodong revolver kepada wanita itu. Orang-orang yang terancam memilih diam karena takut sehingga para perampok itu menghilang dengan uang jarahan dan barang-barang lain dengan nilai gabungan sebesar f125. Pasangan itu juga sempat dipukuli dan dianiaya oleh perampok. Pada malam itu juga anggota detasemen polisi yang ditempatkan di Tjilengsi mendengar kabar itu dan lalu bersama mantri polisi meluncur segera ke TKP. Setelah itu dilakukan penyelidikan dan pada tanggal 27 polisi tersebut dengan bekerjasama dengan polisi Tjililitan Besar berhasil menangkap dua orang anggota perampok tersebut. Keduanya berasal dari Bodjong Rawa-Lele di Bekasi. Dalam penangkapan itu disita lima benda tajam dan satu buah revolver, yang kemudian ternyata sama dengan yang digunakan oleh perampok. Awalnya kedua perampok membantah tetapi kemudian membuat pengakuan penuh setelah dikonfrontasi dengan pemilik warong dan istrinya yang mengenali keduanya yang ditangkap.

Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1938
Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1938: ‘Teror di Tjibaroesa, Geng Pembunuh di Landraad Buitenzorg.  Pada hari Senin tanggal 14 ini Landraad di Buitenzorg yang dipimpin ketua Alers memulai persidangan pembunuhan ganda, yang terjadi pada hari Rabu, 13 Januari 1937 di kampong Tjikeas Nagrok, Distrik Tjibinong. Jumlah terdakwa dalam kasus ini adalah 10 orang, yaitu Lias alias Ilias bin Loleng, dan saksi sebanyak 40orang. Sesi pertama dikhususkan untuk sidang terdakwa, sementara para saksi didengar pada tiga hari berikutnya. Kasus ini menyangkut masalah balas dendam dan merupakan konsekuensi dari pembunuhan oleh geng Komin yang dikabarkan oleh mandor  polisi dari Land Tjimangis, Kodel yang juga sangat terkenal. Kasus pembunuhan ini terakhir nanti akan diadili oleh Landraad. Awalnya geng di bawah kepemimpinan tiga orang Komin, Lias dan Kodel. Kemudian timbul perselisihan antara Komin dan Lias, dan geng itu kemudian terbagi menjadi dua. Kodel memilih merapat ke Lias. Geng di bawah Komin beroperasi di Tjibaroesa, sementara yang lain dipimpin oleh Lias dikenal sebagai geng Tjimanggis. Menurut laporan polisi, pembunuhan para korban Raiman dan Remin terjadi di siang hari bolong di kampung Tjikeas Nagrok. Dia dianiya oleh geng beranggotakan 40 orang yang dipimpin oleh Komin. Salah satu korban ditinggalkan di sawah, sementara yang lain, setelah diikat dan dibacok dengan golok, lalu dilemparkan ke sungai Tjikeas, dimana ia tenggelam ke kedalaman. Semua terdakwa membantah telah melakukan kejahatan, meskipun mereka telah membuat pengakuan penuh di bivak Tjimangis dengan mantri polisi dan adjuct djaksa Abdulrachman. Dalam kasus ini juga, adj-djaksa juga sebagai pegawai inlandsche djaksa di pengadilan’. Bataviaasch nieuwsblad, 29-03-1938: ‘Senin pagi yang lalu setelah delapan hari sesi (sidang) Landraad van Buitenzorg, diketuai oleh Mr Alers menutup persidangan terhadap sepuluh orang yang dicurigai pada hari Rabu, 13 Januari 1937 di kampung Tjikeas-Nagrak, district Tjibinong, dua orang anggota geng yang dipimpin Komin bin Boegel alias Akang. Selama tiga hari pertama, semua tersangka membantah tuduhan terhadap mereka. Lias bin Loleng terkenal kejam. Yang lain tetap dengan penolakan mereka. Pada sesi terakhir, Komin bin Boegel juga didengar sebagai saksi. Enam saksi akan dituntut karena sumpah palsu. Akhirnya vonis dijatuhkan sebagai berikut: Lias bin Loleng 16 tahun penjara; Naim bin Lioen 15 tahun; Aspi bin Sinan dan Dogol bin Siman masing-masing 14 tahun; Rais alias Raih dan Naraat bin Boeroet masing-masing 12 tahun; Garoen dan Gouw Eng San masing-masing 11 tahun; Nasan bin Komin dan Djoeman bin Singo masing-masing 10 tahun. Naim bin Lioen, Garoen, Dogol bin Siman dan Gouw Eng San mengajukan banding, sementara yang lain meminta izin untuk berunding’.

Pabrik teh di Pasir Nangka, District Tjibinong, 1936
De Sumatra post, 01-04-1939: ‘Pemimpin Geng di Pengadilan. Baru-baru ini, Tengel anggota geng rampok yang masih berjalan bebas di daerah Regenschap Buitenzorg. Tengel dikenal sebagai pemimpin rampok yang cerdas dan brutal, yang selama bertahun-tahun berhasil lolos dari pengejaran polisi. Dia beberapa waktu yang lalu, setelah dia merampok seorang pedagang Cina di jalan terbuka di siang hari bolong ditangkap tetapi tak lama kemudian dia berhasil keluar. Selain membunuh, Tengel juga sangat menyukai Javaanschen dansen dan dia adalah pengagum berat para penari ronggeng. Tak perlu dikatakan bahwa, mengetahui hal ini, polisi menyelidiki Tengel dengan seksama kepada semua pihak yang mengetahuinya. Dan akhirnya antusiasmenya (terhadap ronggeng) menjadi fatal baginya. Pada sebuah acara ronggeng di desa Tjikeas yang dikenalnya sejak lama, Tengel jatuh ke dalam perangkap dan digelandang oleh polisi’.

Bataviaasch nieuwsblad, 18-11-1940: ‘Doodslag. Perkelahian maut. Di kampong Tjiangsana, desaTjikeas Ngarak (Tjitrap) dua orang penduduk desa bertengkar tentang masalah tanah, yang berubah menjadi perkelahian, dimana salah satu dari mereka terbunuh. Penyerang yang mengalami cedera dilarikan ke rumah sakit Roodc Kruis (Palang Merah) di Buitenzorg’.

Kampong Tjikeas tetaplah berada di wilayah Tjikeas. Wilayah Tjikeas yang terpencil tidak hanya sering menjadi sasaran rampok, wilayah Tjikeas juga menjadi tempat yang aman bagi pelarian. Pimpinan perampok kelas kakap Tengel merasa aman di wilayah Tjikeas dan boleh jadi satu-satunya kampong yang memberinya kesempatan untuk mendapatkan hiburan. Tengel berpikir tidak akan ada polisi yang lewat di sekitar. Tjikeas jauh dari dunia luar.

Diantara ketakutan penduduk di wilayah Tjikeas, ternyata ada seseorang yang merasa aman di situ. Itulah Tengel. Namun pada akhirnya polisi mengetahuinya dan berhasil menangkapnya. Desa Tjikeas telah membantu  polisi untuk melumpuhkan pimpinan perampok yang sulit dicari. Tengel hanya bisa ditangkap saat terhibur, Tjikeas adalah panggungnya.

Wilayah Tjikeas yang sepi dan sulit dijangkau, pada era perang kemerdekaan Indonesia, menjadi pusat gerilya yang strategis. Dekat menuju sasaran gerilya di jalan poros Djakarta-Bogor, tetapi di lain sisi terpencil di balik sungai Soenter di seberang sungai Tjikeas. Di dalam wilayah lemah dari sistem keamanan terdapat kekuatan gerilya yang hebat. Itulah wilayah Tjikeas. Namun setelah terjadi gencatan senjata antara TNI dan pasukan Belanda/NICA, wilayah Tjikeas kembali ditinggal. Akan tetapi sebaliknya dimanfaatkan oleh para geng revolusi. Itulah nasib wilayah Tjikeas. Hanya dimanfaatkan dan tidak pernah mendapat manfaat.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-12-1949: ‘Seorang Jepang memimpin geng. Mengikuti penyerangan yang telah dilakukan di daerah Tjiloear (sebelah utara Buitenzorg) dalam beberapa minggu terakhir, polisi di Buitenzorg telah memulai aksi terhadap geng yang ada di wilayah ini. Kamis pagi aksi melawan geng di desa Babakan Tjikeas dimulai, dimana menurut laporan geng tinggal. Namun, polisi tidak melakukan tindakan apapun, karena menunggu kedatangan pasukan bersenjata, dan mengambil langkah tepat waktu. Sebagian besar barang yang dirampok selama beberapa minggu terakhir disimpan di wilayah itu, termasuk sejumlah tekstil, berhasil dilacak. Ternyata geng itu terdiri dari 25 pria bersenjata yang dipimpin oleh dua orang Jepang’.
  
Seperti roda pedati, adakalanya di bawah dan ada saatnya di atas. Wilayah Tjikeas yang tempo doeloe sangat terpencil dan sepi (remote area) serta rawan sosial, tidak lagi demikian di era modern yang sekarang. Wilayah Tjikeas telah mendapat berkah dari perkembangan wilayah di dekatnya Cibubur sebagai kawasan perumahan. Kini, wilayah Tjikeas juga telah menjadi kawasan perumahan yang aman, asri dan mudah diakses. Aksesnya tidak lagi dari Goenoeng Poetri, Bogor tetapi dari Cibubur, Jakarta. Itulah nasib baik wilayah Tjikeas di hari tua, lebih-lebih di wilayah nan asri itu juga mantan Presiden SBY tinggal. Kawasan perumahan Cibubur dan mantan Presiden SBY secara langsung telah mengangkat harkat penduduk kampong Tjikeas-Nagrak yang tempo doeloe tidak terpikirkan.

Cikeas-Cibubur di Alam Demokrasi: Puri Cikeas di Desa Nagrak

Pada masa ini, secara dejure, desa Nagrak termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, tetapi secara sosio-politik lebih dekat dengan Jakarta. Ini semua karena faktor nama kawasan perumahan Cibubur. Nama Cibubur melejit memayungi nama-nama desa di kawasan segi tiga emas: Jakarta, Bogor dan Bekasi.

Pada masa ini Cibubur bukanlah wilayah Kota Depok (pemekaran dari Kabupaten Bogor), melainkan sebuah desa/kelurahan di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Tetapi faktanya pada masa ini ada suatu kawasan yang diidentifikasi sebagai Cibubur Depok. Sekalipun ini agak membingungkan, namun masih bisa ditelusuri mengapa muncul istilah Cibubur Depok pada masa ini. Penelusuran ini dimaksukan untuk memberi penjelasan kepada berbagai kalangan yang kerap salah dalam mengidentifikasi apakah Cibubur masa kini adalah sebuah nama desa/kelurahan atau sebuah nama kawasan. Nama Cibubur yang awalnya nama desa telah bertransformasi menjadi nama generik (nama bisnis).

Sebelum ada Desa Cibubur (Jakarta), ada sebuah desa lama yang disebut sebagai Desa Cisalak yang menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Cimanggis Kabupaten Bogor (kini menjadi bagian wilayah Kota Depok). Di sudut Desa Cisalak ini ada sebuah setu (danau kecil) yang disebut Setu Jemblang (kini disebut Setu Baru). Pada tahun 1969 di selatan setu ini (kini Kelurahan Harjamukti) dipilih sebagai tempat Pertemuan Pramuka Penegak Pandega Puteri Putera (PERPPANITERA). Lokasi ini dipilih karena hawanya sejuk, lingkungan yang hijau, setu yang jernih dan adanya hutan di utara setu membuat area ini sesuai untuk sebuah ‘perkampungan’ pramuka bagi penegak/pandega (setingkat SMA/perguruan tinggi). Disamping itu, lokasinya yang tidak jauh dari Jakarta, membuat area ini menjadi pilihan yang tepat untuk sebuah bumi perkemahan bagi PERPPANITERA (yang kini disebut Raimuna) secara nasional. Kawasan kegiatan kepramukaan (yang kemudian disebut BUPERTA) yang luasnya 210 Ha sebelumnya merupakan areal perkebunan karet.

Pada waktu diselenggarakannya Raimuna pertama (1969), desa terdekat dari Cisalak adalah Desa Cibubur. Sebuah kampung di utara Setu Baru disebut kampung Pondok Rangon yang mana kampung ini masuk bagian wilayah Desa Cibubur. Pada tahun 1973 Kwartir Nasional (Kwarnas) menyelenggarakan pertemuan besar pramuka untuk penggalang (setingkat SMP) yang pertama secara nasional (disebut Jambore). Lokasi untuk jambore yang direkomendasikan adalah Desa Cibubur (di utara Setu Baru) karena lokasi itu masih cukup luas dan datar. Sementara di selatan Setu Baru (Desa Cisalak) yang menjadi area Raimuna sebelumnya tidak dipilih karena selain lahannya sempit juga di area itu sudah mulai banyak penduduk apalagi area itu menjadi jalan utama dari Cisalak ke Cileungsi. Dengan adanya penyelenggaraan jambore ini nama Cibubur mulai dikenal secara luas. Ketika Raimuna 1969 diselenggarakan jalan menuju lokasi (Setu Baru) dilakukan melalui Jalan Radar Auri. Akan tetapi, ketika Jambore 1973 jalan yang dilalui tidak melalui Jalan Radar Auri (yang masuk Kabupaten Bogor) melainkan dibuat jalan baru melalui Desa Cibubur (DKI Jakarta) yang kini dikenal sebagai Jalan Jambore (terusan Jalan Raya Cibubur/Jalan Lapangan Tembak). Nama Cibubur terus meroket seiring dengan kebijakan Kwarnas yang menetapkan area Cibubur menjadi lokasi pertemuan pramuka jangka panjang baik untuk pramuka penggalang maupun pramuka penegak/pandega. Sejak tahun 1981 bumi perkemahan Cibubur sering dipilih menjadi tempat Jambore Nasional  maupun Raimuna Nasional tetapi tidak lagi setelah tahun 2008.

Selama adanya kegiatan kepramukaan di bumi perkemahan itu, nama Cibubur terus melejit sementara nama Cisalak, Cimanggis lambat laun mulai meredup. Dalam perkembangannya Buperta ini semakin mudah diakses seiring dengan pembangunan jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor) yang dimulai tahun 1973 (selesai tahun 1978). Tragisnya, jalan tol ini membelah Desa Cibubur. Area Buperta yang berada di Kampung Pondok Rangon terpisah dari desa induknya, dan selanjutnya Kampung Pondok Rangon dinaikkan statusnya dari kampung menjadi desa—Desa Pondok Rangon (masuk Kecamatan Cipayung). Akan tetapi nama Cibubur tetap melekat pada area Buperta sekalipun nama kelurahannya telah berubah menjadi Desa Pondok Rangon.

Interchange Cibubur (googlemap)
Sementara  dalam perkembangannya Desa Cisalak dimekarkan dan area Raimuna dulu (selatan Situ Baru) menjadi Desa Harjamukti. Desa baru ini tidak seperti Desa Pondok Rangon yang berpisah dengan Desa Cibubur, tetapi Desa Harjamukti ini sebagian di sisi barat jalan tol dan sebagian di sisi timur jalan tol yang dihubungkan oleh flyover (jembatan layang) di atas jalan tol Jagorawi. Jembatan layang ini dibangun ketika menjelang Jambore Nasional yang ketiga yang diselenggarakan di Buperta (Desa Pondok Rangon) pada tahun 1981. Saya sendiri ikut Raimuna Nasional tahun 1982.

Adanya jalan tol dan jembatan layang ini, area yang sebelumnya hanya dikenal sebagai bumi perkemahan lambat laun mulai dilirik pengembang. Uniknya para pengembang menjadikan nama Cibubur sebagai ikon—mengacu pada nama yang populer menunjukkan area bumi perkemahan, padahal lokasinya bukan berada di Desa Cibubur. Ini dengan sendirinya nama Cibubur menjadi nama generik (bukan lagi sekadar menunjukkan nama desa). Dengan begitu, era nama Kawasan Cibubur dimulai. Pada tahun 1997 sejumlah pengembang mulai membangun perumahan baru di kawasan ini. Diawali oleh Konsorsium Duta Pertiwi yang membangun Kota Wisata yang terkenal dengan konsep lima benuanya. Nama Cibubur muncul ke permukaan, sedangkan nama-nama Cisalak/Harjamukti (Kecamatan Cimanggis) dan Pondok Rangon (Kecamatan Cipayung) tetap tenggelam di Situ Baru—danau kecil yang menjadi tempat kegiatan pramuka yang memisahkan Desa Pondok Rangon dengan Desa Harjamukti.

Kelurahan Harjamukti, Cimanggis, Kota Depok
Selanjutnya Kawasan Cibubur berkembang ke arah timur  Buperta (wilayah Bekasi) sepanjang Jalan Trans Yogie. Awalnya Jalan Trans Yogie ini adalah sebuah pembangunan jalan alternatif yang menghubungkan Jakarta dengan kota mandiri Jonggol sekitar tahun 1990. Namun proyek Jonggol ini tidak terlaksana. Sisi-sisi jalan alternatif inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengembang hingga akhirnya menjadi kawasan perumahan 'segi tiga emas'.

Kawasan Cibubur (Peta 1985)
Pada tahun 1999 Kota Depok dibentuk. Depok dinaikkan statusnya yang telah menjadi kota administratif (kotif) sejak tahun 1981. Dengan terbentuknya Kota Depok ini, sejumlah kecamatan di Kabupaten Bogor bergabung, salah satunya adalah Kecamatan Cimanggis. Desa Harjamukti yang telah menjadi bagian Kawasan Cibubur yang menjadi bagian dari Kecamatan Cimanggis, maka dengan sendirinya Desa Harjamukti masuk ke wilayah Kota Depok. Sejak 1999 mulai muncul istilah Cibubur Depok. Kawasan Cibubur ini semakin berkembang apalagi pada tahun 2002 terjadi banjir besar di Jakarta yang menyebabkan pengembang semakin jorjoran mempromosikan Kawasan Cibubur ini sebagai lokasi hunian baru yang bebas banjir. Dan terbukti sejak banjir itu, muncul sejumlah pengembang baru di Kawasan Cibubur ini yang melahirkan perumahan-perumahan seperti Raffles Hill, Taman Laguna, Citra Gran, The Address Cibubur dan sebagainya.

Nama Cibubur Depok (Kecamatan Cimanggis) sendiri merujuk pada Kawasan Cibubur yang berada di sisi-sisi jalan poros Trans Yogie di wilayah Kota Depok di sebelah barat Kali Sunter. Sedangkan sebelah timur Kali Sunter adalah bagian wilayah Kabupaten Bekasi (Kecamatan Jati Sampurna), setelah itu jalan poros ini masuk Kabupaten Bogor (Kecamatan Gunung Putri). Ini berarti Perumahan Raffles Hils yang berada di Kelurahan Harjamukti termasuk wilayah Kota Depok yang menjadi kawasan Cibubur Depok. Kawasan Cibubur Depok ini dengan demikian hanya wilayah yang berada di sebelah selatan Situ Baru (sisi jalan tol sebelah timur), di sebelah barat Kali Sunter dan di sebelah selatan Jalan Jambore (berbatasan dengan Kelurahan Cibubur). Sedangkan rumah SBY Puri Cikeas berada di Kelurahan Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.

Kawasan Sehi Tiga Emas Baru (Depok, Bekasi, Bogor)
Ini berarti Cibubur Junction masuk wilayah Kelurahan Cibubur. Sementara Taman Laguna dan Citra Grand masuk kawasan Cibubur yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi. Batas Kabupaten Bekasi dengan Kabupaten Bogor adalah sungai Cikeas. Ini berarti Taman Wisata masuk Kabupaten Bogor sebagaimana halnya dengan Taman Cikeas (perumahan tempat tinggal Presiden SBY).

Pada tahun 1996 Soesilo Bambang Yudhoyono membangun rumah di desa Nagrak, Kawasan Perumahan Cibubur. Rumah tersebut kemudian dikenal dengan nama puri (rumah) Cikeas. Konon, di Rumah Cikeas inilah pada tahun 2001 sebuah partai baru didirikan yakni Partai Demokrat, suatu partai yang membawa Soesilo Bambang Yudhoyono dengan sebutan SBY menuju Istana Merdeka sebagai Presiden RI (2004-2014).

Pada periode yang sama dua abad yang lalu Gubernur Jenderal Daendels mengidentifikasi nama sungai Tjikeas untuk diinregrasikan dengan program pengembangan kanal irigasi sisi timur sungai Tjiliwong (Ooosterslokkan). Sumber air dari hulu sungai Tjikeas ini akan mendukung kanal yang dikembangkan agar alirannnya cukup memadai hingga Batavia (kini Jakarta).

Nama desa Nagrak sesungguhnya juga adalah desa Cikeas. Seperti disebutkan di atas nama desa Tjikeas Nagrak dibentuk pada tahun 1930 ketika diadakan sensus penduduk. Oleh karena kampong Tjikeas Nagrak lebih padat penduduk, ibukota desa, tempat dimana kantor desa dibangun berada di kampong Tjikeas Nagrak. Namun kelak pada era kedaulatan RI populasi desa Tjikeas-Nagrak yang semakin banyak dimungkinkan dilakukan pemekaran, yakni dengan membentuk desa Tjikeas Oedik dan desa Tjiangsana. Nama Tjikeas Oedik mengikuti nama kampong asli tempo doeloe. Desa Tjiangsana adalah gabungan dari kampong Tjiangsana dan kampong Tjikeas Ilir. Nama kampong Tjikeas Tengah lambat laun menghilang. Lima kampong yang membentuk tiga desa pada msa lampau masuk onderdistrict Tjitrap tetapi kini bergeser yang mana desa Ngarag desa Cikeas Oedik dan desa Ciansana masuk dimasukkan ke kecamatan Gunung Putri.

Sungai Cikeas dan Puri Cikeas
Hal yang mirip dengan nama desa Tjikeas ini juga terdapat di sisi barat sungai Tjiliwong yakni desa Tjitajam. Pada tempo doeloe beberapa kampong, termasuk kampong Tjitajam disatukan menjadi desa Tjitajam. Namun dalam era kedaulatan Indonesia desa Tjitajam dimekarkan menjadi desa Tjitajam dan dan desa Raga Jaya. Tragisnya, nam kampong Tjitajam yang ditabalkan menjadi nama desa Tjitajam tempo doeloe, justru di era pemekaran kampong Tjitajam sendiri berada di desa Raga Jaya.

Desa Tjikeas Nagrak  tidak meniru desa Tjitajam. Namun dalam perkembangannya, nama Tjikeas Nagrak hanya disebut dengan nama Nagrak saja, namun sebagian warga di sekitar Puri Cikeas SBY masih menyebut kampong Tjikeas meski secara administratif sudah lama nama desa Tjikeas Nagrak mereduksi menjadi dengan nama desa Nagrak saja. Tidak salah memang karena secara historis Puri Cikeas berada di wilayah kampong Tjikeas Nagrak. Jalan yang berada di depan Puri Cikeas sejatinya adalah jalan kuno yang sudah ada sejak tempo doeloe, satu-satunya jalan di kawasan Perumahan Cibubur yang sekarang pada tempo doeloe. Itulah sejarah panjang Cikeas secara singkat, tempat mantan Presiden SBY bertempat tinggal. Anda mau tinggal di Cikeas? Pahami dulu sejarahnya.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar