Sabtu, 20 Juli 2019

Sejarah Bekasi (27): Warga Rawagede dan Masdoelhak Nasution di Jogja; Korban Sipil Pembunuhan Brutal Militer NICA/Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Ada dua kejadian mengerikan di seputar perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pertama, pembunuhan penduduk Rawagede, Krawang pada tanggal 9 Desember 1947. Pada masa ini diketahui sebanyak 431 penduduk menjadi korban pembantaian. Kedua, Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta dilepas di ladang  jagung di Pakem, Jogjakarta lalu diburu. Dor.dor.dor. Pembunuhan brutal ini terjadi pada tanggal 21 Desember 1948.

Taman Makam Pahlawan Rawagede (Masdoelhak Nasution)
Pemerintah Republik Indonesia tanpa henti terus meminta pengusutan kasus Rawagede. Akhirnya pangadilan di Den Haag tanggal 14 September 2011 memutuskan Pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Sementara itu, kasus Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D membuat Dewan Kemanan PBB sangat geram dan meminta Kerajaan Belanda segera menggelar pengadilan. Desakan itu dituruti. Pengadilan yang digelar bulan Februari 1949 memutuskan pemerintah bersalah (lihat De waarheid, 25-02-1949). Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D pada tahun 2006 ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional.   

Pembunuhan brutal terhadap penduduk Rawagede dan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D sangat khusus. Dua peristiwa tersebut memakan korban warga sipil dan mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pers Belanda mencemooh Pemerintah Belanda: ‘pembunuhan oleh pegecut, sebagai metode teror fasis’. Lantas bagaimana dua kejadian pembunuhan brutal ini terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rawa Besar (Peta 1877)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pembantaian Penduduk di Rawagede

Kementerian Informasi RI merujuk pada Perdana Menteri/Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menuduh militer Belanda yang melakukan aksi polisionil dari tanggal 9 hingga 12 Desember telah melakukan tindakan brutal terhadap penduduk Rawagede, Krawang, 70 Km sebelah timur Batavia yang menelan korban lebih dari 300 dan melukai 200 orang warga sipil (lihat Het Parool, 22-12-1947).

‘Sementara itu, penjelasan resmi Belanda tentang aksi ini dikatakan bahwa elemen-elemen Republiken telah menyusup dan melakukan tindakan penghancuran besar-besaran di jembatan, merobohkan rumah dan kereta api dan juga menggali perangkap tank. Banyak yang tidak bekerja sama dipenggal kepalanya, setelah itu mayat-mayat dibuang ke sungai. Sebanyak 28 mayat telah ditemukan. Oleh karena itu pada tanggal 9 Desember sebuah tindakan dimulai untuk menutup daerah ini. Kampung tempat dimana kelompok beroperasi dikepung. Dalam pertempuran berikutnya, sebanyak 150 anggota perlawanan tewas dan 8 ditangkap lalu ditahan, termasuk seorang Indo. Tidak ada senjata yang lebih berat digunakan dan hanya menggunakan mortir, sementara kami berhenti bertempur jika dari pihak musuh menghentikan kegiatan. Tuduhan perampokan dan kekejaman sama sekali tidak benar. Hanya beberapa rumah kampung yang harus dibakar atau dihancurkan’.

Pemberitaan kejadian di Rawagede, juga bersamaan dengan kedatangan Perdana Menteri Belanda Drees yang telah tiba di Batavia pada hari Minggu sore (21-12-1947). Drees telah disambut oleh Mr. van Mook, Beel dan Neher. Tidak begitu jelas apakah kedatangannya terkait kasus Rawagede atau karena perundingan Renville tengah berlangsung. Yang jelas statement Belanda atas kejadian di Rawagede baru diberitakan setelah kedatangan Drees.

Atas desakan Dewan Keamanan PBB dan dengan pembentukan Komisi Tiga Negara, van Mook menginstruksikan gencatan senjata tangga; 5 Austus 1947. Sementara tengah dilakukan persiapan Komisi Tiga Negara, secara sepihak van Mook membuat garis demarkasi yang mempersempit wilayah RI. Garis ini pada saat gencatan justru menimbulkan pertempuran baru. Perundingan Renville sendiri dimulai tanggal 8 Dsemeber 1947. Aksi polisional Belanda di Rawagede dilakukan setelah sehari perundingan dimulai. Delegasi Indonesia dalam perundingan ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Colonel KNIL Abdoel kadir Widjojoatmodjo, sedangkan delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank P. Graham. Ada dua pimpinan berkulit coklat dalam konferensi Komisi Tiga Negara ini, yang satu di pihak Indonesia yang lain di pihak musuh. Seperti kata pepatah ‘dalam setiap pertempuran selalu muncul penghianat’.   

Pada saat situasi yang sangat mengenaskan di Rawagede, 20 orang patriot Indonesia dari Jawa Barat di Bandoeng yang dipimpin oleh Prof. Djoehana Wiyadikarta datang ke Batavia untuk menyampaikan manifesto kepada Komisi Tiga Negara yang isinya menyatakan bahwa mereka tidak mengakui Konferensi Jawa Barat yang telah mengklaim status Jawa Barat berada di pihak Belanda (Het Parool, 23-12-1947). Prof. Djoehana Wiyadikarta dkk mewakili orang Jawa Barat yang pro-RI.

Sisa bara api Bandung Lautan Api (24 Maret 1946) belum sepenuhnya padam, para pejuang RI masih berjuang di luar kota, di Bogor Soeria Karta Legawa, mantan Bupati Garoet mendirikan Partai Rakyat Pasoendan. Partai bentukan Soeria Kerta Legawa cepat menyebar. Tidak hanya di Bogor, tetapi juga dengan cepat melebar ke Tjinadjoer dan Bandoeng. Di lapis pemudanya, di ketiga daerah ini juga muncul Partai Pemoeda Rakjat Pasundan. Manajemen pusat mengumumkan bahwa tujuan dari organisasi Partai Rakjat Pasoendan adalah untuk mendirikan negara sendiri. Jumlah anggota saat itu diperkirakan sudah lebih dari 6.000 orang (lihat Nieuwe courant, 02-01-1947). Ketika wilayah Republik makin menyusut, karena digrogoti oleh Belanda, Negara Pasoendan diproklamirkan di Bandoeng pada tanggal 4 Mei 1947. Sebagian warga Bandoeng dan penduduk Priangan ‘ngembang kadu’. Sebab saat proklamasi pembentukan Negara Pasoendan di tengah-tengah kaoem Pasoendan tampak didukung oleh militer Belanda. Rakyat Pasoendan yang sebelumnya 100 persen Republiken, molohok dan penduduk menjadi terpecah: pro RI menolak Belanda dan pro Belanda menolak RI. Partai Pasoendan inilah yang melakukan Konferensi Jawa Barat yang ditentang oleh Prof. Djoehana Wiyadikarta dkk. Dalam Konferensi Djawa Barat yang baru saja berlangsung, Raden Djoearsa, telah mengumumkan di Bandung bahwa diharapkan bahwa Konferensi Jawa Barat ketiga akan diadakan pada bulan Februari 1948. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan Banten. Disebutkan Raden Djoearsa, Bandoeng kemungkinan akan menjadi ibu kota negara baru, Nagara Pasoendan (lihat Het Parool, 23-12-1947).

Sebagian masyarakat Jawa Barat tidak peduli apa yang telah terjadi di Rawagede. Mereka ini semakin nyaman di pelukan Belanda. Akan tetapi sebagian masyarakat Jawa Barat yang militan, mendengar tragedi Rawagede membuat mereka meradang dan jiwa patriotnya semakin membara. Sementara itu, ketika Negara Pasoendan diproklamisrkan dan berada di barisan Belanda, TNI seakan tidak punya tuan lagi, para tuan yang diamini konstituennya sibuk memperkuat posisi diri di persatuan Belanda. Singkat kata: TNI pada tanggal 1 Februari 1948 TNI harus hijrah dari Jawa Barat menuju daerah Republik di Jawa Tengah dan Jogjakarta. TNI tidak hanya kehilangan anggota di Rawagede, banyaknya warga sipil yang terbunuh di Rawagede semakin membuat kesedihan TNI semakin menjadi-jadi.

Pada Konferensi Negara Pasoendan dari tanggal 23 Februari hingga tanggal 5 Maret 1948 segala persiapan tuntas dan pemimpin Negara Pasoendan diangkat yang disebut Wali Negara Pasoendan. Peresmian dan pengambilan sumpah Wali Negara Pasoendan, Raden Adipati Wira Nata Koesoema tanggal 26 April 1948. Nama RA Wiranata Koesoema tidak asing bagi penduduk Priangan. Nama ini mirip dengan Bupati Bandoeng yang pertama yang diangkat oleh Belanda pada tahun 1829.

Tidak ada lagi yang mengingat tragedi Rawagede. Rawagede yang menjadi bagian wilayah Krawang sudah menjadi bagian dari Negara Pasoendan. Para TNI yang mendukung perjuangan rakyat dan yang selalu ingat warga Rawagede yang terbunuh sudah jauh berada di luar wilayah. Pahlawan Rawagede mungkin berdoa dalam kubur agar TNI cepat kembali dari hijrah.

Pembunuhan Brutal Terhadap Intelektual Muda Indonesia di Jogjakarta

Belanda yang belum puas dengan berdirinya sejumlah negara boneka ingin mencaplok wilayah RI dengan melancarkan aksi militer keduanya yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Aksi ini dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 ke jantung ibukota Republik Indonesia di Jogjakarta. Aksi ini secara tersirat ingin menduduki semua wilayah republik di seluruh Indonesia.

Korban pertama dari serangan militer Belanda ke jantung ibukota RI di Jogjakarta adalah penasehat hukum Presiden Sorkarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta bernama Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D. Tentara Belanda menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang, lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Jogya dapat dicegat tentara Belanda lalu disuruh berjongkok di tepi jalan dan kemudian ditembak dan tewas di tempat.

Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, lahir di Sibolga adalah doktor muda alumni Universiteit Leiden dengan predikat Cum Laude. Masdoelhak lulus ujian doctoral di bidang hukum sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943 dan berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Masdoelhak berangkat dari Batavia dengan menumpang kapal s.s. Prins der Nederland’ menuju Amsterdam tanggal 4 Oktober 1930  dengan nama pada manifest kapal,  Masdoelhak Hamonangan (lihat De Telegraaf, 01-10-1930).

Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Jogjakarta 21 Desember 1948 (De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Di pengadilan, menurut De waarheid jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’ (De waarheid, 25-02-1949).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar