Rabu, 10 Februari 2021

Sejarah Kupang (25): Sejarah Pulau Wetar, Dekat di Mata Jauh di Hati; Bukan Nusa Tenggara Timur Tapi Maluku Barat Daya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Seperti halnya kabupaten Kepulauan Tanimbar, kabupaten Maluku Barat Daya tidak berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur tetapi di Provinsi Maluku. Pada masa lampau kepulauan Tanimbar disebut Timor Laoet (mendapat nama dari Pulau Timor). Pulau Wetar yang menjadi wilayah terluas kabupaten Maluku Barat Daya begitu dekat dengan Pulau Timor (lebih dekat dibandingkan Pulau Tanimbar). Hal itulah sejarah Pulau Wetar di kabupaten Maluku Barat Daya dikelompokkan pada serial artikel Sejarah Kupang (bukan Sejarah Ambon).

Pulau Wetar di Kabupaten Maluku Barat Daya dibagi ke dala empat kecamatan, yakni; kecamatan Wetar, kecamatan Wetar Barat, kecamatan Wetar Timur dan kecamatan Wetar Utara. Kecamatan Wetar sebagai kecamatan di induk di Pulau Wetar berada di sisi barat pulau yang begitu dekat dengan Pulau Timor, Namun ibu kota Kabupaten Maluku Barat Daya (Tiukur) tidak di pulau Wetar tetapi berada di pulau yang lebih kecil Pulau Moa. Mengapa? Apakah supaya lebih dekat dengan ibu kota kabupaten Kepulauan Tanimbar (Saumlaki). Lantas mengapa (kecamatan) Wetar, kota Tiukur dan kota Saumlaki semuanya membelakangi ibu kota Provinsi Maluku (Ambon) tetapi menghadap ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kupang)? Hal itulah mengapa diperlukan analisis sejarah.

Bagaimana sejarah (pulau) Wetar? Seperti disebut di atas Pulau Wetar berada di kabupaten Maluku Barat Daya, tetapi karena lebih dekat dengan Timor (provinsi Nusa Tenggara Timur) maka dalam hal ini sejarah Wetar hanya dibatasi Pulau Wetar saja. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk ntuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Pulau Wetar: Sejak Era Hindoe

Pada era Hindoe, semua pulau-pulau besar di Hindia Timur (baca: Indonesia) sudah memiliki nama. Nama-nama tersebut merujuk pada nama-nama India. Demikian juga nama-nama geografis lainnya seperti sungai besar dan gunung tinggi. Tentu saja banyak nama tempat yang merujuk pada nama-nama India. Ini semua karena kedekatan India dengan Hindia Timur dalam konteks perdagangan dan koloni.

Perdagangan dan koloni sejak era Hindoe kemudian telah silih berganti. Terjadi beberapa transisi (overlapping) antara era Hindoe (India) dengan era Islam (Mesir, Arab, Persia, Moor). Demikian juga antara era Islam dengan era Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris). Namun nama-nama yang sudah terbentuk dari era Hindoe tetap bertahan karena penting dan menjadi pananda navigasi pelayaran perdagangan antar pulau. Hanya sedikit nama baru yang muncul dari para kolonial, tetapi cukup banyak yang bertambah dari penduduk asli (karena penyebaran penduduk).

Nama-nama pulau di kepulauan Timor (Timor Groep) semua pulau besarnya merujuk pada nama-nama India sejak era Hindoe. Salah satu nama pulau yang berubah di era Eropa-Portugis adalah nama Pulau Mangarai menjadi Pulau Flores (Frolles) atau Pulau Ende (Grande, Endei) yang ditetapkan pada era Belanda (VOC) dengan nama Flores (hingga ini hari). Nama Pulau Alor, Timor, Sabu, Lembata dan Wetar masih merujuk pada nama lama (era Hindoe).

Fakta bahwa era Hindoe ditandai dengan masuknya para pedagang-pedagang India memasuki wilayah Hindia Timur yang dimulai dari pantai barat Sumatra, pantai barat Semenanjung dan pantai barat dan utara Jawa. Para pedagang-pedagang ini kemudian membentuk koloni, awalnya di pantai, tetapi kemudian meluas hingga ke pedalaman, Lalu kemudian menyusul pedagang-pedagang Islam (Mesir, Arab, Persia dan Cina) membentuk koloni di sejumlah kota-kota pelabuhan yang telah dirintis oleh orang-orang India. Perkembangan ajaran Hindoe sangat masif di Pulau Jawa karena penduduknya sangat padat relatif dengan pulau lainnya. Dari Jawa penyebaran Hindoe oleh orang Jawa semakin meluas ke Borneo, kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku. Namun semakin jauh dari pusat Hindu di Jawa wujud koloni di pulau-pulau kecil dan yang lebih jauh tampak kurang berkembang (oleh karena itu sisa peradaban Hindoe tidan terlalu intens dan mudah enguap). Namun nama-nama India (era Hindoe) sudah menjadi penanda navigasi pelayaran. Hal itulah mengapa nama-nama geografis seperti pulau dan gunung di Sulawesi, Maluku dan Timor Groep memiliki nama-nama yang merujuk India.

Lantas mengapa nama pulau Mangarai bergeser menjadi nama Pulau Flores? Ketika pelaut-pelaut Portugis datang, mereka memetakan nama-nama pulau dan karena terkait dengan navigasi pelayaran, mereka juga menandai teluk dan tanjung sesuai bahasa dan nama Portugis (sesuatu penamaan teluk dan tanjung yang tidak muncul pada era Hindoe maupun era Islam). Salah satu nama tanjung yang diberikan oleh pelaut Portugis adalah Cabo das Frolles (Flores) di ujung timur pulau Mangarai (penanda navigasi dari Macassar dan Maluku untuk memasuki pusat produksi kayu cendana di pulau Solor dan pulau Timor. Nama Cabo das Flores ini disalin oleh pelaut-pelaut Belanda yang datang kemudian. Lalu pada era Gubernur Jenderal VOC Brower (1636) ditetapkan nama pulau sebagai Pulau Flores (untuk menggantikan nama Mangarai dan nama Grande atau Einde).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pulau Wetar: Jalur Navigasi Pelayaran Belanda Timor dan Banda

Peta-peta kuno yang terakumulasi pada peta-peta Belanda (VOC) yang disalin dari peta-peta Portugis menjadi penanda navigasi yang penting bagi pelaut-pelaut Belanda, Pelayaran Belanda pertama yang menemukan pulau Enggano dan terus ke Banten lalu menyusuri pantai utara Jawa hingga berakhir di pulau Lombok dan membuat kontrak di Bali (dan kembali ke Belanda). Pada pelayaran berikutnya posisi Bali menjadi penting (karena satu-satunya tuan rumah yang menerima dengan baik). Sejumlah pedagang-pedagang satu per satu ditempatkan seperti di Banten, Amboina, Makassar dan Ternate dimana para pedagang-pedagang Portugis sudah sejak lama eksis. Semangat Belanda untuk mengusir Portugis mulai membara.

Pada tahun 1605 satu skuadron pelaut-pelaut Belanda dari Bali bergerak menuju Amboina dan menyerang Portugis (dan tersingkir ke Ternate). Lalu pedagang-pedagang Belanda menyasar pelabuhan-pelabuhan yang ditinggalkan Portugis seperti di Banda dan kepulauan di selatannya.

Pada posisi inilah jalur navigasi pelayaran Belanda dari Banten ke Amboina berkembang melalui jalur navigasi kepulauan Sunda Kecil di pantai utara Bali, pantai utara Sumbawa dan pantai utara Timor Groep. Jalur navigasi ini tepat berada di antara pulau Timor dan Wetar. Namun keberadaan Portugis di pulau Solor menjadi duri dalam daging bagi Belanda yang kemudian menyerang Portugis di Solor dan bergeser ke Timor (Koepang) dan kemudian dikejar terus sehingga orang-orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau yang kini menjadi bagian dari Timor Leste). Posisi lemah Portugis di timur pulau Timor keuntungan bagi Belanda yang memperkuat benteng di Solor (Lohajong) dan Koepang. Praktis jalur selatan ke Amboina ini dikuasai oleh pelaut-pelaut Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar