Jumat, 18 Juni 2021

Sejarah Yogyakarta (42): Sejarah Era Zaman Kuno Wilayah Jogjakarta; Riwayat Prasasti dan Candi di Seputar Sejarah Mataram Kuno

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Sejak era VOC, sejarah (wilayah) Mataram sangat terang benderang apalagi datanya didukung dari sumber-sumber Portugis. Semakin terang lagi pada era Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi sejarah wilayah Mataram sebelum kehadiran orang-orang Eropa, terutama pada era Hindoe Boedha hanya samar-samar. Ada teks Negarakertagama dan Pararaton, tetapi kurang memadai untuk menggambarkan era yang lebih tua. Hanya sumber prasasti dan candi yang dapat diandalkan, akan tetapi jumlahnya tidak banyak. Disebut prasasti tertua di Jawa (bagian tengah) adalah prasasti Sojomerto. Sedangkan candi tertua di wilayah Mataram adalah candi yang dibangun dinasti Seilendra sebagaimana disebut pada prasasti Canggal 732 M (dan prasasti Ligor 775 M)

Prasasti di nusantara (Hindia Timur atau Asia Tenggara) disebut prasasti yang tertua ditemukan di Vietnam, (prasasti Vo Cahn abad ke-3. Sementara prasasti tertua di wilayah Indonesia yang sekarang ditemukan di Muara Kaman, Kutai (abad ke-4) dan prasasti Kebon Kopi, Bogor bertarih 400 M. Prasasti berikutnya di Jawa bagian barat antara lain prasasti Tugu da prasasti Cidangiang abad ke-5. Lalu pada abad ke-6 adalah prasasti Cianteun. Semua prasasti di (pulau) Jawa yang bertarih lebih tua ditemukan di Jawa bagian barat. Boleh jadi karena eksistensi kerajaan Tarumanagara yang disebutkan sejak abad ke-5. Belakangan ini ditemukan situs candi di Batujaya (Karawang) yang diduga kuat berasal dari abad ke-5 yang dihubungkan dengan Kerajaan Tarumanagara. Sebelum adanya prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal ditemukan beberapa prasasti di Sumatra bertarih abad ke-7 seperti prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuo dan prasasti Kota Kapur

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di wilayah Mataram? Seperti disebut di atas, bukti-bukti tertua adalah prasasti Canggal dan situs candi. Lalu bagaimana hubungan sejarah kuno di wilayah Mataram dengan sejarah zaman kuno di bagian barat (Tarumangara), bagian utara (Kalingga) dan bagian timur (Kediri, Singhasari) wilayah Mataram? Dalam hal ini apakah ada kaitannya dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di luar Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prasasti Canggal: Candi-Candi di Wilayah Mataram Hingga Kediri, Singhasari, Majapahit

Wilayah Mataram pada zaman kuno begitu penting. Tidak hanya ditemukan banyak prasasti, juga ditemukan candi-candi. Salah satu prasasti terpenting adalah prasasti Canggal yang ditemukan di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Canggal ini ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir berangka tahun 654 Saka atau 732 M. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Disebutkan raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram (Kuno). Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sebelum dibuat prasasti Canggal abad ke-8 (732 M) sudah ada prasasti yakni prasasti Tuk Mas (mata air emas) yang juga disebut prasasti Dakawu yang ditemukan di lereng barat gunung Merapi, di dusun Dakawu, desa Lebak, kecamatan Grabag, Magelang. Prasasti Tuk Mas dengan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Disebutkan aksaranya lebih muda dari aksara masa Purnawarman dan karena itu diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-7 M. Disebutkan isi prasasti menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan sungai Gangga di India. Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung.

Dengan memperhatikan urutan tarih pada prasasti-prasasti tersebut, keberadaan penduduk wilayah Mataram paling tidak sudah diketahui pada abad ke-5 (prasasti Tuk Mas). Kira-kira lebih tua atau seusia dengan candi dan prasasti di Jawa bagian barat seperti candi Batujaya, prasasti Kebon Kopi I, Ciampea, Bogor; prasasti Tugu, desa Tugu, kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi; dan prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, desa Lebak, kecamatan Munjul, Pandeglang. Pada abad ke-7 di wilayah pantai Jawa bagian tengah diduga telah dibangun candi (ditemukan di desa Karangsari, Rowosari, Kendal) dan prasasti Sojomerto (ditemukan di desa Sojommerto, Reban, Batang). Lantas apakah ada hubungan prasasti dan candi di pantai utara Jawa bagian tengah ini dengan (kerajaan) Sriwijaya.

Berdasarkan data prasasti di (pulau) Sumatra diduga kuat ada keterkaitan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada prasasti Kedukan Bukit 682 disebutkan raja Dapunta Hyang Nayik dari Binanga (diduga kuat Kerajaan Aru) dengan 20.000 tentara tiba di muara Upang (diduga kuat du Bangka) dan mengukuhkan suatu kerajaan (yang diduga kuat Kerajaan Sriwijaya). Pada prasasti Talang Tuo 684 M disebutkan raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Srijayanaga. Pada prasasti Kota Kapur 686 disebutkan bala tentara (kerajaan) Sriwijaya berangkat untuk menyerang (bumi) Jawa. Berdasarkan keterangan tiga prasasti ini diduga kuat Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat yang tidak bersedia kerjasama ditaklukkan dan candi Batujaya hancur, sedangkan kerajaan di Jawa bagian tengah (Kerajaan Kalingga) bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya yang menjadi faktor dibangun candi (di desa Karangsari, Rowosari, Kendal) pada abad ke-7. Pada prasasti Sojomerto (desa Sojommerto, Reban, Batang) disebutkan nama raja Dapunta Seilendra. Dalam hal ini pada era yang sama terdapat tiga raja bergelar sama (Dapunta) yakni Dapunta Hyang Nayik (Kerajaan Aru), Dapunta Hyang Srijayaga (Kerajaan Sriwijaya) dan Dapunta (saja) Seilendra (Kerajaan Kalingga).

Seperti disebut di atas, prasasti Canggal (di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang ditemukan d halaman candi Gunung Wukir bertarih 732 M. Prasasti ini diduga dibuat setelah adanya prasasti Sojoerto (desa Sojommerto, Reban, Batang) dan candi Kendal (di desa Karangsari, Rowosari, Kendal). Pada prasasti Canggal disebutkan nama raja Sanjaya sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram (Kuno). Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna. Kerajaan Mataram ini kemudian bergeser ke Jawa bagian timur dengan rajanya yang terkenal Airlangga.

Seperti halnya kerajaan di Jawa bagian barat Kerajaan Tarumanagar terkait dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Mataram juga terkait dengan kerajaan-kerajaan di Jawa bagian timur. Lalu apa kaitannya raja Sanjaya dengan raja Dapunta Seilendra di pantau utara? Raja Dapunta Seilendra diduga menjadi raja di Kerajaan Kalingga. Kerajaan Galuh disebut adalah kerajaan Sunda yang wilayahnya terletak antara sungai Citarum di sebelah barat dan sungai Cisarayu atau Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara. Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun. Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya. Sementara itu disebut Kedatuan Medang (Mḍaŋ) adalah kedatuan yang berdiri di Jawa bagian tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa bagian timur pada abad ke-10. Kerajaan Medang ini disebutkan didirikan oleh Sanjaya, kedatuan diperintah oleh wangsa Sailendra dan wangsa Isyana. Berdasarkan sejarahnya penduduk kedatuan ini sangat bergantung pada pertanian (agraris), terutama pertanian padi. Pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, terlihat mekarnya seni dan arsitektur Jawa klasik tercermin dalam pertumbuhan pesat pembangunan candi, yang menghiasi lanskap pusat kedatuan Medang di Mataram (wilayah geografis dataran Kewu). Candi yang terkenal dibangun pada era Medang adalah Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan. Kedatuan Medang dikenal sebagai negeri pembangun candi. Kemudian wangsa yang memerintah kedatuan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Sailendra pemuja Siwa dan Sailendra penganut Buddha Mahayana. Perang saudara terjadi. Hasilnya adalah wangsa Sailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat; dinasti Sailendra (pemuja Siwa) berkuasa di kedatuan Medang di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan dan dinasti Sailendra (penganut Buddha) memerintah di kedatuan Sriwijaya di Sumatra dipimpin oleh Balaputradewa. Perselisahan di antara mereka tidak berakhir sampai 1016 ketika wangsa Sailendra yang berbasis di Sriwijaya menghasut Haji Wurawari, seorang vasal kedatuan Medang, dari Lwaram yang memberontak Dharmawangsa Teguh, dan menyerbu ibukota Wwatan di Jawa bagian timur. Serangan itu dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan luluh lantak dan tak menyisakan apapun kecuali sedikit saja yang selamat. Sriwijaya bangkit untuk menjadi kekaisaran hegemonik di wilayah tersebut. Seorang bangsawan Medang yang bertahan, merebut kembali Jawa bagian timur pada 1019, dan kemudian mendirikan kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga, putra Udayana raja ke-8 Bedahulu di Bali dari wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Medang. Peristiwa mahapralaya tersebut disebutkan dalam Prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041 M.

Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya terbagi dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya.

Pada tahun 1022 Kerajaan Chola di India selatan melakukan invasi hingga ke selat Malaka. Dalam prasasti Tanjore (1030) disebut Kerajaan Chola menduduki beberapa pelabuhan (kerajaan) di selat Malaka seperti Kadaram di Semenanjung (Kedah) dan di pantai timur Sumatra seperti Panai dan Sriwijaya. Panai (yang juga dipertukarkan dengan Binanga) adalah ibu kota Kerajaan Aru di muara sungai Barumun.  Saat serangan Chola ini diduga kuat ibu kota Kerajaan Sriwijaya berada di muara sungai Batanghari. Akibat serangan Chola ini, para pemimpin Kerajaan Aru sebagian melarikan diri ke pedalaman, sebagian yang lain melarikan diri ke kawasan Laut China Selatan dan sebagian yang lain lagi melarikan diri dan membangunan Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari. Sementara para pemimpin Kerajaan Sriwijaya melarikan diri ke daerah aliran sungai Musi (Palembang).

Pasca pendudukan Chola, Kerajaan Aru di muara sungai Barumun bangkit kembali (suatu federasi kerajaan, termasuk Kerajaan Mauli). Demikian juga Kerajaan Sriwijaya di daerah aliran sungai Musi bangkit kembali. Di wilayah Semenanjung  muncul Kerajaan Kedah dan Kerajaan Malaka. Raja-raja Kerajaan Aru yang melarikan diri ke kawasan Laut China Selatan (Champa, Khmer, Brunai. Ligor dan Luzon).

Tunggu deskripsi lengkapnya

One Thousand Years Later: Mataram Kuno hingga Mataram Islam (Now)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar