Minggu, 22 Agustus 2021

Sejarah Makassar (37): Napu, Besoa, Bada di Lembah, Antara Danau Lindu dan Danau Poso; Benarkah Megalitik TN Lore Lindu?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel-artikel sebelumnya telah dideskripsikan bahasa etnik Pamona di sekitar danau Poso dan juga bahasa Kaili di danau Lindu di kabupaten Sigi. Juga telah dibicarakan bahasa-bahasa di kabupaten Pasangkayu serta situs kuno di Seko dan Rampi (kabupaten Luwu). Pada artikel ini akan dideskripsi sejarah zaman kuno di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (perbatasan kabupaten Poso dan kabupaten Sigi). Wilayah danau Lindu-danau Poso bukanlah wilayah muda, tetapi wilayah yang sudah tua. Namun tidak setua yang diperkirakan para arkeolog, Bagaimana bisa?

Seperti halnya di wilayah Sigi dan Poso di jantung pulau Sulawesi, nun jauh di barat di di jantung pulau Sumatra, tepatnya di wilayah Angkola Mandailing dan wilayah Silindung Toba terdapat situs-situs yang berasal dari zaman kuno yang mirip satu sama lain. Dalam hal ini disingkat saja sebagai: Danau Toba-Siais di Silindung-Angkola hingga danau Poso-Lindu di Sigi-Lore. Para arkeolog menyebut situs-situs di Sigi dan Poso bersifat megalitik (zaman batu), tetapi situs-situs tua di Angkola (Mandailing)-Silindung (Toba) tidak disebut bersifat megalitik tetapi situs-situs tua yang diduga pada era Hindoe Boedha. Apakah berlebihan penanggalam para arkeolog tentang situs-situs kuno di Sigi-Poso terlalu tua (jika dibandingkan dengan situs tua di Angkola-Siliindung?).  Situs-situs tua ini berada di lembah-lembah di antara danau Lindu dan danau Poso seperti di wilayah pegunungan Telawi dengan lima lembah, yakni Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada yang masuk kabupaten Poso dan Lembah Palu dan Danau Lindu di kabupaten Sigi (yang termasuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu).

Lantas bagaimana sejarah situs-situs tua di di Taman Nasional Lore Lindu di perbatasan wilayah Sigi dan wilayah Poso? Seperti disebut di atas, situs-situs tua di Sigi-Poso di sekitar gunung (danau) Lindu mirip dengan situs-situs tua di Angkola-Silndung. Bagaimana hal itu memilik kemiripan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Danau Lindu Gunung Lindu (Taman Nasional Lore Lindu): Antara Sigi dan Poso

Sebelum dikenal nama Lore, nama yang dikenal adalah wilayah (distrik kecil Napa dan Besoa). Keberadaan dua lanskap ini dilaporkan kali pertama oleh ALB C Kruijt (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1908). Ke wilayah pedalaman ini belum pernah ada orang Eropa. Penduduk Napa juga cenderung menolak kehadiran asing. Oleh karena itu wilayah Besoa juga tidak terkunjungi (karena untuk menuju Besoa melalui Napa).

Nama Napa kini menjadi (lembah) Napu dan nama Besoa menjadi (lembah) Besoa. Pada masa ini Lembah Napu meliputi wilayah desa Sedoa dan desa Wuasa kecamatan Lore Utara dan desa Wanga dan desa Watutau kecamatan Lore Peore. Lembah ini menjadi salah satu bagian dari wilayah Taman Nasional Lore Lindu. Dalam hal ini kabupaten Poso sendiri pada dasarnya terdiri dari tiga wilayah yakni Poso, Pamona dan Lore. Pamona berada di sekitar danau Poso dan Lore berada di sisi timur taman nasional Lore Lindu. Sedangkan kabupaten Sigi yang berbatasan dengan wilayah Lore adalah kecamatan Kulawi dan kecamatan Lindu (dimana terdapat danau Lindu) yang juga menjadi bagian dari wilayah Taman Nasional Lore Lindu.

Sejak kapan orang Napu (To Napu) menghuni lembah Napu?  Menurut Kruijt orang Napu adalah penduduk pedalaman yang sangat ditakuti, dan ahli dalam berperang. Penduduk pantai seperti To Pajapi dan To Ondae di sekitar Mapane berada di bawah orang Napu, dimana orang Napu mengutip pajak garam. Orang To Poeƶemboto dan To Loewoe di selatan danau Poso juga tidak berkutik dengan orang Napu. Radja Sigi mengklaim bahwa orang Napu berada di bawah yurisdiksinya, namun secara fakta adalah orang To Napu adalah penduduk yang independen.

Raja Sigi tampaknya hanya memiliki hubungan perdagangan dengan orang Napu. Hal ini menurut Kruijt, ketika Sarasin dari Mapane ingin berkunjung ke Napu tahun 1895, tetapi gagal, Kruijt bersama Adriani coba ke Napu tetapi juga gagal. Lalu Kruijt tahun 1897 berinisiatif  ke Napu lewat Sigi. Namun menurut Kruijt bahwa Radja Sigi tidak bisa menjamin keselamatannya ke pedalaman. Hal itu membuat Kruijt mengurungkan niatnya ke Napu. Kruijt berkesimpulan bahwa Radja Sigi tidak memiliki otoritas penuh terhadap penduduk Napu. Catatan: Kruijt adalah seorang misionaris yang stasionnya di Poso (dimana sudah terbentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda tempat dimana Controleur berkedudkan). Sementaran Adriani adalah seorang ahli bahasa yang sedang mempelajari bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah. Radja Sigi adalah radja dari penduduk Kaili (pedalaman), sementara di pantai terutama di Donggala tempat bermukim orang-orang Bugis dan Makassar yang telah menggantikan peran orang-orang Mandar. Wilayah Kaili di masa lalu berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Ternate. Kruijt menyebutkan kepala Napu bernama Oema I Soli. 

Orang Napu dan tetangganya orang Besoa berhubungan baik dengan orang Seko dan orang Rampi. Boleh jadi mereka ini berasal dari keturunan yang sama (sama-sama raja gunung yang menguasai wilayah pedalaman). Orang Poso (Pamona), orang Luwu dan orang Mandar dan orang Mamuju adalah penduduk pantai. Besar dugaan bahwa orang Napu, Besoa, Seko dan Rampi adalah penghuni pertama di jantung pulau Sulawesi. Lalu bagaimana dengan orang Toraja (dan orang Mamasa)? Setali tiga, uang. Orang Toraja dan orang Mamasa juga berhubungan baik dengan orang Napu, Seko dan Rampi. Satu tokoh yang terkenal dari To Napu adalah Uma I Soli.

Seperti kasus di Silindung dan Toba di Tapanuli pada saat kehadiran Nommensen, kehadiran Krujt di Poso telah memprovokasi orang Napu dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada bulan Agustus 1905 militer dari Manado didatangkan untuk menjinakkan orang-orang Napu. Terjadi pertempuran antara orang Napu dengan militer. Pada ekspedisi kedua bulan September dengan militer yang lebih banyak, para pemimpin Napu menyerah kepada pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, orang Napu tetap melakukan perlawanan pasif meski pemerintah Hindia Belanda telah mengangkat Uma I Tahungki sebagai wakil pemerintah di Napu. Uma I Tahungki tetap tidak bisa berbuat banyak. Strategi pemerintah kemudian dialihkan dari Paloe dengan mengirim ekspedisi ke Napu, lagi-lagi terjadi pertempuran. Faktor Uma I Soli tetap menjadi sentral diantara penduduk Napu. Orang Besoa yang didekti pemerintah terkesan mendua, dan tidak terlalu setia ke pemerintah tetapi menaruh perhatian yang kuat pada orang Napu. Menurut Kruijt situasi dan konsisi di wilayah Napu baru dapat dikendalikan setelah meninggalnya Uma I Soli. Wilayah Napu dan Beso dimasukkan ke wilayah Afdeeling Poso (bukan Afdeeling Donggala). Dengan begitu, tampkanya Kruijt mulai tersenyum dan dengan sendirinya mulai melakukan aktivitasnya yang sudah lama terhambat di wilayah Napu dan Besoa. Catatan: orang Toraja juga melakukan perdagangan ke Poso.   

Uma I Soli tampakknya mewakili karakter orang To Napu. Sebagaimana penduduk (To) yang lainnya, orang To Napu sangat mandiri dan memiliki keahlian berperang. Orang To Napo hidup seperti orang Batak di wilayah pedalaman yang tenang, di lembah-lembah diantara pegunungan. Orang To Napu, seperti tetangganya di wilayah pedalaman jantung pulau Sulawesi, memiliki tradisi pemujaan leluhur dan menganggap gunung sebagai suatu yang penting dalam hidup dan sakral (tempat turunnya dewata). Tradisi dan penujaan leluhur boleh jadi menjadi karakter To Napu sebagaimana diwakili oleh Uma I Soli yang tidak mau tunduk pada asing (Belanda). Namun tampaknya orang To Napu ingin menjaga kesakralannnya  wilayah tradisinya di (lembah) Napu sehingga mereka cenderung offensif dan sangat keberatan orang asing memasuki wilayahnya? Apakah itu batu-batu pemujaan?

Uma dalam bahasa Napu adalah ayah. Di wilayah penduduk tetangga nama Uma dieja dengan nama Ama atau Amang. Sedangkan ibu dalam bahasa Napu adalah Ina (demikian juga di wilayah tetangga disebut Ina atau Inang. Jika memperhatikan bahasa-bahasa elementer dalam kamus bahasa Napu, seperti Ama dan Ina, Empung, Mpoe atau Poe dan sebagainya ada kesan bahasa Napu merupakan satu rumpun dari utara (Minahasa) hingga selatan (Toraja). Jika dipetakan semua kosa kata elementer ini dan nama-nama geografis ada kemiripan dari Minahasa ke Maluku dan ke Toraja hingga Manggarai. Dari daerah Minahasa ke utara hingga pulau Luzon (di teluk Manila). Antara Luzon di satu sisi dan Minahasa di sisi lain, kosa kata elementer dan nama-nama geografis terputus, tetapi terdapat kemiripan nun jauh di pantai timur Sumatra (mulai dari muara sungai Barumun). Asal usul terminologi To (orang) diduga merujuk pada (penyembahan) dimana terdapat gunung (tempat dewata dan arwah leluhur), seperti To (Toraja), Tou (Minahasa) dan Tau sebagainya merujuk pada kata Tor seperti Tor Raja (Toraja), Tor Dano (Tondano).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa-Bahasa di Seputar Danau Lindu dan Danau Poso: Kaili, Baras, Benggaulu, Bare’e, Seko dan Rampi

Satu yang khas dari wilayah penduduk asli Sulawesi di pedalaman adalah ditemukannya sejumlah prasasti-prasasti zaman kuno seperti di lembah Napu. Prasasti-prarasti ini hanya terbatas ditemukan dan mirip satu sama lain antara lain, prasasti Minahasa (Watu Rerumeran), prasasti Seko (Toraja), prasasti Watu Mpoga’a (Poso), prasasti Wana (Watu Marando) dan prasasti-prasasti di Manggarai (nama awal pulau Flores). Seperti halnya kosa kata elementer dan nama geografis, juga parasasti-prasasti yang ditemukan di Sulawesi dan Manggarai mirip dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah aliran sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Penduduk pendukung prasasti-prasasti itu memiliki bahasa-bahasa berbeda tetapi dalam kosa kata elementer kurang lebih sama.

Bahasa Napu merupakan salah satu bahasa yang ditemukan di wilayah Lore Utara (kabupaten Poso). Bahasa Napu mendominasi wilayah Lembah Napu dan dipertuturkan oleh orang Napu. Bahasa Napu termasuk rumpun Badaik, bersama dengan bahasa Besoa dan bahasa Bada. Dari sudut pandang leksikostatistik murni, Napu, Behoa dan Bada dapat dianggap sebagai dialek dari satu bahasa. Namun secara geografis dan sosiolinguistik mereka berbeda, dan atas dasar ini ketiganya diperlakukan sebagai bahasa yang terpisah. Sementara penutur bahasa Besoa atau bahasa Behoa terdapat di kecamatan Lore Tengah. Bahasa Besoa tersebar di Lembah Lore dan dipertuturkan oleh suku Besoa. Sedangkan penutur bahasa Bada terdapat di 14 desa di kecamatan Lore Selatan, 2 desa campuran di kecamatan Pamona Selatan, 4 desa campuran di kecamatan Poso Pesisir, desa Lemusa di kecamatan Parigi Selatan, kecamatan Ampibabo dan desa Ako di kecamatan Pasangkayu (kabupaten Pasangkayu). Salah satu lgu terkenal pada masa ini yang berbahasa Bada adalah lagu berjudul Ina Uma Allalungku yang dalam bahasa Angkola Mandailing dapat diartikan sebagai Ibu dan Ayah Saudaraku yang kurindukan. Lagu ini dalam bahasa Napu berjudul Katuwongku.

Bahasa Napu, bahasa Besoa dan bahasa Bada merupakan rumpun bahasa yang sama yang berbeda dialek. Penduduk penutur tiga bahasa ini berada berpusat di wilayah Lore, dimana terdapat lembah Napu, lembah Besoa dan lembah Bada yang pada masa ini ditemukan sejumlah prasasti yang berasal dari zaman kuno. Prasasti-prasasti yang terbuat dari batu-batu besar ini dalam bentuk patung wajah, wadah (lesung) dan bentuk lainnya yang mengindikasikan bukti peradaban zaman kuno.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar