Sabtu, 12 November 2022

Sejarah Bengkulu (9): Rejang Lebong di Bengkulu, Wilayah Orang Rejang di Lebong dan di Kapahiang; Palembang vs Bengkulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini 

Wilayah Rejang Lebong (Rejang dan Lebong) berada di wilayah pedalaman Sumatra di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Kabupaten Rejang Lebong dimekarkan pada tahun 2003 dengan membentuk Kabupaten Lebong dengan ibu kota di Tubei. Lalu pada tahun 2004 kembali kabupaten Rejang Lebong dimekarkan dengan membentuk kabupaten Kapahiang dengan ibu kota di Kapahiang. Sejarah kabupaten Rejang Lebong juga adalah sejarah kabupaten Lebong dan sejarah kabupaten Kapahiang. Tiga kabupaten ini seakan berada jauh dari pesisir wilayah Bengkulu (di barat). Sebaliknya wilayah Rejang Lebong sendiri adalah hulu dari sungai Musi (di timur).


Rejang Lebong adalah kabupaten di provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.515,76 km² dan populasi sekitar 257.498 jiwa (2016). Mayoritas penduduk kabupaten Rejang Lebong merupakan suku Rejang yang jumlahnya mencapai 43%, disusul suku Jawa yang merupakan pendatang dengan jumlah sekitar 35,2%. Suku Melayu Lembak dengan persentase lebih kecil. Ibu kotanya ialah Curup yang berada pada ketinggian 600-700 mdpl. Kabupaten ini terletak di luak Ulu Musi, sebuah lembah di tengah rangkaian Bukit Barisan dan berjarak 85 km dari Kota Bengkulu. Penduduk asli terdiri dari 2 suku utama yaitu suku Rejang dan suku Melayu. Suku Rejang mendiami tanah atas yaitu kecamatan Curup, Curup Utara, Curup Timur, Curup Selatan, Curup Tengah, Bermani Ulu, Bermani Ulu Raya, dan sebagian Selupu Rejang. Suku Lembak mendiami tanah bawah yaitu kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Binduriang, Sindang Dataran, Sindang Beliti Ulu, Sindang Beliti Ilir, dan Sindang Kelingi. Batas-batas wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Utara, Kabupaten Lebong dan kabupaten Musi Rawas; Timur, Kota Lubuklinggau dan kabupaten Musi Rawas; Selatan, Kabupaten Kepahiang dan kabupaten Empat Lawang; Barat, Kabupaten Bengkulu Tengah dan kabupaten Bengkulu Utara. Secara topografi, Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah yang berbukit-bukit, terletak pada dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 100 hingga 1000 m dpl. Secara umum kondisi fisik Kabupaten Rejang Lebong sebagai berikut: Kelerengan: datar sampai bergelombang, Jenis Tanah: Andosol, Regosol, Podsolik, Latasol dan Alluvial
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Rejang Lebong di Bengkulu, Orang Rejang dan Orang Lebong di Residentie Bengkulu? Seperti disebut di atas orang Rejang dan Orang Lebong kini terdapat di kabupaten Rejang Lebong dan di kabupaten Lebong. Lalu bagaimana sejarah Rejang Lebong di Bengkulu, Orang Rejang dan Orang Lebong di Residentie Bengkulu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Rejang Lebong di Bengkulu, Orang Rejang dan Orang Lebong di Residentie Bengkulu; Residentie Palembang vs Residentie Bengkoelen

Apakah kita tidak pernah berpikir wilayah Curup yang sekarang, di masa lampau adalah suatu danau besar, danau yang lebih luas dari danau Ranau dan danau Kerinci? Ada beberapa danau purba di (pulau) Sumatra yang diduga telah hilang, selain danau Curup, juga ada danau-danau pegunungan seperti danau Siabu di wilayah Angkola Mandailing (Tapanuli bagian selatan) dan danau Tangse di Atjeh telah hilang. Danau-danau tersebut hilang karena jebol akibat aktivitas vulkanik dan gempa yang sangat besar. Dalam konteks inilah pertanyaan tentang eks danau Curup di masa lampau. Bekas danau-danau tersebut kemudian menjadi lahan subur dimana di atasnya terbentuk dan berkembang peradaban yang lebih baru.


Secara geomorfologis, sebagai danau besar di pegunungan, di danau Curup bermuata sejumlah sungai, diantaranya sungai yang lebih besar sungai Musi (berhulu di gunung/bukit Oeloe Moesi). Sungai besar lainnya yang bermuara di danau adalah sungai Air Dingin yang berhulu di gunung/bukit Daoen. Seperti dikutip di atas wilayah Curup yang dilapisi tanah-tanah alluvial merupakan sisa sedimen danau yang telah menghilang yang menjadi kawasan wilayah Curup sangat subur.

Peradaban awal populasi penduduk Rejang bermula di sekitar danau purba. Pusat peradaban awal tersebut diduga bermulan di wilayah kabupaten Lebong yang sekarang. Sedangkan peradaban baru dari populasi penduduk Rejang bergeser ke dalam lembah (eks danau). Hal itulah mengapa wilayah asal populasi penduduk Rejang di era yang lebih baru meliputi wilayah yang kini terbagai tiga kabupaten: kabupaten Tejang Lebong, kabupaten Lebong dan kabupaten Kapahiang. Kota Kapahiang sendiri adalah kota baru, yang merupakan pemukiman awal dari penduduk pendatang yang berasal dari pantai barat Sumatra.


Lembah Curup (Tjoeroep) diapit oleh tiga puncak gunung, yang merupakan gugus pegunungan Bukit Barisan, yakni gunung Daun di utara, gunung Moesi (juga disebut gunung Tjoendoeng) di timur dan gunung Kaba di selatan. Gunung Kaba adalah aktif. Di masa lampu, letusan gunung Kaba telah membentuk kaldera yang kemudian menjadi danau yang disebut danau kaldera gunung Kaba.

Hilangnya danau purba, danau Curup yang menjadi wilayah lembah, populasi penduduk Rejang yang hidup di lembah masih memiliki sisa danau yang berada sebelah timur kota Curup yang disebut danau Ketjil. Sekitar dua abad yang lalu, tahun 1833 terjadi bencana besar di danau Ketjil. Gunung Kabau meletus. Danau kecil ini kini lebih popular disebut danau Kaba. Sebelum meletus gunung Kaba tahun 1833, danau Kaba/danau Ketjil masih sangat luas, permukaan airnya bahkan setinggi permukaan kawasan tempat dimana orang berdiri sekarang (tapi kini permukaan air danau agak jauh di bawah).


Javasche courant, 08-02-1834: ‘Batavia, 7 Februari 8134. Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 24 hingga 25 November yang lalu itu terjadi di Jawa dan di tempat lain, tetapi terutama di Sumatera, dengan kekerasannya, dan rinciannya, sebagaimana diketahui, telah dilaporkan oleh kami, menurut laporan lebih lanjut dari Palembang, ada kaitannya dengan letusan gunung berapi Bukit Kaba yang terletak di district Sindang Klingie dan Sindang Blietie, res. Palembang, berbatasan dengan district Bengkoelen, Redjang. Terlepas dari kerusakan yang disebabkan oleh guncangan gempa bumi yang berulang-ulang, efek banjir air dari gunung tersebut adalah yang paling menyedihkan dari semua fenomena alam yang mengerikan ini. Diantara dua puncak utama gunung tersebut, yakni terdapat sebuah danau di pedalaman yang dikenal dengan nama Telaga Ketjiel, yang kini harus hilang sama sekali akibat gempa. Air yang tumpah dari danau ini segera membanjiri kampong-kampong terdekat, didukung oleh pasokan dari sungai Aijer Dingien, yang juga telah tersumbat secara massal oleh pohon-pohon yang tumbang dan tanah yang runtuh. Dusun Talang Aijer Lang antara lain terendam banjir hingga kedalaman 21 kaki, sedangkan setelah banjir tersisa lumpur setinggi 7 kaki. Dalam penghancuran dusun ini, 36 warga kehilangan nyawanya. Jumlah total korban di distrik Klingie dan Blietie adalah sembilan puluh orang. Gunung Kaba berjarak sekitar lima puluh jam berjalan kaki dari ibu kota Palembang, namun terlepas dari jarak tersebut, air di sungai Groote Moessie tidak dapat diminum selama beberapa minggu’.

Fakta bahwa telah terjadi bencana besar di Tjoeroep pada tahun 1833. Yang menjadi sisa pertanyaan dalam hal ini adalah apa yang terjadi di Tjoeroep sendiri? Tampaknya tidak terinformasikan. Boleh jadi pengamatan dan pelaporan yang dikumpulkan baru dari sisi timur (wilayah Residentie Palembang). Bagaimana dari sisi barat di Bengkoelen? Sebagaimana diketahui ada akses jalan pegunungan dari timur di Moeara Bliti ke pantai barat Sumatra di Bengkoeloe melalui Tjoeroep dan Kapahiang. Besar dugaan orang Eropa/Belanda dari Bengkoeloe ke arah pegunungan baru sampai di Kapahiang.


Hulu sungai Moesi berada di gunung Musi (gunung Tjoendoeng). Sungai Musi ini melalui kota Curup. Semua sungai di lembag Curup bermuara ke sungai Musi ini. Ke hilir sungai Musi melewati celah antara lereng gunung Kaba dan gunung Boengkoek dan kemudian ke arah selatan melalui kampong (kota) Kapahiang dan berbelok ke arah timur di Talang Padang dan seterusnya ke kota Tebingtinggi berbelok lagi ke utara di Moera Klingi dimana sungai Klingi bermuara. Sementara itu, dari gunung Kaba mengalir sungai Sepiang yang bersama-sama dengan sungai dari danau Ketjil ke arah timur membentuk sungai Klingi melalui kmapong Padang Oelak Tandjoeng terus ke Moeara Bliti (dimana sungai Bliti bermuara ke sungai Klingi) lalu ke hilir sungai bermuara ke sungai Musi (di Moeara Klingi). Sejatinya tidak ada aliran sungai yang mengalir ke pantai barat Sumatra dari wilayah (orang) Rejang. Kampong/kota Kapahiang sendiri berada di lembah dimana mengalir sungai Musi yang berhulu di Tjoeroep. Dalam situasi dan kondisi inilah dinamikan populasi penduduk Redjang diantara Bengkoeloe di barat dan Palembang di timur. Yang jelas orang Rejang di pedalaman (di pegunungan) berada diantara orang Melayu di pantai barat dan di pantai timur Sumatra. Hal serupa ini juga yang terjadi di zaman kuno bagi orang Lampoeng, orang Kerintji, orang Minangkabau, orang Batak (Angkola Mandailing dan Toba) dan orang Gajo/Alas.

Seberapa intens letusan gunung Kaba pada tahun 1833 tidak terinformasikan secara lengkap. Akan tetapi gempa yang ditimbulkannnya haruslah dianggap gempa yang sangat luar biasa besarnya karena air danau Ketjil bisa tumpah seluruhnya dan salah satu dusun yang diinformasikan terendam setinggi lebih dari enam meter. Dalam hal ini apa yang terjadi di lembah Curup? Seberapa besar dampak gempa di lembah Curup, seberapa besar dampak yang ditimbulkan efek gempa pada hulu sungai Musi di lembah Curup? Tidak terinformasikan.


Jika kembali ke pertanyaan awal bahwa lembah Curup di zaman kuno adalah suatu danau besar (jauh lebih besar dari danau Ketjil), bagaimana danau Curup kering dan kondisinya yang tampak seperti sekarang? Besar dugaan gunung Kaba pernah Meletus dengan dampak gempa yang sangat besar. Tanggul danau di arah hilir hulu sungai Musi di selatan lembah Curup telah jebol. Posisi dimana tanggul danau itu jebol diduga pada jarak terpendek antara tebing barat dan tebing timur sungai Musi. Dalam hal ini antara lereng gunung Ketam dengan lereng gunung Boengkoek. Secara geomorfologis sungai Musi diantara dua lereng ini terdapat celah sempit yang menjadi jalan aliran sungai Musi ke arah selatan (lihat peta).

Dalam perkembangannya, wilayah orang Redjang yang awalnya masuk wilayah Residentie Palembang, dimasukkan ke wilayah administrasi Residentie Bengkoelen (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie jrg 2, 1839). Dalam hal ini pengalihan ini lebih pada sifat administrative untuk upaya efektivitas pemerintahan dan efisiensi dalam pengeluaran pemerintah. Namun seperti disebut di atas, wilayah Redjang secara geomorfologis lebih mengaraj ke timur (Residentie Palembang) di daerah aliran sungau Musi.


Berdasarkan catatan statistic dalam Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1839 wilayah (onder) afdeeeling Redjang terdiri dari distrik Tjiento Mandie, Kaloeba, Kasambe dan Tahapahé, Secara keseluruhan wilayah Redjang memiliki populasi gabungan sekitar 10.000 jiwa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Residentie Palembang vs Residentie Bengkoelen: Pembagian Wilayah Administrasi Didasarkan Atas Rentang Kendali, Efisiensi dan Efektivitas Pemerintahan era Pemerintah Hindia Belanda

Populasi penduduk terawal di (pulau) Sumatra berada di pegunungan di seputar danau-danau besar, seperti di danau Ranau (orang Lampung), danau Curup (orang Rejang), danau Kerinci (orang Kerinci), danau Singkarak dan danau Maninjau (orang Minangkabau), danau Siabu (orang Angkola Mandailing), danau Toba (orang Toba), danau Tekengon (orang Alas) dan danau Tangse (orang Gajo). Populasi penduduk pegunungan ini sudah berkembang sebelum memanjangnya sungai-sungai pegunungan yang mengalir ke pantai timur. Pada fase itu populasi pegunungan masih memiliki akses dekat ke pantai, naik ke pantai barat maupun ke pantai timur. Memanjangnya sungai-sungai ke timur karena terjadinya proses sedimentasi. Dengan kata lain pulau Sumatra semakin membengkak ke arah timur. Proses sedimentasi karena massa padat dari pegunung berupa lumpur dan sampah vegetasi akibat aktivitas penduduk di pegunungan (plus aktivitas vulkanik).


Banyak elemen budaya yang memiliki kesamaan diantara populasi penduduk pegunungan di Sumatra, bahkan masih dapat diidentifikasi hingga sekarang. Elemen bahasa dapat ditrace diantara kosa kata elementer di masing-masing bahasa suku (terawal) yang sekarang. Elemen aksara juga memiliki kedekatan dan mirip satu sama lain. Elemen adat istiadat (djoedjoer), system pemerintahan non monarki.  Elemen seni (music, tari dan lagu) dan elemen arsitektur. Khusus elemen arsitektur tampak pada pola bentuk atap rumah, suatu wujud elementer dalam arsitektur bangunan di Sumatra. Bentuk dasar adalah segi tiga yang terdapat di Angkola Mandailing, Kerinci/Jambi dan Rejang. Tekesan ada pegeseran minor di Toba. Perubahan signifikan pola atap rumah terdapat di Minangkabau dan Lampung. Pola atap rumah di Lampong lebih mirip dengan pola yang terdapat di (pulau) Jawa. Pola di Toba dan Minangkabau struktur dasarnya sama tetapi yang membedakan adalah ujung atap (adanya bentuk gonjong di Minangkabau). Kecuali di Lampong, bentuk dasar pola atap rumah di Sumatra kurang lebih sama. Ini mengindikasikan adanya keterkaitan budaya di masa lampau, seperti halnya aksara dan elemen budaya lainnya.

Disamping kesamaan aksara dan kosa kata elementer yang memiliki kemiripan diantara populasi penduduk pedalaman Sumatra (orang Rejang dan lainnya), arsitektur rumah sebagai wujud peradaban yang lebih maju, pola bentuk alam menjadi pananda navigasi budaya yang paling penting. Di dalam bentuk rumah, dalam hal ini pola atap, terdapat lambing sosio-budaya populasi penduduk. Suatu bagian rumah yang jauh dari jangkauan, terlestarikan dan dapat diperhatikan dari jauh dari berbagai arah mata angin, menjadi lambing eksistensi yang secara sosiohistoris diwariskan. Satu yang penting dalam pola atap rumah ini adalah penambahan elemen tertentu sebagai lambing pada kedua ujung atap. Pola rumah orang Rejang yang memiliki bentuk tanduk (v) di kedua ujung atap, sama dengan yang digunakan orang Kerinci/Jambi dan orang Batak/Angkola Mandailing. Lambang yang sederhana tetapi memiliki arti.


Secara teoritis dapat diperhatikan pola bentuk-bentuk atap rumah di Sumatra seperti yang digambarkan di atas, pada dasarnya sama (kecuali Lampung). Bentuk dasar adalah sederhana, bentuk terawal yakni berbentuk lurus (atap segitiga) dimana elemen tanduk ditambahkan, Tanduk dalam hal ini merupakan lambing sosiomagis seperti tanduk kerbau. Bentuk pola atap rumah orang Minangkabau dan orang Batak/Toba telah bergeser menjadi bentuk lengkung. Boleh jadi pergeseran itu karena perubahan dalam merespon perubahan baru (penhgaruh dari luar). Dalam hal ini elemen takduk menghilang. Di Minangkabaau dan Batak/Toba elemen tanduk digantikan dengan elemen ujung atap, tetapi secara spesifik di Minangkabau lebih runcing (gonjong). Apakah bentuk gonjong di Minangkabau sebagai wujud lambing tunggal (misalnya pengaruh agama Islam), sementara di Angkola Mandailing, Kerinci dan Rejang pola lama tetap dipertahankan, tidak dengan tanduk yang sebenarnya tetapi dalam bentuk lambing (bentuk v) saja (yang terbuat dari kayu). Sedangkan di wilayah Lampong, bentuk pola atap rumah tidak lagi mengikuti pola bentu dasar (pola asli) rumah Sumatra, tetapi mengadopsi pola bentuk rumah di (pulau) Jawa yang disebut limas atau joglo.

Pola bentuk atap rumah diduga kuat menjadi pola rumah yang sudah terbentuk dari zaman kuno. Di dalam relief candi Borobudur, hanya ada dua pola bentuk atap yang diabadikan yakni pola bentuk yang sederhana dari Sumatra dan pola bentuk limas dari Jawa. Pola bentuk atap rumah di Minangkabau dan di Toba tidak terwakili di dalam museum budaya zaman kuno di dinding relief candi Borobudur. Ini mengindikasikan pola atap di Minangkabau dan Toba dapat dikatakan relatif masih baru.


Pola bentuk atap rumah di Toba dan Minankabau terkesan bersifat anomaly. Ada di dalam barisan tetapi berbeda secara umum dengan yang lainnya di wilayah Sumatra. Oleh karena pola bentuk atap di dua wilayah tersebut bersifat berbeda, ada baiknya dengan mengidentifikasi bentuk atap proksinya (wilayah terdekat). Dengan demikian pola bentuk rumah yang berbeda diantara diantara dua wilayah yang sama dapat disimpulkan sebagai pola yang umum (kurang lebih serupa untuk keseluruhan). Proksi pola bentuk atap rumah di Minangkabau (elemen gonjong) dapat diperhatikan pola bentuk atap rumah di wilayah kota Padang. Pola bentuk atap rumah di Kota Padang kerap disebut Kajang Padati (lihat gambar). Dalam hal ini dapat ditambahkan, pola atap rumah di Nias kurang lebih sama dengan di Sumatra, Sementara itu, pola bentuk atap rumah di Karo adanya kemiripan dengan pola bentuk atap rumah Melayu Deli. Sedangkan pola bentuk atap rumah di Lampung, sejatinya mirip dengan Pasemah, tetapi di Lampong diduga mendapat pengaruh dari Jawa (Banten) sehingga terkesan berbentuk pol alimas (joglo)..

Oleh karena kebaruan bentuk atap di pedalaman Minangkabau dan Toba, dengan memperhatikan garis continuum sepanjang garis budaya di Sumatra dapat dikatakan bahwa pada awalnya diduga pola bentuk atap rumah di Sumatra kurang lebih sama, pola sederhana dengan elemen tanduk. Hal ini karena terdapatnya pola bentuk yang sama mulau dari utara Gayo Alas hingga ke selatan dengan elemen tanduk seperti pola bentuk atap rumah Angkola Mandailing (Tapanuli) hingga di selatan Rejang Lebong (Bengkulu) dan Pasemah/Basemah (Sumatra Selatan).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar