Sabtu, 25 Februari 2023

Sejarah Malang (7): Populasi Penduduk di Malang Doeloe, Melting Pot; Orang Madura dan Orang Jawa di Malang pada Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Populasi penduduk Kota Malang masa ini berdasarkan SP-2020 sebanyak 843.810 Jiwa. Banyak memang. Akan tetapi itu bermula dar jumlah yang sedikit. Populasi penduduk kota Malang telah meningkat dari masa ke masa, bahkan telah dimulai sebelum era Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu elemen populasi dari awal di wilayah Malang berasal dari pulau Madura atau wilayah pantai dimana komunitas penduduk Madura berada.


Sebagian besar penduduk Kota Malang berasal dari suku Jawa. Namun, jika dibanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, suku Jawa di Malang memiliki temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter. Terdapat pula sejumlah suku-suku minoritas seperti Madura, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Agama mayoritas di Kota Malang adalah Islam, diikuti dengan Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bangunan tempat ibadah banyak yang telah berdiri semenjak zaman dahulu antara lain Masjid Agung Jami' Kota Malang, Gereja Hati Kudus Yesus, Katedral Ijen (Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel), Klenteng Eng An Kiong di Kotalama dan sebuah pura di Puncak Buring. Meskipun Islam adalah agama mayoritas, Kota Malang menjadi salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk Kristen terbesar di Jawa Timur. Malang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan karena memiliki banyak pesantren dan pusat pendidikan Kristen. Salah satu pesantren yang terkenal ialah Pondok Pesantren Al Hikam. Ada pula pusat pendidikan Kristen berupa Seminari Alkitab, Seminari Alkitab Asia Tenggara yang berdiri di Malang pada 1954. Kota Malang dikenal sebagai kota yang toleransi antaragamanya tinggi. Keberadaan Masjid Jami' dan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel di Kota Malang menarik. Dua tempat ibadah itu bersebelahan dan seolah menjadi simbol toleransi masyarakat di Kota Malang. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi di Kota Malang, seperti Indonesia. Namun, bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Kalangan minoritas suku Madura menuturkan bahasa Madura. Malang dikenal memiliki dialek khas yang disebut boso Walikan (osob Kiwalan), yaitu cara pengucapan kata secara terbalik, misalnya Malang menjadi Ngalam (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah populasi penduduk Malang, melting pot masa lalu hingga Malang masa kini? Seperti disebut di atas, keberadaan orang Madura sudah diketahui sejak lama di Malang. Dalam perkembangannya kota Malang menjadi kota melting pot, tidak hanya orang Madura dan orang Jawa. Lalu bagaimana sejarah populasi penduduk Malang, melting pot masa lalu hingga Malang masa kini? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Populasi Penduduk Malang, Melting Pot Masa Lalu, Malang Masa Kini; Orang Madura dan Orang Jawa di Malang

Hanya satu yang relative tidak berubah di (wilayah) Malang dari masa ke masa, yakni wilayah geografi Malang sendiri (topografi dan geologi wilayah). Waktu terus bergerak, yang berubah di wilayah Malang adalah populasinya. Perubahan populasi ini, pada setiap fase meninggal situsnya. Situs terawal yang dapat dipelajari masa kini adalah bangunan candi dan prasasti tertulis. Dalam konteks ini juga dapat ditambahkan hal yang diwariskan seperti nama kampong, bahasa, dan elemen budaya lainnya.


Perubahan populasi penduduk dapat terjadi karena berbagai factor. Faktornya dapat berbeda antara masa. Misalnya peperangan, epidemic, bencana alam seperti gempa, letusan gunung berapi dan banjir. Akibatnya, ada fase dimana wilayah Malang sempat kosong yang lalu kemudian digantikan oleh populasi. Kehadiran populasi lain bisa karena perpindahan alamiah (nomaden), atau perpindahan yang disengaja seperti pendudukan dimana para pasukan menetap atau pengerahan orang untuk memperkuat kekuasaan atau otoritas yang dipertahankan. Hal itu terjadi di berbagai tempat termasuk di wilayah Malang. Ibarat kita melihat air sungai, sungainya sendiri dari masa ke masa tetap eksis (ada saluran dan ada arus), tetapi air itu sendiri berubah setiap detik. Oleh karena itu, populasi penduduk Malang hari ini boleh jadi bukan orang dari keturunan yang sama dibandingkan dengan populasi penduduk yang eksis di masa lampau.  

Secara teoritis, terutama di pulau Jawa dan Sumatra, dihuni populasi penduduk negroid (berkulit hitam). Bukti-bukti sudah ditunjukkan oleh para peneliti di era Pemerintah Hindia Belanda bahwa di wilayah Jawa masih ada ditemukan populasi penduduk negroid seperti yang hari ini masih ditemukan di wilayah Semenanjung (seku Semang) dan pulau-pulau di Andaman. Jika pada masa ini populasi penduduk di Sumatra dan Jawa, termasuk di Malang umumnya berkulit coklat atau ada yang putih, hal itu sudah menunjukkan adanya perubahan populasi penduduk. Perubahan ras populasi ini juga dapat dijelaskan dengan adanya perubahan bahasa yang digunakan masa lampau dan masa kini yang berbeda. Adanya perbedaan aksen bahasa Jawa di Malang dan Madioen dan Soerakarta sudah mengindikasikan adanya perubahan populasi dan perubahan linguistic. Biasanya perubahan bahasa karena didahului oleh perubahan populasi. Ada bahasa yang masuk pada suatu wilayah karena ada orang yang membawanya.


Disebutkan di Malang ditemukan prasasti Dinoyo diduga berasal dari zaman kuno era Hindoe Boedha tahun 760. Disebutkan prasasti menggunakan bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa Sanskerta ini masih eksis hingga era kerajaan Singhasari abad ke-13. Pada abad ke-17 ada kehadiran orang Makassar dan orang Madura di wilayah Malang. Pada akhir era VOC mulai ada kehadiran orang Eropa/Belanda yang kemudian disusul orang Cina, orang Arab dan sebagainya pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini jika di wilayah Malang ditemukan dua bahasa yang proporsinya besar, bahasa Jawa dan bahasa Madura, sebenarnya kita tidak sepenuhnya memahami bahwa kemungkinan ada orang Madura telah berbahasa Jawa dan sebaliknya ada orang Jawa yang telah berbahasa Madura (apakah akibat perkawinan atau perubahan tempat tinggal). Keberadaan awal orang Jawa dan orang Madura di Malang sudah berlangsung sejak lama bahkan ratusan tahun yang lalu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Madura dan Orang Jawa di Malang: Riwayat Kota Malang Melting Pot Masa ke Masa

Setelah sekian ratus tahun di wilayah Malang, sulit membedakan siapa berasal dari mana terutama di antara orang Jawa dan orang Madura. Bahasa Jawa memang masa ini dominan, disbanding bahasa Madura, tetapi soal asal usul tidak linier. Telah terjadi proses percampuran antar penduduk melalui perkawinan yang kemudian membentuk populasi melting pot. Bagaimana ragam penduduk di Malang baru mulai dicatat sejak terbentuknya cabang Pemerintah Hindia Belanda di Malang.


Berdasarkan statistic tahun 1845 populasi penduduk di district Malang sebanyak 10.561 jiwa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847). Komposisinya sebanyak 8.020 jiwa orang Jawa dan sebanyak 2.012 orang Madura. Sementara itu orang Cina sebanyak 364 jiwa, orang Eropa sebanyak 66 jiwa dan orang Arab sebanyak enam orang. Yang lainnya orang Malayu dan orang Bugis dan lainnya sebanyak 91 jiwa. Tidak ditemukan komposisi penduduk pada tahun-tahun ke belakang. Informasi terawal hanya menyajika total populasi di seluruh afdeeling Malang pada era pendudukan Inggris yang dicatat dalam buku Raffles (1818) sebanyak 11.868 jiwa yang mana laki-laki sebanyak 5.912 jiwa dan perempuan sebanyak 6.926 jiwa.

Wilayah (afdeeling) Malang termasuk salah satu wilayah tujuan migrasi di (pulau) Jawa, karena wilayah afdeeling Malang sempat sepi karena adanya perang yang terjadi di masa lampau pada era VOC. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, terutama pasca pendudukan Inggris, arus migrasi ke wilayah Malang semakin deras. Para pendatang terutama dari bagian barat Malang di wilayah pedalaman (orang Jawa) dan bagian timur Malang di wilayah pesisir (orang Madura). Dengan semakin kondusifnya keamaanan di Malang dan perkembangan perekonomian yang pesat dengan pengembangan budidaya kopi, orang-orang Cina dan orang-orang Eropa semakin banyak yang memilih Malang.


Hal itulah mengapa populasi penduduk afdeeling Malang bertambah pesat. Bandingkan jumlah populasi 1815 yang hanya sebanyak 11.868 jiwa untuk seluruh afdeeling Malang menjadi kontras dengan jumlah populasi district Malang saja sebanyak 10.561 jiwa. Afdeeling Malang sendiri terdiri dari enam district: Malang, Antang, Singosari, Batoe dan lainnya.

Berapa total populasi pendudukan afdeeling Malang pada tahun 1845 tidak terinformasikan. Namun menurut catatan tahun 1901 jumlah populasi penduduk district Malang sudah mencapai sebanyak 53.388 jiwa. Jumlah ini sudah sangat meningkat jauh jika dibandingkan pada tahun pada tahun 1845 yang baru sebanyak 10.561 jiwa (lima kali lipat dalam setengah abad). Jumlah populasi penduduk afdeeling Malang maupun district Malang akan meningkat lagi seperti kita lihat nanti dalam Sensus Penduduk 1920 dan Sensus Pendudukan 1930.


Gambaran populasi penduduk pribumi di (afdeeling) Malang yang dimuat dalam De locomotief, 14-08-1908 disebutkan selain orang Malang asli terdapat orang Batavia dan Soenda, orang Solo dan Djokdja serta orang Bagelen, Madura dan juga orang Boegis dan Aceh. Disebutkan orang Aceh adalah orang Aceh yang diasingkan dari Aceh (pasca Perang Aceh pertama dan Perang Aceh kedua) dan juga orang Bugis adalah sebagian dari mereka orang-orang yang diasingkan (pasca Perang Bone dan Perang Makassar). Yang menarik dalam hal ini sudah terbentuk orang Malang asli (yang sudah ada dari generasi ke generasi). Orang Madura dan orang Solo dapat dibedakan sebagai pendatang karena masih mengidentifikasi diri sebagai orang Madura dan orang Solo. Bagiamna dengan orang Soenda dan orang Batavia? Orang Batavia mungkin maksudnya orang Betawi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar