Jumat, 19 Mei 2023

Sejarah Pendidikan (3): Awal Pemerintahan Hindia Belanda dan era Pendudukan Inggris; Apakah Benar-Benar Pendidikan Terabaikan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

VOC dibubarkan tahun 1799. Kerajaan Belanda, di bawah pendudukan Prancis, membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Hingga er Gubernur Jenderal Daendel (1809-1811) pembangunan lebih focus sarana prasaran perdagangan (ekonomi) dan pertahanan militer. Apakah ada introduksi pendidikan? Apakah selama pendudukan Inggris (1811-1816) sudah ada prioritas pengembangan pendidikan? Pertanyaan ini menjadi penting pada tahap permulaan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.  


Masa Penjajahan Inggris di Indonesia Kompas.com. Diperbarui 09/02/2022. Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (2016) karangan MC Ricklefs, 4 Agustus 1811, sebanyak 60 kapal di pelabuhan. Batavia jatuh ke Inggris 26 Agustus 1811. Thomas Stamford Raffles berhasil merebut seluruh kekuasaan Belanda di Indonesia (Perjanjian Tuntang, 18 September 1811). Pemerintah Belanda menyerahkan kepada Inggris di Kalkuta, India. Semua tentara Belanda tawanan perang Inggris; Orang Belanda dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris; Hutang Belanda tidak tanggungan Inggris. Raffles memberikan kesempatan rakyat Indonesia melakukan perdagangan bebas. Inggris melakukan operasi militer 21 Juni 1812 serangan ke Yogyakarta. Serangan Inggris membuat keraton rusak parah. Juga ekspedisi militer ke Palembang. Jawa dibagi 16 keresidenan, yakni: Banten Banyumas Besuki Bogor Cirebon Jakarta Karawang Kediri Kedu Madiun Madura Pati Priangan Rembang Semarang Surakarta.  Kebijakan Raffles segala bentuk rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Peranan bupati pemungut pajak dihapuskan dan bupati sebagai bagian pemerintah kolonial. Rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Selain meningkatkan kondisi penduduk, Raffles memperkenalkan sistem pencatatan bangunan-bangunan kuno di Jawa. Pada 1815, Raffles ditarik dan digantikan oleh John Fendall karena Inggris bersiap menyerahkan kembali Jawa ke Belanda (Perjanjian Anglo-Dutch 1814 menjelang berakhirnya Perang Napoleon di Eropa). Pada 15 Oktober 1817, Raffles mendapat mandat sebagai Gubernur Jenderal di Bencoolen. (https://www.kompas.com/)

Lantas bagaimana sejarah pendidikan awal pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda dan selama pendudukan Inggris? Seperti disebut di atas, wilayah Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah subjek kolonialisme. Apakah ada program pendidikan? Tentu saja tidak berharap untuk penduduk pribumi, orang Eropa juga terdapat di berbagai kota. Apakah benar-benar pendidikan terabaikan? Lalu bagaimana sejarah pendidikaan awal pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda dan selama pendudukan Inggris? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Awal Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan Inggris; Apakah Benar-Benar Pendidikan Terabaikan?

Ada perbedaan antara era Portugis/VOC dengan era Pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Pendidikan. Pada era Portugis/VOC, proses penyelenggaraan Pendidikan tidak diformalkan oleh pemerintah. Pada era Portugis diinisiasi oleh para misionaris, sedangkan era VOC dilakukan secara sukarela di benteng-benteng oleh para komandan militer. Lalu bagaimana pada era Pemerintah Hindia Belanda (setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799)? Tentu saja seharusnya menjadi program pemerintah.


Dalam struktur Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan Keputusan Kerajaan tanggal 6 Oktober diangkat sejumlah pejabat militer dan pejabat sipil di berbagai tempat (lihat Leydse courant, 26-10-1801). Dalam daftar terdapat nama N Engelhardt sebagai Commiss Opziender over der Inlander. Darei daftar ini tampaknya hanya posisi-posisi tinggi dana bersifat umum, kecuali sjahbandar, belum ada nama-nama yang dikaitkan posisi bersifat teknis atau pejabat yang lebih rendah. Nicolaus Engelhard kemudian diangkat menjadi Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (1801-1803). Pantai Timur Laut Jawa meliputi provinsi Jawa Timur yang sekarang termasuk di wilayah Banyuwangi.

Pada era Gubernur Jenderal Daendels struktur pemeritahan semakin lengkap, dan pejabat yang lebih rendah telah diangkat (lihat Almanak 1810). Pejabat yang berposisi landrost di wilayah Pantai Timur Laut Jawa antara lain di Soerabaja, Pasoeroean dan Banjoewangi. Di Landrost Bandjoewangi sebagai opziender adalah M Abels dan pejabat pendapatan (keduanya sejak 1809). Landrost adalah pendahulu Resident. Hingga sejauh ini belum ada lembaga yang dibentuk atau pejabat yang diangkat untuk urusan pendidikan.


Pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris di Jawa dan sejumlah tempat penting lainnya seperti di Makassare, Palembang dan Bandjermasin. Namun tidakk terinformasikan bagaimana susunan pemerintahan di awal pendudukan Inggris. Seperti halnya pada tahap permulaan Pemerintah Hindia Belanda (bermula 1800) yang dilakukan adalah konsolidasi, yang membutuhkan cukup banyak waktu.

Pada masa pendudukan Inggris ini, wilayah dibagi ke dalam berbagai residencies (yang pada era Pemerintah Hindia Belanda baru berstatus Landrost). Resident yang memimpin residencies adalah pejabat pemerintahan yang langsung di bawah gubernur/Gubernur Jenderal (lihat Almanac 1815). Residencies di (pula) Jawa adalah Batavia; Buitenzorg and Batavian Preanger; Bantam; Tagal; Pacalangan and Cadoe; Samarang; Soucarta; Djocjocarta; Japara and Joana; Rembang; Djipan and Grobogan; Sourabaja and Bancallan; Probolinggo, Besuki and Panaroekan; Grissee; Passorouang; Baniowangie; Soemanap. Untuk residen di Banyuwangi adalah Lieutenant A. Mac Leod. Struktur pemerintahan pemerintahan di Banyuwangi paling sederhana, hanya seorang pejabat residen saja.


Di wilayah Residencies Banjoewangi, berdasarkan Almanak 1815 sudah ada sebanyak 25 orang Eropa, termasuk TJ Knelke yang bekerja di bawah residen (pejabat daerah). Landrost L Abels yang dulu pada era Pemerintah Hindia Belanda sebagai writer (sekretaris?). Satu pejabat lagi adalah A van Waasbergen sebagai asistent surgeon (pembantu dokter). Sedangkan pejabat pusat yang ditempatkan di Banjoewangi adalah T van Zyl sebagai pimpinan salt department. Dalam almanac ini disebut A Mac Leod di Banjoewangi sudah sejak 1805.

Dalam Almanac 1815 hanya ada satu nama pribumi, yakni Adipati Damak (Demak) yang bertugas sebagai penerjemah bahasa Jawa (diduga penerjemahan bahasa Jawa ke bahasa Belanda). Untuk penerjemah bahasa Belanda dan bahasa Melayu semuanya orang Belanda. Sementara untuk pejabat yang berurusan dengan penduduk pribumi semuanya orang Belanda. Dari semua jabatan yang ada tidak ada yang mengindikasikan berurusan dengan pendidikan. Dengan kata lain, sejauh ini urusan Pendidikan belum menjadi prioritas pemerintahan.


Dalam Almanac 1816 tidak banyak berubah. Yang berubah adalah tidak ada lagi nama penerjemah bahasa Jawa (hanya bahasa Belanda dan bahasa Melayu). Boleh jadi karena sudah banyak orang Jawa yang bisa berbahasa Melayu.

Satu yang penting dalam Almanak 1816 adalah keberadaan Batavian Literacy Society di Batavia, yang didirikan tahun 1778 dimana dalam tahun 1816 ini yang menjadi ketua kehormatan adalah Thomas Raffles (Luitenent General Gouverneur). Juga societeit Harmony di Batavia. Satu yang penting lainnya dalam almanac didaftar nama-nama pemimpin local seperti Sultan. Namun dalam hubungannya dengan pendidikan benar-benar tidak ada sejauh ini di dalam struktur pemerintahan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Benar-Benar Pendidikan Terabaikan? Antara Belanda dan Inggris di Hindia Belanda (Hindia Timur)

Seperti halnya pada era VOC, pada era Pemerintahan Hindia Belanda (termasuk masa pendudukan Inggris) pendidikan tetap ada yang menyelenggarakannya. Memang bukan pemerintah, tetapi orang-orang partikelir. Pada tahun 1812 di Semarang dalam suatu iklan diberitakan dibuka pendaftaran baru untuk penyelenggaraan sekolah (lihat Java government gazette, 04-07-1812). Hal semacam ini tidak terinformasikan sebelum pendudukan Inggris.


Java government gazette, 04-07-1812: ‘William Patton mengumumkan ke publik untuk mendirikan sekolah berbahasa Inggris untuk anak-anak laki-laki dan perempuan di Samarang; dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum pendidikan yang menyediakan pelajaran membaca, menulis, tata bahasa dan berhitung. Bagi para orang tua dapat mengirimkan mereka ke sekolah di Semarang yang dia jamin mendapat perhatiannya dalam menjalankan tugasnya dengan tanggungjawab perlindungan dan kedamaian. Ketentuan umum: pendaftaran 10 poun. sterling untuk pelajaran membaca 4 per bulan, untuk pelajaran menulis 6 per bulan dan untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung 6 per bulan. Samarang 27 June. 1812.

Iklan penyelenggaraan sekolah tersebut di atas adalah salah satu contoh bahwa pendidikan telah eksis (tetapi tidak dikelola pemerintah). Penyelenggaraan sekolah/Pendidikan dalam berbagai bentuk diduga sudah ada jauh sebelum ini. Selain itu juga ditemukan pendidikan bagi orang dewasa dalam bentuk kursus seperti kursus bahasa Melayu (tentu saja ditujukan kepada orang Eropa). Ada juga ditemukan Sunday School di gereja.


Pada tahun 1813 di Batavia seorang misionaris Mr W Robinson menyelenggarakan sekolah umum atas izin pemerintah yang akan dimulai pada tanggal 13 September (lihat Java government gazette, 07-08-1813). Sekolah umum ini dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Pelajaran yang diberikan adalah menulis, aritmetika, geografi dan Latin. Sekolah dimulai pukul delapan hingga pukul 12. 

Sudah barang tentu penyelenggaraan pendidikan/sekolah sudah berlangsung baik di Eropa (Inggris dan Belanda) dan diselenggarakan secara teratur sejak lama. Dalam hal ini di Hindia Timur (Hindia Belanda) penyelenggaraan sekolah/pendidikan sulit dilakukan karena berbagai hambatan. Boleh jadi hal itu pemerintah belum terlibat dalam urusan pendidikan/sekolah. Hambatan yang ada antara lain jumlah populasi orang Eropa yang tidak terbilang banyak, lebih-lebih yang memiliki anak usia sekolah. Selain itu orang Eropa di Hindia Belanda tersebar dan saling berjauhan. Boleh jadi penyelenggaraan pendidikan/sekolah di Semarang dan Batavia (yang terbilang padat populasi Eropa) mengindikasikan persyaratannya memenuhi.

 

Bagaimana dengan pendidikan bagi anak-anak pribumi. Jika tempo doeloe hanya terbatas di seminary para misonaris dan benteng-benteng VOC, pada masa pemerintahan ini sudah lebih meluas diantara pribumi (hal itu karena pemerintah telah menyertakan pemimpin local dalam mengembangkan masyarakat), tetapi diduga masih dominan penggunakan bahasa sendiri atau bahasa Melayu dengan menggunakan aksara setempat (seperti aksara Jawa, aksara Bartak dan aksara Jawi). Namun diduga, upaya menyertakan pelajaran aksara Latin lebih terbuka bagi penyelenggaraan sekolah/pendidikan diantara pribumi. Hal ini karena orang-orang Eropa menyelenggarakan pendidikan dengan menggunakan aksara Latin. Lagi pula secara khusus di Batavia sudah sejak 1810 sudah ada surat kabar (bahasa Belanda dan bahasa Inggris) yang terbit secara regular. Hal itu dapat diperhatikan dalam surat kabar Java government gazette, 30-01-1813 dimana dimuat sebuah puisi yang diduga dikirimkan seorang pribumi yang menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Latin. Pendidikan/sekolah bagi pribumi (bahkan orang Eropa) baru pada level pendidikan dasar. 

Pada masa pendudukan Inggris, proses pendidikan diperkaya dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Tentu saja itu lebih ditujukan kepada orang Inggris, tetapi tidak tertutup kepada orang Belanda (yang memiliki minat). Orang yang dikategorikan sebagai orang Belanda pada saat ini banyak yang orang Indo (orang Eropa/Belanda lahir di Hindia dan diantaranya salah satu orang tuanya orang pribumi). Orang Indo ini memiliki kecakapan dalam berbahasa Belanda dan juga bahasa Melayu.


Tampaknya pendidikan pada masa pendudukan Inggris lebih terbuka (sesuai kebijakan Inggris, yang berbeda dengan Belanda sebelumnya) kepada siapa saja: orang Eropa. Orang pribumi dan orang Timur asing (khususnya orang Moor, orang Arab dan orang Cina). Orang Moor dalam hal ini lebih kompleks, mereka sebenarnya dapat dianggap sebagai orang Arab di Eropa yang di Hindia lebih berbaur dengan orang pribumi. Orang-orang Moor diduga lebih adaptif terhadap penggunaan aksara Latin, dibandingkan orang Arab yang lebih cenderung menggunakan aksara Jawi (Arab gundul; menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab).

Pada masa pendudukan Inggris ini, orang Belanda di Hindia (dalam konteks ini orang Indo/Belanda) sudah terbiasa dengan aksara Latin (baik bahasa Belanda maupun bahasa Melayu). Namun orang Belanda maupun Indo/Belanda harus belajar bahasa Inggris. Orang Moor dan orang Arab yang terbiasa dengan bahasa Melayu dengan aksara Jawi harus memperkaya diri tidak hanya bahasa Belanda/Inggris juga dengan aksara Latin. Kedudukan orang Moor dan orang Arab dalam hal ini penting sebagai jembatan antara orang Eropa (Belanda/Inggris) dengan orang pribumi (dengan berbagai bahasa dengan aksara sendiri). Hal itulah mengapa sejak era VOC, surat-surat pemimpin local di berbagai daerah yang ditujukan ke Batavia (pemerintah VOC) ditulis dalam aksara Jawi (baik yang berbahasa Melayu maupun berbahasa daerah).


Dalam puisi yang dikutip di atas, bahasa Melayu dengan aksara Latin, sangat tidak mungkin ditulis orang Belanda maupun orang Inggris. Puisi itu diduga ditulis orang-orang yang dapat digolongkan sebagai pribumi (orang Indo/Belanda, orang Moor dan orang Arab). Hanya merekalah yang memiliki portofolio untuk itu dan memiliki kepentingan atau kebutuhan untuk itu. Namun begitu orang pribumi tidak tertutup kemungkinan untuk itu. Banyak orang pribumi sejak era VOC yang terbiasa dengan aksara Latin yang bekerja lama dengan pemerintah VOC apakan di bidang militer maupun membantu tugas-tugas asministratif. Dalam puisi tersebut penggunakan aksara Latin dalam bahasa Melayu, masih tampak ada problematika dalam koding (bahasa Melayu dengan aksara Latin). Dalam hal ini sudah barang tentu belum ada (pengajaran) tata bahasa Melayu. Pemahaman yang ada dalam bahasa Melayu baru sebatas koding dengan menggunakan aksara Latin. Dalam puisi itu pengaruh (tata bahasa) Inggris juga terasa diantara (tata bahasa) Belanda. Misalnya dalam kata ‘sayang’ (yang menggunakan huruf ‘y’; sementara bahasa Belanda menggunakan ‘j’). Penggunaan huruf dua vocal ‘oe’ (u) dan ‘ie’ (i) milik Belanda. Demikian seterusnya. Dalam konteks inilah kita lihat nanti bagaimana awal proses pendidikan diantara pribumi (termasuk orang Indo) yang dimulai dari persoalan awal penggunakan aksara Latin.

Dalam perkembangannya, seperti kita lihat dalam artikel selanjutnya, dalam masa Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya (pasca pendudukan Inggris), program pendidikan yang diadakan pemerintah hanya berkembang diantara orang Eropa/Belanda. Sementara sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah di sejumlah kota (besar) seperti Batavia, Semarang dan Padang kurang berkembang, lambat laut para siswa meninggalkan sekolah. Boleh jadi itu bukan pada bahasa pengantar bahasa Melayu, tetapi penggunaaan aksara Latin itu sendiri (yang mungkin dianggap tidak berguna di tengah masyarakat yang masih umum menggunakan aksara Jawi dan aksara daerah). Penggunaan aksara Latin di sekolah-sekolah pribumi yang dibangun pemerintah menjadi persoalan sendiri dan menghambat pengembangan pendidikan yang ditujukan bagi pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar