Selasa, 20 Juni 2023

Sejarah Dewan di Indonesia (10): Mengapa Kota Jogjakarta dan Soerakarta Tak Pernah Berstatus Gemeente? Desentralisasi di Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri. Lantas mengapa kota Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas berstatus gemeente. Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri tetapi tidak pernah berstatus gemeente?

 

Kota Yogyakarta adalah ibu kota Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti 1755. Era Pemerintah Belanda wilayah Kesultanan Yogyakarta dijadikan keresidenan. Kasultanan Yogyakarta diakui sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri diatur kontrak politik dilakukan tahun 1877, 1921, dan 1940. Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia tahun 1946, UU No 17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kota Praja Yogyakarta. Tanggal ini diperingati hari jadi pemerintahan Kota Yogyakarta. M. Enoch sebagai wali kota pertama. Wali kota mengalami kesulitan karena masih bagian dari DI Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana DI Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian dari DI Yogyakarta. Di era wali kota Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, di mana badan tersebut dipimpin pula oleh wali kota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959, maka UU No 1 Tahun 1957 diganti dengan UU No 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut mengatur pemisahan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan Kotamadya Yogyakarta. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah mengapa kota Jogjakarta dan Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti disebut di atas, perihal tersebut selalu menjadi pertanyaan. Fakta bahwa pemberlakukan desentralisasi sangat meluas di Jawa. Lalu bagaimana sejarah mengapa kota Jogjakarta dan Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Mengapa Kota Jogjakarta dan Soerakarta Tidak Pernah Berstatus Gemeente? Desentralisasi di Jawa

Mengapa desakan untuk permberlakukan desentralisasi di Hindia Belanda terus didengungkan? Sebaliknya, mengapa pemerintah (kerajaan Belanda) tetap menolak desntralisasi diberlakukan di Hindia Belanda? Yang mendesaknya bukan orang pribumi, tetapi justru orang-orang Eropa/Belanda baik di Hindia maupun di Belanda. Lantas siapa yang mendesak pemberlakuan desentralisasi di wilayah (voretenlanden) Soeracarta dan Jogjakarta dan siapa yang menolaknya?


Di Belanda sudah lama desentralisasi diberlakukan. Banyak kota-kota di Belanda yang memiliki dewan kota (gemeenteraad). Bagaimana dengan Tweede Kamer di Belanda? Yang jelas di India-Inggris oleh penguasa Inggris telah memberlakukan desentaralisasi pada tahun 1861 pada level provinsi (province-council), lalu beberapa tahun kemudian diberlakukan pada tingkat kota (gemeenteraad). Demikian juga di Penang dan Singapoera. Dewan kota Singapura dan Penang terdiri dari separuh anggota ditunjuk oleh Gubernur dan separuh lainnya dipilih oleh warga negara. Penerapan desentralisasi di Hindia Belanda sejatinyanya telah dimulai pada tahun 1878. Namun warga memandang setengah mata. Sebab berdasarkan Komisi 1878 pemerintah menunjuk sebanyak dua pertiga dan sisanya sepertiga dari pilihan warga.

Akhirnya desakan pemberlakuan desentralisasi mulai direspon pemerintah Belanda. RUU desentralisasi sedang disiapkan (lihat Soerabaijasch handelsblad, 06-08-1900). Ketika Menteri van Dedem ditantakan apakah semua daerah memiliki dewan daerah pada waktu yang sama? Menteri van Dedem dalam penjelasannya tentang RUU tersebut menyatakan tidak: ‘Tidak mungkin dewan daerah diberikan ke semua daerah sekaligus. Tidak ada keraguan bahwa waktu pendirian telah tiba di sebagian Hindia, di tempat lain harus menunggu. Seseorang harus melanjutkan secara bertahap.’


Pada saat ini (jelang permberlakukan desentralisasi), menurut pendapat umum yang sudah siap Batavia, Semarang, Soerabaja, Djokjakarta, Soerakarta, Bandoeng dan Soekaboemi. Dalam urutan berikut juga menyebutkan Pasoeroean dan Cheribon. Untuk luar Jawa dipertimbangan di Padang, Medan, Makasser, Amboina dan Menado. Di beberapa tempat, dewan lokal dan regional dapat diterapkan, tetapi namanya dalam bentuk lain.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Desentralisasi di Jawa: Gemeenteraad, Regentschap Raad hingga Provinciale Raad

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar