Jumat, 09 Februari 2024

Sejarah Bahasa (289): Polarisasi Bahasa-Bahasa di Nusantara, Bahasa Etnik, Bahasa Lingua Franca; Austronesia dan Melanesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Siapa pemiliknya adalah seluruh bangsa Indonesia. Lantas bagaimana dengan bahasa Jawa? Bahasa Jawa sebagai bagian terbesar populasu Indonesia pemiliknya adalah orang Jawa. Demikian halnya bahasa-bahasa di pulau lainnya. Satu yang jelas bahasa Jawa seakan satu-satunya bahasa di pulau Jawa. Berbeda dengan di Maluku dan Papua yang sangat beragam dengan populasi-populasi kecil. Apakah gambaran serupa itu yang terjadi di masa lampau di pulau Jawa?  


Dalam ilmu linguistik, Melanesia adalah istilah usang yang mengacu pada bahasa-bahasa Austronesia di Melanesia: yaitu bahasa-bahasa Oseanik, Melayu-Polinesia Timur, atau Melayu-Polinesia Tengah-Timur. Dalam hal ini bahasa Melanesia (termasuk Fiji) dibedakan dengan bahasa Polinesia dan Mikronesia. Kini diketahui bahwa bahasa-bahasa Melanesia tidak membentuk suatu simpul silsilah: bahasa-bahasa tersebut dianggap bersifat parafiletik dan kemungkinan besar bersifat polifiletik; seperti bahasa Papua, istilah ini sekarang digunakan untuk kemudahan. Dalam kaitannya dengan afiliasi filogenetik, “bahasa Melanesia” mengacu pada kumpulan rumpun bahasa yang heterogen: beberapa bahasa Austronesia, seperti cabang Halmahera Selatan – Papua Barat. Semua bahasa non-Austronesia di wilayah tersebut, yaitu bahasa-bahasa Papua (yang merupakan kumpulan heterogen). Sebagian besar bahasa Melanesia merupakan anggota rumpun bahasa Austronesia atau salah satu dari sekian banyak rumpun bahasa Papua. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bolarisasi bahasa-bahasa di Nusantara, bahasa etnik dan lingua franca? Seperti disebut di atas di nusantara (menurut pulau-pulau) ada bahasa dengan populasi besar dan ada populasi kecil. Bahasa-bahasa Austronesia dan Melanesia. Lalu bagaimana sejarah bolarisasi bahasa-bahasa di Nusantara, bahasa etnik dan lingua franca? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Polarisasi Bahasa-Bahasa di Nusantara, Bahasa Etnik dan Lingua Franca; Bahasa-Bahasa Austronesia dan Melanesia

Sebelum memahami polarisasi bahasa-bahasa di Nusantara (baca: Indonesia) ada baiknya kita perbandingkan sebutan bilangan dari beberapa bahasa yang dimuat dalam artikel Sri Winarti dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berjudul Sistem Bilangan Beberapa Bahasa di Papua, NTT dan Maluku Utara yang dimuat adalam Ranah: Jurnal Kajian Bahasa (2017). Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Tarfia (Papua), bahasa Marind (Papua), bahasa Lamaholot (NTT), bahasa Adang (NTT), bahasa Makian Timur (Maluku Utara), dan bahasa Ternate (Maluku Utara).


Dalam perbandingan bahasa-bahasa pada masa untuk jumlah yang cukup banyak menggunakan daftar Swadesh, tetapi untuk jumlah yang sedikit dapat digunakan kosa kata elementer atau sebutan bilangan hingga belasan. Untuk kosa kata elementer adalah kosa kata yang digunakan di dalam keluarga atau komunitas yang kecil seperti ibu, ayah, kakak, hidung, mata, gigi, perut, kaki dan sebagainya. Keutamaan sebutan bilangan sangat berguna jika ada interaksi dengan pihak lain, yang di masa lampau dalam hubungannya pertukaran (perdagangan).

Dalam perbandingan bahasa-bahasa, sebagai rujukan dapat misalnya dipilih sebutan bilangan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa: Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu),  4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), Kedua bahasa ini dalam sebutan bilangan lebih banyak persamaan dari pada perbedaan.Dalam table bahasa di atas, bahasa Lamaholot di NTT lebih mirip dengan bahasa Batak dibanding lainnya. Bahasa Adang di Alor yang berdekatan Lamholot di Solor tampak lebih mirip dengan bahasa-bahasa di Papua.


Sebutan bilangan di Ternate berbeda dengan bahasa Batak, sebaliknya bahasa Makian lebih mirip. Fakta bahasa Ternarte dan Makian adalah dua pulau di Maluku utara yang terbilang berdekatan. Sebutan bilangan di Makin lebih mirip dengan bahasa-bahasa di pulau Seram. Sebutan bilangan di Ternate dan di Papua (Tarfia dan Marind) sama sekali berbeda dengan bahasa Batak. Jika bahasa Batak dan bahasa Jawa di bagian barat, tampak semakin timur berbeda sebutan bilangan. Kemiripan dalam hal ini mengindikasikan adanya kekerabatan.

Sebutan bilangan di Ternate pada dasanya kurang lebih sama dengan di Tidore. Sebutan bilangan di dua pulau ini lebih mirip dengan sebutan bilangan dengan bahasa-bahasa di Halmahera. Dalam hal ini sebutan bilangan di pulau Halmahera berbeda dengan sebutan bilangan di pulau Seram. Oleh karena sebutan bilangan di Kei (selatan) dan di Sangir (utara) ada kemiripan dengan di Seram (dan juga bahasa Batak dan bahasa Jawa), lantas apakah sebutan bilangan bahasa-bahasa di Halmahera lebih mirip dengan bahasa-bahasa di Papua?


Sebutan bilangan dalam bahasa Ambel di pulau Waigeo (Radja Ampat) adalah sebagai berikut: 1=kitem, 2=low, 3=tul, 4=fat, 5=lim, 6=wanom, 7=fit, 8=wal, 9=siw, 10=lafe. Sebutan bilangan di Waigeo lebih mirip di pulau Seram daripada di pulau Halmahera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa-Bahasa Austronesia dan Melanesia: Populasu Besar vs Populasi Kecil

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar