Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini
Kapten Karim Lubis adalah pengawal pribadi
Soeltan Hamengkoeboewono IX. Karim Loebis adalah perwira intelijen Indonesia bersama
Soewadi dan Abdul Salim Harahap pada tahun 1947 di Singapoera berhasil mencuri
dokumen rahasia Inggris. Saat ini Indonesia tengah perang dengan Belanda (NICA).
Tiga intelijen Republik Indonesia ini tertangkap lalu dihukum penjara di
Singapoera. Kisah intelijen Indonesia kemudian berlanjut tahun 1965 yang mana
dua tentara Indonesia kebali tertangkap di Singapoera.
KRI Usman-Harun (359) adalah sebuah Kapal Perang Republik Indonesia berjenis korvet dari kelas Bung Tomo. Nama kapal ini berasal dari 2 tokoh pahlawan nasional Indonesia. Sersan Usman Janatin dan Kopral Harun Thohir dijatuhi hukuman mati karena keterlibatan mereka dalam pengeboman MacDonald House pada 10 Maret 1965 di gedung Hongkong and Shanghai Bank (dikenal dengan nama MacDonald House) yang terletak di Orchard Road, Singapura. Singapura menuduh mereka melakukan infiltrasi terkait dengan operasi konfrontasi dengan Malaysia, Pemerintah Singapura melakukan protes terhadap penamaan KRI Usman-Harun. Penamaan kapal perang Indonesia dengan nama Usman-Harun mendapat penolakan dari Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam. Alasannya, 2 orang itu pernah mengebom MacDonald House di Orchard Road. Dari kejadian tersebut, 3 orang tewas dan membuat kedua marinir itu menerima hukuman mati di Singapura pada 17 Oktober 1968. Kapal perang milik Indonesia KRI Usman Harun akan dilarang masuk ke pelabuhan dan pangkalan laut Singapura (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Kapten Karim Lubis, pengawal pribadi Soeltan Jogjakarta ditangkap di Singapura, 1947? Seperti disebut di atas, nama Karim Lubis bermula terinformasikan sebagai perwira intelijen Indonesia tertangkap di Singapoera. Kisah intelijen Indonesia berlanjut dimana Usman dan Harun tertangkap di Singapoera, 1965. Lalu bagaimana sejarah Kapten Karim Lubis, pengawal pribadi Soeltan Jogjakarta ditangkap di Singapura, 1947? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kapten Karim Lubis, Pengawal Pribadi Soeltan Jogjakarta Ditangkap di Singapura, 1947; Usman dan Harun, 1965
Pada saat tengah sibuk perundingan di Den Haag (Belanda) antara RI dan Belanda, Soeltan Hamengkoeboewono IX mengirim dokumen penting yang diperlukan oleh para delegasi RI. Untuk membawa dokomen itu dipercayakan kepada pengawal pribadi/ajudan Soeltan Hamengkoeboewono IX, Kapten Karim Loebis (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-10-1949). Disebutkan Batavia, 20 Oktober, Karim Loebis, ajudan Soeltan Djokja berangkat ke Den Haas pada Kamis pagi sebagai kurir khusus Sultan. Menurut pihak berwenang, dokumen-dokumen berikut termasuk di antaranya: membawa laporan tentang perkembangan terakhir di Indonesia, khususnya mengenai situasi di Jawa Timur.
Soeltan Jogjakarta Hamengkubuwono IX diangkat sebagai Menteri Pertahanan RI sejak 15 Juli 1948. Tidak lama kemudian pada tanggal 19 Desember 1948, militer Belanda melakukan agresi militer ke wilayah Republik termasuk wilayah ibu kota RI di Jogjakarta. Para pemimpin RI seperti Presiden Soekarno ditangkap dan kemudian diasingkan. Soeltan Jogjakarta Hamengkubuwono IX yang juga pemimpim daerah (Jogjakarta) tidak ditangkap tetapi terus diawasi oleh militer Belanda. Pada bulan Maret 1949 terjadi serangan ke Jogjakarta, yang kemudian pada bulan April 1949 diadakan perundingan Roem-Royen. Hasil perundingan ini antara lain gencatan senjata dan persiapan perundingan baru yang akan diadakan di Den Haag (KMB). Pada bulan Juni, ibu kota RI di Jogjakarta dipulihkan dimana militer Belanda di Jogjakarta di bawah komanado Kolonel van Lengen harus dievakuasi. Saat ini muncul kekhawatiran Soeltan karena akan chaos saat militer Belanda evakuasi, maka Soletan Jogja mencari Kolonel TB Simatoepang ke pegunungan Jawa Tengah. Pencarian ini juga disiarkan melalui radio Jogja. Lalu kemudian Kolonel TB Simatoepang ditemukan di Banaran dan kembali ke Jogja bersama Letkol Zulkifli Lubis. Soeltan Jogja legaa. Mengapa? Yang jelas serah terima keamanan antara Belanda dan RI berjalan baik. Lalu tidak lama kemudian pada bulan Juni 1949 para pemimpin RI yang diasingkan kembali ke Jogja satu per satu termasuk Presiden Soerkarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Pada bulan Agustus delegasi RI berangkat ke Belanda yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta. Delegasi RI mewakili TNI ke Den Haag adalah Kolonel TB Simatoepang. Lalu dimana Jenderal Soedirman dan Kolonel AH Nasoetion? Yang jelas sesaat terjadinnya pendudukan Jogja pada tanggal 19 Desember, Kol Nasoetion dan pasukannnya (Divisi Silawangi kembali ke Jawa Barat untuk perang gerilya) dam Jenderal Soerdirman berangkat ke pedalaman di selatan Jogja dan selatan Kediri untuk memimpin gerilya. Pada saat delegasi RI ke Belanda mengikuti KMB, yang tetap berada di Jogjakarta antara lain Presiden Soekarno dan sejumlah menteri serta Soeltan Jogja (sebagai Menteri Pertahanan). Pengawal pribadi/ajudan Presiden Soekarno adalah Mayor Gandi; Pengawal pribadi/ajudan Jenderal Soedirman yang merangkap sebagai dokternya adalah Letnan Kolonel Dr W Hoetagaloeng. Pengawal pribadi/ajudan Soeltan Hamengkoeboewono IX (sebagai Menteri Pertahanan) adalah Kapten Karim Loebis.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Usman dan Harun, 1965; Kementerian Pertahanan IndonesiaDidirikan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Kolonel Zulkifli Lubis di Jogjakarta
Keberadaan Letnan Kolonel Zulkifli Lubis sudah berada di Jogjakarta pada awal tahun 1946. Sebelumnya diketahui ibu kota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta pada bulan Januari 1946 dimana rombongan Presiden dan Wakil Presiden berangkat ke Jogjakarta dengan kereta api dari Stasion Manggarai yang didampingi yang didampingi Letnan Kolonel Mr Kasman, (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946). Letnan Kolonel Zulkifli Lubis di Jogjakarta sebagai kepala intelijen RI dan Letnan Jenderal Oerip sebagai kepala staf tantara RI. Perpindahan pemerintah Indonesia ke Jogja yang terakhir pada bulan Oktober 1946 (lihat lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan teraahir ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Mr Arifin Harahap berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda .
Di Jogjakarta, Letnan Kolonel Zulkifli Lubis bersama dengan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Pertahanan/BKR) dan Soeltan Jogja (Pemimpin Daerah) mendesain organisasi TRI/TNI pada tahun 1946 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-07-1948). Disebutkan lebih lanjut, salah satu departemennya disebut Agitprop, departemen agitasi dan propaganda dari departemen ke-5 Kementerian Pertahanan di Djokja. Letnan Kolonel Zulkifli Lubis mengirim para intelijen ke berbagai tempat pertempuran di wilayah front seperti Tjikampek. Organisasi intelijen ini juga memperoleh tugas eksekutif: mengambil alih penerapan cara-cara teror yang direncanakan di balik pintu tertutup, seperti infiltrasi ke wilayah-wilayah kekuasaan Belanda, sabotase, penculikan, dan intimidasi. Layanan ini bekerja sama erat dengan TNI di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Pada awal tahun 1947 Republik mengirim utusan ke Australia untuk membeli senjata (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-02-1947). Disebutkan Mayor Abineno dari ALRI melaporkan perjalanan ke Australia, meninggalkan Probolinggo dengan kapal "Tine" seberat enam puluh ton pada tanggal 11 Desember. Di atas kapal tersebut terdapat Letnan TRI Kesnario yang berusia 21 tahun dan delapan belas orang lainnya, yang seluruhnya berada di bawah wewenang ALRI. Mereka diberi instruksi dari Kolonel Z Loebis; antara lain untuk menghubungi beberapa warga Australia mengenai pasokan senjata, yang dapat dibayar dengan karet, kopi, dan teh. Mereka juga harus mencoba membeli kapal Australia, yang mungkin akan berlayar ke Indonesia di bawah kapten Australia. Kapal "Tine" berlayar di bawah bendera Cina dan dengan muatan dua puluh ton gula, yang akan dijual di Australia dan dari hasil penjualannya dapat membiayai pengeluaran pertama di Australia.
Pada bulan Juli 1947 tiga intelijen Indonesia ditangkap di Singapoera (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 08-07-1947). Disebutkan dua warga negara Republik Indonesia hari Senin telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara di Singapura. Soewadi dihukum enam belas bulan karena mencuri dokumen dan Abdul Salim Harahap juga dihukum enam belas bulan karena mengajak pencurian dokumen itu. Orang Indonesia ketiga, Karim Loebis, juga dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena mengarahkan pencurian.
Tiga warga negara RI Soewadi, Abdul Salim Harahap dan Karim Loebis di Singapoera terlibat dalam pencurian dokumen rahasia diduga kuat sebagai bagian terdepan aksi intelijen RI dalam hubungan yang terjadi antara perselisihan Belanda (NICA) dan Republik Indonesia di wilayah Indonesia. Dokumen yang dicuri oleh tiga agen intelijen Indonesia di Singapura tersebut di dalam berita disebut dokumen berbahasa Inggris. Gugatan kepada tiga Indonesia tersebut dilakukan setelah serangkaian penggeledahan yang dilakukan oleh polisi Singapura di kantor dan rumah Indonesia dan Malaysia pada hari Sabtu. Kasus ini sebelumnya pertama kali diberitakan kantor berita Republik Indonesia, Antara yang menyebutkan digeledah namun belakangan dibantah. Dokumen-dokumen yang bersangkutan, yang telah diserahkan kepada Soewadi oleh seorang pegawai Melayu, ternyata adalah surat-surat dari Lord Killearn yang dikirim olehnya ke Batavia pada bulan November 1946 dan Januari 1947, dan sebuah surat dari Lord Killearn kepada Kantor Luar Negeri Inggris bertanggal pada bulan November 1946 dan Januari 1947. dikirim pada bulan April '47. Ketiga terdakwa dalam kasus tersebut mengakui bersalah. Catatan: Batavia/Djakarta adalah ibu kota Belanda/NICA dan Singapoera ibu kota Inggris di Asia Tenggara.
Setelah menyelesaikan hukuman, Abdoel Karim Loebis kembali ke Jogjakarta pada bulan Januari tahun 1949. Saat ini ibu kota Jogjakarta sejak 19 Desember 1948 telah diduduki Belanda (sejak awal agresi militer Belanda II) dimana para pemimpin Indonesia telah ditangkap dan sebagian diasingkan.
Satu-satu tokoh Republik di Jogjakarta adalah Soeltan Hamengkoeboewona
(sebagai kepala daerah), yang dalam hal ini Hamengkoeboewono sebagai Sultan di
Jogjakarta tetapi terus diawasi oleh militer Belanda. Letnan Kolonel Zulkifli
Lubis sendiri telah menyingkir
dari Jogjakarta bergerilya
di Jawa Tengah. Sebagai bagian dari intelijen RI dalam hal ini sudah diduga
pasti Karim Loebis akan menuju Jogjakarta untuk melapor kepada atasannya
Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen RI).
Abdoel Karim Lubis setelah di Jogjakarta mendapat kenaikan pangkat dari Letnan menjadi Kapten. Sementara TNI terus bergerilya di wilayah gerilya (wilayah Republik), hubungan antara TNI dan Soeltan Hamengkoeboewono terus terjalin, tentu saja secara rahasia. Dalam hal inilah peran Kapten Karim Lubis menjadi penting di dalam kraton dengan berbagai kualifikasi, baik sebagai militer, sebagai agen intelijen dan dalam hal ini menjadi pengawal pribadi Soeltan sendiri. Dalam konteks inilah Kapten Karim Lubis bertindak sebagai ajudan Soeltan Hamengkoeboewono sebagai satu-satunya tokoh Republik terpenting yang masih tersisa di Jogjakarta.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar