Selasa, 27 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (41): Mengapa Brunei, Sarawak dan Sabah Begitu Dekat Indonesia? Negara Berjiran Seudara, Sedarat dan Selaut

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini 

Sejarah pulau Kalimantan adalah sejarah pulau Borneo. Pada masa ini Kalimantan Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan Borneo Utara (Brunei, Sarawak dan Sabah) dalam hal urusan sejarah. Semuanya seudara, sedarat dan selaut sejak jaman kuno. Inggris dan Belanda telah membagi-bagi wilayah pulau Borneo (pulau Kalimantan) menjadi wilayah yang berbeda-beda: Indonesia, Brunei dan Malaysia (Sarawak dan Sabah). Meski demikian, penduduknya terbilang dari satu asal usul penduduk asli: Dayak dan Melayu.

Wilayah yurisdiksi Inggris dan wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda dipertegas pada pasal-pasal perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda pada tahun 1824 (Traktat London). Sejak itulah secara administratif penduduk asli Borneo (Kalimantan) terutama Dayak dan Melayu dipisahkan dengan membentuk dua wilayah yurisdiksi (Inggris dan Belanda). Garis pemisah itulah yang tetap digunakan hingga ini hari. Pada awalnya semua wilayah yang menjadi wilayah yurisdiksi Inggris adalah wilayah Kesultanan Broenei. Namun karena proses politik kesultanan menghibahkan wilayah Sabah kepada Kesultanan Soeloe. Lalu proses politik berikutnya antara James Brooke yang menyebabkan wilayah Sarawak terbentuk. Hingga saat ini wilayah (kesultanan) Broenei masih terhubung dengan wilayah yurisdiksi Belanda. Lalu pada tahap berikutnya proses politik kembali terjadi wilayah Kesultanan Soeloe (Sabah) disewa perusahaan Inggris (British North Borneo) maka diikuti proses politik berikutnya yang menyebabkan wilayah kesultanan Broenei dikurangi sehingga wilayah Sabah dan Sarawak terhubung di belakang wilayah kesultanan Broenei. Oleh karena pada tahun 1963 terbentuk federasi Malaya, Sarawak dan Sabah (Malaysia) maka terbentuk tiga negara di pulau Kalimantan (Indonesia, Malaysia dan Brunei).

Lantas dengan latar belakang awal sejarah yang sama, seudara, sedarat dan selaut, apakah secara sosio demografis penduduk asli Kalimantan (tempo doeloe Borneo) juga begitu dekat ketika terbentuk tiga negara? Perbedaan batas negara (Indonesia, Malaysia dan Broenei) adalah satu hal, persamaan sosio budaya seudara, sedarat dan selaut Borneo (Kalimantan) adalah hal lain lagi. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 26 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (40): Sejarah Orangutan di Borneo, Galdikas dan Chanee Kalaweit; People of the Forest Orang Utan Batangtoru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini 

Tentang Orang Utan di Borneo sudah sejak lama diidentifikasi. Paling tidak sudah dipajang gambar dan deskripsinya di Rijks Museum voor Natuurlijk Historie te Leiden tahun 1840 (lihat Algemeen Handelsblad, 28-02-1840). Beberapa bulan sebelumnya seorang penulis Belanda mengusulkan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut habitat dan populasi orang oetan di Sumatra dan Borneo (lihat De vriend des vaderlands; een tijdschrift toegewijd aan den roem en de welvaart van Nederland en in het byzonder aan de hulpbehoeftigen in hetzelve, 1840).

Disebutkan ada satu spesies yang disebut orang oetan yang ditemukan di Sumatra dan Borneo. Untuk itu ada baiknya diteliti wilayah mana yang aman sebagai kampung halaman satwa tersebut. Kami berkesimpulan bahwa hanya Borneo dan Sumatera yang dapat diadopsi sebagai tanah air Orangutan yang sebenarnya. Ciri-ciri yang sampai saat ini diketahui masih cukup untuk mengasumsikan dua jenis di antaranya di Sumatra dan Borneo. Orang Oetan dengan nama ilmiah Simia satyrus (mengacu pada taksonomi Carl Linnaeus, 1758. Kini, nama ilmiah Orangutan ditulis Pongo pygmaeus (lihat BMF Galdikas, 1984). Lantas mengapa disebut Orang [H]oetan? Karena menurut Galdikas orangoetan adalah people of the forest (yang hanya terdapat di hutan-hutan Sumatra dan Borneo). Pendapat Galdikas ini tampaknya tidak berubah sejak diasumsikan pada tahun 1840 orang oetan hanya ada di Sumatra dan Borneo. Orang Batak menyebut kera yang agak-agak mirip orang ini dengan nama mawas sedangkan orang Dayak menyebutnya tahui. Lalu orang-orang Melayu yang berada di pantai menyebutnya dengan orang [h]oetan. Oleh karena bahasa Melayu saat itu sebagai lingua franca, maka nama Orang Oetan yang dikodifikasi sebagai sebutan untuk jenis kera yang agak-agak mirip manusia ini. Berita inilah yang kemudian disalin dan dibawa oleh orang-orang Belanda ke Eropa. Carl Linnaeus pada tahun 1758 memberi nama dengan Simia satyrus.

Lantas bagaimana sejarah Orang Oetan di Kalimantan? Yang jelas sejarah orang utan Borneo relatif bersamaan dengan sejarah orang utan di Batang Toroe (Residentie Tapanoeli). Orang-orang Inggris di (teluk) Tapanoeli sudah mendengar kabar keberadaan orang oetan di hutan Batangtoroe. Oleh kerana itu ahli botanis Inggris, James Miller dikirim ke Batangtoroe pada tahun 1772. Lalu bagiamana sejarah Orang Oetan di Borbneo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 25 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (39): Sejarah Orang Arab di Borneo (Suksesi Orang Moor); Pontianak, Bandjarmasin dan Samarinda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini

Seperti halnya pedagang-pedagang Moor, pedagang-pedagang Arab mudah beradaptasi di berbagai tempat di Hindia. Hal ini berbeda dengan orang-orang Portugis dan Spanyol yang menyusul kemudian. Hanya segelintir orang-orang Belanda, Inggris dan Eropa lainnya dengan penduduk asli (pribumi). Orang Arab lebih mudah berbaur dengan pribumi jika dibandingkan dengan orang-orang asal Tiongkok. Boleh jadi, sesama Asia ini berbeda karena faktor jumlah. Orang-orang Moor dan orang-orang Arab jumlahnya tidak banyak. Hanya di beberapa tempat terbentuk komunitas Arab (sementara komunitas Cina di banyak tempat termasuk di Borneo).

Setelah transisi Hindu ke Islam (era para wali-wali di Jawa) muncul kerajaan Islam yang kuat (Kesultnana Demak). Pada era inilah pedagang-pedagang Moor sangat berjaya dalam perdagangan antar pulau hingga mereka menemukan jalan ke pulau Halmahera (Batachini del Moro). Orang-orang Moor sebelumnya baru sampai di utara pulau Sumatra, Orang-orang Moor adalah yang memperkaya dan memperkuat kerajaan-kerajaan di Atjeh (dari basis perdagangan awal di Baroes). Orang-orang Moor juga memperkaya dan memperkuat kerajaan Batak di daerah aliran sungai Baroemoen (Kesultanan Aroe). Orang-orang Moor dari kesultanan Aroe inilah yang merintis jalan baru ke Halmahera lewat Borneo, Mindanao, Manado terus ke Halmahera. Jalur sutra orang-orang Moor inilah yang diikuti oleh orang-orang Portugis (yang sudah mencapai Malacca pada tahun 1511). Orang Moor adalah pendahulu (predecessor) orang-orang Eropa. Orang Moor adalah tetangga Portugis di laut Mediterania (pantai utara Afrika). Nama gelar Mara, Marah, Meurah di bagian utara Sumatra (termasuk Atjeh) adalah gelar yang merujuk pada orang Moor.

Lantas bagaimana sejarah orang Arab di pulau Borneo? Oleh karena sama-sama beragama Islam, orang Arab yang sebelumnya hanya sebatas Sumatra lalu mengikuti langkah orang-orang Moor. Namun orang Arab lebih cenderung ke Jawa (timur). Mengapa? Orang Arab juga memiliki preferensi yang kuat ke Palembang dan ke pantai barat Borneo. Mengapa Mengapa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.