Rabu, 25 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (612): Bahasa Melayu Riau Bukan Origin, Lantas Dimana? Asal Bahasa Malaysia vs Bahasa Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada suatu saat ketika bahasa Indonesia menjadi bahasa intrernasional, seluruh dunia akan melihat negara Indonesia sebagai origin. Bukan Malaysia, bukan Brunai, bukan Singapoera maupun Filipina dan Thailand. Jelas dalam hal ini bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu tetapi nama masa depannya menjadi Bahasa Indonesia. Lalu jika mundur ke belakaang, lalu dimana origin bahasa Melayu? Apakah di Riau? Di Semenanjung? Di pantai timur Sumatra? Atau di Taiwan?

Ragam Bahasa Daerah di Riau, Tak Hanya Melayu (lihat Nikita Rosa – detikEdu Senin, 17 Jan 2022). Salah satu bahasa daerah di Riau yakni bahasa Melayu Riau yang memiliki beberapa dialek berdasarkan geografis. Dialek bahasa Melayu Riau dapat dibagi menjadi dua bagian yakni yang dipakai penduduk di daerah Riau daratan dan kepulauan Riau. Bahasa Melayu yang dituturkan di daerah Riau daratan terdiri atas satu dialek yaitu dialek Pesisir. Sementara wilayah kepulauan (kini provinsi Kepulauan Riau) mencapai 24 dialek: (1) Pesisir, (2) Kundur, (3) Bintan-Karimun, (4) Pecong, (5) Karas-Pulau Abang, (6) Malang Rapat-Kelong, (7) Mantang Lama, (8) Rejai, (9) Posek, (10) Merawang, (11) Berindat-Sebelat, (12) Arung Ayam, (13) Kampung Hilir, (14) Pulau Laut, (15) Ceruk, (16) Pangkil, (17) Sanglar, (18) Binjai, (19) Bandarsyah, (20) Tanjungpala, (21) Pemping, (22) Kampung Bugis, (23) Kelumu, dan (24) Mengkait. Namun, sebenarnya masyarakat di Provinsi Riau tak semuanya merupakan penutur bahasa Melayu. Ada empat bahasa daerah lain yang memiliki banyak penutur di Riau: 1 Bahasa Banjar, memiliki empat dialek yaitu Pekan Kamis, Simpang Gaung, Sungai Raya-Sungai Piring dan Teluk Jira. Bahasa Banjar dituturkan di 10 daerah di Riau: Desa Pekan Kamis, Kecamatan Tembilahan Hulu, Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Desa Sungairaya, Kelurahan Sungaipiring, Kecamatan Batang Tuaka, Desa Telukjira, Kecamatan Tempuling, dan Kabupaten Indragiri Hilir. 2. Bahasa Batak dialek Mandailing dituturkan di Kabupaten Rokan Hulu. 3. Bahasa Bugis, dituturkan di Desa Tekulai Bugis, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragirihilir; Desa Pulaukecil, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragirihilir, dan Desa Sungai Sebesi, Kabupaten Bengkalis. 4. Bahasa Minangkabau, yang dituturkan di Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kuantan Singigi (Kuansing), Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau terdiri atas lima dialek, yaitu dialek Rokan, dialek Kampar, dialek Basilam, dialek Indragiri, dan dialek Kuantan.

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu Riau bukan origin Bahasa Indonesia? Seperti disebut di atas, Riau sendiri terdapat banyak dialek bahasa Melayu. Dialek-dialek merupakan bagian dari dialek bahasa Melayu di Nusantara yang terdapat di pulau-pulau lainnya di Indonesia, di Semenanjung, Singapoera dan sebagainya. Lalu bagaimana sejarah origin Bahasa Indonesia yang bukan dari Riau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Melayu Riau Bukan Origin; Bahasa Melayu Malaysia vs Bahasa Indonesia

Awal bahasa yang kemudian disebut bahasa Melayu, paling tidak berdasarkan data yang ada, bermula di pantai timur Sumatra. Tanda-tanada bahasa Melayu tersebut ditemukan dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M). Teks prasasti ini terkesan sebagai campuran bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu. Saat itu mengindikasikaan masyarakat di dalam komunikasi pelayaran perdagangan menggunakan dwi bahasa (lingua franca).

Di wilayah Semenanjung Malaya, baru teridentifikasi nama kota Kadaram pada ababd ke-11 (prasasti Tanjore 1030 M). Kota Kadaram ini disebut Kedah. Pada prasasti ini di pantai timur Sumatra tercatat sejumlah kota, seperti Panai, Lamuri dan kota Malaiyur. Dalam bahasa Tamil Kuno, ur adalah kota, itu berarti Malayur sama dengan Kota Malayu.

Dalam catatan Marco Polo tahun 1292 masih menyebut nama Malayur. Saat Marco Polo melewati Batam menuju Malayur disebutnya (pulau) Batam tidak berpenghuni. Lalu bagaimana dengan pulau Bintan? Tampanya Bintan belum berpenghuni sebagaimana Batam belum berpenghuni. Yang sudah berpenghuni adalah (pulau) Singapoera sebagaimana disebut dalam teks Negarakertagama (1365 M). Dalam teks Pararaton sudah disebut Pamalayu, tetapi Pamaluyu yang dimaksud dalam konteks ekspedisi ke pantai timur Sumatra (sekitar sungai Batanghari/Jambi).

Dalam Negarakertagama nama Malaka belum disebut. Yang sudah disebut adalah kota Kelang dan kota Muwar. Diantara kedua kota inilah kemudian muncul nama Malaka. Catatan tertua keberadaan kota Malaka berasal dari sumber Tiongkok pada Dinast Ming 1403 M dengan nama Moa-la-ka.

Sejauh ini nama-nama kota hanya berada di daratan (wilayah pantai) Semenanjung dan pantai timur Sumatra. Memang sudah ada nama pulau yang disebut yakni Batam, tetapi menurut catatan Marcopolo belum berpenghuni. Dalam catatan Ibnoe Batoetah pulang pergi ke Tiongkok tidak juga ada menyebutkan nama Bintan (dan tentu saja Batam yang masih belum berpenghuni).

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1509 pelaut-pelaut Eropa/Portugis untuk kali pertama menncapai Malaka. Sebagaimana diketahui pada tahun 1511 Malaka direbut oleh pelaut-pelaut Portugis. Tamat Kesultanan Malaka. Dalam catatab Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aroe Batak Kingdom di pantai timur Sumatra, mendapat keterangan bahwa beberapa kali (kesultanan) Malaka di serang Aroe, dan Malaka selalu khawatir terhadap Aroe (hingga kehadiran Portugis di Malaka).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Melayu Riau Bukan Origin: Dimana Orgin Bahasa Indonesia

Nama Riauw baru muncul dalam peta-peta Belanda (VOC). Nama suatu kota di pulau Bintang di muara sungai di teluk yang jauh ke pedalaman. Nama Riau di dalam peta-peta VOC diindentifikasi dengan nama Rheo.

Nama Rheo merujuk pada nama rio dalam bahasa Portugis yang diartikan sebagai sungai. Nama Rio ini dilafalkan Belanda sebagai Rheo. Besar dugaan penamaan tempat ini terjadi pada era Portugis dimana orangorang Portugis yang berpusat di Malaka membuka pos perdagangan di pulau Bintan. Pos ini semacam pos paling dekat dengan Djohor (di utara Singapoera). Sebagaimana diketahui Portugis masih berselisih dengan Djohor. Sebagaimana diketahui setelah Portugis merebut Malaka (1511), para pengeran Malaka melarikan diri dan membangun pusat kerajaan baru di ujuang selatan Semenanjung di Djohor.

Pusat perdagangan Portugis di Malaka (sejak 1511), pada tahun 1641 berhasil ditaklukkan oleh Belanda (VOC) yang berpusat di Batavia. Tidak hanya itu, pada tahun 1642 VOC mengusir Portugis dari Kambodja (sehingga Portugis hanya tersisa di Macao dan pulau Timor bagian timur). Ini dengan sendirinya pengaruh Portugis di Semenanjung dan kawasan kepulauan (Riau) telah berada di bawah pengaruh VOC.

Persaingan di kawasan antara Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda) di satu sisi, dan persaingan antara Atjeh dengan Semenanjung (Portugis, Djohor dan Pahang) di sisi lain, dan setelah renggangnya hubungan Belanda dan Atjeh, Belanda (VOC) pada tahun 1837 mendatangani perjanjian dengan Pahang. Namun hubungan dengan Pahang menjadi masalah, karena VOC dan Djohor tahun 1638 bekerjasama untuk menyerang Portugis di Malaka. Pahang tidak senang, lalu Pahang mendekati Portugis di Goa. Belanda yang terus menguat yang berbasis di Batavia, di bawah kerjasama dengan Djohor menyerang Portugis di Malaka tahun 1641.

Hubungan yang berselisih antara Djohor dan Portugis, kini telah berbalik arah hubungan Djohor dan VOC (di Malaka). Pahang menjadi masalah tersendiri di kawasan. Dalam konteks inilah diduga VOC juga telah mengusir Portugis di Bintan (Rheo). Djohor dengansendiri mengklaim wilayah Riau (dibebaskan dari Portugis, dan Dhohor bekerjasama dengan VOC).

Dalam perkembanganya terjadi eksodus dari Gowa ke berbagai tempat termasuk ke Semenanjung Malaya. Ini bermula ketika terjadi perselisihan antara pedagang-pedagang VOC di Gowa yang mana pemimpin pedagang VOC terbunuh. Sementara itu, untuk meratakan jalan dari Ambon hingga Sumatra yang berpusat di Batavia, VOC mulai mengincar Gowa (Celebes) di satu sisi dan mengusir Atjeh dari pantai barat dan pantai timur Sumatra di sisi lain. Pada tahun 1665 militer VOC yang dibantu pasukan Boegis pimpinan Aroe Palakka menaklukkan pantai barat Sumatra. Tiga pimpinan perlawanan di pantai barat Sumatra dibuang ke Afrika Selatan. Pada tahun 1667 dilakukan perjanjian antara Gowa dan VOC karena beberapa tahun sebelumnya pedagang VOC tersebut terbunuh di Sombaopoe (ibu kota kerajaan Gowa). Paralel dengan ini pada tahun 1668 VOC melanjutkan ekspansi dan membuat kontrak dengan kerajaan Baros dan Singkel. Pada tahun 1669 VOC berperang dengan Gowa dan berhasil menaklukkan Gowa dan Aroe Palaka mendapat angin di Makassar. Pada fase inilah terjadi eksodus orang Makassar, termasuk ke Semenanjung dan kepulauan,

Pada fase dimana orang-orang Makassar migrasi ke Riau, Semenanjung dan Sumatra, VOC kemudian merintis jalan dengan di pedalaman Sumatra dengan bekerjasama dengan Pagaroejoeng di pantai timur Sumatra pada tahun 1684. Orang-orang Belanda di Malaka ingin terdapat hubungan perdagangan dengan pantai timur Sumatra. Dalam hubungan ini VOC mendapat klaim dari Djohor bahwa pantai timur Sumatra sebagai wilayahnya.

Untuk mengkonfirmasi klaim Djohor itu. Diadakan ekspedisi Belanda/VOC dari Malaka ke Pagaroejoeng tahun 1684 yang dipimpin Thomas Diaz. Pagaroejoeng memberi ultimatum, via Thomas Diaz bahwa pantai timur di di daerah aliran sungai Siak dan sungai Koeantan yang sekali-kali di klaim Djohor.. Ini mengindikasikasikan bahwa wilayah pantai timur Sumatra berada di bawah yurisdiksi Pagaroejoeng. Dalam hal ini antara wilayah pantai timur Sumatra dengan Semenanjung (Djohor) adalah dua wilayah yang berbeda. Diantara dua wilayah inilah terdapat kepulauan Riau.

VOC baru merealisasikan hubungan perdagangan dengan pantai timur Sumatra pada tahun 1739 dengan membuka pos perdagangan di muara sungai Siak di pulau Gontong. Namun VOC mendapat perlawanan yang mana orang-orang Belanda di pos ini diserang, VOC kemudian meninggalkan muara Siak. Siapa yang menyerang ini tidak diketahui.

Yang jelas VOC di Malaka tidak pernah aman, sebab berada diantara dua kekuasatan (Pagaroejoeng dan Djohor). Tampaknya Djohor bersikukuh. Di dalam surat kabar Nederlandsche staatscourant, 17-02-1858 disebutkan Sultan Melayu dari Kekaisaran Djohorsche yang luas, yang meliputi semenanjung Melayu, Riouw, Lingga dan kelompok-kelompok besar lainnya, serta bagian dari Sumatera bagian Timur. Perdagangan besar, yang saat itu VOC sudah dilakukan di negara-negara itu, memilikinya. sejumlah besar Boegis terpikat kesana, dan ini, pada awal abad sebelumnya, begitu kuat sehingga, pada 1719 dan 1720, mereka menjadi keluarga Sultan Melayu, yang telah diambil alih oleh Siakers telah diusir, bisa dikembalikan ke takhta. Layanan besar ini bukannya tanpa imbalan, dan karena itu para kepala suku Bugis diberkahi dengan jabatan yang paling terhormat di kekaisaran, bahkan Raja Móéda (raja muda atau administrator umum), yang posisinya tetap turun-temurun dalam garis keturunan. dari raja muda Bugis pertama, yang mengambil nama tanpa gelar Sulthan Ala'idin Shah. Namun, kebijakan Boegis tidak selalu kebijakan Sultan Melayu, dan bentrokan di antara mereka sangat sering terjadi. Pada tahun 1743 raja muda Daeng Kamboja mengundurkan diri dari kekaisaran, karena dia tidak setuju bahwa Sultan telah membantu gubernur Malaka dalam ekspedisi melawan Siak, dan ketika dia mengetahui bahwa Kompeni, dalam kasus sultan, ingin dia bersekutu dengan pemimpin Bugis yang berpengaruh dimana-mana dan mengepung Malaka. Dikalahkan, tetapi tidak ditundukkan, rekonsiliasi dilakukan antara dia dan sultan oleh perantara gubernur Malaka. Penerus Daeng Kamboja, Raja Iladjid, juga terlibat masalah dengan gubernur Malaka. Ini, ingin mengakhiri gangguan yang harus ditanggung oleh kerajaan Melayu Bugis, pada tahun 1783, sebuah ekspedisi militer melawan Riouw, dimana raja muda dan kepala suku Boogis bermarkas. Ekspedisi ini, bagaimanapun, kembali tanpa tindakan, tetapi berhasil, pada tahun berikutnya, oleh skuadron nasional enam kapal berat yang lebih lengkap, di bawah kapten angkatan laut. P van Braam, disamping dua kapal perang Kompeni dan kapal lainnya. Terjadi pertempuran sengit, dan akibatnya semua Bugiyang telah dipukuli dimana-mana, mengalah pada malam 29-30 Oktober 1784, dengan gendang diam, dan meninggalkan Sultan Malaya untuk mengurus urusannya. dengan Perusahaan untuk mengatur. Sultan telah terlalu terganggu oleh rakyat Bougis untuk tidak terlalu senang dengan kepergian mereka, dan tidak ingin mendapatkan jaminan terhadap pengaruh mereka lebih lanjut, yang tidak dapat dilakukan tetapi dengan menghubungkan kepentingannya dengan erat! siapa dari Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang telah menjadi nyonya kekaisaran melalui kemenangan yang diraih. Akibatnya, pada 10 November 1784, sebuah kontrak dibuat antara perusahaan dengan Sulthan Makhmud Shah dan grandeesnya. Pembukaan kontrak ini berbunyi kata demi kata sebagai berikut: (tidak dicatat dalam artikel ini).

Pada tahun 1784 pos perdagangan utama VOC di Malaka diserang oleh Selangor, Djohor dan Riau. Dengan kekuatan yang didatangkan dari Batavia berhasil membebaskan Malaka. Sebagai hukuman, VOC menyerang Selangor dan merebutnya. VOC kemudian menyerang Riau dan Radja Riau terbunuh (lihat Hollandsche historische courant, 12-03-1785). Pada tahun ini juga Kesultanan Bandjarmasin menarik diri dari VOC. Pada fase inilah untuk kali kedua diketahui nama Riau. Radja Riau terbunuh tahun 1784. Ini mengindikasikan bahwa Riau sudah eksis sebelumnya dan telah menjadi kerajaan. Namun sejak kapan Riau yang berpusat di Bintan tidak diketahui secara pasti. Lalu bagaimana hubungan antara Selangor, Djohor dan Riau diduga karena adanya pengaruh orang-orang Makassar (Gowa) namun sumber Belanda ,menyebutnya orang Bugis.

Dalam laman Wikipedia: Kesultanan Siak Sri Inderapura didirikan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung pada tahun 1723. Siak segera saja menjadi sebuah kekuatan besar yang dominan di wilayah Riau: atas perintah Raja Kecil, Siak menaklukkan Rokan pada 1726 dan membangun pangkalan armada laut di Pulau Bintan. Namun keagresifan Raja Kecil ini segera ditandingi oleh orang-orang Bugis pimpinan Yang Dipertuan Muda dan Raja Sulaiman. Raja Kecil terpaksa melepaskan pengaruhnya untuk menyatukan kepulauan-kepulauan di lepas pantai timur Sumatra di bawah bendera Siak, meskipun antara tahun 1740 hingga 1745 ia bangkit kembali dan menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Abdul Jalil Syah III mengikat perjanjian eksklusif dengan Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di dalam tubuh kesultanan yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi penguasa Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Laut Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Tahun 1780, Siak menaklukkan daerah Langkat, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama mereka dengan VOC, pada tahun 1784 Siak membantu tentara Belanda menyerang dan menundukkan Selangor, dan sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.

Setelah Radja Riau terbunuh dalam perang dengan VOC, Riau jatuh ke tangan VOC. Untuk membawahi wilayah taklukan ini di bawah pimpinan Captain JP van Braam. Besar dugaan tidak lama kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1787 Riau diambilalih oleh (kerajaan) Soeloe. Pengambilalihan ini boleh jadi karena kerajaan Riau sudah melemah setelah radjanya terbunuh oleh VOC dan tidak hadirnya VOC. Dalam hal ini tidak pernah tumbuh menjadi kerajaan besar karena pengaruh dari berbagai pihak di kawasan (Belanda, Djohor, Pagaroejoeng dan Soeloe).

Dalam laman Wikipedia: Invasi Belanda yang agresif ke pantai timur Sumatra tidak dapat dihadang oleh Siak. Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw) di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Para sultan Siak tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda. Kedudukan Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatra.

Lalu dimana orgin bahasa Melayu? Jelas bahwa itu tidak bermula dari Riau, tetapi dari (pantai timur) Sumatra. Sejarah Riau sendiri merupakan pergumulan panjang antara kekuatan-kekuatan di masa lampau yang berakhir pada keterlibat orang Boegis/Makassar yang menyebabkan peran Belanda menyatukannya di bawah Djohor, tetapi sejak 1824 wilayah kesatuan Melayu Djohor ini dipisahkan berdasarkan Traktat London 1824.

Traktat London yang pada intinya terjadi tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka, lalu pada garis pembatas antara wilayah yurisdiksi Inggris dan Belanda dipertegas yang membagi kerajaan Melayu dipisah yang mana Djohor dan Pahang masuk Inggris dan Raiu dan Lingga masuk Belanda. Dalam penataan wilayah yurisdiksi Belanda di Riau dan Lingga diatur kembali dengan perjanjian tahun 1830 (yang juga merujuk pada perjanjian 1784). Lalu yang terakhir kontrak/perjanjian diperbarui lagi pada tahun 1842. Akan tetap ssemuanya baru clean en clear pada tahun 1857 (yang menjadikan kepulauan di wilayah yurisdiksi Belanda menjadi satu residentie, Residentie Riau dengan ibu kota di Tandjoeng Pinang).

Lantas apakah Bahasa Indonesia (yang cikal bakal dari bahasa Melayu) berasal dari Riau? Tentu saja tidak. Oleh karena pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi Bahasa Indonesia di Jawa (Batavia), sudah barang tentu sumber bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu pasar (bukan di Riau). Bahasa Melayu Pasar ini merupakan varian bahasa Melayu yang berkembang di pusat-pusat perdagangan seperti di Malaka, Djohor, Gowa, pnatai barat Sumatra, pantai utara Jawa termasuk Banten. Soenda Kalapa (Batavia) dan Demak.

Dengan memperhatikan sejarahnya sejak awal hingga munculnya perngaruh dari berbagai pihak, bahasa Melayu telah berkembang di berbagai tempat tidak hanya di Sumatra, Semenenanjung dan Riau, juga telah tersebar di di berbagai tempat seperti di Banten, Soenda Kalapa, Gowa, Ternate, dan sebagainya. Dalam hal ini Riau adalah termasuk salah satu wilayah dimana pengaruh asing muncul belakangan. Riau berpusat di Bintan. Pengaruh asing di Riau yang dulunya tidak berpenghuni telah dipengaruhi dari pantai timur Sumatra (Pagaroejoeng), Semenanjung (Malaka dan Djohor) dan Gowa (Makassar/Boegis). Dengan demikian bahasa Melayu di Riau dipengaruhi berbagai dialek Melayu yang membentuk dialek Melayu sendiri.

Nah, dalam hubungan terbentuknya Bahasa Melayu di Malaysia dan Bahasa Indonesia di Indonesia pada hari ini. Sudah barang tentu berkembang dengan jalannya sendiri-sendiri. Bahasa Melayu di Malaysia merujuk pada wilayah-wilayah federasi Malaysia, sedangkan Bahasa Melayu di Indonesia merujuk pada wilayah-wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI), dimana bahasa Melayu pasar di Batavia diperkaya dari varian bahasa Melayu yang terdpat di berbagai tempat termasuk Riau.

Orang pertama yang mempelajari bahasa Melayu di Riau adalah Elisa Netcher pada tahun 1851 yang dalam perkembangannya sejak 186` Elisa Netcher diangkat menjadi Residen Riau. Sumbangan Netcher dalam pembentukan bahasa Melayu (pasar) di Batavia tentulah ada. Peneliti-peneliti bahasa Melayu di wilayah lain juga ada bahkan di wilayah Batak di Angkola Mandailing (Charles Adtiaan van Ophuijsen). Peneliti-peneliti bahasa Melayu juga ada di Jawa oleh para peneliti Belanda yang bahkan mereka itu senditi belum pernah ke Riau atau ke Sumatra.

Dalam hal ini bahasa Melayu Riau hanyalah salah satu sumber dalam pembentukan bahasa Indonesia. Oleh karena itu sangat naif jika sumber utama bahasa Indonesia berasal dari Riau (saja). Sumber bahasa Indonesia merujuk dari bahasa Melayu pasar di Batavia yang diperkaya oleh sumber dari daerah lain di Indonesia.

Dalam permbandingan antara bahasa Melayu di Malysia dan bahasa Indonesia di Indonesia, jelas kedua bahasa ini telah berbeda. Tidak hanya bahasa Melayu di Malaysia berbeda dengan bahasa Indonesia, juga bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Melayu Riau, yang juga yang tidak boleh dilupakan bahasa Melayu di Riau berbeda dengan bahasa Melayu di Malaysia. Hal itulah mengapa bahasa Indonesia (merujuk bahasa Melayu pasar) muncul sebagai bahasa nasional (lingua franca di Indonesia/Hindia Belanda) dan bahasa Melayu di Riau hanyalah salah satu dari bahasa daerah. Bahasa daerah di Indonesia/Hindia Belanda, selain berbabgai varian bahasa Melayu, juga penutur bahasa besar seperti Jawa, Sunda dan Batak serta Minangkabau.    

Wilayah kepulauan (residentie) Riau (yang salah satu afdeelingnya berada di pantai timur Sumatra, Siak Indrapoera) menjadi begitu seksi di mata internasional. Tentu saja bagi Pemerintah Hindia Belanda wilayah Kepulauan Riau sebagai kawasan satu bahasa (Melayu Riau) yang terdiri banyak pulau juga bersinggungan dengan Singapoera (Inggris) di pulau Bintan (ibu kota Residentie Riau). Secara khusus wilayah kepulauan Riau ini pernah diklaim Jerman telah dibelinya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-09-1902).

Sebagaimana diketahui, minat Inggris terhadap Singapoera semakin memuncak pasca berakhirnya pendudukan Inggris (1811-16). Hal itulah mengapa Inggris berani mengambil (keuntungan) dengan merindikannya dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1824 (tukar guling Malak dan Bengkoeloe). Kedua belah pihak tentu saja saling menguntungkan (win-win solution). Inggris memiliki sepenuhnya Singapoera, dan Belanda masih menyisakan Bintan. Garis pemisah antar dua pulau ini menjadi jalur navigasi pelayaran perdagangan internasional (selat Singapoera). Namun dalam perkembangannya, Residentei Riau bagian kepulauan (Kepulauan Riau) agak diabaikan, karena Pemerintah Hindia Belanda lebih melihatt Riau daratan (Sika) sebagai prioritas pembangunan dan pengembangan wilayah (sehuhubungan dengan peningkatan investasi internasional yang pesat di Sumatra Timur—suatu wilayah Residentie Sumatra’s Oostkut yang dipisahkan yang mana sisa wilayah (Siak) digabungkan dengan Residentie Riau (yang berpusat di Bintan). Dalam konteks inilah Jerman memiliki minat yang kuat memiliki wilayah Kepulauan Riau. Sebagaimana diketahui Jerman sendiri telah memiliki koloni di bagian utara/timur wilayah Papua bagian Timur (sejak 1895). Seperti halnya Inggris di masa lampau tertarik Penan dan Singapoera untuk dijadikan sebagi hub antara India dan Tiongkok, tampaknya Jerman juga ingin menjadikan Bintan sebagi hub antara Afrika dan Papaua Nugini. Dalam kaus kepulauan Riau ini peran penyelidik Jerman Dr. Abraham Kuyper mengemuka. Tapi tampaknya negosisi antara Jerman dan Pemerintah Hindia Belanda gagal. Meski kepulauan Riau kurang dipacu Pemerintah Hindia Belanda sebagai wilayah pembangunan, tetapi tampaknya hanya dijadikan sebagai cadangan untuk masa depan. Hal itulah diduga negosiasi gagal, keinginan Jerman menjadi tidak terwujud. Sebaliknya, dalam situasi anomali di kepulauan Riau, Inggris tetap memanfaatkan kawasan sebagai sumber-sumber perdagangannya yang telah memusat di Singapoera. Dalm konteks inilah kepulauan Riau dapat dikatakan tertinggal dari wilayah-wilayah lain, bahkan dengan tetangganya di West Borneo dan Riau daratan (hingga menemukan bentuknya pada era pembentukan provinsi Kepulauan Riau di era RI).

Wilayah Kepulauan Riau yang dapat dikatakan terisolir dalam pergaulan kehidupan baru di era Pemerintah Hindia Belanda, dalam banyak aspek kurang intens terjadi seperti perdagangan, pembangunan infrastruktur dan sosial, menyebabkan kepulauan Riau bukan wilayah tujuan migrasi. Akibatnya, percampuran bahasa (bahasa asing, terutama Belanda dan bahasa daerah lain) kurang intens terjadi, sehingga bahasa Melayu di kepulauan Riau menjadi terjaga kemurniannya (berbeda dengan di Siak dan Sumatra Timur dan West Borneo plus di Semenanjung).

Wilayah kepulauan Riau yang terus tertinggal, bahkan sejak orang Jerman menginginkan wilayah kepulauan Riau menjadi miliknya, tahun 1902, pada akhirnya mendapat perhatian dengan mengirimkan guru-guru dan dokter asal Angkola Mandailing (Tapanoeli) ke wilayah Kepulauan Riau.  Pribumi pertama yang menjabat sebatai penilik sekolah pribumi di kepulauan Riau adalah guru Mohamad Taib Nasoetion (1915). Sementara kepala dinas kesehatan yang berasal dari pribumi (menggantikan dokter Belanda) di Riau yang berpusat di Tandjoeng Pinang adalah Dr Soeib Proehoeman, Ph.D (tahun 1935), Sebagaimana diketahui salah satu anak Mohamad Taib kelak menjadi gubernur di Tandjoeng Pinang (Mr SM Amin Nasoetion). Dr Proehoeman, PhD sebelumnya kepala dinas kesehatan di Residentie Tapanoeli (di Sibolga) meraih gelar doktor dalam bidang kedokteran di Universiteit Leiden 1930.  Salah satu dokter asal Angkola Mandailing yang dikrim ke Riau utnuk menangani kali pertama kesehatan di wilayah terpencil di Natuna (di Tarempa) adalah Dr Amir Hoesin Siagian, alumni sekolah kedokteran NIAS Soerabaja (1935). Dr Hoesin Siagian adalah menantu walikota pribumi Soerabaja. Guru Madong Loebis di Pematang Siantar juga pernah bertugas di kepulauan Riau yang lalu dipindahkan ke Medan, Pada Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954, Madoeng Loebis, yang telah banyak menulis buku pelajaran tentang bahasa Melayu, menjadi panitia inti Kongres dan menjadi salah satu pembicara kunci dalam kongres.

Dalam hal ini, oleh karenanya, wilayah sisa bahasa Melayu dapat dikatakan hanya terdapat di Kepulaun Riau. Sementara wilayah bahasa Melayu lainnya di Indonesia (Hindia Belanda) termasuk di wilayah federasi Malaysia (Hindia Inggrsi( dapat dianggap telah tercemar dari pengaruh bahasa lainnya). Namun seperti kata pepatah lama, orang yang berada di barisan belakang mengetahui semua apa yang terjadi di depan.

Pada masa ini, bahasa Melayu di kepulauan Riau seakan terlihat sebagai origin bahasa Melayu, tetapi dalam sejarahnya yang panjang tidak demikian. Bahasa Melayu di kupulauan Riau memang terkesan masih asli, saat mana Bahasa Indonesia terus berkembang dan dikembangkan. Sebagaimana disebut bahwa Bahasa Indonesia terbentuk merujuk pada bahasa Melayu pasar yang telah berkembang lama di Jawa khususnya Batavia. Dalam hal ini Bahasa Melayu sejatinya tidak ada pertalian (lagi) dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Riau adalah satu hal, dan Bahasa Indonesia (cikal dari bahasa Melayu Pasar) adalah hal lain lagi. Namun posisi bahasa Melayu Riau yang dapat dianggap masih murni dapat dijadikan sebagai rujukan bahasa Melayu di seluruh Nusantara, bahkan rujukan untuk Bahasa Indonesia sendiri (yang memang berasal dari bahasa Melayu). Anda ingin mempeljari bahasa Melayu dan bahasa Indonesia? Jangan lupa masih ada kawasan bahasa Melayu yang masih terbilang orisinal di Kepulauan Riau.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar