*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Nama Rampi dan Seko
bukanlah wilayah tak bertuan dan tidak penting. Boleh jadi itu masa kini,
tetapi di masa lampau zaman kuno Seko dan Rampi adalah dua nama tempat di
Hindia Timur yang mungkin popularitasnya sampai di Sumatra. Seko dan Rampi
tidak hanya secara geografis adalah jantung yang sebenarnya pulau Sulawesi,
tetapi Rampi dan Seko adalah sentra produksi emas, kemenyan dan damar yang
menjadi pusat peradaban tertua di Sulawesi. Rampi berada di lereng barat
gunung Balease dan Seko di berada di lereng bagian timur gunung Godangdewata di
Luwu.
Konon,
orang Angkola Mandailing sejak zaman kuno sudah mengenal pulau Sulawesi,
seperti Sumatra sebagai penghasil emas. Pelaut-pelaut Angkola Mandailing dengan
para penambang bermigrasi ke pulau Sulawesi untuk memperdagangan dan menambang
emas yang sudah diusahakan oleh penduduk asli (negritos). Para pendatang dari
daerah aliran sungai Barumun dari pelabuhan Binanga membina hubungan produksi
dan perdagangan ke pulau Sulawesi. Awalnya bermula di wilayah Minahasa yang
sekarang di dekat gunung Ompung (kini Empung) dan danau Tordano (kini Tondano).
Dari pusat awal peradaban baru Minahasa inilah kemudian para migran terus
merangsek melalui darat hingga Seko dan melalui lalut (teluk Tomini) menyusuri
sungai hingga danau Poso di Rampi. Sejak inilah terbetuk bahasa-bahasa: Bahasa
Minahasa menjadi bahasa Tao (Kaili, Palu) dan bahasa Baree (Poso) di wilayah Toaraja
dan Luwu. Konon, perpaduan bahasa Tao dan Baree ini yang membentuk bahasa
Makassar yang kemudian menurunkan bahasa Walio (Buton). Dalam perkembangannya
bahasa Buton (pantai) ini melahirkan bahasa Bugis dan bahasa Mandar.
Lantas
bagaimana sejarah Rompi dan Seko di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di
atas, konon bahasa di kawasan sentra produksi kemenyan, damar dan emas ini
bermula dari bahasa Tao dan bahasa Baree di utara. Kata ‘konon’ ini haruslah
dipandang sebagai hipotesis. Lalu bagaimana sejarah Rompi dan Seko di jantung
pulau Sulawesi yang sebenarnya? Berangkat dari hipotesis, seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.