*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Hari ini adalah hari terakhir Diskusi Publik
Sejarah Indonesia di Makassar (setelah tiga yang pertama di Depok, Banjarmasin
dan Padang). Pada hari ini seorang guru, mengkritik Diskusi Publik ini pada
dasarnya hanyalah sekadar Sosialisasi Penulisan Sejarah Indonesia.
Bagaimanapun, apapun nama yang diberikan, diskusi publik atau sosialisasi
publik, ada tidak ada masukan dari peserta publik, ada tidak ada yang diterima
para penulis jilid, show must go on, Sejarah Indonesia tetap harus diselesaikan.
Mengapa? Anggaran proyek penulisan Sejarah Nasional sudah berjalan (sudah
barang tentu harus ada outputnya).
Apa itu Indonesia sentris? Tampaknya artinya juga termasuk apa yang dikatakan, dilihat dan diinterpretasi orang Indonesia. Celakanya apa yang dilakukan itu, terkesan yang sebaliknya tidak dianggap penting lagi. Sementara itu sejarah adalah narasi fakta dan data. Artinya suatu sejarah dinarasikan adalah suatu kejadian/peristiwa dan suatu yang ada yang benar-benar pernah ada dan pernah terjadi yang didukung oleh data. Nah, data dalam hal ini bersifat empiris (dapat diverifikasi) dari siapapun darimanapun sumber datanya. Data tidak pernah memiliki jender. Yang kedua yang mengemuka dalam rangkaian Diskusi Publik Sejarah Indonesia soal sejarah nasional versus sejarah lokal. Apa itu sejarah nasional? Lalu yang ketiga tentang perihal bukti. Ada bukti yang mencatat penanggalan seperti prasasti dan produk cetakan seperti dokumen lepas, buku, majalah dan surat kabar. Bagaimana dengan yang tidak ada penanggalan? Metode teknologi sudah dapat digunakan seperti uji karbon dan uji genom.
Lantas bagaimana sejarah Indonesia Sentris dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia? Seperti yang disebut di atas, diskusi publik Sejarah Indonesia berakhir sudah hari ini, berakhir pula masukan yang diperlukan. Bagaimanpun, untuk mengejar peluncuran buku pada tanggal 17 Agustus, waktu tersisa kurang dari dua minggu untuk proses editing, layout dan proses percetakan mungkin tidak lazim untuk proses penerbitan yang normal. Sebagai buku dengan judul Sejarah Nasional Indonesia bagaimana buku 10 jilid tersebut dapat melokalisir Sejarah di Indonesia vs Sejarah di Daerah. Kita lihat saja nanti. Lalu bagaimana sejarah Indonesia Sentris dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Indonesia Sentris dalam Penulisan Sejarah Nasional Indonesia; Sejarah di Indonesia vs Sejarah di Daerah
Pada masa ini terminologis Indonesia Sentris utamanya dihubungkan dengan Historiografi Indonesia sejak tahun 1950an dan pembangunan Indonesia yang diterapkan secara lebih nyata sekitar tahun 2014. Pembangunan Indonesia Sentris (2014-sekarang): Strategi ini, yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, bertujuan untuk membangun Indonesia dari desa dan daerah terluar, bukan hanya berfokus pada wilayah pusat. Historiografi Indonesia Sentris (1950-an): Setelah kemerdekaan, para sejarawan dan intelektual Indonesia berusaha merumuskan penulisan sejarah yang lebih berpusat pada Indonesia, bukan lagi perspektif kolonial. Namun sejatinya, terminologi Indonesia Sentris sudah muncul pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Ini bermula pada tahun 1882 dimana terbentuk dua
faksi orang Belanda di Hindia. Faksi pertama, yang ada selama ini, orang-orang
Belanda, terutama orang Belanda totok sudah lama bersifat rasis yang
diimplementasikan dalam pembagian lapisan warga (Eropa, Timur Asing dan
pribumi). Dalam perkembangannya, diantara orang Belanda terjadi segregasi yang
nyata antara Belanda totok dan Belanda palsu (orang Indo: Eropa berdarah
campuran dan orang Eropa/Belanda lahir di Hindia). Seiring dengan meningkatnya
keberanian orang Indo, dalam konteks munculnya streotif dimana orang Belanda
totok membedakan dirinya dengan orang Indo, terbentuk Indisch Bond pada tahun
1881 untuk memperjuangkan pemisahan Hindia dari negeri Belanda sebagai suatu
negara yang terpisah (meski tetap dalam persemakmuran). Di belakang alasan
rasis, orang-orang Indo di Hindia memperjuangkan pemisahan Hindia dari Belanda
karena para pejabat Pemerintah Hindia Belanda sangat korup dan penuh intrik di
internal pemerintahan. Meski perjuangan pemisahan ini dapat dipadamkan/padam
dengan sendirinya, tetapi benih-benih perjuangan kesejahteran (keadilan) tidak
pernah padam sama sekali. Pada tahun 1898 bentuk perjuangan tidak lagi
dilakukan lewat petisi, tetapi dibangkitkan kembali organisasi Indisch Bond untuk
lebih memperkuat persatuan diantara orang-orang Indo dan seiring dengan semakin
banyaknya orang Indo di Belanda dibentuk komite Oost en West. Namun lagi-lagi
redup. Akibat dari itu, wilayah koloni (di Hindia Belanda) terlantarkan. Warga
Belanda di Hindia semakin hari semakin gelisah (dan mulai pasrah). Namun
diantara orang Belanda masih ada yang peduli tentang perlunya desentralisasi di
Hindia. Menteri Koloni Deventer semasa Perdana Menteri Kuyper mulai
merealisasikan desentralisasi di Hindia dengan mengusulkan RUU di Tweede Kamer.
Usulan ini kemudian tahun 1903 menjadi undang-undang baru di Belanda
(Decentralisatie Wet). Realisasi desentralisasi yang diberlakukan di Hindia
dengan pembentukan dewan kota (gemeenteraad) yang dimulai di Batavia, Meester
Cornelis dan Buitenzorg tahun 1905. Lagi-lagi orang-orang Belanda tidak sedikit
juga skeptis terhadap realisasi itu, sebab, kebijakan yang didengungkan di
Belanda, nyatanya di Hindia justru pemerintahan (Gubernur Jenderal) terkesan
menghalangi, paling tidak muculnya berbagai keputusan/beslit terkait
pembentukan dewan itu yang menghambat. Boleh dikatakan, hanya sedikit perbaikan
dari kebijakan desentralisasi terdahulu. Orang-orang Indo tetap tidak berdaya
hingga munculnya gagasan memperkuat Insulinde dengan dibentuknya Nationale
Indisch Partij (NIP) pada tahun 1912. Sebagaimana diketahui tiga pentolan NIP kemudian
diasingkan ke Belanda. Puncak dari rangkaian perjuangan yang sudah beberapa decade
adalah dibentuknya dewan pusat (Volksraad) pada tahun 1918. Setahun sebelumnya
di Belanda dalam Kongres Hindia, para mahasiswa pribumi yang tergabung dalam
Indisch Vereeniging (Perhimpoenan Hindia) mengusulkan nama Indie (Hindia)
diubah menjadi Indonesia. Kongres Hindia yang diikuti oleh semua organisasi
mahasiswa asal Hindia, Belanda, Cina dan pribumi, menyetujui usul Indisch
Vereeniging. Sejak inilah nama Indonesia terlembagakan dan Kongres Hindia tahun
berikutnya pada tahun 1918 sudah bernama Kongres Indonesia yang diorganisir
dengan nama tunggal Indonesisch Studerenten Vereeniging.
Lantas kapan terminologi Indonesia Sentris muncul? Yang jelas, meski nama (negara) adalah Hindia Belanda (Nederlandsch Indie), sejauh ini belum pernah terinformasikan soal Nederland- centrisch atau Indie-centrisch. Yang muncul pertama adalah terminologi Java-centrisch vs Sumatra-centrisch (lihat De Sumatraansche periode der Javaansche geschiedenis, 1919). Prof Krom menyatakan: ‘Penelitian selanjutnya dapat menentukan intensitas pengaruh Sumatra di Jawa; keberadaan pengaruh ini tampaknya tak terbantahkan bagi kita. Terlepas dari seberapa jauh kontribusinya terhadap agama, seni, dan aspek-aspek lainnya, dan apakah ia terkait dengan ketergantungan politik atau tidak, kami percaya bahwa perspektif Jawa-sentris yang diadopsi sejauh ini harus ditinggalkan ketika mempertimbangkan sejarah budaya nusantara pada abad kedelapan dan kesembilan. Lalu kemudian muncul terminologi Indo-centrisch (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-03-1920). Lalu mengapa disebut Indo-centrisch? Ini dihubungkan dengan koleksi perpustakaan (bibliotheek).
Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Seni di Batavia (Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) didirikan pada tahun 1778 oleh Mr
Radermacher dkk. Lembaga ini telah mendorong para anggotanya untuk mengumpulkan
berbagai benda kepurbakalaan di museum yang didirikan dan menulis berbagai isu yang
menjadi fokus kegiatannya (seperti: studi sastra, sejarah dan geografi, teologi
dan studi agama, hukum, ilmu politik, dan teologi) untuk menambahk koleksi
perpustakaan yang telah dirintis. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen telah memiliki perpustakaan yang luas dan berharga, yang berhak
digunakan oleh para anggota. Perpustakaan ini pada tahun 1920 merupakan yang
terbesar di Hindia Belanda yang koleksinya sekitar 100.000 jilid. Dewan
Direksinya memutuskan pada awal tahun ini untuk memperluas perpustakaannya
secara signifikan. Dalam rencana perluasannya, Perkumpulan berkomitmen untuk
menciptakan Perpustakaan Universal di masa mendatang, yang mengakomodasi semua
bidang studi. Perluasan perpustakaan akan dilakukan dengan pendekatan Indo-centrisch,
artinya koleksi perpustakaan yang ada, yang sebagaimana telah disebutkan, saat
ini sebagian besar berisi karya-karya yang berkaitan dengan Hindia Belanda dan
negara-negara sekitarnya, akan dilengkapi.
Indo-centrisch dalam hal ini di satu sisi bukan Nederland- centrisch dan juga bukan Indie-centrisch. Terminologi Indo sudah sejak lama ada, terminologi yang diasosiasikan dengan orang-orang Indo (orang Indo atau orang Eropa/Belanda lahir di Hindia). Seperti disebut di atas, Gerakan Indo ini mulai muncul pada tahun 1881. Lalu kemudian muncul terminology Java-centrisch pada tahun 1926 (lihat Indie; geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, jrg 10, 1926, No. 9, 21-07-1926). Disebutkan ditemukannya prasasti dari Palembang tahun Caka 605 dan 606= 683 dan 684 M, untuk sementara, perlu dicatat di sini bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Sumatra dan Bali juga telah menjadi yang terdepan dalam sejarah Hindia kuno. Khususnya di Bali, banyak dokumen tertulis berbahan tembaga telah ditemukan. Sejarah Hindia kuno tidak lagi Java-centrisch tetapi Sumatra-centrisch.
Selama ini penemuan-penemuan kepurbakalaan umumnya
ditemukan di Jawa yang menjadi alasan didirikan dinas kepurbakalaan di
Jogjakarta. Penemuan terbaru kepurbakalaan di Palembang telah memunculkan
asumsi baru bahwa yang terdepan dalam sejarah Hindia kuno berada di Sumatra.
Dalam hal ini sentris-sentris masih di seputar keberadaan orang Indo dan perhatian terhadap kesejarahan jaman kuno yang mengkontraskan antara Java-centrisch atau Sumatra-centrisch. Namun yang terus menguat adalah pemahaman pada Java-centrisch yang tetap sejalan dengan pembangunan yang sangat massif berada di (pulau) Jawa sejak lama. Sadar tidak sadar, Java-centrisch menjadi cara berpikir semua orang yang menyebabkan terbentuknya sejak lama terminologi Java vs Buiten (Luar Jawa) bahkan digunakan dalam Sensus Penduduk 1930.
Anggota Volksraad dari dapil Oost Sumatra Abdoel
Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon melakukan protes keras karena punya
alasan yang kuat untuk menyatakan secara terbuka bahwa Sumatra adalah ‘pintu
gerbang Indonesia’ dan bukan pintu belakang. Statement ini dikemukakan Mangaradja
Soangkoepon di parlemen pusat (Volksraad) tahun 1931 untuk menyindir Pemerintah
Hindia Belanda dan anggota Volksraad yang berasal dari Jawa yang membangun
Indonesia hanya terkonsentrasi di Jawa dan mengabaikan pulau-pulau besar
lainnya. Protes Mangaradja Soangkoepon muncul seiring dengan semakin seringnya
istilah ‘orang seberang’ untuk memperkuat eksklusivitas mainstream pembangunan
berada di Jawa, dan luar Jawa sebagai pelengkap. Fakta bahwa kota-kota besar di
Sumatra seperti Medan, Padang dan Sibolga adalah muara ekspor utama ke Eropa.
Namun kenyataannya hanya prinsip ‘trickle-down effect’ yang dilestarikan: Luar
Jawa hanya kebagian jika di Jawa sudah meluber.
Setelah protes Jawa vs Luar Jawa (Buiten) mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah, dan setelah kepulangan tujuh revolusioner Indonesia yang dipimpin Parada Harahap dari Jepang pada tangga 14 Januari 1933 (dan pada hari yang sama Ir Soekarno diberangkatkan ke pengasingan), gerakan untuk memperjuangkan bangsa Indonesia semakin deras. Boedi Oetomo yang selama ini kurang bersuara, dibubarkan dan kemudian melebur (fusi) dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang dipimpin Dr Soetomo dengan membentuk Partai Indonesia Raja (Parindra) Desember 1935. Partai berparlemen mengemuka.
Petisi Soetardjo dan Prawoto di Volksraad pada bulan
Maret 1935 diduga menjadi sebab orang-orang Boedi Oetomo memasuki dunia politik
praktis. Anggota Volksraad, Prawoto dan Soetardjo, mengajukan usulan kepada
Volksraad untuk menggunakan hak petisi Volksraad guna meminta Koningin en Staten-Generaal
untuk menghentikan intervensi pemerintah (Pemerintah Hindia Belanda) dalam
industri gula setelah April 1936, atau setidaknya tidak membatasi penjualan
gula, karena intervensi pemerintah akan sangat merugikan industri gula,
perdagangan, dan penduduk asli Jawa (lihat De Indische courant, 14-03-1935).
Perjuangan Indonesia mulai sahut menyahut. Mangaradja Soangkoepon berjuang di parlemen (Volksraad) dengan caranya sendiri, hingga Soetardjo dan Prawoto di Volksraad juga berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Semuanya memilii lawan yang sama: Pemerintah Hindia Belanda di tangan Gubernur Jenderal. Seiring dengan semakin meningkatnya eskalasi politik orang Indonesia, orang-orang Indo kembali menaikkan bendera Indo-centrisch. Meski demikian, orang-orang Indo masih tetap dengan caranya yang sangat hati-hati, tidak dalam konteks politik seperti tempo doeloe lagi (Indisch Bond), tetapi lebih ingin memperjuangkan Indo-centrisch hanya sebatas dalam konteks kebudayaan.
De Indische courant, 03-09-1938: ‘Sebagaimana telah
disebutkan, keputusan akan segera diambil, menugaskan Sekretaris Departemen
Pendidikan, Dr IJ Brugmans, untuk melakukan perjalanan studi ke Eropa
sehubungan dengan rencana pendirian fakultas sastra di Batavia. Sehubungan
dengan hal ini, kami telah memperoleh informasi dari departemen mengenai niat
mengenai organisasi dan ukuran fakultas ini. Diketahui bahwa Partai Nasionalis
(di Volksraad) sendiri menerima dukungan yang cukup besar selama perdebatan
anggaran. Hanya kaum nasionalis Indo-Eropa (orang Indo) yang menginginkan
pemerintah berkomitmen untuk mendirikannya pada tahun 1940, sementara
pemerintah ingin tetap bebas, karena mereka ingin mempertimbangkan keadaan yang
berubah secara tak terduga. Pada prinsipnya, pendirian fakultas sastra sudah
pasti, dan keinginannya diakui secara umum, bahkan di kalangan pribumi.
Fakultas baru ini akan memiliki karakter yang berbeda dibandingkan fakultas
serupa di universitas-universitas Belanda. Struktur umum kurikulumnya, yang
mencakup dua kelompok: bahasa dan sejarah, dapat digambarkan sebagai " Indo-centrisch",
yaitu berfokus pada Hindia Belanda. Oleh karena itu, program studi ini terbatas
pada bahasa Indonesia, bersama dengan bahasa Sanskerta dan bahasa Arab,
sebagaimana diwajibkan untuk mempelajari bahasa-bahasa pribumi. Bahasa-bahasa
Eropa tidak akan diajarkan disana, tetapi bahasa Belanda akan diajarkan’.
Situasi dan kondisi politik internasional yang semakin meningkat eskalasinya, di dalam negeri (Hindia Belanda), pemilihan anggota dewan Volksraad periode 1939-1943 menjadi sangat ketat. Mengapa? Untuk jatah kursi bagi pribumi melalui pemilihan sebanyak 25 belum final dengan kekecualiaan di Sulawesi yang tidak dapat memenuhi prosedur sehingga harus ditunjuk (lihat De locomotief, 05-01-1939).
Berdasarkan klasifikasi menurut partai-partai, hasil
pemilihan anggota Volksraad pribumi sementara sebagai berikut: (1) PPBB (6
anggota): Soeria Karta Legawa dan Datoe Toemenggoeng (Jawa Barat), Prawoto
(Jawa Tengah), Soebardjo dan Harmani. (Jawa Timur), Madjolelo (Pantai Barat
Sumatra). (2) Nasionalis (termasuk Parindra) (7 anggota): Thamrin (Jawa
Tengah), Soeroso dan Wirjopranoto (Jawa Timur), Abdoel Firman Siregar gelar
Mengaradja Soangkoepon (Sumatra Timur), Dr Abdoel Rasjid Siregar (Sumatra
Utara), Ir. Mohamad Noor (Borneo), Mochtar (Sumatra Selatan). (3) Pasoendan (1
anggota): Iskandar Dinata (Jawa Barat). (4) VAIB (1 anggota): Drs.
Kartowisastro, (Jawa Tengah); (5) PEB (1 anggota): Mapoedji (Sulawesi Selatan);
(6) Sarekat Ambon (1 anggota): Latuharhary (Maluku); (7) Persatoean Minahasa (1
anggota): Singal (Sulawesi Utara); (8) Non Partai (2 anggota): Hoedojo
(Vorstenlanden), Mogot (Silawesi Utara). Sebanyak 20 Pribumi (14 diantaranya
incumbent). Dari para anggota terpilih yang menjabat pada tahun 1939, pembagian
menurut keyakinan politik selanjutnya adalah: 4 atau 5 aliran ektrim kanan, 15
atau 16 kanan, 10 aliran kiri dan 8 ekstrim kiri, sehingga hampir sama dengan
hasil pemilihan tahun 1935. Catatan: anggota terpilih terlama dan senior adalah
Soeroso dan Abdoel Firman Siregar gelar Mengaradja Soangkoepon, kedunya selalu terpilih
dari tahun 1927.
Dari partai-partai yang memiliki anggota di Volksraad yang terpenting adalah Partai Nasionalis. Partai yang akan menentukan arah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Partai inilah yang kemudian di Volksraad menjadi gerbong utama pembentukan Fraksi Nasionalis. Sementara itu, partai-partai nasional telah bergabung dengan nama Gabungan Partai Indonesia (GAPI) pada tanggal 19 Maret 1939 dengan tujuan menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan, demokratisasi pemerintahan dan mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan. Organisasi ini terdiri dari beberapa partai politik Indonesia yaitu; Gerindo, Perindra, Partai Pasoendan, Persatoean Minahasa, PSII dan Persatoean Partai Katolik. Organisasi suksesi PPPKI ini dipimpin tokoh besar partai politik Indonesia Mohamad Hoesni Thamrin, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
20-03-1939: ‘Pertja Selatan mendata anggota pribumi terpilih untuk masa jabatan
parlemen yang akan datang dan memeringkat mereka menurut keyakinan politik
mereka. Fraksi Nasioanlis, menurut majalah tersebut, kemungkinan besar akan
dibentuk Moh. Jamin, Tadjoedin Noor, MH Thamrin, Oto Iskandar Dinata, RP
Soeroso, Soekarjo Wirjopranoto, Mochtar Praboe Mangkoenegara, Maharaja
Soangkoepon and Dr Abdoel Rasjid. Bukan tidak mungkin fraksi tersebut mendapat
bala bantuan dari Noord Celebes, Maluku dan anggota yang ditunjuk (Sulawesi
Selatan). Ini memberi majalah itu kepuasan. Jika semua bergabung dengan Fraksi
Nasionalis, maka akan terdiri dari sayap kiri dan sayap kanan yang
masing-masing dipimpin oleh Jamin dan Thamrin. Sebagai fitur khusus, majalah
itu juga menyebut kedatangan dua jurnalis Indonesia, diduga Tadjoedin Noor
condong ke Gerindo. Gerakan nasional-demokrasi memiliki dua pengacara Indonesia
sebagai advokat. Jamin diharapkan mampu "mengebom" sistem dengan efek
yang lebih besar dibanding periode-periode sebelumnya’.
Sejak lahirnya Gabungan Politik Indonesia (GAPI), perjuangan partai-partai politik di Indonesia telah terdefinisi dengan jelas. Aksi dipusatkan dan kekuatan-kekuatan disatukan untuk mencapai "Indonesia Berparlemen." Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan lagi kebangkitan, melainkan Indonesia yang "bergembira". Seruan Gapi untuk aksi "Indonesia Berparlemen" telah diterima di mana-mana dengan dukungan dan antusiasme. Orang-orang yang sebelumnya hanya mengamati gerakan politik dari jauh telah memperkuat barisannya dengan bergabung dalam komite-komite yang telah dibentuk atau dengan bekerja sama dalam mempromosikan gagasan parlemen (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1940, No. 13, 30-03-1940).
Sebuah arus baru telah muncul dalam sejarah partai-partai politik; pencarian parlemen Indonesia telah memicu perjuangan rakyat secara umum. Arus baru ini telah mengharuskan peninjauan kembali struktur ekonomi, sosial, dan politik; Gerakan ini telah memobilisasi kekuatan-kekuatan yang selama ini terpendam dan akan membawa reformasi di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Namun demikian, tugas partai politik belum selesai; Massa masih membutuhkan informasi lebih lanjut, sehingga Gapi memutuskan untuk melanjutkan aksi. Oleh karena itu, propagandis Parindra, Soekardjo Wirjopranoto, bermaksud untuk mengunjungi seluruh cabang di Jawa Timur untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang aksi tersebut dalam pertemuan-pertemuan tertutup maupun terbuka.
Sementara itu mengutip
surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja tertanggal 21 Maret memuat pengumuman
bahwa, atas prakarsa asosiasi Insulinde di Semarang, sebuah badan federal untuk
kelompok orang Indo akan dibentuk. Sementara itu, aliansi awal telah dibentuk
antara Insulinde (Teeuwen), Persatoean Tionghoa Indonesia (Bapak Ko Kwat
Tiong), dan Persatoean India-Poetera Indonesia (Kawadja Hasan). Lebih lanjut,
dapat diumumkan bahwa badan ini akan mengupayakan pembentukan Kewarganegaraan
Indo-Belanda (Indisch Burgerschap); untuk saat ini, belum jelas apakah tujuannya
adalah untuk memberikan hak yang sama kepada orang Indo seperti orang
Indonesia. Lebih lanjut, perlu dicatat bahwa badan baru ini akan mendukung
kampanye GAPI dan Kongres Rakyat Indonesia (MRI) untuk "Indonesia
Berparlemen".
Pada kongres IEV terakhir, yang diadakan di
Semarang, dinyatakan, antara lain, bahwa tujuan dan kebijakan asosiasi tetap
tidak berubah; bahwa IEV memperjuangkan perluasan hak-hak asasi, dan bahwa IEV,
terutama di masa-masa sulit ini, dengan setia mendukung pemerintah. Melihat hal
ini, mengutip Pewarta Oemoem mencatat pada tanggal 26 Maret bahwa jika tujuan
dan kebijakan IEV tidak memengaruhi kepentingan Indonesia, rakyat Indonesia
tidak akan peduli dengan IEV. Namun, pada kenyataannya, kepentingan IEV
berkaitan erat dengan kepentingan rakyat Indonesia, sehingga wajar jika mereka
harus memperhatikan posisi orang Indo secara umum, karena mereka akan selalu
hidup berdampingan dengan orang Indonesia di berbagai wilayah. Bahwa tujuan dan
kebijakan IEV bertentangan dengan penduduk Indonesia tidaklah mengherankan,
karena asosiasi yang dimaksud mendasarkan diri pada kewarganegaraan Eropa,
sementara orang Eropa di negara ini, menurut penulis, dalam segala hal tidak
setara dengan orang Indonesia. Hal ini akan menjadi berbeda jika perbedaan
tersebut berkaitan dengan warna kulit, gaya hidup, atau hal-hal lain, yang
memang tidak dapat disamakan, tetapi terdapat perbedaan yang didefinisikan
secara hukum, yaitu bahwa kedudukan orang Eropa lebih tinggi daripada orang
Indonesia. Itulah sebabnya IEV mengambil kewarganegaraan Eropa sebagai dasar,
karena meskipun menginginkan hak-hak dasar penduduk asli, mereka tetap ingin
mempertahankan kewarganegaraan Eropa. Untungnya, tidak semua orang Indo-Eropa
sependapat dengan IEV. Akhir-akhir ini, terdapat dorongan yang nyata untuk
pembentukan kewarganegaraan Indo-Eropa; berbagai kelompok Indo telah mengambil
langkah-langkah untuk mencapai tujuan ini. Gerakan Indonesia juga telah
mencurahkan perhatiannya pada masalah Indo, tetapi posisinya berbeda dengan
orang Indo. Lebih lanjut, belum ada konsensus yang dicapai mengenai hal ini.
Terlebih lagi, organisasi-organisasi Indonesia tidak pernah membahas masalah ini
secara bersama-sama. Juga tidak ada konsultasi mengenai hal ini antara asosiasi
Indonesia dan Indo. Penulis menegaskan kembali bahwa seharusnya hanya ada satu
bangsa di berbagai wilayah di negara ini. Nama bukanlah hal terpenting, tetapi
jika menyangkut penduduk "Indonesia", masuk akal untuk menyebut
mereka "orang Indonesia". Maksud penulis adalah bahwa orang Indo harus
melebur ke dalam bangsa Indonesia, sehingga mulai sekarang, Indonesia hanya
akan memiliki dua jenis penduduk: orang-orang yang telah menjadi bangsa
Indonesia, dan orang asing dari berbagai ras. Untuk mencapai tujuan ini, perlu
diadakan pertemuan khusus semua kelompok Indo.
Orang Indo mengalami dilemanya sendiri. Orang Indo tidak tidak berani melepakan statusnya sebagai orang Eropa, sebaliknya orang Indonesia hanya membedakan dua kategori: orang Indonesia dan orang asing (apapun rasnya). Apakah ini kemudian tanda-tanda berakhirnya Indo-centrisch? Lalu kemudian yang tersisa hanya Nederland-centrisch versus Indonesia-centrisch?
De Sumatra post, 28-03-1940: ‘Kongres Pasoendan Ulang
Tahun ke-25 di Bandung Seluruh tokoh di balik GAPI. Indonesia-centrisch. Pada
hari Minggu, 24 Maret, sebuah pertemuan umum diadakan di gedung
"Varia" di Aloon-Aloon, Bandung. Gatot Mangkoepradja, ketua cabang
Tjiandjoer dari Pasoendan, berbicara. Ia menunjukkan bahwa ada banyak
kesalahpahaman tentang asosiasi tersebut. Misalnya, diyakini bahwa karena
dianggap netral dalam hal agama, ia ingin menjauhkan diri dari Islam. Ini
adalah kesalahpahaman: Pasoendan mengakui dan menjunjung tinggi doktrin-doktrin
Islam. Oleh karena itu, jika seseorang mengatakan netral secara agama, itu
hanya berarti bahwa ia menghormati semua agama dan akan membiarkan mereka tidak
diganggu. Lebih lanjut, pembicara mencatat bahwa Pasoendan sama sekali tidak
menolak kerja sama; bahkan secara prinsip. Dalam kata akhir Gatot menyatakan,
tidak benar bahwa Pasoendan akan mengambil posisi yang sangat provinsialis;
Sebenarnya, orientasinya sangat positif dan nasionalis. Pembicara terakhir
adalah Abikoesno, anggota sekretariat GAPI. Beliau disambut dengan tepuk tangan
dan sambutan khusus dari ketua. Setelah ketua menolak, ketua menyatakan bahwa,
seperti yang mungkin telah didengar dengan benar, Pasoendan tidak berorientasi
ke daerah. Hal ini, kebetulan, bertentangan dengan kesalahan yang ada. Dan
ketua tahu bahwa Pasoendan sangat menyadari kepentingan umum dan oleh karena
itu dengan sepenuh hati mendukung kampanye untuk Parlemen yang utuh. Itu baik
dan itu benar. Ketika seseorang memperjuangkan hal ini dengan suara bulat dan
penuh semangat, maka seseorang pasti akan mendapatkan Parlemen yang utuh.
Namun, seseorang tidak bisa hanya duduk diam. Kita harus mengikuti contoh
Amerika, yang diberi semboyan "eksperimen gigih" oleh Presiden
Roosevelt. Di sini pun, orang tidak bisa hanya menunggu dengan malas segala
sesuatunya datang. Ketua Volksraad telah berbicara tentang "tatanan
baru." Tetapi kapankah itu akan tiba? Menteri Welter ingin mempertahankan
tatanan lama. Di sisi lain, di Vaderlandsche Club, ada juga pembicaraan tentang
"tatanan baru" dan "kebijakan Indo-centrisch". Namun, GAPI
ingin menjadi "Indonesia-centrisch” (tepuk tangan meriah). Ada
keputusasaan di antara rakyat: mereka tidak tahu jalan keluar dari kesusahan
mereka. Sekarang rakyat seperti orang yang diberi obat tidur. Dan ketika
seseorang telah menggunakan obat tidur tersebut, bangun terkadang tidak terlalu
sulit. Lebih menyenangkan dan lebih mudah untuk terus tertidur. Tetapi ajakan bangun,
dan itu hanya dapat dilakukan melalui parlemen yang lengkap. Dalam 50 tahun, Jepang yang sama telah
berkembang menjadi bangsa peringkat pertama. Dan Turki, yang pernah disebut
"orang sakit di Bosporus", Turki yang sama kini menjadi negara kuat
yang berada di persimpangan politik internasional. Itulah sebabnya GAPI
melanjutkan aksinya. Saat ini terdapat 130 komite yang tersebar di seluruh
nusantara. Lebih banyak lagi akan dibentuk dalam waktu sesingkat mungkin. Dalam
enam bulan, jumlahnya akan mencapai beberapa ribu. Itulah jawabannya (tepuk
tangan meriah). Ketua kemudian menyampaikan sambutan penutup. Ia berterima
kasih kepada para juru bicara, terutama Bapak Abikoesno, dan pihak-pihak
terkait. Pembicara mendorong para hadirin untuk menjalani hidup dengan pikiran
terbuka dan bergabung dengan organisasi-organisasi nasional. Ia meminta mereka
untuk berdiri dan menyatakan persetujuan mereka terhadap tujuan yang ditetapkan
oleh para pembicara. Undangan ini disambut tepuk tangan meriah. Rapat kemudian
ditutup’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah di Indonesia vs Sejarah di Daerah: Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Indonesia di Daerah
Dalam penulisan Sejarah Indonesia yang sekarang, selain soal Indonesiasentris, yang kerap mengemuka adalah soal siapa yang berhak menulis sejarah, terutama Sejarah Nasional dan soal dikotomi antara Sejarah Nasional di satu sisi dan Sejarah Daerah di sisi lainnya. Namun yang menjadi penting diperhatikan dalam hal ini dalam konteks perjalanan sejarah Indonesia di atas adalah tentang tiga terminologi “Indonesiasentris”, “sejarah nasional” dan “sejarah daerah”.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1952: ‘Dalam rangka Kerjasama Budaya
Indonesia, pagi ini,
Dr C Van de Wijscring Vam atas nama Yayasan
Kerjasama Budaya telah
menyerahkan sebuah
perpustakaan untuk sejarah sosial politik kepada Menteri Pendidikan.
Perpustakaan, yang terletak di Djalan Merdeka
Selatan, itu mencakup berbagai 15.000 buku,
yang telah dipilih dan dikumpulkan oleh Mr Arthur Lehning di Amsterdam, yang juga turut hadir dalam penyerahan tersebut. Lehning sendiri tidak berafiliasi dengan Yayasan
Kerja Sama Budaya, tetapi telah menjadi pekerja sejak 1935 di International Instituut di Amsterdam, telah menerima
tugas untuk mendirikan perpustakaan ini, setelah percakapan dengan Drs Mohamad Hatta selama konferensi RTC di
Den Haag. Lehning dulunya bekerja dengan Drs Mohamad Hatta di liga Eropa melawan penindasan kolonial.
Ketika rencana tersebut adalah untuk menyusun perpustakaan, Yayasan Kerjasama
Budaya menawarkan untuk membiayai tujuan itu, tanpa
yayasan memiliki pengaruh pada komposisi dan pilihan buku-buku yang diserahkan tersebut. Historiografi perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri belum dilakukan, tetapi di
perpustakaan ini yang
meliputi materi mulai tahun 30an sepenuhnya terdapat dalam paket tersebut. Perpustakaan yang didirikan sebanyak mungkin dengan materi Indonesia-centrisch. Literatur tentang Indonesia sendiri juga mencakup
sejumlah besar dokumen dan majalah, di mana artikel dari berbagai pemimpin Indonesia dalam perjuangan untuk kemerdekaan. Selain itu, ada banyak karya
umum, ensiklopedi, manual, biografi, bibliografi dan sejenisnya untuk siswa maupun untuk para penulis. Sejarah kontemporer juga
memiliki tempat besar di barisan rak buku. Namun sejauh ini masalah manajemen perpustakaan muncul, karena Indonesia belum memiliki
banyak pustakawan yang baik. Dalam masa mendatang, beberapa orang Indonesia
yang telah dilatih oleh yayasan di Belanda dalam sistem perpustakaan akan
kembali ke negara mereka, sehingga kekurangan
yang dirasakan di semua perpustakaan Indonesia akan terpenuhi’.
Terminologi Indonesiasentris sejak masih era Pemerintah Hindia telah mengerucut di Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik juga dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya sastra dan sejarah. Hanya saja yang belum dilakukan penulisan historiografi perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri. Lalu mengapa penulisan historiografi tersebut penting? Namun penulisan historiografi belum dimulai, sudah muncul persoalan yang mengarah pada Java-sentris, bahkan Djakarta-sentris (lihat Indonesische documentatie dienst van ANP-Aneta, 1952, No. 37, 27-10-1952). Disebutkan Gubernur Midden-Sumatra, Ruslan Muljohardjo menggambarkan terlalu sedikit minat pemerintah (pusat) di Midden Sumatra. Menurut Gubernur, pemerintah (pusat) tidak hanya “Java-sentris”, tetapi bahkan “Djakarta-sentris”, mengutip laporan tiga anggota dewan Bandungse Kabupatenraad, yang baru-baru ini berkunjung ke Sumatra.
Laporan dari Midden Sumatra ini (sebagai representasi wilayah-wilayah di luar
Djawa, seakan mengingatkan kembali bagaimana Mangaradja Soangkoepon pada tahun
1931 memprotes pembangunan yang Jawa-sentris dan Soetardjo pada tahun 1935 yang
memprotes Nederland-sentris di parlemen (Volksraad). Protes-protes tersebut telah
membuka jalan dengan terbentuknya Indonesia-sentris di semua wilayah dan di
semua lapisan orang Indonesia (sebagai wujud perlawanan terhadap Nederland-sentris).
Lantas apakah “Java-sentris” atau “Djakarta-sentris” pertanda mulai adanya kemunduran dalam Indonesia-sentris? Satu yang jelas, orang-orang Belanda sendiri bahkan turut mendorong agar tetap terjaga Indonesia-sentris baik dalam bidang politik dan bidang kebudayaan. Kritik-kritik dari orang Indonesia sendiri mulai bermunculan.
Indonesische documentatie dienst van ANP-Aneta, 1953, No. 35, 31-08-1953: ‘Istilah
"federalisme", "federal" dan sejenisnya telah menerima
persimpangan yang tidak menyenangkan oleh pembangunan historis di negara kita,
karena istilah dan konsep -konsep ini di masa lalu digunakan oleh Belanda
sebagai penyeimbang terhadap gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Republik
Indonesia. Ekspresi ini sering dibawa ke Verband dengan konsep pro-Belanda dan
anti-kemerdekaan…lalu kini terlalu banyak perhatian dan makna pada Djakarta,
sehingga banyak yang bahkan tidak lagi berbicara tentang "Javaisme ", tetapi "Djakartaisme", dan bukan tentang
"Java-sentris" tetapi tentang “Djakarta-sentris". Mengingat
sejarah kemunculan gerakan federalis atau "daerah", gerakan ini
seharusnya tidak hanya diberi label "provinsialis", demikian argumen yang
diberikan. Kemungkinan dan bahaya memang ada bahwa gerakan ini akan berkembang
menjadi gerakan provinsialis jika pemerintah pusat terus memusatkan
perhatiannya pada Djakarta dan gagal mempertimbangkan kepentingan dan keinginan
daerah, misalnya dengan merekrut terlalu banyak staf daerah untuk kementerian,
menghabiskan terlalu banyak pendapatan negara untuk pemerintah pusat, dan
membatasi hak dan wewenang yang seharusnya dapat dilimpahkan kepada daerah,
dll. Jika pemerintah (pusat) bersedia mempertimbangkan situasi ini, kami yakin
para pendukung gerakan federalis, yang mungkin didorong oleh provinsialisme
yang sempit, akan memiliki pengaruh yang kecil’.
Lalu bagaimana dalam konteks penulisan Sejarah Indonesia yang sekarang yang mengusung tema Indonesiasentris terkesan di dalam diskusi publik di empat kota yang disebut di atas seakan ingin melembagagan terminologi “sejarah nasional” di satu sisi dan “sejarah daerah” di sisi lain. Fakta bahwa dalam perjalanan Sejarah Indonesia yang ada adalah sejarah nasional Indonesia dan sejarah Indonesia di wilayah (daerah).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar