Selasa, 27 Juli 2021

Sejarah Kota Ambon (13): Bahasa-Bahasa di Provinsi Maluku dan Sebaran; Mengapa Banyak Bahasa Punah di Provinsi Maluku?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Ambon dalam blog ini Klik Disini

Bahasa nusantara adalah bahasa-bahasa asli yang ada di berbagai pulau. Kepulauan Maluku, dalam hal ini provinsi Maluku terdapat banyak bahasa asli. Bahasa-bahasa asli terbentuk di zaman kuno. Bahasa sendiri adalah warisan, suatu kekayaan nusantara yang perlu dilestarikan. Namun kini banyak diantara bahasa-bahasa di provinsi Maluku yang sudah punah dan yang terancam punah. Lantas mengapa bahasa punah?

Selama ini tercatat sebanyak 726 bahasa daerah di Indonesia. Sebanyak 48 bahasa terdapat di provinsi Maluku. Hingga saat ini ada 14 bahasa yang telah punah di Indonesia dan satu bahasa lagi nyaris punah karena penggunanya tinggal satu orang. Sebanyak tujuh bahasa di provinsi Maluku yakni Kayeli, Palumata, Moksela, Hukumina (kabupaten Buru), bahasa Piru (kabupaten Seram Bagian Barat), Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela, dan Nila (kabupaten Maluku Tengah). Disebutkan bahasa yang terancam punah terdapat di Kabupaten Buru sebanyak dua bahasa, kabupaten Maluku Tenggara (satu bahasa), kabupaten Seram Bagian Barat (satu bahasa) dan kabupaten Seram Bagian Timur (enam bahasa). Selain di provinsin Maluku, ada dua bahasa punah di Maluku Utara (Ternateno dan Ibu) dan dua bahasa di Papua, (Saponi dan Mapia). Hingga saat ini di Indonesia hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta jiwa yakni Aceh, Batak, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Makassar, Bugis dan Melayu.

Lantas bagaimana sejarah bahasa-bahasa asli di provinsi Maluku? Seperti disebut di atas bahasa yang punah di Indonesia paling banyak di provinsi Maluku. Lalu bagaimana bahasa-bahasa asli di provinsi Maluku punah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 26 Juli 2021

Sejarah Kota Ambon (12): Kerajaan Muar dan Kerajaan Saparua; Peradaban Awal di Maluku, Pulau Halmahera hingga Pulau Aru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Ambon dalam blog ini Klik Disini

Sejarah zaman kuno kerap bersifat misteri. Itu semua karena minimnya data yang ada. Semakin tua semakin sulit menemukan data. Sumber data Maluku baru terkoleksi sejak era Po\rtugis. Meski demikian ada beberapa sumber data yang berasal dari zaman kuno yang masih eksis seperti prasasti dan candi. Namun sayang, sejauh ini belum ditemukan prasasti atau bentuk-bentuk peradaban zaman kuno. Satu-satunya sumber tertulis dari zaman kuno mengenai (kepulauan) Maluku hanya teks Negarakertagama 1365 M. Di dalam teks tersebut beberapa nama disebut seperti Ceram dan Muar.

Maluku adalah kepulauan yang terdiri banyak pulau-pulau mulai dari utara pulau Halmahera hingg selatan di pulau Aru. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa penduduk Maluku sangat beragam. Meski demikian ada satu ciri yang memiliki kemiripan satu sama lain yakni bentuk pemerintahan tradisional. Dalam hal ini penduduk Maluku hidup berkelompok sesuai dengan garis keturunan ayah dan kekerabatan. Kelompok-kelompok ini menjadi satuan politik membentuk semacam republik desa aristokrasi yang kini ada dalam bentuk negeri. Di Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, kelompok masyarakat berdasarkan kekerabatan membentuk matarumah/ub yang kini menjadi fam di pedalaman atau pegunungan. Beberapa matarumah ini membentuk sebuah kampung kecil atau soa/rahanjam yang akan menyatu dengan soa lainnya membentuk hena atau aman (kini disebut sebagai negeri lama/ohoiratun). Negeri-negeri lama ini membentuk uli atau persekutuan negeri. Di Maluku Utara yang menerapkan bentuk kerajaan, terdapat dua uli, yaitu Uli Lima di bawah Ternate dan Uli Siwa di bawah Tidore. Sementara itu, di Maluku Tengah, uli disebut sebagai pata; terdiri dari Pata Lima yang terdiri dari lima negeri dan Pata Siwa yang terdiri dari sembilan negeri. Di Maluku Tenggara, keduanya disebut berturut-turut sebagai Lor Lim dan Ur Siu. Meskipun Uli Lima dan Uli Siwa berasal dari Maluku Utara, pengaruhnya meluas hingga Maluku, misalnya Kerajaan Huamual yang meliputi Seram Barat dan Buru termasuk dalam Uli Lima. Selain di Maluku Utara, di Maluku Tengah pernah terdapat beberapa kerajaan kecil seperti Tanah Hitu dan Iha.  

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di di Kepulauan Maluku? Seperti disebut di atas sumber sejarah zaman kuno sangatlah minim. Meski demikian sistem pmerintahan yang berhasil didokumentasi sejak era Portugis diduga sebagai warisan zaman kuno. Dalam hal ini upaya penggalian sejarah zaman kuno masih diperlukan, karena sejarah zaman kuno adalah pendahulu sejarah berikutnya (era Portugis). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 25 Juli 2021

Sejarah Kupang (40): Prasasti Zaman Kuno Manggarai; Navigasi Pelayaran Pedagangan Manila, Minahasa, Toraja dan Manggarai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Sejarah zaman kuno selalu menarik. Hal ini karena data yang tersedia sangan minim sehingga cenderung menyimpan misteri yang harus dapat dipahami. Sejarah zaman kuno sendiri adalah bagian awal dari sejarah peradaban. Oleh karenanya upaya untuk menjelaskannya terus dilakukan oleh para ahli agar kotak pandora dapat dipecahkan dan memberi jalan untuk menarasikan perjalanan (periode) sejarah secara lengkap, sejak awal hingga akhir. Sejarah zaman kuno di Manggarai Barat adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah zaman kuno di Nusa Tenggara Timur dalam sejarah zaman kuno Nusantara.

Sesungguhnya sejarah zaman kuno antara satu pulau dan pulau lainnya di nusantara terhubung satu sama lain melalui navigasi pelayaran perdagangan dengan aksara (Pallawa-Batak-Jawa) dan bahasa lingua franca (Sanskerta-Melayu). Navigasi pelayaran perrdagangan itu dimulai dari barat (pantai timur Sumatra) ke arah timur melalui dua jalur yakni jalur utara dan jalur selatan: Jalur utara di atas khatulistiwa melalui  Laut China Selatan, pantai utara Kalimantan, pulau-pulau di Filipina, Maluku dan Sulawesi terus ke Nusa Tenggara. Jalur selatan di bawah khatulistiwa melalui pantai timur Sumatra bagian selatam terus ke pantai utara Jawa terus ke Nusa Tenggara. Dalam konteks inilah sejarah berlanjut hingga era Majapahit (berdasarkan teks Negarakertagama, 1365 M). Prakondisi navigasi pelayaran perdagangan Majapahit, sudah lebih dahulu terbentuk jalur navigasi pelayaran perdagangan yang lebih tua melalui utara hingga mencapai selatan nusantara: Garis sejarah zaman kuno ini dapat diperhatikan pada prasasti Laguna, Manila (900 M), prasasti Minahasa (Watu Rerumeran), prasasti Seko Toraja dan prasasti-prasasti di pulau Manggarai (Flores).

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di (provinsi) Nusa Tenggara Timur? Pada artikel-artikel sebelum ini telah diuraikan sejarah zaman kuno di timur pulau Flores. Pada artikel ini secara khusus mendeskripsikan sejarah zaman kuno di bagian barat pulau (Manggarai), Dengan demikian diharapkan akan terungkap secara keseluruhan sejarah zaman kuno di Nusa Tenggara. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 24 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (93): Promosi dan Degradasi Bahasa di Nusantara; Berapa Banyak Bahasa Penduduk Asli Telah Punah

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini

Bahasa di Nusantara adalah bahasa-bahasa asli seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak, bukan bahasa Sanskerta atau bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa lingua franca adalah bahasa yang digunakan di berbagai tempat, seperti halnya bahasa Latin tempo doeloe di Eropa dan bahasa Inggris zaman Now. Bahasa asli (bahasa daerah) adalah satu hal, sedangkan bahasa lingua franca adalah hal lain lagi. Namun keduanya terkait karena penutur bahasa asli juga bersifat bilingual (dwi bahasa), ibarat masa kini banyak orang Indonesia selain berbahasa daerah (bahasa asli) juga bisa berbahasa Indonesia (lingua franca).

Promosi dan degradasi bahasa adalah satu hal juga. Sedangkan transforrmasi (pembentukan) bahasa adalah hal lain lagi. Lingua franca awal di Nusantara adalah bahasa Sanskerta. Dalam perkembangannya, bahasa Sanskerta ini berineteraksi dengan berbagai adli di nusantara sehing terjadi proses transformasi bahasa yang kemudian diidentifikasi sebagai bahasa Melayu. Jadi dalam hal ini lingua franca begeser dari bahasa Sanskerta menjadi bahasa Melayu (demikian pula pada gilirannya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia). Bahasa Sanskerta dalam hal ini bukan terdegradasi (punah). Promosi bahasa di nusantara adalah promosi diantara berbagai bahasa asli (daerah) dan juga promosi bahasa Indonesia (dalam hal ini di Indonesia bahasa Melayu sudah diposisikan sebagai bahasa daerah). Promosi ini diindikasikan peningkatnan dalam jumlah penutus bahasa. Sebaliknya penutur bahasa daerah (abahasa asli) yang terus menurun bahkan hingga nol (punah) dianggap telah mengalami degradasi.

Lantas bagaimana sejarah promosi dan degradasi bahasa-bahasa di Nusantara? Seperti disebut di atas, lingua franca adalah satu hal dan bahasa asli (bahasa daerah) adalah hal lain lagi. Meski demikian antara lingau franca (Sanskerta, Melayu dan Indonesia) tidak terpisahkan dari bahasa-bahasa asli. Selain banyak penutur bahasa asli bersifat lingual, ada juga bahasa asli telah digantikan oleh bahasa lingua franca atau bahasa asli yang lain yang lebih dominan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 23 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (92): Mengapa Kebudayaan Dongson? Kebudayaan Jawa dan Batak, Homosapiens hingga Era DNA

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Dalam berbagai tulisan, narasi sejarah awal di Indonesia pada zaman kuno kerap dikaitkan dengan (kebudayaan) Dongson. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana cara menarik relasi kebudayaan Dongson (Vietnam) menyebar ke pulau-pulai di Hindia Timur (baca: Indonesia) seperti Sumatra dan Jawa. Okelah, itu satu hal. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana dengan eksistensi kebudayaan di Indonesia seperti kebudayaan Batak dan kebudayaan Jawa. Lalu setelah itu baru direlasikan apakah ada relasinya dengan kebudayaan Dongson

Sebuah tulisan di detikTravel berjudl ‘Mengapa Budaya Batak dan Toraja Hampir Sama?’ yang ditulis oleh Ivonesuryani (Sabtu, 27 Jan 2018 10:53 WIB). Berikut isinya: Sang penulis bertanya ‘pernahkah traveler memperhatikan bahwa ada kemiripan budaya antara suku Toraja dan suku Batak? Jawaban ditemui di TB Silalahi Center, Balige. Pada bentuk tongkonan di Toraja dan rumah bolon di Batak, tarian tortor dan rambu solo, serta penyebutan marga yang mirip, misalnya marga Aritonang, Tobing, Pakpahan dan Pardede pada suku Batak, pada suku Toraja ada marga Aitonam, Toding, Pahan dan Pirade. Saya mengunjungi Museum Batak di dalam Komplek TB Silalahi Center, saya melihat sebuah miniatur tongkonan (rumah adat Toraja) dan rasa penasaran muncul, mengapa ada tongkonan di Museum Batak? Dalam, miniatur tongkonan tersebut ada tulisan menjelaskan bahwa budaya Batak dan Toraja mirip dengan kebudayaan Dongson. Para ahli sejarah berpendapat yang mengembangkan kebudayaan Dongson adalah bangsa Austronesia di kawasan Vietnam (terletak di sepanjang aliran sungai Merah berbatasan langsung Yunan, Cina Selatan). Lalu bangsa Austronesia ada menetap di Filipina dan lainnya di Indonesia bagian barat. Pendatang gelombang pertama disebut Proto Melayu (Melayu Tua) yang berkembang menjadi suku Batak, Toraja, Nias, Mentawai dan Dayak. Dulu saya pikir kesamaan budaya suku Toraja di Sulawesi Selatan dan suku Batak di Sumatera Utara hanya karena sinkronisasi dan akulturasi budaya semata, tapi ternyata kedua suku tersebut memang memiliki garis keturunan yang sama’. Itulah apa yang diketahui penulis dan lalu menyimpulkannya sendiri.

Lantas mengapa kebudayaan Dongson? Seperti disebut di atas, antara budaya Batak dan budaya Toraja disimpulkan relasinya budaya Dongson. Lalu mengapa tidak kebudayaan Jawa? Dalam berbagai tulisan juga disebut Jawa juga memiliki relasi dengan Dongson. Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa (harus) kebudayaan Dongson? Bukankah ada kebudayaan Jawa? Lalu apakah kebudayaan Jawa kebudayaan baru, padahal manusia Jawa (homosaspiens) sudah ada sejak zaman purba? Lalu bagaimana dengan kebudayaan India? Bagaimana semua itu harus dimengerti? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe