Minggu, 25 Juli 2021

Sejarah Kupang (40): Prasasti Zaman Kuno Manggarai; Navigasi Pelayaran Pedagangan Manila, Minahasa, Toraja dan Manggarai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Sejarah zaman kuno selalu menarik. Hal ini karena data yang tersedia sangan minim sehingga cenderung menyimpan misteri yang harus dapat dipahami. Sejarah zaman kuno sendiri adalah bagian awal dari sejarah peradaban. Oleh karenanya upaya untuk menjelaskannya terus dilakukan oleh para ahli agar kotak pandora dapat dipecahkan dan memberi jalan untuk menarasikan perjalanan (periode) sejarah secara lengkap, sejak awal hingga akhir. Sejarah zaman kuno di Manggarai Barat adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah zaman kuno di Nusa Tenggara Timur dalam sejarah zaman kuno Nusantara.

Sesungguhnya sejarah zaman kuno antara satu pulau dan pulau lainnya di nusantara terhubung satu sama lain melalui navigasi pelayaran perdagangan dengan aksara (Pallawa-Batak-Jawa) dan bahasa lingua franca (Sanskerta-Melayu). Navigasi pelayaran perrdagangan itu dimulai dari barat (pantai timur Sumatra) ke arah timur melalui dua jalur yakni jalur utara dan jalur selatan: Jalur utara di atas khatulistiwa melalui  Laut China Selatan, pantai utara Kalimantan, pulau-pulau di Filipina, Maluku dan Sulawesi terus ke Nusa Tenggara. Jalur selatan di bawah khatulistiwa melalui pantai timur Sumatra bagian selatam terus ke pantai utara Jawa terus ke Nusa Tenggara. Dalam konteks inilah sejarah berlanjut hingga era Majapahit (berdasarkan teks Negarakertagama, 1365 M). Prakondisi navigasi pelayaran perdagangan Majapahit, sudah lebih dahulu terbentuk jalur navigasi pelayaran perdagangan yang lebih tua melalui utara hingga mencapai selatan nusantara: Garis sejarah zaman kuno ini dapat diperhatikan pada prasasti Laguna, Manila (900 M), prasasti Minahasa (Watu Rerumeran), prasasti Seko Toraja dan prasasti-prasasti di pulau Manggarai (Flores).

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di (provinsi) Nusa Tenggara Timur? Pada artikel-artikel sebelum ini telah diuraikan sejarah zaman kuno di timur pulau Flores. Pada artikel ini secara khusus mendeskripsikan sejarah zaman kuno di bagian barat pulau (Manggarai), Dengan demikian diharapkan akan terungkap secara keseluruhan sejarah zaman kuno di Nusa Tenggara. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Situs Tua  Zaman Kuno di Manggarai Barat

Ada beberapa situs kuno di pulau Sumbawa dan pulau Flores. Prasasti Wadu Tunti di Bima dan situs tua di bagian barat pulau Flores (Manggarrai Barat) dan situs tua bagian timur pulau Flores (Tanjung Bunga). Situs kuno Manggarai Barat ditemukan di pedalaman. Secara khusus situs-situs di Manggarai Barat tampaknya ada kemiripan dengan situs di Tanjung Bunga dan situs kuno di Seko (Toraja) serta situs kuno Watu Rerumeran di Minahasa. Situs Manggarai Barat sejarah ini ada enam situs yang sudah ditemukan.

Pertama, situs Sompang Runa. di kampung Runa, desa Sukakiong, kecamatan Kuwus, kabupaten Manggarai Barat, di situs batu compang, tempat mezbah yang berada di ujung kampung bertuliskan R-U-N-K-W; Kedua, situs Watu Mbolong, batu bulat, ada lima batu bulat adat Mbolong yang ada di compang di tengah Kampung Runa; Ketiga, Watu Cermeng, batu cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Batu cermin dengan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam satu batu besar. Bagian atas batu itu ada dua batu berbentuk cermin dan bagian bawahnya terdapat gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan; Keempat, gambar kaki laki-laki dan perempuan di batu dengan nama situs Rukuh Tadhu. Tak jauh dari batu berbentuk cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ada batu lain yang terdapat gambar kaki laki-laki dan perempuan dan juga ada gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan dan juga sebuah gambar rumah. Arah gambar kaki laki-laki dan perempuan itu, jari-jari kaki mengarah ke bagian barat dari Kampung Runa. Kelima, gambar peta diatas batu. Berdasarkan penuturan orang luar dari Kampung Runa menyebut bahwa gambar peta itu seperti peta Negara India; Keenam, Liang Segha Dewa, situs itu tempat persembunyian orang-orang Kampung Runa saat terjadi peperangan ribuan tahun lalu. Liang atau gua itu sangat dalam [Kompas.com 31-08-2019].

Situs Manggarai memiliki kemiripan dengan situs Minahasa yang mengindikasikan penggunaan lambang kesuburan (lingga dan yoni). Kemiripan lainnya adalah peta wilayah yang mengindikasikan teitori dan aksara. Sementaa situs Manggarai memiliki kemiripan dengan situs Seko, Toraja dalam hal jumlah batu yang mengindikasikan permusyawaratan para anggota federasi, telapak kaki dan bentuk atap rumah. Perlambangan batu (bulat) ini di Seko disebut daliang. Situs Manggarrai, situs Minahasa dan situs Seko Toraja sama-sama berada di wilayah pegunungan.

Dari aspek linguistik penduduk di wilayah situs Manggarai adalah penutur bahasa Manggarai, sedangkan penduduk di wilayah situs Watu Rerumeran adalah penutur bahasa Minahasa. Dalam kosa kata elementer (sapaan kekerabatan) terdapat kemiripan. Di Minahasa disebut ama, amang (ayah), ina, inang (ibu) dan empung (kakek atau leluhur). Di Manggarai ema (ayah), ende (ibu), ema (kakek), ende (nenek), amang (paman, saudara laki-laki ibunya), inang (bibi, saudara perempuan ayahnya), empo (sebutan kakek terhadap cucunya), Catatan: Sapaan kekerabatan ama (ayah) dan ina (ibu) ini cukup tersebar (mulai dari Tanah Batak hingga Maori) termasuk di Adonara, Flores dan Sumba. Di wilayah Padang Lawas ibu disebut inde, untuk bibi dari pihak laki-laki disebut inang boru dan suaminya disebut amang boru dan paman pihak perempuan disebut amang tulang dan istrinya disebut inang tulang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Navigasi Pelayaran Perdagangan Zaman Kuno: Manila, Minahasa, Toraja dan Manggarai

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar