Kamis, 14 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (712): Mindanao dan Orang Moro, Spanyol hingga Filipina; Mirip, Tidak Sama Timor Leste Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Orang Sulu di Filipina tampaknya sudah selesai masalahnya, Namun tetangga Sulu di Mindanao tampaknya masih jauh dari selesai. Mengapa begitu, itu satu soal. Yang menjadi soal dalam hal ini adalah bagaimana sejarah Mindanao dan Orang Moro. Ada kemiripan sejarah orang Timor Leste tetapi tidak serupa.


Mindanao adalah pulau terbesar kedua di Filipina dan salah satu dari tiga kelompok pulau utama bersama dengan Luzon dan Visayas. Mindanao, terletak di bagian selatan Filipina, adalah kawasan hunian bersejarah bagi mayoritas kaum Muslim dan suku Moro serta etnis lainnya seperti Marano, Tausug, Bugis, Toraja, Bajao dan Sangir. Peperangan untuk meraih kemerdekaan telah ditempuh oleh berbagai faksi Muslim selama lima abad melawan para penguasa. Pasukan Spanyol, Amerika, Jepang dan Filipina belum berhasil meredam tekad mereka yang ingin memisahkan diri dari Filipina yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Kini mayoritas populasi Mindanao beragama Katolik berkat banyaknya transmigrasi ke wilayah ini. Hal ini memicu kemarahan kaum Muslim Mindanao yang miskin dan tersisih seta gerakan separatis yang telah berjuang selama ratusan tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, Mindanao menjadi wilayah yang diperhatikan dengan cermat seiring dengan munculnya organisasi teroris Islamis yang berkaitan erat dengan konflik di Timur Tengah. Mindanao diyakini menjadi basis kelompok teroris Abu Sayyaf dan Jemaah Islamiyah yang kemunculannya mengurangi peran kelompok pejuang kemerdekaan yang lebih moderat dan nationalistis seperti Front Pembebasan Islam Moro.(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Mindanao dan Orang Moro di Filipina? Seperti disebut di atas, sejarah Mindanao dan Orang Moro sudah lama dan selama itu juga selalu terjadi permasalahan hingga hari (sejak era Spanyol hingga Filipina). Namun perlu disadari orang Moro di Mindanao ada kemiripasn dengan Timor Leste tetatpi tidak sama. Lalu bagaimana sejarah Mindanao dan Orang Moro di Filipina? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (711): Bahasa Melayu dan Sisa Kolonial Bahasa Inggris di Malaysia; Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sebenarnya tidak ada lagi hal yang dapat diperbandingkan antara apa yang seharusnya sterjadi di Indonesia dan di Malaysia mulai dari soal persatuan dan kesatuan, serta bahasa, budaya dan orientasi politik. Pada era kolonial dan seputar pasca kolonial banyak aspek yang dapat diperbandingkan. Namun kini sudah jauh perjalanan waktu. Dan akan banyak hal yang isu tempo doeloe tidak sama lagi dengan isu sekarang, termasuk soal isu bahasa.


Di Indonesia soal persatuan dan kesatuan bangsa sudah lama melembaga, sementara di Malaysia masih sibuk mempersoalkan isu persatuan dan kebangsaan. Di Malaysia orang masih sebuk dengan soal bahasa yakni kedudukan bahasa Melayu, sementara di Indonesia sudah sejak lama tuntas dalam soal bahasa Bahasa Indonesia. Anehnya saat di Malaysia heboh isu bahasa malah ingin bahasa Melayu menjadi bahasa ASEAN, sedangkan di Indonesia bahwa Bahasa Indonesia sudah lama mantap dan secara perlahan Bahasa Indonesia telah menginternasional. Hal itulah mengapa isu yang diperbandingkan tidak sama lama dibanding tenmpo doeloe. Di Indonesia orang Cina dan orang India berbahasa Indonesia, sementara ketika orang Cina di Malaysia berbahasa Mandarin dan orang Indis berbahasa Tamil diminta untuk berbahasa Melayu, tentulah tidak bisa. Karena jalan yang dipilih di Malaysia pada masa lalu adalah eksistensi bahasa Melayu dan bahasa Mandarin dan bahasa Tamil. Atas dasar itu, meski bahasa Melayu diajadikan sebagai bahasa resmi, tetapi secara alamiah untuk bahasa pengantar antar bangsa berbeda di Malaysia dilakukan dengan bahasa Inggris. Untuk sekadar menambahkan, karena orang India berbahasa Bahasa Indonesia di Medan, lalu apakah orang India di Kuala Lumpur harus berbahasa Melayu? Yang jelas orang India di Medan dan orang India di Kuala Lumpur tidak bisa diperbandingkan lagi, karena isunya sudah berbeda. Dan ketika ada guru besar Malaysia menganggap Bahasa Indonesia tidak ada, dan menganggap Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Indonesia, maka isunya pun telah berbeda jika dibanding tempo lalu. Jelas tidak mungkin nama Bahasa Indonesia diubah menjadi Bahasa Melayu Indonesia.

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu dan sisa kolonial bahasa Inggris di Malaysia? Seperti disebut di atas, banyak aspek yang tidak bisa lagi diperbandungkan antara yang ada di Indonesia dengan di Malaysia hari ini, karena sudah berbeda isu dibandingkan pada masa lampau.. Dalam hal ini tidak bisa langi dibandingkan antara bahasa Melayu di Malaysia dengan Bahasa Indonesia di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah sejarah bahasa Melayu dan sisa kolonial bahasa Inggris di Malaysia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 13 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (710): Sulu di Filipina dan Negara Sabah di Borneo Utara Malaysia; Portugis Spanyol Belanda Inggris


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ketika Kesultanan Sulu mengklaim wilayah Sabah dari (federasi Malaysia), hamir semua orang kaget. Sejak itu banyak orang ingin mengetahui sejarah (kesultanan) Sulu. Dari berbagai tulisan nama Sulu dan kerrajaan Sulu  memiliki data sejarah yang cukup. Hanya saja kurang terinformasikan. Disinilah masalahnya. Ketika Kesultanan Sulu (Filipina) klaim Sabah menjadi heboh.


Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah memperluas perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah (sekarang bagian dari Sabah dan Kalimantan Utara). Kesultanan Sulu didirikan pada 17 November 1405 oleh seorang penjelajah kelahiran Johor dan ulama Sharif ul-Hashim. Setelah perkawinan Abu Bakar dan dayang-dayang (putri) setempat Paramisuli, ia mendirikan kesultanan. Kesultanan memperoleh kemerdekaannya dari Kekaisaran Brunei pada tahun 1578. Negeri Sulu terletak di lepas pantai Kepulauan Nusa Utara, Sulawesi Utara. Wilayah Kesultanan Sulu saat ini pernah berada di bawah pengaruh Kekaisaran Brunei sebelum memperoleh kemerdekaannya sendiri pada tahun 1578. Setelah itu, permukiman paling awal yang diketahui di daerah ini segera ditempati oleh kesultanan yang berada di Maimbung, Jolo. Pada waktu itu, Sulu dipanggil dengan nama Lupah Sug. Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau[3] melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu. Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashim Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan. Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan bagian timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Kesultanan Sulu di Filipina dan Negara Sabah di Federasi Malaysia? Seperti disebut di atas, Kesultanan Sulu pernah berkuasa di bagian timur Sabah. Lalu bagaimana sejarah Kesultanan Sulu di Filipina dan Negara Sabah di Federasi Malaysia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (709): Mengapa Kesultanan Johor Ingin Keluar Federasi Malaysia? Johor Bagian Federasi Malaya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini Kesultanan Johor melontarkan akan keluar dari Federasi Malaysia. Alasannya sederhana saja, soal ketidak adilan yang diterima oleh wilayah kesultanan Johor dalam kemajuan (federasi) Malaysia. Apakah itu dimungkinkan mengingat fakta pembentukan Federasi Malaysia tahun 1963 kesultanan Johor adalah bagian dari Federasi Malaya (yang secara bersama-sama negara Singapoera, negara Sabah dan negara Serawak) digabungkan bersama Federasi Malaysia).

Sejarah Johor dimulai pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Sebelumnya daerah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, kemudian Malaka jatuh akibat penaklukan Portugal pada tahun 1511. Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka, Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar, Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor. Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang, Selangor, sebagai wilayah kedaulatannya. Pengaruh perjanjian London tahun 1824 bekas wilayah Kesultanan Johor dibagi atas wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan Malaysia, Johor kemudian menjadi salah satu negara bagian Malaysia pada tahun 1963. Sesudah Sultan Alauddin Syah membangun pusat pemerintahan baru pada kawasan muara Sungai Johor, perlawanan terhadap penaklukan Portugal terus berlanjut. Pada masa yang sama, dari kawasan utara Pulau Sumatra, muncul kekuatan baru di Aceh yang mulai melakukan ekspansi wilayah kekuasaan dengan menaklukan beberapa kawasan Melayu dan berusaha mengontrol jalur pelayaran di Selat Melaka. Kesultanan Aceh selain juga mencoba menyerang kedudukan Portugal di Malaka, juga menyerang kedudukan Sultan Johor. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda menaklukan Johor, Sultan Johor beserta seluruh kerabatnya ditawan dan dibawa ke Aceh. Pada tahun 1641, Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugal, dan Belanda mengakui kedaulatan Sultan Johor atas wilayah kekuasaannya dan pada saat bersamaan kawasan muara Sungai Johor kembali muncul sebagai salah satu pelabuhan dagang di Semenanjung Malaya. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah mengapa Kesultanan Johor ingin keluar Federasi Malaysia? Seperti disebut di atas, kesultanan Johor adalah bagian Federasi Malaya, suatu federasi yang bersama-sama dengan negara Singapoera, negara Sabah dan negara Serawak digabungkan dalam pembentukan (negara) Federasi Malaysia. Lalu bagaimana sejarah mengapa Kesultanan Johor ingin keluar Federasi Malaysia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 12 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (708): Ganti Nama Jalan Taman Gedung, Siapa Berhak? Bukan Siapa Pahlawan Tapi Siapa Berkuasa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Gaduh penggantian nama jalan sebanyak 22 buah dan nama gedung di (provinsi) Jakarta. Mengapa gaduh? Semua telah berbicara, tidak hanya Gubernur DKI Jakarta, warga, para ahli sejarah, politisi dan juga Ketua DPRD DKI Jakarta. Dalam hal ini tidak ada penggantian nama taman. Bagi warga penggantian nama jalan merasa dirugikan. Bagi ahli sejarah dan politis terkesan ada pro kontra, terlalu mendadak dan tidak adanya relevansi. Yang jelas menurut sejarah penamaan jalan dan taman sejak era Pemerintah Hindia Belanda penggantian nama itu bukan siapa yang menjadi pahlawan tetapi siapa yang berkuasa.


Pada masa ini era Republik Indonesia yang berkuasa di (wilayah) DKI Jakarta adalah pemerintah esksekutif (dipimpin oleh Gubernur) dan pemerintah legislatif (dipimpin ketua DPRD). Sayangnya dua pihak yang berkuasa (yang memiliki kuasa) di DKI Jakarta tiba-tiba Gubernur melaksanakan penggaatian plang nama jalan dengan nama-nama baru, tetapi Ketua DPRD merasa tidak pernah dilibatkan, Lho, koq! Sejarah awal pembentukan nama jalan dan taman di berbagai kota pada era Pemerintah Hindia Belanda, termasuk Batavia (kini Jakarta) dilakukan berdasarkan hukum formal berdasarkan keputusan bersama antara dewan kota (gemeenteraad) dengan Residen/Asisten Residen atau Wali Kota (Burgemeester). Pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia (1950) penggantian nama kota Batavia menjadi Djakarta dan Buitenzoeg menjadi Bogor) diputuskan pemerintah pusat (Presiden/Menteri) dan untuk nama jalan dan taman diputuskan oleh Walikota dan dewan. Yang jelas sejauh itu ada mekanismenya. Apakah masa in pemberian nama baru atau penggantian nama jalan tidak ada mekanismernya lagi? Siapa yang berkuasa atas siapa yang berkuasa?

Lantas bagaimana sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak? Seperti disebut di atas, yang berhak memberi nama baru dan penggantian nama jalan dan taman adalah yang berkuasa. Bukan siapa pahlawan tetapi siapa yang berkuasa. Lalu bagaimana sejarah sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (707): Alam Dayak Pulau Kalimantan;Taprobana Borneo Kalimantan dan Ibu Kota Negara Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada alam Minangkabau di Sumatra, ada pula alam Melayu di semenanjung Malaya. Alam Minangkabau hanya diartikan sebatas wilayah atas (darat) dan wilayah rantau (pantai/muara sungai). Alam Melayu di Semenanjung, akhir-akhir ini diartikan sebagai Alam Nusantara dari Madagaskar hingga Maori termasuk Sumatra, Jawa, nusa tenggara dan Papua yang oleh karenanya disebut serumpun (meski berbeda-beda ras) dan candi Borobudur dan situs gunung Padang sebagai kekayaan peradaban (alam) Melayu. Tentu saja ada yang bereaksi dan menolak klaim itu. Bagaimana dengan alam Dayak? Tidak dikaitkan dalam hubungan politis tetapi lebih pada hubungan manusia (Dayak) dengan alam (tanah air) itu sendiri.


Suku Dayak adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami pedalaman pulau Kalimantan. Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan). Ada 3 suku pokok atau 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, dan Tidung. Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi 3 suku pokok yaitu: suku Dayak Indonesia (268 sub etnik/sub suku di Indonesia), Suku Melayu, dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak & non Melayu). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun antara lain: rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan: "Barito Raya" (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk Suku Dayak Paser. "Dayak Darat" (13 bahasa), termasuk bahasa Rejang di Bengkulu. "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung. "Sulawesi" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka. "Dayak Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan]] (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku tersendiri yang berdiri mandiri ataupun suku Melayu itu sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Melayu Berau, Suku Melayu Sambas, dan Suku Melayu Kedayan.(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Alam Dayak Pulau Kalimantan? Seperti disebut di atas, pulau Kalimantan adalah pulau dimana pendudukan asli Daya bermula dan berkembang hingga terbentuknya (kaum) Melayu. Pulau Kalimantan sendirii menjadi penting karena memiliki sejarah yang panjang sejak nama pulau Taprobana, Borneo, Kalimantan hingga Ibu Kota Negara Nusantara di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Alam Dayak Pulau Kalimantan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.