Sabtu, 28 Januari 2023

Sejarah Surakarta (64): Sjamsi Widagda dari Solo Studi di Belanda; Doktor Ekonomi dan 7 Revolusioner Indonesia ke Jepang 1933


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Siapa Sjamsi Sastra Widagda? Meski sudah ada yang menulis, tetapi masih banyak perjalanan hidupnya yang belum terinformasikan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Sjamsi Sastra Widagda disebut berasal dari Soerakarta. Saat mana remaja Sjamsi Sastra Widagda tiba di Belanda lalu dibimbing oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (ketua Indische Vereeniging di Belanda 1808-1811). Sjamsi Sastra Widagda mendapat beasiswa dari Boedi Oetomo hingga selesai sarjana dan kemudian membiayai sendiri untuk mencapai gelar Doktor.   


Dr. Samsi Sastrawidagda (13 Maret 1894-wafat 1963) adalah Menteri Keuangan Pertama Indonesia. Ia menempuh pendidikan ekonomi dan hukum negara di Handels-hogeschool Rotterdam. Gelar akademik terakhir yang didapat tahun 1925 adalah gelar Doktor dengan disertasi De Ontwikkeling v.d handels politik van Japan. Lahir di Solo dan selama di Rotterdam. ia dikenal sebagai pemukul gong dalam perkumpulan gamelan pribumi. Perjalanan karier di Kementerian Keuangan dirintis sejak Sidang PPKI yang kedua (19 Agustus 1945). PPKI menunjuk Samsi Sastrawidagda, Kepala Kantor Tata Usaha dan Pajak di Surabaya pada masa pendudukan Jepang, sebagai Menteri Keuangan kabinet RI pertama. Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Republik Indonesia (RI) pertama Dr. Samsi mempunyai peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan RI. Ia memperoleh informasi dari Laksamana Shibata bahwa di gedung Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Karena hubungannya yang dekat dengan para pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya ia berhasil membujuk mereka. Uang tersebut diambil melalui operasi penggedoran bank. Sebagai Menteri Keuangan, Samsi tidak pernah memimpin Kementerian Keuangan secara langsung. Bahkan belum sempat menyusun perencanaan. Kondisi fisiknya yang sering sakit-sakitan menjadikan ia lebih memilih tinggal di Surabaya. Pada tanggal 26 September 1945 ia mengundurkan diri menjadi Menteri Keuangan kemudian A.A. Maramis yang sebelumnya Menteri Negara dilantik menjadi Menteri Keuangan. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Sjamsi Widagda van Solo studi di Belanda, sarjana ekonomi bergelar doctor? Seperti disebut di atas, Sjamsi Widagda meski pembawaannya biasa-biasa saja tetapi bukanlah orang biasa. Sjamsi Widagda yang terkesan tenang dan pendiam adalah salah satu tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang 1933. Lalu bagaimana sejarah Sjamsi Widagda van Solo studi di Belanda, sarjana ekonomi bergelar doctor? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (63):Legiun di Soerakarta Mangkunegara, Akademi Militer Bandoeng; Akhir Pasukan Pribumi di Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Sejak kehadiran pelaut-pelaut Belanda yang dimpin oleh Cornelis de Houtman sudah terjadi kekerasan dengan menggunakan senjata. Ketika pelaut Belanda semakin menguat, relokasi dari Amboina ke Batavia tahun 1619 sebagai pusat VOC. Pada tahun 1628 Mataram menyerang Batavia. Permusuhan terus berlanjut hingga terbentuk aliansi di Soerakarta antara pemerintah VOC dengan kerajaan (kemudian perjanjian Gijanti 1755). Faktor kedekatan inilah yang kemudian terbentuknya legion pasukan pribumi di Soerakarta yang terus bertahan hingga detik-detik berakhirnya Belanda di Indonesia.    


Legiun Mangkunegaran adalah korps bersenjata Kadipaten Mangkunegaran dibentuk masa Mangkunegara II (era VOC). Daendels melakukan upaya dalam mempertahankan Jawa, serta membangun jalan trans-Java. Daendels juga melakukan upaya pengumpulan pasukan bantuan dari kerajaan-kerajaan kecil di Jawa, salah satunya adalah Mangkunegaran. Kepada Praja Mangkunegaran, Daendels kemudian menetapkan pembentukan satuan militer setingkat legiun, disebut Legiun Mangkunegaran, 29 Juli 1808 dan menetapkan Mangkunegara II sebagai pimpinan satuanr tersebut. Tahun 1808 Legiun Mangkunegaran memiliki; 1.150 prajurit terdiri 800 infanteri (Fusilier), 100 penyerbu (Jagers), 200 kavaleri (berkuda), dan 50 rijdende artileri; Tahun 1816 jumlah personilnya 739 kemudian 800 orang; Tahun 1825–1830 jumlah personil 1500; Tahun 1831 jumlah berkurang menjadi 1000; Tahun 1935 Legiun Mangkunegaran dibagi dalam staf yang memiliki; ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik, dan batalyon dibagi dengan 6 kompi serta unit mitraliur. Kiprah Legiun Mangkunegaran dimulai sejak invasi Inggris. Legiun Mangkunegaran ikut dalam sebuah operasi militer untuk mempertahankan Semarang dan Klaten. Pada masa pendudukan Inggris di bawah kepemimpinan Raffles, Legiun Mangkunegaran dipercaya untuk menjaga ketertiban di Jawa yang pada masa itu. Legiun Mangkunegaran terlibat penyerbuan Keraton Yogyakarta 19-20 Juni 1812. Mangkunegaran mendapat hadiah berupa tanah seluas 1.000 cacah dari Raffles. Selanjutnya selama berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Legiun Mangkunegaran dilibatkan dalam berbagai operasi militer, seperti penumpasan bajak laut di Bangka (1819-1820), Perang Jawa (1825-1830), dan Perang Aceh II (1873) (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Legiun Mangkunegara di Soerakarta dan Akademi Militer di Bandoeng? Seperti disebut di atas, sejak era VOC, pasukan pribumi telah dilibatkan dalam pertahanan militer yang kemudian dilanjutkan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Selain Barisan Madoera, Legioen Mangkonegaraan adalah bagian dari dari militer Pemerintah Hindia Belanda. Namun bagaimana kelanjutannya bagaimana berakhirnya pasukan pribumi di Hindia Belanda? Lalus bagaimana sejarah Legiun Mangkunegara di Soerakarta dan Akademi Militer di Bandoeng? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 27 Januari 2023

Sejarah Surakarta (62): Drs Yap Tjwan Bing, Kelahiran Solo, Parlindoengan Lubis, Lahir di Padang Sidempoean; Studi di Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Ada nama orang Tionghoa di Soerakarta yang ditabalkan menjadi nama jalan. Demikian juga di Padang Sidempuan. Drs Yap Tjwan Bing asal Soerakarta menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Juga ada anggota PPKI asalah Padang Sidempuan, Mr Abdoel Abbas Siregar. Namun dalam hal ini yang ingin kita bicarakan adalah Yap Tjwan Bing dan Parlindoengan Lubis yang sama-sama studi di Belanda, dan kemudian sama-sama berjuang di Jogjakarta dalam perang kemerdekaan. Dr Parlindoengan Lubis menjadi Ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda (1938-1942).


Drs. Yap Tjwan Bing (31 Oktober 1910-26 Januari 1988) adalah seorang politikus keturunan Tionghoa aktif masa kemerdekaan Indonesia dan menjadi anggota PPKI dan anggota legislatif hingga 1954. Yap lahir di Surakarta. Ia menempuh pendidikan Sarjana Farmasi di Municipal University of Amsterdam pada 1932. Setelah lulus, pulang ke tanah air mendirikan apotek di Bandung. Ia merupakan satu-satunya keturunan Tionghoa dalam PPKI. Ia menghadiri Sidang 18 Agustus 1945, sidang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden. Setelah PPKI dibubarkan, Yap menjadi anggota KNIP. Apoteknya di Bandung dibakar, Yap pindah ke Yogyakarta, mendirikan Chung Hwa Chung Hwee sebagai bagian upaya mempersatukan Tionghoa dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Tahun 1948 ia membubarkan CHCH dan meleburnya ke Persatoean Tionghoa dan kemudian Yap kembali lagi ke Bandung setelah Agresi Militer Belanda II, Namanya sempat diasosiasikan dengan Negara Pasundan ditawarkan menjabat sebagai Menteri Luar Negeri namun Yap menolak dan lebih untuk mendukung Republik Indonesia dan bergabung dengan PNI. Saat KNIP berubah menjadi DPR-RIS Yap menjadi anggota DPR-RIS. Pasca RIS, Yap sebagai anggota DPR Sementara PNI hingga 1954 dan digantikan oleh Tony Wen. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Drs Yap Tjwan Bing, kelahiran Solo, Parlindoengan Lubis, kelahiran Padang Sidempoean? Seperti disebut di atas banyak pelajar berasal dari Hindia yang studi di universitas di Belanda.Meski sudah ada perguruan tinggi di Hindia, mahasiswa yang studi di Belanda terus berdatangan. Mengapa? Pendidikan adalah jembatan antara berbagai tempat dan titian antara berbagai suku/bangsa. Lalu bagaimana sejarah Drs Yap Tjwan Bing, kelahiran Solo, Parlindoengan Lubis, kelahiran Padang Sidempoean? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (61):Ir Sarsito Ahli Teknik Lulus di Delft; Indische Vereeniging 1908 Berubah Nama Jadi Perhimpunan Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Narasi sejarah masa kini lebih cenderung propaganda sejarah. Artinya ada peristiwa dan pelaku sejarah yang ditinggikan, sebaliknya ada pula yang direndahkan. Sejarah sendiri sejatinya adalah narasi fakta dan data. Dalam hal ini nama Raden Mas Sarsito Mangoenkoesoemo kurang terinformasikan yang hanya disebut sebagai bagian penting dari eksisitensi Solosche Radio Vereeniging. Namun bagaimana sejarah yang sebenarnya tentang Ir Sarsito tidak terinformasikan, alias minim dalam narasi sejarah masa kini.

 

Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia adalah organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang berdiri pada tahun 1908. Indische Vereeniging berdiri atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan R.M. Noto Soeroto yang tujuan utamanya ialah mengadakan pesta dansa-dansa dan pidato-pidato. Sejak Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk, pada 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia. Mereka mulai menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Semenjak itulah vereeninging ini memasuki kancah politik. Waktu itu pula vereeniging menerbitkan sebuah buletin yang diberi nama Hindia Poetera, tetapi isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada politik. Semula, gagasan nama Indonesisch (Indonesia) diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia). Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Saat itu istilah "Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa Politik Etis. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Sarsito, sarjana teknik lulusan Delft? Seperti disebut di atas, Ir Sarsito merupakan salah satu tokoh penting pendirian Solosche Radio Vereeniging di Soerakarta. Sarsito yang studi ke Belanda tentu saja berkenalan dengan rekan sesame orang Hindia di dalam organisasi kebangsaan Indische Vereeniging yang kelak namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Sarsito, sarjana teknik lulusan Delft? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 26 Januari 2023

Sejarah Surakarta (60): Persatuan Djoernalis Indonesia (PERDI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Hari Pers dan Bapak Pers


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Pada masa ini disebut PWI berdiri pada 9 Februari 1946 dan tanggal itu menjadi hari pers nasional. Bagaimana bisa? Sebab PWI adalah satu hal dan pers nasional adalah hal lain lagi. Pers nasional Indonesia sudah lahir pada era Pemerintah Hindia Belanda yang diberi nama Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI). Apakah tidak lebih tepat jika hari ulang tahun pers nasional merujuk pada eksistensi PERDI? Bagaimana dengan Bapak Pers Tirto Adhi Soerjo dan mengapa tidak inline dengan hari pers? Yang jelas fakta sejarah berbeda dengan propaganda sejarah.


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia, berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta (tanggal tersebut ditetapkan tahun 1985 sebagai Hari Pers Nasional). PWI beranggotakan wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini PWI dipimpin oleh Atal Sembiring Depari. Berdirinya PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia melalui media dan tulisan. Setelah berdirinya PWI, didirikan Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS 8 Juni 1946 (menjadi Serikat Perusahaan Pers sejak 2011). Karena jarak waktu pendiriannya yang berdekatan dan memiliki latar belakang sejarah yang serupa, PWI dan SPS diibaratkan sebagai "kembar siam" dalam dunia jurnalistik. Sebelum didirikan, PWI membentuk sebuah panitia persiapan dibentuk tanggal 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, Pertemuan itu dihadiri oleh beragam wartawan. Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah: Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta), BM Diah (Harian Merdeka, Jakarta). Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta). Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto), Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya). Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang). Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang), Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta). Komisi beranggotakan 10 orang tersebut “Panitia Usaha”, tiga minggu kemudian, mengadakan pertemuan kembali di Surakarta bertepatan dengan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (28 Februari hingga Maret 1946). Dari pertemuan itulah disepakati didirikannya Serikat Perusahaan Suratkabar dalam rangka mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar yang pendirinya merupakan pendiri PWI (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) dan Persatoean Wartawan Indonesia (PWI)? Seperti disebut di atas, hari pers nasional merujuk pada kelahiran (hari lahir) PWI, tetapi fakta pers nasional (yang diwakili PERDI) sudah ada jauh sebelum itu. Hari PWI adalah satu hal, hari pers tentu lain lagi dan tentu saja bapak pers lain pula. Lalu bagaimana sejarah Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) dan Persatoean Wartawan Indonesia (PWI)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (59): Radio dan RRI di Soerakarta; Jenis Program Musik, Berita, Laporan Pandangan Mata dan Cerbung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah radio dan sejarah RRI adalah sejarah yang berbeda. Seperti halnya sebelum itu tentang telegraf, radio adalah teknologi komunikasi lebih lanjut. Telegraaf di Hindia Belanda sejak 1850an, tetapi radio baru berkembang kemudian. Radio pada akhirnya bersifat massal dengan ditemukannnya teknologi antenna. Pada era Pemerintah Hindia Belanda radio adalah sarana komunikasi massa, seperti halnya surat kabar. Radion menjadi bagian penting dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dimana Sakti Alamsjah Siregar menyiarkan teks proklamasi melalui Radio Bandoeng. 


RRI Surakarta Dirikan Museum Penyiaran. Rabu, 11 September 2013. Tempo.co. Bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-68 Radio Republik Indonesia (RRI), RRI Surakarta meresmikan pendirian Museum Penyiaran, Rabu, 11 September 2013. Museum tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII, yang membentuk Solose Radio Vereniging (SRV) pada 1 April 1933. SRV adalah cikal bakal dari RRI Surakarta sekarang ini. "Apalagi tanah dan bangunan yang ditempati RRI Surakarta saat ini adalah peninggalan SRV," kata Kepala RRI Surakarta, Santoso, saat peresmian Museum Penyiaran. Museum Penyiaran di RRI Surakarta diharapkan dapat memelihara memori masyarakat tentang sejarah RRI Surakarta dan penyiaran di Indonesia. Selain itu agar generasi muda bisa mengetahui berbagai perangkat penyiaran sejak zaman dulu. Museum Penyiaran berada di kompleks RRI Surakarta di Jalan Abdul Rachman Saleh Nomor 51. Letaknya di lantai dua auditorium RRI dengan menempati ruangan yang panjangnya 14 M dan lebar 4,8 M. Benda yang dipajang di museum, seperti radio receiver merek Phillip buatan Belanda tahun 1948, alat perekam yang menggunakan pita reel buatan Belanda pada 1948, pemutar piringan hitam buatan 1948 dari Inggris, alat ukur peralatan studio siaran buatan Jerman pada 1976, dan alat mengukur distorsi peralatan studio siaran buatan Inggris pada 1976. Koleksi lainnya yaitu piringan hitam, kaset siaran, alat pencampur suara atau mixer buatan Jerman pada 1980, dan pemancar radio buatan Indonesia pada 1970. (https://nasional.tempo.co)

Lantas bagaimana sejarah radio dan RRI di Surakarta dan berbagai jenis program? Seperti disebut di atas, tentu saja sebelum ada televisi, radio adalah sarana komunikasi yang paling efektif untuk jangkauan yang luas dalam tempo sesingkat-singkatnya. Siaran radio meliputi programa nyanyian dan musik, berita dan laporan pandangan mata. Tentu saja ada Cerbung (cerita bersambung). Lalu bagaimana sejarah radio dan RRI di Surakarta dan berbagai jenis program? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.