Selasa, 28 Februari 2017

Sejarah Bandung (34): Kampung Cicendo; Kampung Terpencil, Tempat Makam Belanda Hingga Peristiwa Bom Panci

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Kampung Cicendo di Bandoeng sudah dikenal sejak masa Daendels. Nama kampong yang berada di area lebih tinggi di utara cekungan Bandoeng ini bahkan sudah dipetakan sebagai nama kampong yang dilalui jalan pos trans-Java (Peta 1818). Pada tahun 1829, jalan pos digeser ke area lebih rendah (jalan lurus) yang kemudian disebut Groote post weg. Akibatnya, Kampong Tjitjendo semakin jauh dari jalan pos dan kampong tersebut tampak semakin terpencil. Sementara di jalan pos yang baru, Lambat laun tampak semakin ramai dan terus berkembang yang menjadi sebagai pusat kota Bandoeng. Bahkan ketika area jalan pos yang baru ini telah menjadi kota besar, Kampong Tjitjendo tetap terpencil dan sunyi.

Peta 1818
Sesungguhnya embrio kota Bandung mulai terbentuk tahun 1829 saat mana Controleur Bandoeng ditempatkan kali pertama yang berkedudukan (ibukota) persis di sisi utara jalan pos dan sebelah timur sungai Tjikapoendong. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1846 Asisten Residen Bandoeng ditempatkan dan istana Bupati Banndoeng dibangun di sisi selatan jalan pos dan sebelah barat sungai Tjikapoendoeng.

Sejak nama Tjitjendo muncul dalam peta  (1818) kabar berita tentang kampong Tjitjendo tidak pernah terdengar. Namanya baru terdengar tahun 1880an sebagai wilayah administratif yang berstatus desa di dalam distrik Odjoeng Brung Koelon, Afdeeling (Kabupaten) Bandoeng, Residentie (Province) Preanger Regentshappen. Desa Tjitjendo terdiri dari beberapa kampong, selain kampong Tjitjendo juga termasuk kampong Tjikokak dan kampong Tjitepoes. Di desa Tjitjendo ini kerap terbaca di surat kabar tentang adanya transaksi jual-beli lahan.

Sawah ladang di Tjitjendo 1901
Karena masih sebuah desa di pinggi kota, ibukota desa ini dipilih di dekat kota dimana kepala desa berkedudukan. Ibukota desa Tjintjendo inilah yang kini disebut Tjitjendo (di tengah kota Bandoeng). Padahal di masa lampau, lahan yang menjadi ibukota Tjitjendo tersebut adalah masuk kampong Tjikokak. Transaksi jual lahan yang terjadi pada tahun 1880an adalah di sekitar ibukota desa Tjitjendo ini alias lahan-lahan milik eks kampong Tjikokak.

Penduduk Asli Tjitjendo Tergusur

Desa Tjitjendo adalah suatu desa yang sangat luas di utara Bandoeng yang terdiri dari beberapa kampong. Mata pencaharian penduduk kampong-kampong ini adalah bertani: sawah dan ladang serta mengumpulkan hasil hutan. Salah satu akses menuju desa ini dari arah timur dimana terdapat banyak orang Eropa adalah melalui jembatan bamboo di atas sungai Tjikapoendong.

Jembatan sungai Tjikapoendoeng di Tjitjendo, 1900
Pada tahun 1890 jembatan di atas sungai Tjikapoendong dipulihkan oleh pemerintah karena sudah rusak. Biaya pemulihan jembatan tersebut sebsaar f1.958 (Bataviaasch handelsblad, 29-03-1890). Jembatan yang terbuat dari bamboo ini rusak karena sudah lapuk. Foto Jembatan bamboo di Sungai Tjikapoendoeng Bandieng 1901

Dalam perkembangannya Desa Tjitjendo kemudian menjadi wilayah perluasan pemukiman Eropa/Belanda. Sebab selama ini lahan-lahan yang diperjualbelikan di desa ini oleh penduduk jatuh ke tangan orang-orang Eropa/Belanda dan Tionghoa.

Nama desa Tjitjendo adalah nama kampong asli di Bandoeng. Ini berbeda dengan nama-nama desa lainnya, yang merupakan desa-desa baru dengan nama baru seperti desa Astana Anjar, desa Kaoem, desa Soenia Radja, desa Kadjaksaan, desa Merdika dan desa Andir. Desa-desa bentukan baru yang bersifat urban ini kemudian statusnya ditingkatkan menjadi wijk (kelurahan). Desa Tjitjendo yang beribukota dekat kota dan perkembangan kota meluas hingga ke desa Tjitjendo akhirnya desa Tjitjendo dimekarkan menjadi dua desa: desa Tjitjendo (urban) dan desa Tjitepoes (masih tetap rural). Desa Tjitjendo kelak menjadi wijk seperti halnya, Merdika yang desa kemudian menjadi wijk.  
 
Pada tahun 1896 di desa Tjitjendo ini terdapat satu rumah asli yang dihuni oleh orang Tionghoa. Orang-orang Belanda mencoba membebaskan area tersebut dari orang-orang Tionghoa agar menjadi area hunian orang-orang Eropa.

De Preanger-bode, 22-02-1897
De Preanger-bode, 28-12-1896: ‘Jika melihat dari arah rumah Asisten Residen Bandoeng ke arah Tjitjendo, orang melihat sebuah rumah asli yang masih ada yang dihuni satu keluarga Tionghoa di samping jalan yang berada diantara rumah-rumah Eropa. Keluarga Tionghoa ini hidup tenang sejak lama yang lokasinya tidak jauh dari pemakaman orang Eropa. Untuk ke depan, scara bertahap kita akan membebaskan lingkungan asli tersebut sebab peruntukkan lingkungan Cina sudah ada di bagian paling tengah dalam kota’.

Ini dengan sendirinya perkampungan penduduk asli sebelumnya telah tergusur karena pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota. Para penduduk asli menjual lahan dengan harga tinggi dan membeli lahan baru di tempat jauh dengan harga murah. Dalam okupasi area pemukiman di desa Tjitjendo juga orang-orang Tionghoa juga ikut tergusur.
Desa Tjitjendo (yang terdiri dari beberapa kampong seperti kampong Tjitjendo, kampong Tjitepoes dan Kampong Tjikokak) kemudian dimekarkan menjadi dua desaL desa Tjitjendo dan desa Tjitepoes. Anehnya, desa Tjitepoes yang sebagian besar adalah wilayah kampong Tjitepoes dan Kampong Tjitjendo di masa lampau, sedangkan desa Tjitjendo (hampir semuanya adalah wilayah Kampong Tjikokak). Sesunggunya Kampong Tjikokak adalah kampong yang baru terbentuk (pabuaran) dari tanah ulayat Kampong Tjitjendo. Oleh karenanya, dalam sistem administrative pemerintahan kolonial, secara dejure adalah nama Tjitjendo tetapi secara de facto adalah kampong Tjikokak. Namun jika dilihat dari aspek historis, kampong Tjikokak adalah (wilayah hak ulayat) Kampong Tjitjendo.
Pekuburan Orang Eropa/Belanda

Di Bandoeng hanya terdapat dua pekuburan orang-orang Eropa/Belanda. Pekuburan yang lama berada di Soeniaradja dan pekuburan baru ditetapkan di desa Tjitjendo (De Preanger-bode, 22-02-1897). Di pekuburan Soeniaradja makan tertua 1848 dan makam yang termuda tahun 1878.

Di luar dua pekuburan Eropa/Belanda ini terdapat beberapa pekuburan keluarga atau makam yang terpisah. Makam yang tertua ditemukan pada makam keluarga E. Julian yang bertahun 1838. Di makam keluarga ini juga terdapat yang bertahun 1842 dan 1843. Satu makam lain yang ditemukan berada di Lembang bertahun 1867 (makam ini sudah tentu makam FW Junghuhn, red). Makam yang terbilang tua adalah makam Starkenberg Retermeyer di Djatinangor yang bertahun 1842. Makam-makam lainnya adalah sebagai berikut (lihat guntingan koran). Makam-makam ini dibuat permanen dan ada yang dibuat dalam bentuk monument. Makam Marinus Koch cukup menonjol.

Peta 1950
Desa Tjitjendo terus berkembang sebagai bagian dari kota, orang-orang Eropa/Belanda semakin banyak yang memilih tinggal di desa Tjitjendo. Pada awal tahun 1900 di desa ini didirikan sebuah lembaga yang menanganani orang-orang buta yang disebut Blinden Istituut. Berdasarkan Peta 1910, pekuburan Tjitjendo nenjadi satu-satunya perkuburan orang-orang Eropa/Belanda di Bandung Utara.

Berdasarkan Peta 1950 di desa Tjitjendo tidak hanya terdapat pekuburan Kristen orang-orang Eropa/Belanda tetapi juga  di selatannya terdapat pekuburan penduduk asli yang bergama Islam. Ini dengan sendirinya desa Tjitjendo sejak masa lampau hingga pasca kemerdekaan RI merupakan desa dimana terdapat pekuburan umum warga kota Bandoeng.

Cicendo Masa Kini

Nama Cicendo muncul lagi ke permukaan pada tahun 1881 yang dikaitkan dengan terror bom di Bandung yang kelanjutannya muncul sebagai peristiwa Woyla (pembajakan pesawat Garuda dan pembebasannya terjadi di Bangkok di bawah komando Letnan Kolonel Sintong Pandjaitan).  Rangkaian peristiwa ini berawal dari kelompok Imran melakukan penyerbuan ke kantor polsek Cicendo. Tujuan penyerangan polsek tersebut untuk membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan. Dalam pembebasan pesawat Woyla, semua pembajak meninggal dan semua sandera dalam pesawat dapat selamat.

Kini peristiwa Cicendo seakan berulang. Peristiwa yang terjadi pagi tadi (27-02-2017) menggunakan bom, yang orang menyebutnya bom panci (bom rakitan itu di stel di dalam weadah panci). Teroris yang melakukan aksi dapat dilumpuhkan di suatu kantor keluarhan di Kecamatan Cicendo. Tuntutannya sama mirip dengan peristiwa Cicendo tahun 1981.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar