Minggu, 07 Mei 2023

Sejarah Pers di Indonesia (34): Kongres Pemuda dan PPPKI di Batavia; Surat Kabar Bintang Timoer Edisi Semarang - Soerabaja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Setelah satu decade, nama Indonesia pelan tapi pasti, mulai nama Indonesia diusung oleh berbagai jenis perusahaan Indonesia, organiasi kebangsaan, dan pers pribumi. Akhirnya organisasi pemuda pribumi melahirkan organisasi pemuda pelajar Indonesia (PPPI); demikian juga organisasi senior melahirkan organisasi kebangsaan Indonesia (PPPKI). Tentu saja pers berpartisipasi di dalamnya. Salah satu upaya pers untuk mensukseskan kongres senior (PPPKI) dan kongres junior (PPPI) yang diselenggarakan tahun 1928, surat kabar Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap menerbitkan edisi Semarang (untuk Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk Oost Java).

 

Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) adalah organisasi pergerakan kemerdekaan yang pernah ada di Indonesia.[1] PPPKI merupakan organisasi kumpulan dari beberapa organisasi-organisasi seperti Partai Sosialis Indonesia, Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Paguyuban Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia. Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) didirikan dalam sebuah rapat di Bandung pada tanggal 17–18 Desember 1927. Latar belakang didirikannya PPPKI adalah karena tokoh-tokoh pergerakan nasional beranggapan bahwa berjuang melalui masing-masing organisasi tidak akan membawa hasil. Soekarno kemudian mempunyai ide untuk menggabungkan organisasi-organisasi tersebut supaya Indonesia dapat mencapai kemerdekaannya. (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah pers, Kongres Pemuda dan Kongres PPPKI di Batavia? Seperti disebut di atas, para jurnalis telah bersatu di Batavia di bawah inisiatif Parada Harahap. Tidak cukup sampai disitu, sebagai jurnalis dan pemimpin surat kabar Bintang Timoer, Parada Harahap mengambil peran penting dalam terselenggaranya Kongres Pemuda dan Kongres PPPKI di Batavia tahun 1928 dengan menerbitkan surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang dan edisi Soerabaja. Lalu bagaimana sejarah pers, Kongres Pemuda dan Kongres PPPKI di Batavia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (33): Pers dan Orang Indo di Hindia; Orang Belanda Rasis dan Orang Indo Berjuang Bersama Pribumi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Sebelum orang pribumi menyadari perlunya persatuan, orang-orang Indo bergerak membentuk organisasi untuk kepentingan yang sama dengan tujuan yang sama diantara orang-orang Indo. Lalu dibentuklah Indischbond (IB) di Batavia pada bulan Oktober 1898. Seorang pensiunan guru yang juga menjadi seorang jurnalis di Padang Dja Endar Moeda pada tahun 1900 menginisiasi persatuan diantara orang-orang pribumi dengan mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda tampaknya Medan Perdamaian memiliki visi dan misi yang sama dengan IB, yang lalu kemudian di bawah inisiatifnya melalui penerbit dan percetakan sendiri menerbitkan surat kabar bulanan berbahasa Melayu yang diberi nama Insulinde tahun 1901. Orang-orang Indo di Bandoeng dan Semarang kemudian mendirikan organisasi Insulinde sebagai pengganti nama Indischbond. Namun pada akhirnya aktivis Insulinde dan aktivis pribumi kemudian membentuk partai yang disebut Indisc Partij atau lebih lengkapnya National Indisch Partij (NIP).


Indische Partij (Partai Hindia) adalah partai politik pertama di Hindia Belanda. Berdiri tanggal 25 Desember 1912 oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Partai ini menjadi organisasi orang-orang pribumi dan campuran di Hindia-Belanda. Sebagai seorang Indo, Douwes Dekker merasa terjadinya diskriminasi yang membeda-bedakan status sosial antara Belanda totok (asli), Indo (campuran), dan Bumiputera (pribumi) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kedudukan dan nasib orang Indo tidak jauh berbeda dengan Bumiputera. Indo yang melarat banyak ditemui di Jakarta (Kemayoran), Semarang (Karangbidara), dan Surabaya (Kerambangan). Belanda totok memandang orang Indo lebih rendah dari pada mereka. Pandangan ini pernah diungkapkan dalam buletin "Bond van geneesheeren" (Ikatan para dokter) pada September 1912. Dalam buletin tersebut, para dokter Belanda asli mencela pemerintah yang bermaksud untuk mendirikan Sekolah Dokter kedua (NIAS) di Surabaya yang terbuka untuk segala bangsa. Mereka menganggap kaum Indo yang hina tidak pantas menjadi dokter. Menurut Dekker, jika kaum Indo ingin merubah nasib, maka mereka harus bekerjasama dengan Bumiputera untuk mengadakan perubahan. Hindia bukan hanya diperuntukkan untuk Belanda totok, namun untuk semua orang yang merasa dirinya seorang Hindia. Pandangan ini menjadi dasar dari ideologi nasionalisme yang di usung oleh Indische Partij. (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah pers dan Orang Indo di Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, orang Indo faktanya bukan orang Belanda (totok). Orang Belanda totok cenderung rasis yang mulai memperjuangkan nasib sendiri sebagai orang Hindia dengan perjuangan memisahkan Hindia Belanda dari negara induk Belanda. Orang Indo pada akhirnya berjuang bersama pribumi yang senasib sepenanggungan. Lalu bagaimana sejarah pers dan Orang Indo di Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 06 Mei 2023

Sejarah Cirebon (28): Raden Soedja, Notaris Generasi Pertama; Daftar Tokoh di Cirebon Sunan Gunung Jati dan Tokoh Masih Hidup


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Siapa Raden Soedja? Nyaris tidak terinformasikan. Fakta Raden Soedja adalah salah satu notaris Indonesia generasi pertama. Raden Soedja berasal dari Cirebon. Dalam daftar tokoh asal Cirebon pada masa ini, tidak disebut nama Raden Soedja. Uniknya hanya mendaftar nama-nama generasi di tempo doeloe seperti Sunan Gunun Jati dan Maulana Hasanuddin dan nama-nama yang terkesan masa kini. Ada jarak yang lebar antara generasi baheula dengan generasi zaman Now. Mengapa bisa begitu? Fakta bahwa di daerah lain juga begitu. Apakah ada yang salah?


Aan Rohanah A Abbas Ismeth Abdullah Adib Alfikri Saleh Afiff AS Ismail Ahmad Zaenudin Arief Natadiningrat Ason Sukasa Atet Wiyono Mpok Atiek B Barda Nawawi Arief Irish Bella Sam Budigusdian Pitradjaja Burnama Ali Bustomi Buya Yahya Embie C. Noer Marissa Christina Claudia Santoso Dianda Sabrina Rokhmin Dahuri Datuk Kahfi Dedi Supardi Chitra Dewi Dunidja Daswita Elang Kusnandar Emon Bratadiwidjaja Endang Setyawati Thohari Ahem Erningpradja Eti Herawati Gerrit Faulhaber Gina Fizriya Ali Geno H. Subrata Makhtum Hannan Haryadi Suadi Hasan Alwi Heri Sulistianto Helsi Herlinda Sri Heviyana Charly van Houten Imron Rosyadi Saira Jihan Rico Karindra Kenedy Aboeng Koesman Affandi Kuntara Sri Lintang Madsuni Maqdis Shalim Alfarisi Maruto Nitimihardjo Maulana Hasanuddin Cindy May McGuire Yogie Suardi Memet Mochammad Insyaf Supriadi Moehamad Soeparno Mohamad Kusnaeni Mohammad Ali Mohammad Syahrif Muhammad Abdullah Syukri Djoko Munandar Nana Sudjana Narji Nasrudin Azis Vicky Nitinegoro Arifin C. Noer Toto Nurwanto Pandu Kartawiguna Panembahan Ratu I Pangeran Madrais Pangeran Walangsungsang Sunjaya Purwadi Sastra Wianda Pusponegoro Boy Syahril Qamar N Qomar RD Manggala Ratu Raja Arimbi Nurtina C Reza N Riantiarno AM Saefuddin Said Aqil Siroj AA Saputra Satori SA Gantina Herrie Setyawan RM Sewaka S Baharsjah ST Burhanuddin Kaboel Suadi Peggy Melati Sukma Sunan Gunung Jati Thomas Suratno Alam Surawidjaja Catherine Surya Bambang Suryo Aji Ricky Karanda Suwardi Ahmad Syaikhu Abdullah Syathori Tadjus Sobirin Tarmin Hariadi Tasiya Soemadi Taufik Hidayat Tjun Tjun Tina Toon Toto Sudarto Bachtiar Agus Triyono Umi Dachlan Vicky Kalea Wahyu Tjiptaningsih Djair Warni Kardaya Warnika Wastum Nani Widjaja Candra Wijaya Rendra Wijaya Yanuar Prihatin Yoe Sin Gie Yogie S Memet Yogie S. Memed Yudha Khan Dewi Yull HF Zaini M (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Raden Soedja, notaris generasi pertama? Seperti disebut di atas Raden Soedja adalah notaris Indonesia generasi pertama di era Pemerintah Hindia Belanda. Namanya kurang terinformasikan. Tidak hanya Raden Soedja, tetapi banyak lagi. Yang ada dalam daftar yokoh asal Cirebon hanya yang berasal dari era Sunan Gunung Jati hingga era masa kini termasuk yang masih hidup. Mengapa nama-nama yang begitu banyak terlupakan dan terabaikan? Lalu bagaimana sejarah Raden Soedja, notaris generasi pertama? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Cirebon (27): Raden Djaenal Asikin Widjaja Koesoema dan Nama Rumah Sakit Cirebon; Asikin Jadi Marga Baru Cirebon?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Nama Asikin dari masa ke masa ditemukan di Cirebon. Nama ini sebenarnya nama biasa saja tetapi lambat laun menjadi nama yang luar biasa. Banyak yang menggunakan nama Asikin (seakan menjadi marga). Itu satu hal. Hal lain yang lebih penting adalah siapa Dr Asikin? Lantas yang menjadi pertanyaan, biasanya yang ditabalkan menjadi nama rumah sakit adalah dokter terkenal. Memang sih tidak seharunya, yang jelas nama rumah sakit pusat di (kota) Cirebon disebut RSU Sunan Gunung Jati. Ini terkesan seakan kurang dipahami siapa Sunan Gunung Jati dan terkesan pengabaian terhadap nama-nam dokter penting asal Cirebon.


Prof. Dr. Raden Djenal Asikin Widjaja Koesoema alias R.D. Asikin Wijayakusumah atau dibaca Jenal Asikin Wijaya Kusumah (lahir di Manonjaya, Tasikmalaya 07 Juni 1891 meninggal tahun 1963) adalah salah satu Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia juga dikenal sebagai dokter sekaligus guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Asikin lulus dari STOVIA pada tahun 1914 dan meraih gelar kedokteran di Universitas Amsterdam pada tahun 1925. Dia terlibat dengan beberapa laboratorium kedokteran di Eropa sebelum kembali ke Indonesia. Ia menulis tentang berbagai metode analisa sampel darah dan kegunaannya dalam hasil diagnosa. Asikin menjadi asisten pengajar di Batavia Medical School dan wakil kepala divisi penyakit dalam di rumah sakit yang bersebelahan dengan sekolah tersebut (sekarang adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Ia ditetapkan sebagai profesor di FKUI pada 1950. (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Dr Raden Djaenal Asikin Widjaja Koesoema dan nama rumah sakit Cirebon? Seperti disebut di atas, nama rumah sakit umum di (kota) Cirebon disebut Sunan Gunung Jati. Diantara dokter-dokter tempo doeloe ada nama Dr RD Asikin WK. Nama Asikin banyak digunakan, apakah telah menjadi marga baru di Cirebon? Lantas bagaimana sejarah Dr Raden Djaenal Asikin Widjaja Koesoema dan nama rumah sakit Cirebon? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 05 Mei 2023

Sejarah Cirebon (26): Gunung Jati, Cirebon, Nama Gunung dan Tempat di Dekat Pantai; Kisah Sunan Goenoeng Djati Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Nama Gunung Jati dikaitkan dengan banyak hal. Nama Gunung Jati menunjukkan nama geografis (gunung Jati). Tentu salah satu wali songo (Sunan Gunung Jati). Nama Gunung Jati juga digunakan untuk nama rumah sakit dan nama perguruan tinggi. Artikel ini secara khusus mendeskripsikan nama tempat Gunung Jati di wilayah Cirebon.


Gunung Jati adalah salah satu kecamatan di kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Awalnya bernama kecamatan Cirebon Utara, dan berubah menjadi kecamatan Gunung Jati pada tahun 2006. Perubahan nama tersebut sebagai ciri adanya situs Makam Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu dari Wali Songo, tepatnya di desa Astana. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kota Cirebon. Fasilitas, kecamatan ini terdapat satu rumah sakit, yaitu: Rumah Sakit Pertamina Cirebon di Komplek Pertamina EP Region Jawa, Klayan. Selain terdapat Puskesmas Gunung Jati di desa Mertasinga dan juga dua puskesmas pembantu (pustu). Pembagian administrasi, kecamatan Gunung Jati memiliki 15 desa, yaitu: Pasindangan, Adidarma, Jadimulya, Klayan, Jatimerta, Astana, Kalisapu, Wanakaya, Grogol, Mertasinga, Mayung, Babadan, Buyut, Sirnabaya dan Sambeng (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Gunung Jati di wilayah Cirebon, nama gunung dan tempat dekat pantai? Seperti disebut di atas, nama Gunung Jati adalah nama gunung cukup dekat dengan pantai. Di suatu kampong kuno Astana terdapat makam sunan (Sunan Gunung Jati). Bagaimana hubungan Soenan Goenoeng Djati tempo doeloe dengan gunung Jati. Lalu bagaimana sejarah Gunung Jati di wilayah Cirebon, nama gunung dan tempat dekat pantai?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Cirebon (25): Perkebunan Wilayah Cirebon;Pembangunan Pertanian Pedalaman dan Pengembangan Perikanan Laut Pesisir


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Petkebunan adalah bagian terakhir dari sejarah pertanian di wilayah Cirebon. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda berupaya untuk mendorong pertanian penduduk dengan peningkatan infrastruktur irigasi (bendungan dan kanal). Semua itu dimaksudkan agar penduduk aman dalam pangan tetapi juga mampu produksi tanaman ekspor.  Lalu kemudian menyusul konsesi-konsesi perkebunan diberikan kepada investor swasta.


Tanam Paksa di Cirebon, Saat Pribumi Dijajah di Perkebunan Tebu. 28-08-2022. Radarcirebon.com, Sistem tanam paksa juga diterapkan Pemerintah Kolonial di Cirebon, lewat perkebunan tebu. Masa-masa tersebut sangat pahit. Masyarakat Cirebon ketika itu menjadi budak tanam paksa, khususnya tebu di sejumlah kawasan perkebunan. Komoditas itu, menjadi salah satu adalan ekspor ke Eropa. Tidak hanya tanam paksa, VOC juga menancapkan kukunya dalam perdagangan teruama di Pelabuhan Cirebon sejak abad 17. Tidak hanya tanam paksa, perdagangan di Cirebon juga dikuasai oleh VOC. Pemerintah kolonial membangun benteng, hingga fasilitas perdagangan juga pergudangan. Komoditas yang menjadi komoditi tanam paksa ketika itu adalah kopi, gula, teh, kapas hingga lada. Tanaman seperti kopi dan teh dikirim dari wilayah Priangan, didatangkan ke Pelabuhan Cirebon untuk diangkut ke Eropa. Pada catatan Cirebon dalam Lima Zaman, di bawah kekuasaan kompeni, terutama pada abad ke-18, saat tanam paksa dilakukan di Cirebon terjadi kelaparan, wabah penyakit dan emigrasi penduduk. Kelaparan terjadi, karena padi atau beras dimonopoli kompeni dan faktor lainnya, lahan untuk menanam padi berkurang, lantaran sebagian lahan itu digunakan untuk menanam tarum (nila) dan kopi untuk kepentingan Belanda. (https://radarcirebon.disway.id/) 

Lantas bagaimana sejarah perkebunan di wilayah Cirebon? Seperti disebut di atas setelah pertanian penduduk ditingkatkan sejak era Pemerintah Hindia Belanda, pihak swasta mulai melakukan investasi di bidang perkebunan. Dalam hal ini kita juga sedang membicarakan sejarah awal pertanian di pedalaman dan sejarah awal perikanan laut di pesisir. Lalu bagaimana sejarah perkebunan di wilayah Cirebon? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.