Sepakbola Jakarta sudah jauh berkembang. Jumlah klub semakin banyak. Frekuensi pertandingan semakin tinggi. Berbagai kompetisi dalam bentuk turnamen sudah terselenggara dengan baik. Perhatian publik juga semakin meningkat apalagi pemberitaan sepakbola oleh media semakin intens. Namun perkembangan yang ada semakin mengutub, perhatian media menjadi terfokus hanya pada sepakbola ETI (Eropa/Belanda). Akibatnya, informasi sepakbola pribumi kurang terungkap dan semakin tenggelam. Apalagi sejak tahun 1906 sudah muncul intrik-intrik dari para ‘gibol’ Belanda di Jakarta agar lapangan Koningsplein dibatasi hanya untuk sepakbola ETI saja (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-03-1906). Sementara itu, hanya klub STOVIA yang ‘berbau’ pribumi yang mendapat porsi pemberitaan di media. Klub-klub macam Petjenongan Voetbal Club, Gang Tiemboel VC, Kampung Manggis VC, Kwitang VC dan lainnya tidak diketahui rimbanya lagi.
Kompetisi sepakbola di Medan 1907 dan 1908 |
Docter Djawa Club melakukan pramusim ke Medan
Docter Djawa Club atau Stovia Club, Batavia, 25-01-1907 |
Ketika jeda kompetisi sepakbola
(kegiatan pramusim) tahun 1909, klub-klub di Jakarta melakukan tur. Adayang
melakukan tur ke Semarang dan bahkan Surabaya, tetapi umumnya klub-klub Jakarta
lebih memilih klub-klub Bandung untuk alasan tertentu: lebih dekat, akses cepat
dan sekaligus wisata (membawa anggota keluarga) dan juga karena sudah sejak
lama hubungan antara klub Bandung dan klub Jakarta terjalin dalam pertandingan
persahabatan. Klub Docter Djawa School (STOVIA) yang sudah tidak ikut kompetisi sebenarnya bisa dengan mudah
melakukan tur pramusim ke Bandung karena di sepakbola Bandung ada OSVIA. Namun,
tak terduga, Docter Djawa Club justru melakukan tur ke tempat jauh di Medan.
Hal ini belum pernah dilakukan oleh klub-klub ETI Jakarta. Inilah yang terjadi
pada bulan April 1909: Docter Djawa Club melawat ke Medan. Klub tujuannya di
Medan hanya satu, yakni: Medan Tapanoeli Club.
De Sumatra post, 17-04-1909: ‘Sore ini dilakukan
pertandingan antara Tapanoeli vs Docter Djawa Club di Esplanade. De Sumatra post, 19-04-1909
melaporkan hasil pertandingan Tapanoeli vs Docter Djawa Club dengan skor 1-3. Pada babak pertama Docter
Djawa Club yang berkostum blau-witten (biru-putih) menang dua gol. Setelah
istirahat, Tapanoeli yang berkostum merah-hijau pada permulaan pertandingan
berhasil memperkecil skor. Docter Djawa Club akhirnya memenangkan pertandingan
setelah menambah satu gol lagi’.
Docter
Djawa Club yang melawat ke Medan menjadi heboh di Jakarta, Medan, Bandung dan
Semarang. Sebab inilah lawatan
klub sepakbola yang pernah ada. Berita-berita di surat kabar mendapat pujian. Lawatan Docter Djawa
Club ke Medan telah menandai sepakbola Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) menjadi
terhubung antara Jawa dan Sumatra. Para gibol utamanya orang-orang Belanda di
Jakarta sedikit tersenyum. Karena selama ini pers Inggris di Penang dan
Singapore kerap meledek sepakbola Nederlandsche Indie yang hanya mengetahui
kekuatannya sendiri (terbatas di Jawa). Klub-klub Penang dan Singapore sejak 1890an sudah sering
melawat ke Medan, demikian sebaliknya Tim Deli (gabungan dari Medan Sportclub
dan Langkat Sportclub) beberapa kali melawat ke Penang dan Singapore. Dengan
melawatnya Docter Djawa Club ke Medan di satu sisi sedikit melipur lara bagi para
‘gibol’ di Jakarta, sementara di sisi lain sedikit bertanya-tanya: Mengapa harus Docter Djawa Club yang
melakukan itu? Dan mengapa bukan klub-klub ETI?.
Sentimen-sentimen
antara ‘gibol’ Belanda dan ‘gibol’ Inggris kerap muncul. Perseteruan Medan
Sportclub (Belanda) dan Langkat Sportclub (Inggris) adalah perseteruan abadi di
Deli. Setiap kedua klub ini melakukan pertandingan selalu ramai, karena kedua
tim selalu bersemangat, seru dan keras (mungkin karena mengusung nama
bangsa). Pernah satu periode, Langkat
Sportclub tidak pernah terkalahkan oleh klub manapun di Medan selama tiga
tahun. Ketika Langkat Sportclub akhirnya berhasil dikalahkan oleh Medan
Sportclub, pers Inggris di Penang mencibir. Sebagaimana diketahui memang
sepakbola Inggris sudah lebih maju di Eropa dibanding sepakbola Belanda. Namun
karena ada perseteruan Inggris dan Belanda (sejak traktat London, 1824), hawa politik
antar dua bangsa juga berhembus di lapangan sepakbola di Medan. Klub-klub
Belanda di Medan diapit oleh dua kekuatan klub Inggris, yakni dari Penang dan
dari Langkat. Orang-orang Inggris sangat bernafsu bermain sepakbola dengan
orang-orang Belanda, Ini juga pernah terjadi di Jakarta (lihat artikel ketiga
serial ini). Tim Inggris sebagaimana diberitakan Bataviaasch nieuwsblad,
04-06-1904 mengundang BVC Jakarta untuk bertanding di Koningsplein. Tim Inggris
ini adalah kru kapal perang Inggris, Vestal yang sedang bersandar di pelabuhan
Tandjong Priok. Kedatangan kapal perang Inggris ke Tandjoeng Priok meski bukan
dalam situasi perang, tetapi para kru kapal perang yang turun ke darat bermain
sepakbola di depan Istana Gubernur Jenderal di Batavia dapat diartikan sebagai
bentuk invasi Inggris dalam perang sepakbola terhadap sepakbola Belanda.
Lawatan
Docter Djawa Club ke Medan bukan tanpa rencana, tetapi boleh jadi suatu desain
besar yang mengedapankan satu misi: persahabatan sesama anak bangsa. Lantas
mengapa Tapanoeli Voetbal Club yang dituju di Medan? Klub Docter Djawa yang pemainnya 100 persen pribumi, kalau
dilihat dari nama, mengapa klub Tapanoeli yang dijadikan sebagai partner. Klub
Tapanoeli juga tampaknya sangat senang menerima tamu dari jauh dan bertindak
sebagai tuan rumah yang baik. Lantas mengapa klub Docter Djawa tidak memilih
klub lainnya seperti Teman Sefakat, Toengkoe, Maimoen, Sarikat atau klub yang
sama-sama menggunakan nama Djawa seperti klub Java VC atau Djawi Peranakan. Tidak
semudah itu, tapi ini jawabannya:
Docter Djawa School adalah sekolah dokter pribumi yang
didirikan 1851 di Batavia. Pada tahun 1854, Si Asta dan Si Angan dari Afdeeling
Mandheling en Ankola (selanjutnya disebut afdeeling Padang Sidempuan) diterima sebagai siswa di Docter Djawa School. Dua anak ini ternyata adalah siswa
pertama yang diterima dari luar Jawa. Karena prestasi kedua siswa ini
(kemampuan kognitif yang tinggi dan kemampuan bahasa Belanda yang memadai),
pimpinan Docter Djawa School (yang rata-rata pertahun mendidik 8-10 siswa)
meminta siswa yang berasal dari afd. Mandheling en Ankola untuk didatangkan kembali. Pada
tahun 1856 dua siswa dari afd. Mandheling en Ankola yang bernama Si Toga gelar Dja
Dori dan Si Napang gelar Dja Bodi diterima dan telah mengikuti pendidikan
(lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad: algemeen advertentie-blad,
02-04-1857). Demikian seterusnya secara reguler anak-anak afd. Mandheling en Ankola
mengikuti pendidikan di Docter Djawa School ini hingga 1902. Dr. Asta Nasution ditempatkan
di afd. Mandheling en Ankola. Alumni terakhir dari Docter Djawa School asal Padang Sidempuan adalah Mohamad Daoelaj, lulus 1906. Docter Djawa School sejak 1902 berubah nama menjadi STOVIA.
Dua anak Padang Sidempuan sekelas Dr. Tjipto di STOVIA |
Besar dugaan koneksi inilah yang digunakan Docter Djawa
Club. Sebab sejak dari doeloe nama anak-anak afd. Mandheling en Ankola (kini
afd. Padang Sidempuan) sudah dikenal baik oleh anak-anak Docter Djawa
School/STOVIA, apalagi di dalam Docter Djawa Club terdapat anak Tapanoeli,
Radjamin Nasution. Jangan lupa, bahwa Harun Al Rasjid Nasution adalah menantu
Dja Endar Moeda (Haroen menikah di Padang tahun 1903). Seperti diketahui Dja
Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan memiliki percetakan dan surat
kabar di Medan. Tapanoeli Voetbal Club dan klub sebelumnya Zetterletter VC salah
satu pendirinya adalah Dja Endar Moeda.
Tidak diketahui siapa yang berinisiatif dalam hal ini apakah
Tapanoeli VC atau Docter Djawa VC. Yang jelas menurut surat kabar, selama di
Medan Docter Djawa VC, kebutuhan pemondokan dan akomodasi lainnya ditanggung
oleh Tapanoeli VC (tidak disebutkan apa termasuk ongkos perjalanan pp). Koneksi
lainnya juga dapat dikaitkan dengan Dr. Abdul Rivai (editor Bintang Hindia di
Belanda) yang mensponsori diadakannya pertandingan sepakbola pribumi di Jakarta
(lihat artikel kelima serial ini). Dr. Abdul Rivai dan Dja Endar Moeda sudah
saling kenal, ketika mereka berdua diundang Dr. AA Fokker melawat ke Belanda tahun
1904. Juga dapat dikaitkan bahwa baru-baru ini (1908) Soetan Casajangan, alumni Kweekschool Padang
Sidempuan mendirikan perhimpunan pelajar (Indisch Vereeniging) di Belanda. Tentu
saja masih bisa dikaitkan dengan posisi Mangaradja Salamboewe, editor surat
kabar berbahasa Melayu, Pertja Timor di Medan yang terkenal militan. Mangaradja Salamboewe sang editor
pemberani adalah anak Dr. Asta Nasution, dokter pertama yang berasal dari luar
Jawa.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Para
pemain klub Docter Djawa selama di Medan tidak kemana-mana. Kunjungan yang
cukup lama di Medan malah lebih banyak berdiam diri di kota. Pada waktu itu,
Brastagi belum ada, ke danau Toba juga belum ada akses jalan, tentu saja belum
ada mobil meski sudah ada spoor ke Pematang Siantar, tetapi dari Pematang
Siantar ke danau Toba hanya bisa dilalui oleh pedati. Lagi pula, di sekitar
danau Toba masih belum kondusif setelah dua tahun sebelumnya (1907) terjadi
perang puncak antara militer Belanda dengan (pengikut) Sisingamangaraja XII.
Orang Padang Sidempuan ke Medan kala itu belum bisa melakukan perjalanan darat karena belum ada jalan. Orang Padang Sidempuan ke Medan melalui jalur laut, dari Sibolga via Kota Radja dan dari Sibolga ke Batavia lebih dahulu baru ke Medan. Jalur via Batavia juga sangat diminati karena bisa singgah ke semenanjung Malaya lebih dahulu sebelum ke Medan. Sebagaimana diketahui, sudah hampir satu abad penduduk Mandheling en Ankola banyak yang tinggal di Selangor (kini Ibukota Kualalumpur). Mereka itu umumnya eksodus pada masa padri (1820an) dan koffiestelsel di Mandheling en Ankola (1840an).
Para pemain klub Docter Djawa di Medan mungkin lebih konsentrasi dalam kaitannya dengan hubungan berbangsa. Putra-putra asal Jawa dan asal Sunda akan menyempatkan diri mengunjungi kerabat atau yang sekampung di pulau Jawa yang kini banyak bermukim di Medan. Itu lebih menarik daripada memikirkan wistata ke Brastagi dan danau Toba yang memang belum dikenal sebagai tempat wisata. Hubungan berbangsa ini terkesan dari seorang pembaca menulis di Sumatra Post, 03-11-1909 bahwa kapten tim Docter Djawa Club adalah Radjamin (bisa dipastikan itu Radjamin Nasution), sedangkan kapten dari klub Tapanoeli VC dari namanya bisa terkesan seorang anak peranakan Jawa di Medan. Jika kesimpulan ini benar, maka pertandingan antara Docter Djawa Club vs Tapanoeli VC benar-benar pertandingan persahabatan, dan oleh karena yang memimpin tim dari ibukota ini di lapangan adalah anak Batak, maka tim Docter Djawa menjadi tidak sungkan dan tetap mengusung sportivitas jiwa sepakbola. Seperti diketahui Docter Djawa Club berhasil mengalahkan Tapanoeli VC di kandangnya. Penjelasan ini menambah pemahaman kita pada masa kini bahwa anak-anak STOVIA telah memainkan peran dalam awal kebangkitan bangsa tidak hanya di Jakarta tetapi juga di Medan. Yang masih menjadi pertanyaan: mengapa Docter Djawa Club mengundurkan diri dari kompetisi pada paruh kompetisi di bulan April 1907, lalu tiba-tiba melakukan kunjungan sepakbola ke Medan pada tahun 1909 ini.
Dugaannya begini: Pada
tahun 1908 di satu sisi didirikan Boedi Oetomo (yang didukung oleh pemerintah),
lalu melakukan kongres di Solo. Sementara di tahun sebelumnya (1907), Dja Endar
Moeda dikenai delik pers (kasusnya sederhana: melaporkan pejabat di Kayutanam
yang menyiksa penduduk) tetapi atas laparan itu Dja Endar Moeda dikenai pasal
delik pers dan harus menerima hukum cambuk dan diusir dari Padang. Kita tahu
bahwa Dja Endar Moeda adalah penasehat Medan Perdamaian, organisasi nasional
yang didirikannya tahun 1900 (dan tahun 1902 memberikan banyuan pembangunan
sekolah di Semarang). Sementara Boedi Oetomo yang dilakoni koneksi STOVIA
(alumni Docter Djawa School dan mahasiswa STOVIA) lebih focus di Jawa (bersifat
kedaerahan). Situasi dan kondisi ini dilihat Soetan Casajangan di Belanda. Pada
bulan Oktober dengan jumlah mahasiswa baru 20an orang Sutan Casajangan
mendirikan perhimpunan pelajar (Indisch Vereeniging) di Leiden (tentu bersifat
nasional). Dinamika di dalam tubuh mahasiswa itu sejak 1907 yang boleh jadi menyebabkan
Docter Djawa Club mengundurkan diri dari kompetisi. Nah, pada tahun 1909
(setelah eksis Indisch Vereeniging dan Boedi Oetomo) Docter Djawa Club ‘nongol’
lagi, lalu melawat ke Medan. Mereka yang ke Medan ini adalah faksi nasional,
dimana di dalamnya terdapat Radjamin Nasution. Sedangkan Soetomo (pentolan
Boedi Oetomo) yang faksi daerah, boleh jadi tidak salah-salah amat, karena
waktu itu di pedalaman Jawa berkecamuk wabah penyakit dan tingkat literasi
penduduk rendah, tetapi sedikit keliru menafsirkan dan mengabaikan trans
nasional. Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, lalu Boedi Oetomo disokong.
Tentang Medan Perdamaian, malah lebih ekspan, dari tempat kelahiran di Padang,
sudah ada di Sibolga, Medan (bahkan Pematang Siantar), Palembang dan Batavia.
Pimpinan Medan Perdamaian ini di Jakarta dimotori pemilik skolah industry di
Kayutanam. Tapi pada waktunya nanti akan dikorekasi sendiri oleh Soetomo.
Radjamin Nasution sudah lama mengenal Soetomo di STOVIA (kelak Radjamin
Nasution menjadi anggota dewan kota dan kemduian menjadi walikota Kota Surabaya,
kota tempat kelahiran Dr. Soetomo) .
Untuk sekedar proyeksi, sebelum topik
kita kembali ke Batavia di pulau Jawa terdapat dua kejadian awal di Medan pada
tahun 1910: Pertama, surat kabar Pewarta Deli di Medan didirikan oleh anak-anak
Padang Sidempuan untuk menggeser koran Pertja Timor. Surat kabar Pertja Timor
(investasi Belanda) mulai kendor dalam mengangkat kaum pribumi setelah beberapa
waktu lalu Mangaradja Salamboewe, editor pemberani dikabarkan telah meninggal
dunia. Jiwa nasional Pertja Timor lenyap. Kelak Pewarta Deli akan memainkan juga
peran dalam dunia sepakbola pribumi di Medan. Kedua, Abdul Firman gelar
Mangaradja Soeangkoepon berangkat studi ke Belanda. Anak kelahiran Padang
Sidempuan ini sepulang dari Belanda akan memulai karir di Pematang Siantar,
kemudian menjadi anggota dewan kota di Tandjong Balei. Lalu pada tahun 1924
menjadi anggota dewan pusat (Volksraad)
di Pendjambon (kini di Senayan) mewakili dapil Sumatra Timur selama empat
periode. Abdoel Firman Siregar sangat concern tentang sepakbola dan bersama M.
Husni Thamrin di Pedjambon menggebrak dewan (yang mayoritas orang-orang
Belanda). Mangaradja Soangkoepon digelari Macan Pedjambon (maksudnya paling vocal).
Macan di Kemayoran sesungguhnya tidak pernah ada dikabarkan, tetapi di kampong Abdul
Firman di Sipirok sangat banyak macan.
***
Pers
Belanda tampaknya tidak memahami mengapa Docter Djawa Club melakukan tur
(jeda kompetisi) pramusim ke Medan (dan bukannya ke OSVIA). Pers Belanda melihatnya hanya sebagai
kunjungan biasa. Kunjungan itu hanya dirasakan sebagai pelipur lara, ketika
tidak satupun klub-klub (Belanda) di Jawa khususnya di Jakarta yang berani
melakukan tur pramusim jarak jauh (long distance). Karena memang mahal toh!
Apalagi buat mahasiswa-mahasiswa yang tengah studi di STOVIA.
Kelak
kita lihat, bagaimana Dr. Radjamin Nasution, pembina sepakbola Surabaya dan Walikota
pribumi pertama Kota Surabaya begitu heroiknya mengorganisir rakyat Surabaya
untuk membantu laskar dan tentara republik untuk mengusir Belanda dalam perang
Surabaya. Adik kelas Radjamin Nasution di STOVIA, selama masa agresi militer
Belanda, Dr. Gindo Siregar menjadi Gubernur Militer di Noord Sumatra (Residentie
Sumatra’s Oostkust dan Residentie Tapanoeli) dan Dr. Djabangoen Harahap yang
sudah lama berkarir di Medan maju ke depan sebagai ketua Front Nasional Medan
(di Surabaya ketua front nasional adalah Doel Arnowo yang kelak menempati
posisi walikota Surabaya yang ditinggalkan Radjamin Nasution).
Pada tahun 1942 Dr.
Radjamin Nasution diangkat militer Jepang menjadi walikota Soerabaija untuk
menggantikan walikota orang Belanda dan ditunjuk lagi ketika era Republik. Dr.
Radjamin Nasution adalah pribumi pertama yang menjadi Walikota Surabaya.
Sebelumnya, Radjamin Nasution adalah anggota
dewan kota (gementeeraad) di Surabaija sejak 1933.
Juga,
dalam hal serupa, di waktu yang sama, anak Dr. Haroen Al Rasjid (cucu Dja Endar
Moeda) bernama Gele Haroen, Resident pertama Lampung bergerilya untuk melawan
militer Belanda di Lampung. Untuk sekadar diketahui, putri dari Dr. Haroen Al
Rasjid (cucu Dja Endar Moeda) bernama Ida Loemongga adalah dokter pertama
Indonesia yang bergelar Doktor (PhD). Lulus dari Universiteit Leiden tahun
1932. Dr. Ida Loemongga Nasution termasuk dalam tujuh orang Indonesia pertama
yang meraih PhD. Dari tujuh orang Indonesia pertama, empat diantaranya berasal
dari afd. Padang Sidempuan.
Dr.
Radjamin Nasution, dari delapan anaknya tiga lulusan STOVIA. Satu berpangkat
Letkol. kepala medis dalam perang Surabaya dan guru besar Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia serta satu lagi berdinas di Tarempa, Kepulauan Riaouw
(orang pertama yang mengirim berita adanya serangan pertama dalam invasi Jepang
dari Batam dan telegramnya dimuat di surat kabar di Surabaya).
Bersambung:
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber
tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar