Klub VIOS (Voorwaarts Is Ons Streven) adalah klub sepakbola yang terbilang paling kuat di Jakarta. Tim Jakarta (VIOS plus) pada kejuaraan antara kota di Semarang, 1914 adalah pemenang dan menjadi juara se-Jawa yang pertama. Pada tahun 1915 kejuaraan akan dilaksanakan di Batavia. Jelang kejuaraan itu, sepakbola Jakarta terus berkembang, kompetisi tiga divisi berjalan normal. Beberpa klub baru muncul, tetapi klub lama juga ada yang bubar. Persiapan pembentukan tim ke kejuaraan antara kota sudah dimulai. Kompetisi berikutnya dimulai lagi, tetap dengan tiga divisi: Divisi-1: VIOS, Oliveo, Hercules, BVC; Divisi-2: Hercules II, SVBB, BVC II, VIOS II; Divisi-3{ CRC, SVBB II, VIOS III, Oliveo III (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1915). Tampak ada perubahanm pada Divisi-3 dimana club baru muncul (CRC). Pada akhir tahun ini, BVC merayakan ulang tahun ke-12, dimana klub ini didirikan pada 1903 (Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1915).
Pada tahun
dimana Jakarta menjadi tuan rumah kejuaraan sepakbola antarkota di Jawa (1915),
seorang pemuda berumur 15 tahun dari Padang Sidempuan merantau ke Deli. Namanya
Parada Harahap, hanya tamat sekolah dasar. Dia melamar diperkebunan asing dan
diangkat menjadi krani (asisten manajer). Setelah bekerja dua tahun, Parada
Harahap menyadari ada yang tidak beres dengan para koeli. Parada Harahap mulai
gerah dengan perilaku para planter yang melakukan penyiksaan terhadap koeli
(penerapan poenalie sanctie). Sambil tetap bekerja, Parada Harahap mulai
belajar bahasa Belanda (dan membaca koran Sumatra Post) dan belajar bagaimana menulis.(dari
surat kabar Pewarta Deli). Pada tahun 1917, Parada Harahap mulai menulis berita-berita
kekejaman dan ketidakadilan dari perkebunan dan mengirimkannya ke surat kabar
Benih Mardika di Medan. Akhirnya, tulisan-tulisan yang dikirim Parada Harahap
ditulis ulang oleh editor dan sejumlah artikel dalam beberapa edisi. Berita itu
dianggap biasa saja di Medan, karena sudah lama didengar sebagai kabar burung
bahwa kejadian yang mirip banyak terjadi di berbagai kebun (onderneming). Akan
tetapi, surat kabar Soera Djawa yang terbit di Jawa meresponnya dengan cepat
dan meramu kembali artikel-artikel pasokan dari Parada Harahap tersebut. Lalu
heboh di Jawa. Penyelidikan di Medan mengetahui bahwa pemasok berita adalah
Parada Harahap, lalu Parada Harahp dipecat. Pada tahun 1918 Parada Harahap
berangkat ke Medan dan meminta bekerja sebagai wartawan tetapi malahan yang
ditawarkan manajemen Benih Mardika adalah untuk posisi editor. Parada Harahap
mengambil peluang itu. Namun baru sembilan bulan bekerja sebagai editor,
korannya dibreidel. Parada Harahap menganggur. Pada tahun 1919 Parada Harahap
pulang kampong di Padang Sidempuan dan mendirikan surat kabar dengan nama yang
vulgar: Sinar Merdeka (koran yang menggunakan kata ‘merdeka’ hanya ada di
Padang Sidempuan; di Medan masih disamarkan dengan ‘mardika). Selama dua tahun
di kota kelahirannya itu, belasan kali dimejahijaukan karena delik pers dan
beberapa kali masuk bui (penjara dimana kelak Adam Malik juga menjadi
penghuninya).
Pada kompetisi tahun
1916 WJVB melakukan rapat umum dan pemilihan pengurus baru. Satu keputusan
dalam rapat itu klub militer Sparta ikut lagi kompetisi dan ditempatkan di
Divisi-2. Klub-klub yang berkompetisi adalah sebagai berikut: Divisi-1:
Oliveio, Hercules, VIOS dan BVC; Divisi-2: VIOS II, Oliveo II, Hercules II,
Sparta, SVBB, CRC; Divisi-3: CRC II, Oliveo III, VIOS III, Hercules III dan
SVBB II (Bataviaasch nieuwsblad, 08-04-1916). Pada kompetisi 1917, tidak ada
yang mengalami perubahan, tetap tiga divisi. Yang terjadi adalah suatu demonstrasi
yang dilakukan oleh kalangan pers terhadap sepakbola. Para wartawan tidak hadir
di lapangan karena di dalam kompetisi terdapat ketidak beresan. Media sudah
menulis kritik tetapi tidak ditanggapi, ketidakhadiran pers di lapangan adalah
suatu demonstrasi (Bataviaasch nieuwsblad, 12-03-1917). Tim yang dibentuk WJVB ke
Semarang sudah terbentuk (Bataviaasch nieuwsblad, 17-04-1917). Dilakukan rapat
umum biasa WJVB. Satu kuputusan yang penting adalah untuk membentuk tim independen
tetapi masih dibawah naungan dewan yang salah satu tugasnya adalah untuk
merevisi berbagai peraturan yang ada (Bataviaasch nieuwsblad, 21-05-1917).
Kejuaraan antar kota se-Jawa berikutnya diselenggarakan di Surabaya (1916) lalu di Semarang lagi (1917). Pada tahun 1918 tempat penyelenggaraan di Bandung. Pusat pertandingan di Bandung ditempatkan di lapangan Aloon-Aloon. Dalam pagelaran sepakbola tertinggi di Jawa ini, panitia menyulap lapangan alun-alun bagaikan stadion: lapangan dipagar dengan bilik dan tiket masuk berbayar. Meski begitu penonton tetap ramai. Inilah kali pertama perhelatan kejuaraan antar kota dikutip harga tiket masuk. Bobotoh seakan dibatasi untuk menonton dengan penerapan komersialisasi sepakbola.
Lapangan Aloon-Aloon disulap jadi stadion di Bandung, 1918
Kompetisi akhir tahun 1917 dan awal tahun
1918 juga tidak terjadi perubahan, kecuali masuknya HVV dan VVVA di Divisi-3
dan Juliana dan UDI di Divisi-2 serta SVVB sudah naik ke Divisi-1. Hal yang
perlu dicatat bahwa editorial Bataviaasch nieuwsblad mengomentari keberadaan
divisi-3 yang tidak efektif dimana beberapa pertandingan tidak berjalan normal
dari Sembilan serikat yang berada di bawah WJVB. Akibatnya pertandingan dua
liga dalam setahun (masing-masing lima bulan) tidak selesai pada waktunya. Juga
mengomentari kurangnya lahan yang tersedia untuk lapangan sepakbola, taman Deca
yang masih baru belum memungkinkan (Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1918). Memang
sulit mengelola kompetisi dengan situasi dan kondisi yang banyak kendalanya.
Pada saat Parada Harahap merantau ke Deli (1915), di
tahun yang sama, seorang anak Padang Sidempuan berangkat dari Buitenzorg
(Bogor) untuk studi kedokteran hewan ke Belanda (di Utrecht). Namanya Sorip Tagor.
Tahun sebelumnya (1914) Sutan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging pulang ke
tanah air dan mengajar di Buitenzorg. Sorip Tagor dan Sutan Casajangan seakan
tukar tempat. Sorip Tagor Harahap adalah asisten dosen sejak 1913 di Inlandschen
Veeartsen School (sekolah kedokteran hewan bagi pribumi) yang setingkat dengan
STOVIA. Sorip Tagor Harahap (kakek Inez dan Risty Tagor) melanjutkan studi
untuk mendapatkan sarjana penuh bidang kedokteran hewan (setara Eropa). Baru
setahun kuliah, Sorip Tagor terbuka matanya, melihat banyak yang tidak
seharusnya. Indisch Vereeniging (yang menjadi organisasi nasional) sepeninggal
Sutan Casajangan semakin kendor berjuang, sementara Boedi Oetomo semakin asik
dengan caranya sendiri (mementingkan diri sendiri dengan sokongan pemerintah).
Jong Java dibentuk di berbagai kota di Jawa (tengah dan timur). Indisch Vereeniging
pecah kongsi. Sorip Tagor lalu mempelopori dibentuknya Sumatranen Bond (sebagai
respon terhadap Jong Java). Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi
didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Tujuan didirikan organisasi ini untuk
meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan
pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai
ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai
bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah
di kampus Soetan Casajangan). Batavia memberi dukungan, lalu didirikan
Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang
berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada
tanggal 8 Desember 1917. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah
Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua,
Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De
Sumatra post, 17-01-1918). Sejak itu bermunculan organisasi-organisasi pemuda:
Jong Celebes, Kaum Betawi, Pasundan, Jong Ambon, Minahasa dan lainnya.
Pemerintah colonial mulai tersenyum, karena seperti itu yang diinginkannya
(politik devide et impera). Sorip Tagor mungkin sangat marah, karena Medan
Perdamaian (yang didirikan Dja Endar Moeda) dan Indisch Vereeniging (yang
didirikan Sutan Casajangan) terus digembosi sampai tidak berdaya.
Di lapangan sepakbola juga setali tiga uang.
Politik rasial oleh Belanda terus dikembangkan oleh orang-orang
Belanda (pemerintah atau swasta). Sepakbola pribumi di Medan dilarang bermain
di lapangan tengah kota (dipinggirkan), lapangan Kongsplein di Batavia hanya
untuk orang ETI, penonton sepakbola di Bandung (bobotoh) dihalangi dengan penerapan
harga tiket masuk dan pajak. Akibatnya bond pribumi dibentuk di Batavia (di
kota kota lain belum berani).Baru beberapa tahun
kemudian menyusul di Medan.
Kompetisi sepakbola di Jakarta pada awal tahun 1919
dimulai lagi. Kini kompetisi diperluas menjadi empat divisi (Bataviaasch
nieuwsblad, 11-02-1919). Inilah kompetisi di Jakarta dengan level (divisi)
terbanyak selama ini, dan merupakan terbanyak di Nederlandsch Indie. Kompetisi
berikutnya, tetap empat divisi. Klub Mars ikut lagi ditempatkan di Divisi-1.
Klub baru Excelsior ditempatkan di tiga divisi terbawah (ikut tiga divisi), Pada
kompetisi ini Deca Park sudah digunakan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-11-1919). Dengan demikian, jumlah lapangan bertambah
menjadi: Koningsplein (kini lapangan Monas), Planten en Deterren (kebun
binatang Cikini), Waterlooplein, VIOS Terrein atau VIOS-veld di Mesteer
Cornelis (kini Jatinegara) dan Deca Park (sekitar istana), Laan Raden Saleh).
Manggaray.
Perserikatan sepakbola pribumi ini sudah
dibentuk beberapa tahun yang lalu. Hingga kini masih eksis, namun terus
terpinggirkan dari pers Eropa/Belanda, karena memang perserikatan WJVB juga
memiliki jumlah klub yang banyak dan bahkan kini sudah empat divisi. Akibatnya,
perkembangan sepakbola ETI di Jakarta juga menyebabkan kabar berita sepakbola
pribumi tenggelam. Boleh jadi pemberitaan sepakbola pribumi terdapat dalam
media-media pribumi, karena media pribumi (surat kabar dan majalah) juga terus
berkembang.
Kini (1922) Parada Harahap sudah berada di Batavia.
Pemilik dan editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan mungkin
kesepian sendirian di kampongnya.
Teman-teman sebayanya sudah banyak di Batavia dan Buitenzorg plus adik-adik
sebanyanya yang kuliah di STOVIA, Rechtschool, Kweekschool, Veterineire School,
Landbouw School. Ibukota Residentie Tapanoeli di Sibolga terlalu kecil buat
kapasitas dirinya yang terbilang revolusioner. Parada Harahap di Sibolga telah
beberapa tahun aktif di organisasi pergerakan pemuda, Tapanoeli Bond (bagian
dari Sumatranen Bond). Parada Harahap sudah banyak mendapat asistensi dari
seniornya Dr. Abdul Karim Harahap (yang dulu sekelas dengan Dr. Tjipto,
sama-sama lulus 1902). Batavia butuh tokoh revolusioner untuk mengubah keadaan,
Dengan bismillah, Parada Harahap, dari Tanah Batak hijrah ke Batavia.
Sementara itu, di Medan (anak Jakarta kelahiran Padang
Sidempuan: maksudnya dulu pernah kuliah di STOVIA), Radjamin Nasution sudah
berada di Medan (seorang dokter pribumi yang berkarir di pabean atau bea dan
cukai). Setelah berpindah-pindah tempat mulai dari Batavia, Pangkalan Boen
(1913), Perbaungan (1914), Cilacap (1916), Semarang (Januari 1917) dan kembali
ke Batavia (Desember, 1917: pada saat Sumatra Bond dibentuk di Jakarta), Medan,
Surabaya, Sampit (awal 1921), kembali lagi ke Surabaya, enam bulan kemudian
dipindahkan ke Belawan, awal 1922 di Muara Sabak, Djambi dan kembali lagi ke
Medan. Ini seakan Radjamin Nasution tukar tempat dengan Parada Harahap.
Di Batavia, sebagai new comer, Parada Harahap
memulai karir dari bawah, menjadi wartawan, meski sudah menjadi editor di Medan
(1918) dan di Padang Sidempuan (sejak 1919). Tentu bukan itu tujuan
sesungguhnya, Parada Harahap ingin lebih dari sekadar wartawan biasa. Parada
Harahap menemui Sutan Casajangan yang menjadi Direktur Normaal School di
Mesteer Cornelis. Mungkin Sutan Casajangan meminta Parada Harahap untuk
berdiskusi dengan Dr. Abdul Rivai (yang sudah kembali ke tanah air dari
Belanda).
Sebagaimana diketahui, Dr. Abdul Rivai dari Bintang
Hindia yang mensponsori diselenggarakan sepakbola pribumi di Jakarta ketika
sepakbola pribumi mulai dipinggirkan ketika sepakbola Eropa/Belanda tengah
berkembang pesat.
Tahun 1923, surat kabar Bintang Hindia terbit
di Jakarta (mengambil nama majalah Bintang Hindia yang terbit di Belanda dimana
Dr. Abdul Rivai dan Sutan Casajangan pernah menjadi editor): Pemimpin
perusahaan adalah Dr. Abdul Rivai; Editor adalah Parada Harahap. Dua insan pers
yang kenyang pengalaman. Surat kabar Bintang Hindia langsung meroket, tiras
dari bulan ke bulan naik terus bahkan dalam tempo singkat telah menggeser
positioning surat kabar Pembrita Betawi (investasi Eropa/Belanda). Parada
Harahap bersama adiknya Harun Harahap mendirikan kantor berita Alpena (kantor
berita pribumi pertama) dan merekrut WR Supratman dari Bandung untuk menjadi
wartawan dan kemudian menjadi editor. Selama permulaan kehadiran WR Supratman
di Jakarta tinggal di rumah Parada Harahap. Kini surat kabar yang memberitakan
perkembangan sepakbola pribumi sudah ada. Kebetulan sang editor adalah ‘gibol’
dari Padang Sidempuan, Parada Harahap.
Radjamin Nasution, Ketua Deli Voetbal Bond Medan, 1923 |
Koran De Sumatra Post terbitan 13-02-1923 memberitakan
Radjamin membentuk Asosiasi Sepakbola Deli (Deli Voetbal Bond). Pada saat itu
sepakbola Medan memang sejak dari awal telah terjadi pembauran antara
Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi (berbeda dengan di Batavia tidak pernah
terjadi, karenanya lebih awal mendirikan perserikatan klub-klub pribumi).
Situasi dan kondisi di Medan mulai meruncing. Situasi politik berimbas di
sepakbola Medan. Ini bermula dari.
Parada Harahap yang masih berumur 26 tahun, di
Batavia bergabung dengan organisasi pemuda Bataksch Bond. Parada Harahap lalu
mempelopori didirikannya klub sepakbola Bataksch Voetbal Club dan bergabung
dengan kompetisi sepakbola pribumi di Batavia. Parada Harahap adalah pemain
yang merangkap sebagai ketua.
Bataksch Bond didirikan pada tahun 1919. Ketika itu Parada
Harahap sedang pulang kampong (dari Medan) dan mendirikan surat kabar Sinar
Merdeka. Pendiri Bataksch Bond adalah Abdoel Rasjid. Selama kuliah di STOVIA, Abdul
Rasjid melihat adanya sedikit distorsi di Sumatra Bond. Lalu Abdoel Rasjid
mempelopori didirikannya Bataksch Bond (mirip ide Sorip Tagor), tetapi Abdoel
Rasjid tetap berafiliasi dengan Sumatra Bond (mungkin untuk menghormati
seniornya Sorip Tagor). Alasan lain didirikannya Bataksch Bond oleh Rasjid agar
lebih optimal mengakomodir anak-anak Batak lainnya karena ditengarai ada
sedikit resistensi dari beberapa anggota Sumatra Bond (Islam) terhadap
anak-anak Batak lainnya (yang beragama Kristen).
Portofolio Parada Harahap naik terus. Tiras
korannya meningkat pesat. Kantor berita Alpena yang didirikannya juga sudah
mulai mendatangkan hasil. Parada Harahap tidak hanya ketua Bataksch Bond dan Pembina
Bataksch Voetbal Club tetapi juga pengurus inti dari Sumatranen Bond. Oleh
karenanya, pergaulannya menjadi sangat luas. Parada Harahap mulai terlibat
dalam politik nasional.
Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische
Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan
pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam
pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program
meliputi kegiatan politik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan
kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan
tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya.
Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, secretaris Tb van Nitterlk, penningmeester,
Mobamad Djamil, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel,
JK Panggabean, Pb. J.Krancber en A. Cbatib’.
Gerakan politik nasional ini mendapat
serangan dari editor Surabaija Handelsblad (pimpinan K. Wijbrand). Parada Harahap
merespon provokasi dari Surabaya tersebut dan menulis tanggapan di Java Bode
yang terbit di Semarang (surat kabar berbahasa Belanda, milik temannya dari
Tionghoa) (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Untuk memperkuat wartawan
pribumi Parada Harahap mempelopori didirikannya organisasi wartawan pribumi. De
Sumatra post, 29-09-1925 melaporkan: ‘Atas penangkapan editor Warna Warta
bernama Keng Po, di Batavia, didirikan Asosiasi wartawan pribumi. Pertemuan
diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di
Weltevreden.
Kini di Batavia, tidak hanya organisasi sepakbola pribumi
yang ada, tetapi juga sudah terbentuk organisasi para wartawan. Besar
kemungkinan yang mempelopori persatuan wartawan ini adalah Parada Harahap
mengingat tahun 1918 Parada Harahap juga mempelopori didirikannya sarikat
wartawan di Medan. Ini berarti: sarikat sepakbola pribumi lebih dulu didirikan
di Batavia daripada di Medan (1923 oleh Radjamin Nasution), sementara sarikat
wartawan lebih dulu didirikan di Medan daripada di Batavia.
Sebagai pendiri klub sepakbola Bataksch
Voetbal Club, Parada Harahap tidak bermain untuk pertandingan karena kalah
kualitas dibanding yang lebih muda-muda. Akan tetapi dalam latihan, Parada
Harahap selalu ikut bermain.
De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di
Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di lapangan Decapark dalam perebutan
piala (beker) bertanding melawan tim lainnya, yang dipimpin oleh Parada
Harahap, seorang wartawan terkenal dari Batak’.
Parada Harahap adalah pribadi yang lengkap:
masih muda, pemberani (tidak ada takutnya terhadap pemerintah dan pers Belanda),
tentu saja cerdas. Namun demikian, pers Belanda tetap mengakui keunggulan
Parada Harahap untuk urusan pers. De Indische courant, 23-12-1925 ) melaporkan
Parada Harahap dianggap sebagai Wartawan Terbaik dari Europeescbe Pers. Parada Harahap sebagai pengurus Sumatranen
Bond dan juga wartawan berinisiatif melakukan perjalanan jurnalistik ke seluruh
Sumatra. Laporannya ini ditulisnya sebagai buku dengan judul ‘Dari Pantai ke
Pantai’ (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926). Parada Harahap juga menerbitkan
surat kabar baru namanya ‘Bintang Timur” (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
07-08-1926). Dengan demikian secara bilangan, Parada Harahap sudah memiliki
tiga media: surat kabar Bintang Hindia, kantor berita Alpena dan Koran Bintang
Timur.
Parada Harahap tidak memiliki ‘hutang’
terhadap Belanda. Parada Harahap sangat antusias terhadap persatuan dan
kesatuan. Musuhnya hanya satu: Imperialis (Belanda) dan kapitalis (Eropa/Belnada).
De Sumatra post, 24-02-1919: ‘Parada Harahap dari Benih
Mardeka berpendapat perlunya kerjasama yang lebih antara kelompok penduduk
pribumi di Pantai Timur Sumatera. Persaingan antara Mandhelinger dan
Minangkabauer harus dihilangkan, orang harus merasa dirinya pribumi, rasa
memiliki, satu untuk semua dan semua untuk satu, dan bukan seperti yang terjadi
sekarang, semua untuk saya. Penulis berharap akan membawa hal besar ini ke
pertemuan SI, untuk ditemukan perdamaian antara kelompok etnis pribumi yang
berbeda’.
De Sumatra post, 03-03-1919: ‘Untuk mencapai penciptaan
serikat buruh Sumatraanschen kemarin pagi mengadakan pertemuan di bioscop
Oranje. Perserta yang hadir sangat tinggi: sekitar 400 orang. Pembicara dalam
pertemuan itu adalah Mangoenatmodjo, Parada Harahap, presiden dari
estate-kierkenbond, M. Soendoro, editor De Crani, Hie Foek Tjoy, mantan editor
Andalas’.
De Sumatra post, 04-04-1919 (Een jounalistén bond):
‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche didirikan. Pengurus dewan sebagai
berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris, Parada Harahap. Komisaris, satu
diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat telah memiliki tidak kurang
dari 40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda, untuk tujuan
bersama, melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan mereka sesama
oriental’.
Dengan portofolio yang terus meningkat mulai
memikirkan persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini terkotak-kotak (hasil
perbuatan pemerintah Belanda). Untuk tujuan visi dan misi perstuan dan kesatuan
itu. tugas pertamanya (ke dalam) sebagai pengurus Sumatranen Bond adalah adalah
merevitalisasi organisasi (lihat De Indische courant, 10-02-1927) dan tugas
berikutnya (ke luar) adalah mempelopori didirikannya Himpunan
organisasi-organisasi. Lantas Parada Harahap mengajak M. Husni Thamrin (dari
Kaoem Betawi).
Lalu dibentuklah supra organisasi yang disebut Inheemsche Vereenigingen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Parada Harahap yang menjadi pendiri dan pengurus Inheemsche Vereenigingen lalu disorot kembali oleh pers Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927).
Mengapa nama M. Husni Thamrin yang ditokohkan Parada
Harahap untuk menyatukan organisasi-organisasi di Batavia? Mudah menebaknya. Pada
waktu itu (1927) hanya ada dua macan dari anggota Volksraad (kini DPR) di Pedjambon
(kini di Senayan), yakni Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra Timur) dan
M. Husni Thamrin (dari dapil Batavia). M. Husni Thamrin adalah macan dari
Kemajoran dan Mangaradja Soangkoepon adalah macan dari Padang Sidempuan. Dari
dapil Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh), Dr. Alimoesa Harahap agak kalem
(kurang galak) lebih stylist. Mangardja Soangkoepon adalah alumni Belanda
(berangkat dari Medan ke Belanda, 1910) yang juga abang dari Dr. Abdul Rasjid
Siregar (alumni STOVIA pendiri Bataksch Bond), Dr. Alimoesa Harahap, kelahiran
Padang Sidempuan adalah pemain sepakbola Siantar Voetbal Bond yang setelah
lulus sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (1912) ditempatkan di Pematang
Siantar yang merupakan adik kelas Sorip
Tagor (pendiri Sumatranen Bond di Belanda). Kelak, Alimoesa Harahap adalah
mentor Adam Malik di Pematang Siantar. Dalam hal tokoh tadi, tampaknya Parada
Harahap mendapat nasehat dari Mr. Mangaradja Soangkoepon dan Dr. Alimoesa
Harahap. Pada periode berikutnya di Volksraad Dr. Alimoesa Harahap digantikan
oleh Dr. Rasjid Siregar dan Mr. Mangaradja Soangkoepon tetap terpilih. Pada
puncak politik Parada Harahap nanti (1930an) dikawal dua macan gardan dua
(abang-adik) dari Padang Sidempuan. Juga masih ada satu lagi yang mengawal: Sutan Casajangan yang kini menjadi Direktur Normaal School di Mesteer Cornelis (pendiri perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda 1908). Tentu saja masih ada Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang baru pulang dari Belanda meraih gelar doktor (PhD) dan Mr. Radja Enda Boemi, PhD yang tahun 1925 meraih gelar doktor di Leiden. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi kini (sejak 1927) menjadi ketua pengadilan di Buitenzorg (pada tahun 1932, dari tujuh orang pertama yang memiliki gelar doktor, tiga diantaranya dari Padang Sidempuan, termasuk Dr (dokter). Ida Loemongga Nasution, PhD, perempuan pertama Indonesia bergelar PhD)
Lalu dibentuklah supra organisasi yang disebut Inheemsche Vereenigingen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Parada Harahap yang menjadi pendiri dan pengurus Inheemsche Vereenigingen lalu disorot kembali oleh pers Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927).
Parada Harahap tidak mau berpolemik di media lagi seperti
tahun 1925, ketika dirinya berseteru dengan Karel Wijbrand. Meski Paeada Harahap disorot pers Belanda
atas pendirian Inheemsche Vereenigingen, tidak mau menanggapi, Parada Harahap
tampaknya lebih arif dan bijaksana, karena polemik hanya memperkeruh keadaan,
Parada Harahap punya agenda sendiri (persatuan dan kesatuan). Parada Harahap
ingin konsentrasi urusan ‘dalam negeri’ daripada urusan ‘luar negeri’. Parada
Harahap kini adalah pengurus Inheemsche Vereenigingen atau PPPKI (Permofakatan Persatoen Perhimpunan Kemasyarakat
Indonesia).
Pada bulan Agustus 1928 dilakukan kongres PPPKI
di Gang Kenari (kini Jalan Kenari). Yang hadir dalam pembentukan itu adalah pimpinan
dari Boedi Oetomo, Jong Ambon, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatra Bond, perwakilan
Sulawesi Utara dan sebagainya. Parada Harahap sendiri waktu itu masih berumur
30 tahun (terbilang masih muda). Dalam kongres yang diadakan di kantor PPPKI
di Gang Kenari tersebut, Parada Harahap menjadi ketua perwakilan Sumatra (lihat
De Indische courant, 01-09-1928). Kongres ini selain membicarakan organisasi
dan hubungan antar organisasi juga membicarakan tentang diadakannya Kongres
Pemuda pada bulan Oktober. Pelindung panitia Kongres Pemuda adalah PPPKI.
Panitia sudah dibentuk sebagai ketua adalah Soegondo dan bendahara adalah Amir
Sjarifoedin (keduanya adalah anak Medan, sama-sama kelahiran Medan).
Amir Sjarifoedin adalah mahasiswa Rechtschool di Batavia,
sedangkan Soegondo adalah mahasiswa STOVIA. Amir Sjarifoedin menempuh
pendidikan SMA di negeri Belanda. Setelah tamat melanjutkan pendidikan tinggi
(1926). Namun baru naik tingkat dua (1927), Amir Sjarifoedin pulang kampong,
karena ayahnya Djamin Harahap gelar Baginda Soripada, seorang jaksa di Sibolga
ditahan Belanda karena dituduh penyebab beberapa tahanan di Sibolga melarikan
diri (setelah disidang di Padang, tidak terbukti dan dibebaskan, malahan
kemudian jabatannya ditingkatkan). Akan tetapi Amir Sjarifoedin sudah di tanah
air (dan enggan kembali ke Belanda) dan masuk Rechtschool di Batavia.
Untuk mensosialisasikan dan agar PPPKI lebih
tersosialisasi, Parada Harahap memperluas cakupan bisnis medianya. Sebagaimana
diberitakan De Indische courant, 13-09-1928, Parada Harahap telah membentuk
Bintang Timoer edisi daerah di Semarang untuk Jawa Tengah dan di Surabaya untuk
Jawa Timur.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar