*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada masa kini Bundaran HI (Hotel Indonesia) menjadi salah satu ikon Kota Jakarta. Hotel Indonesia dan Bundaran HI dibangun sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games 1962. Posisi Bundaran HI berada di tengah garis lurus jalan antara Lapangan Monas dengan Jembatan Semanggi dan Stadion Bung Karno di Senayan. Satu situs penting lainnya adalah gedung Sarinah. Garis lurus imajiner berpotongan dan titik imajiner di Bundaran HI sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games 1962 menjadi titik awal perkembangan baru kota Djakarta tempo doeloe menjadi kota metropolitan Jakarta masa depan.
Pada masa kini Bundaran HI (Hotel Indonesia) menjadi salah satu ikon Kota Jakarta. Hotel Indonesia dan Bundaran HI dibangun sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games 1962. Posisi Bundaran HI berada di tengah garis lurus jalan antara Lapangan Monas dengan Jembatan Semanggi dan Stadion Bung Karno di Senayan. Satu situs penting lainnya adalah gedung Sarinah. Garis lurus imajiner berpotongan dan titik imajiner di Bundaran HI sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games 1962 menjadi titik awal perkembangan baru kota Djakarta tempo doeloe menjadi kota metropolitan Jakarta masa depan.
Garis Imajiner Bundaran HI (Peta 1897) |
Bagaimana dinamika
pembangunan Kota Jakarta setelah tahun 1962 tentu saja sudah banyak ditulis dan
telah menjadi pengetahuan umum. Namun bagaimana proses evolutif pengembangan
kawasan sebelum tahun 1962 (ketika Bundaaran HI masih imajiner) kurang
terinformasikan dengan baik. Bagaimana sejarah kawasan sebelum adanya Bundaran
HI tentu masih menarik untuk diperhatikan. Untuk merekonstruksi memori masa
lampau di sekitar kawasan baru itu mari kita telusuri sumber-sunber tempo
doeloe.
Perhatikan Peta 1897 di atas. Titik
imajiner Bundaran HI adalah suatu ruang kosong berupa areal persawahan yang
luas. Jauh dari keramaian di bilangan Kebon Sirih dan dari stasion Pegangsaan
(sekitar Metropole yang sekarang). Lintas rel kereta api dari stasion Beos
(stasion Kota) ke Tanah Abang masih di sekitar Kebon Sirih (kira-kira stasion
Gondangdia yang sekarang). Pada tahun 1903 lintasan rel kereta api ini digeser
ke arah Tjikini sehubungan dengan pembangunan lintasan kereta api via Salemba.
Lintasan rel kereta api via Salemba ini dimaksudkan untuk menghubungkan halur
kereta api utara-selatan (Batavia- Buitenzorg) dengan jalur barat-timur
(Batavia-Krawang). Lintasan kereta api Gondangdia-Tanah Abang sebelum tahun
1903 sangat jauh di utara titik imajiner Bundaran HI, tetapi lintasan kereta api
ini semakin dekat setelah pergeseran tahun 1903. Pada tahun 1918 lintasan
kereta api ini telah melewati titik imajiner Bundaran HI. Sejak 1910 terjadi
perubahan spasial drastis. Wilayah Menteng akan dijadikan kawasan perumahan
elit. Periode waktu pembangunan kawasan perumahan Menteng ini relatif bersamaan dengan pembangunan
stasion Manggarai dan pembangunan kanal barat. Sehubungan dengan pembangunan
perumahan elit di Menteng, lintasan kereta api di Menteng digeser lagi lebih ke
selatan dengan mengikuti arah kanal barat dari stasion Manggarai. Sejak itu
tidak banyak yang berubah di kawasan Menteng. Jalan poros (jalan utama) di Menteng
adalah dari Prapatan melalui Gondangdia terus ke selatan melalui Goentoer dan
berbelok sedikit ke arah jalan Setiabudi yang sekarang terus ke Mampang dan
Boentjit.
Kawasan (area) Menteng (Peta 1940) |
Pertumbuhan Wilayah (land) Menteng
Setelah VOC bubar 1799,
Hindia Timur diakusisi Kerajaan Belanda dengan membentek Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda ini baru efektif berjalan ketika Daendels menjadi
Gubernur Jenderal. Program pertama Daendels adalah melanjutkan misi perdagangan
dengan para pemimpin lokal di Jawa. Untuk memperkuat pemerintahan, Daendels
mulai merancang kota-kota dan membangun koneksi antar berbagai tempat utama
(hoofdplat) di Jawa dengan membangun jalan trans-Java antara Anjer dan
Panaroekan. Dua kota utama yang lebih dahulu dikembangkan adalah Batavia dan
Buitenzorg. Dalam pengembangan dua kota ini pemerintah Gubernur Jenderal
Daendels membeli lahan-lahan swasta.
Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810 |
Pilihan Daendels untuk
pengembangan kota tidak lagi di Batavia, tetapi lebih ke hulu di sekitar
benteng (fort) Rijswijk (kawasan Harmoni sekarang) dan fort Noordwijk (kawasan
Juanda yang sekarang). Kantor Gubernur lokasinya dipilih di dekat fort Rijswijk
temaat dimana Istana Negara yang sekarang dengan menyisakan ruang di depannya
yang disebut Koningsplein (kini lapangan Monas). Sedangkan Istana Gubernur
Jenderal lokasinya dipilih di sekitar Noordwijk yang menyisakan lahan di
depannya yang disebut Waterlooplein (kini lapangan Banteng). Area pembangunan
di sekitar Waterlooplein ini kemudian disebut Weltevreden. Dengan demikian,
ibukota telah bergeser dari Batavia (stad Batavia) ke Weltevreden. Jalur
trans-Java dari Stad Batavia melalui Molenvliet (kini jalan Gajah Mada-Hayam
Wuruk), Riijswik (kini Harmoni), Noordwijk (stasion Juanda), Pasar Baroe, belok
ke Waterlooplein (Weltevreden), Pasar Senen, Kramat, Salemba, Matraman, Meester
Cornelis, Bidara Tjina, Tandjong, Tjimanggis, Tjibinong, Tjiloear dan
Buitenzorg.
Land Matraman dan Land Menteng (Peta 1824) |
Area yang menjadi kota
baru ini (Rijswijk dan Noordwijk/Weltevreden) sebelumnya adalah area perkebunan
yang telah dimiliki oleh swasta sejak era VOC. Area perkebunan di sisi timur
sungai Tjiliwong ini ini meluas hingga Tanah Tinggi, Salemba, Matraman, Bidara
Tjina hingga Tjililitan. Di sisi barat sungai Tjiliwong perkebunan hanya
terdapat di sekitar Kebon Sirih, Gondangdia dan Menteng serta Matraman .
Beberapa area baru yang dibuka untuk perkebunan di sisi barat pada era VOC
adalah di Sringsing (Lenteng Agoeng) oleh Cornelis Chastelein serta Tjiniere
dan Tjitajam (oleh St. Martin).
Land Menteng dan
Land Menteng (Peta 1866) |
Dalam perkembangannya
siapa pemilik Land Menteng pada era Pemerintahan Hindia Belanda (setelah
berakhirnya pendudukan Inggris 1811-1816) telah silih berganti. Land Menteng
ini termasuk lahan-lahan di kampong Tjikini. Land Kebon Sirih tidak berkembang
karena telah berubah fungsi menjadi wilayah pemukiman baru (di sisi selatan
Koningsplein). Pada tahun 1894 jalan dari Landhuis Menteng (sekitar terminal
Manggarai yang sekarang) ke Buitenzorg via Depok diperkuat (Bataviaasch
handelsblad, 04-06-1894). Jalan ini kelak dikenal sebagai Jalan Sahardjo dan
Jalan Pasar Minggu. Pemilik land Menteng sebelum dibeli pemerintah adalah
seorang Arab, Alie Shahab (Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1898).
Land Menteng dibeli oleh pemerintah kota (Gemeente)
Batavia dari swasta pada tahun 1908. Land Menteng tamat. Land Menteng sebagai sebuah kawasan perumahan sudah dipetakan sejak lama. Realisasi pengembangan kawasan (land) Menteng baru dilakukan beberapa tahun kemudian. Pada tanggal 25 April 1913 Komisi Menteng menyerahkan
sebuah memorandum terperinci tentang kegiatan di land tersebut. Pada 28 Juli 1913 diputuskan
bahwa tahun 1914 diinformasikan oleh Administrator Menteng tentang
langkah-langkah persiapan yang harus diambil pada saat dalam operasi yang
diusulkan. Pada 11 Oktober 1915, Heer Schoemaker, dua rancangan awal untuk
pembangunan lahan. Pada 3 Januari 1916, Dewan memutuskan untuk menunjuk tiga
insinyur konstruksi, dengan tugas melayani Dewan pertimbangan dan saran
mengenai usulan 1916, komite ini
menyerahkan laporan terperinci tentang rencana pembangunan awal yang sudah ada.
Pada 1 Desember 1916, Komisi Pekerjaan Umum diikuti; rencana pembangunan yang
dimodifikasi dibawa ke Dewan pada tanggal 11 Juni 1917. Pada 5 September 1917
diikuti perintah kerja dan peta dari.
jalan dan pekerjaan perbaikan; maka ditugaskan untuk membuat rencana rencana
dan 17 Desember 1917, Wali kota (Burgemeester) membuat rencana perkerasan infastruktur.
Usulan-usulan disampaikan kepada Dewan dalam waktu yang panjang. Itu adalah
sepuluh tahun sejarah Land Menteng. Administratur Menteng mulai bekerja ke
denah bangunan dll. Secara lebih detail. Pada 20 Maret 1917, diputuskan untuk
mengkonversikan jalan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-01-1918).
Kebon Sirih telah
berkembang pesat sebagai wilayah pemukiman. Demikian juga area sekitar Prapatan
telah menjadi area pemukiman yang ramai. Wilayah Kebon Sirih dan area Prapatan
ini berkembang pesat setelah dibangunnya jembatan Kwitang pada tahun 1830an
(era Gubernur Jenderal van den Bosh). Sehubungan dengan koffiestelsel di
wilayah barat Buitenzorg jalan poros westerweg (sisi barat sungai Tjiliwong)
semakin ditingkatkan. Pada tahun 1860an perkebunan Eropa/Belanda sudah mencapai
Koeripan (sekitar Paroeng). Pengembangan jalan poros baru dimulai dari Parong
menuju Tangerang dan Tanah Abang. Jalan poros Parong ini kemudian dikenal sebagai
Westerweg, sedangkan jalan Westerweg yang sebelumnya dikenal menjadi jalan
poros tengah atau Middenweg (yang melalui Land Menteng). Pada jalan poros
tengah inilah kemudian dilakukan pembangunan transportasi (rel) kereta api.
Peta Proyeksi Rel Kereta Api di (pulau) Jawa, 1864 |
Adanya jalur kereta api
melalui Meester Cornelis, Manggarai, Pegangsaan dan Tjikini membuat Land
Menteng lebih terbuka. Apalagi dengan adanya akses jembatan di Matraman (jalan
Tambak dan jalan Slamet Riyadi). Pada tahun 1873 ruas jalur kereta api
Meester-Cornelis ke Buitenzorg dioperasikan. Pada saat pembangunan ruas baru
ini bersamaan dibangun dua stasion/halte baru yakni di Pegangsaan dan di
Koningsplein (Weltevreden). Letak stasion Pegangsaan ini kira-kira di sekitar
Metropole yang sekarang. Stasion Koningsplein kini dikenal sebagai stasion
Gambir. Adanya stasion Pegangsaan ini membuat Land Menteng lebih terbuka lagi
(lihat Peta 1897 di atas).
Rumah Raden Saleh di Menteng, 1862 |
Semakin terbukanya Land
Menteng, pemilikan Land Menteng semakin tidak jelas. Hal ini karena sejumlah
persil lahan telah diperjual belikan. Penjualan lahan ini diawali ketika Raden
Saleh pada tahun 1850an membangun villa di Kampong Tjikini. Di sisi
jalanTjikini dan area sekitar stasion Pegangsaan sudah muncul bangunan-bangunan
pribadi. Meski keramaian sudah tampak di sekitar jalan Tjikini dan area stasion
Pegangsaan, lahan-lahan di eks Land Menteng masih terkesan hijau.
Rencana pengembangan perumahan area Menteng (Peta 1904) |
Pada Peta 1904 di eks
Land Menteng sudah teridentifikasi rencana pengembangan wilayah Menteng menjadi
area perumahan baru. Rencana pengembangan perumahan baru di Menteng ini
mengikuti lanskap di area Prapatan. Dengan kata lain, pengembangan perumahan di
area Menteng sebagai perluasan perumahan di area Prapatan. Oleh karenanya area
Prapatan dan area Menteng diintegrasikan sebagai satu kawasan yang sangat luas.
Realisasi perumahan area Menteng (Peta 1824) |
Oleh karena realisasi
pembangunan perumahan di kawasan Menteng semakin meluas ke dalam, maka jalur
rel kereta api yang melalui Menteng dari Salemba menjadi persoalan tersendiri.
Sehubungan dengan pembangunan stasion/dipo kereta api di Manggarai dan pembuatan
kanal barat maka tahun 1914 rel kereta api di tengah Land Menteng digeser ke
arah sisi kanal barat. Proses penyelesaian pembangunan stasion Manggarai dan
kanal barat berakhir pada tahun 1918. Sedangkan proses pengembangan perluasan
perumahan di kawasan Menteng terus berlanjut bahkan hingga melewati kanal barat
di area Guntur yang sekarang.
Kawssan Menteng (Peta 1897, 1903, 1914, 1924, 1934, 1940) |
Sebagai catatan tambahan
pembangunan perumahan secara terintegrasi dan terencana dengan baik tidak hanya
di Menteng, Batavia. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pengembang dalam
tempo yang relatif bersanaab seperti di Bandoeng (Bandoeng Utara), Semarang dan
Soerabaja dan Medan.
Pembentukan Pusat Pertumbuhan Baru
di Titik Imajiner Bundaran HI
Pada tahun 1942 Jepang
menginvasi Belanda di Indonesia. Tampaknya selama pendudukan Jepang tidak ada
perubahan yang berarti di sekitar perumahan Menteng. Kawasan perumahan elit ini
tetap menyisakan lahan-lahan di belakang perumahan di sisi barat sebagai lahan
persawahan dan tegalan. Jika memperhatikan Peta 1940 pengembangan perumahan di
kawasa Menteng sejatinya belum selesai, ada tampak rencana baru untuk
memperluas ke lahan-lahan yang tersisa berupa persawahan dan tegalan tersebut. Boleh
jadi dalam hal ini, pendudukan Jepang menjadi sebab mengapa lahan-lahan
persawahan dan tegalan tersebut tetap eksis hingga kembali Belanda/NICA pasca kemerdekaan
Indonesia tahnn 1945.
Foto udara kawasan Menteng 1943 dan Googlemap Now |
Hingga berakhirnya era
kolonial, dan era dimana kedaulatan Indonesia diakui Belanda pada tahun 1949,
wilayah pemukiman modern (Eropa/Belanda) di selatan kota hanya sampai di
Guntur/Menteng. Tetapi tidak untuk warga pribumi. Pemerintah Belanda/NICA mulai
sebelumnya telah menginisasi pembangunan kota satelit di Kebajoran (lihat De
nieuwsgier, 18-09-1948). Pembangunan kota satelit ini sebagai upaya
rekonstruksi terkait dengan kehadiran kembali Belanda yang juga sekaligus
merangkul penduduk pribumi agar eksistensinya lebih terjaga.
Het dagblad, 02-04-1949 |
Bundara HI 1985 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar