Cagar Alam Depok yang juga dikenal sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) sesungguhnya memiliki riwayat yang panjang, bahkan kisahnya sudah dimulai sejak Cornelis Chastelein membeli lahan di Depok tahun 1696. Cagar Alam Depok awalya sebuah hutan asli, hutan belantara (jungle). Pada tahun 1878 bahkan masih ditemukan harimau tutul besar (matjan toetoel). Hutan belantara ini pada mulanya seluas 30 Ha telah jauh berkurang menjadi tinggal enam hektar dan nasibnya tidak lebih dari sebuah hutan sekunder (forest).
Cagar alam Depok masa ini (googlemap) |
Kesadaran untuk
melestarikannya muncul pada tahun 1915. Cagar Alam Depok ditetapkan sebagai
laboratorium alam untuk penelitian flora dan fauna yang diintegrasikan dengan
Kebun Raya Bogor. Keutamaan Cagar Alam Depok karena huta asli (jungle)
sedangkan Kebun Raya Bogor adalah hutan buatan atau menghutankan kembali
(forest). Situs lainnya yang menjadi bagian dari penelitian pertanian adalah
eks Situ Pitara yang dijadikan sebagai laboratorium perikanan air tawar dan
lahan subur di sisi Situ Tjitajam yang menjadi laboratorium alam untuk penelitian
hortikultura. Situs-situs ini masih eksis sekarang
Bagaimana kisah masing-masing tentu sangat menarik untuk ditelusuri. Ketiga
situs ini kali pertama ditetapkan sebagai laboratorium untuk tujuan yang mulia,
namun fungsinya kini sudah sangat jauh berubah. Mari kita lacak satu per satu.
Laboratorium Kehutanan ‘Natuur Monument’
Lahan Cagar Alam Depok pada dasarnya
adalah warisan Cornelis Chastelein yang ingin dipertahankan oleh para pewaris. Cornelis
Chastelein dalam testamentnya menyatakan bahwa lahan yang tidak boleh diganggu
luasnya mulai dari sungai Krukut hingga sungai Besar (sungai Tjiliwong). Namun
demikian, hasil-hasilnya dapat dipergunakan untuk keperluan hidup.
Oleh karena testamen ini dibuat pada tahun 1714 (era
VOC), Cornelis Chastelein memaklumkan lahan tersebut tetap utuh tampaknya lebih
pada maksud pertahanan (barier) untuk memisahkan lahan warisan (Land Depok)
dengan lahan-lahan di hulu yang dihuni oleh penduduk asli. Separuh dari lahan
yang dimaksud antara sungai Krukut dengan sungai Ciliwung berkontur miring yang
kurang sesuai untuk pertanian. Dengan kontur yang curam kegunaannya untuk
dijadikan pertanian (nilainya minimum) tetapi tetap mempertahankan lahan dengan
vegetasi yang lebat (jungle) jika dimaksudkan untuk dijadikan sebagai
pertahanan nilainya menjadi lebih tinggi (maksimum).
Namun dalam perkembangannya, setelah
satu abad kemudian daerah hulu sudah aman dan bahkan sudah berkembang land-land
baru untuk pertanian menyebabkan pemerintah (sejak era Daendles) untuk
mingkatkan fungsi lahan antara Buitenzorg dengan Depok dengan merancang irigasi
yakni dengan meningkatkan debit air dengan membuat kanal baru yang airnya
disodet dari sungai Cisadane (Empang di Buitenzorg). Kanal baru diperluas ke
Land Tjitajam, Land Ratoe Djaja dan Land Depok. Kanal ini mau tak mau harus
menembus hutan alami (jungle) yang ingin dipertahankan sesuai pesan dalam
testamen Cornelis Chastelein. Kanal baru yang dimaksud adalah sungai Kali Baru
yang sekarang.
Kanal baru Kali Baru di hulu Land Depo atau di hilir Land
Ratoe Djaja di jembatan Kali Baru dekat Dipo yang sekarang airnya dibuat kanal
kecil untuk mengairi persawahan di Land Depok (melalui Stasion Depok yang
sekarang terus ke Land Pondok Tjina dekat UI yang sekarang). Sedangkan aliran
air kanal utama diteruskan ke hilir ke area yang lebih rendah yakni sungai
Krukut. Air yang berlebih yang dibuang ke Kali Krukut, tampaknya para pewaris
memanfaatkan air dengan mengalihkan air Land Depok dengan membendung di hilir yang
kemudian terbentuk Situ Pitara (untuk fungsi perikanan bagi para pewaris).
Hutan asli sisa abad ke-16 dengan
sendirinya tergerogoti akibat adanya pembuatan kanal ke Land Depok dan akibat
pembentukan Situ Pitara. Disamping itu, arus lalu lintas antara Buitenzorg ke
Batavia via Depok yang semakin ramai, maka jalan setapak yang dulu telah
melebar menjadi jalan kendaraan yang menembus hutan asli di sisi timur (jalan
ini masa ini adalah terbentuknya jalan Raya Citayam di ruas sekitar pekuburan
dan simpang GDC yang sekarang). Sementara itu di sisi barat hutan asli
peninggalan Cornelis Chastelein ini tergerogoti lagi dalam pembentukan jalan
tembus antara Land Tjitajam dengan Land Depok melalu jalan Cagar Alam yang
sekarang (kelak jalan lama ini bergeser ke bawah menyeberangi Kali Krukut yang kini
disebut jalan Pitara). Peta 1938
Penggrogotan hutan asli terus
berlangsung. Ini terjadi ketika pembebasan lahan untuk pembangunan jalur kereta
api Batavia-Buitenzorg via Depok. Pembebasan lahan tentu sangat luas yang harus
menerabas hutan asli. Pembebasan lahan ini terjadi sekitar atahun 1869-1871.
Sempat para pewaris menolak dan berharap jalur kereta api melalui Tjinere dan
Sawangan, namun secara teknis Spoorweg Maatshappij bersikeras melalui Land
Depok yang menembus hutan asli. Pemerintah pusat di Batavia turun tangan dan
menengahi sehingga pengadilan tinggi memutuskan jalur kereta melalui hutan asli
dan lahan-lahan yang dibebaskan harus diberi konpensasi (ganti rugi).
Pada tahun 1878 terjadi suatu peristiwa dimana harimau
tutul besar bersarang di hutan asli dekat Situ Pitara. Harimau ini panjangnya 1.055
meter dan tinggi 0,74 meter. Sudah banyak lahan pertanian yang rusak dan
hasilnya hilang yang diduga perbuatan babi liar. Lalu kemudian warga dan
dibantu tentara coba menyisir hutan asli dengan membawa anjing pemburu.
Bebarapa anjing memberi petunjuk bahwa ada hewan besar berada di atas pohon
besar. Ternyata itu adalah harimau tutul besar. Kemudian salah satu penembak
jitu mengarhkan tembakan dengan laras panjang dan tembakan kedua mengenai perut
lalu harimau itu jatuh dan tidak bernyawa. Lalu para warga memanfaatkan daging
harimau itu untuk disatai (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 23-08-1878).
Para pewaris hutan asli tampaknya
kewalahan untuk mempertahankan sesuai dengan pesan dalam testamen Cornelis
Chastelein. Sudah sangat luas lahan asli yang tergrogoti. Untuk tetap
melestarikan hutan asli yang masih tersisa agar tidak terlalu besar kesalahan
atau pelanggaran yang dibuat terhadap pesan Cornelis Chastelein, para pewaris
akhirnya pada tahun 1915 hanya tinggal enam hektar lagi menghibahkan kepada
pihak yang kompeten. Luas inilah yang dinyatakan pewaris Cornelis Chastelein
untuk dijadikan sebagai area konservasi yang ‘dihibahkan’ kepada satu pihak
yang concern lingkungan untuk dijadikan sebagai laboratorium flora dan fauna.
Usulan ini mendapat sambutan dari berbagai pihak termasuk akdemisi di Eropa
maupun pihak Kebun Raya Bogor dan komunitas pecinta lingkungan di Batavia.
Pada masa kini lahan warisan Cornelis Chastelein yang menjadi area konservasi lingkungan luasnya masih tetap utuh seluas enam hektar (seperti tampak dalam peta google di atas). Praktis selama satu abad terakhir ini luasnya tidak berubah sejak dinyatakan sebagai hibah untuk digunakan sebagai laboratorium flora dan fauna tahun 1915. Namun seperti yang bisa disaksikan sekarang, meski lahan ini dijaga dengan pagar besi tetapi di dalamnya tidak mencermin hutan belantara seperti dulu bahkan karena sering dirapihkan justru kesan yang terlihat bukan pula sebagai hutan (forest) melahan seperti taman (park).
Laboratorium Perikanan ‘Situ Pitara’
Laboratorium Pertanian ‘Land Tjitajam’
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar