Apakah ada perkampungan Tionghoa (pecinan)
di Kota Depok? Itu pertanyaannya. Tidak pernah diceritakan dan juga tidak
pernah ditulis. Mungkin ada sebagian yang menjawab: Ada pecinan di Depok yakni di Landerien
Pondok Tjina. Tampaknya itu keliru. Sebab tidak pernah ditulis Pondok Tjina
sebagai pecinan (perkampungan Tionghoa). Mungkin ada sebagian menjawab: Ada
pecinan di Landerien Depok sendiri. Jika tidak di Land Pondok Tjina dan juga
tidak di Land Depok. Lantas dimana? Pertanyaan ini yang ingin dijawab. Mari
kita telusuri.
Sebuah mansion di Kampong Lio, Pondok Terong (foto 1930) |
Kampung Tionghoa
Dalam Sensus Penduduk (SP) yang
dilakukan onderdistrik Depok terdiri dari 32 desa, yakni: Bedji, Blimbing, Bodjonggede,
Bodjongsari, Doerenseribu, Grogol, Kalisoeren, Kedoengringin, Kemiri Moeka, Koekoesan,
Limo, Mampang Ilir, Mampang Oedik, Nangerang, Nangerangsoesoekaii, Paboearan, Pangkalan
Djati, Paroengblingbing, Pasir Poetih, Pitara, Ratoe Djaja, Rawadenok, Saroea, Sasak
Pandjang, Sawangan, Tadjoerhalang, Tanahbaroe. Tjimanggies, Tjinangka, Tjinere,
Tjipajoeng, Tjitajam dan Tjoeroeg.
Statistik Buitenzorg, 1861 |
Berdasarkan statistik Residentie (Regentschappen)
Buitenzorg tahun 1861 di onder distrik Depok terdapat sebanyak delapan
landerien, yakni Роndok Terrong, Ratoe Djaija, Depok, Роndok Тjina, Мampang,
Тапа Аgong, Тjinere dan Sawangan. Jumlah penduduk Tionghoa terbanyak ditemukan
di landerien Pondok Terong/Ratoe Djaja (93 orang), Tjinere (86 orang) dan
Pondok Tjina (74 orang). Di Landerien Depok sendiri hanya ditemukan sebanyak 32
orang.
Kampong Tionghoa di Landerien Depok
berada di Kampong Paroeng Blimbing (sekitar Stasion Depok Lama yang sekarang).
Kampong Tionghoa di Landerien Pondok Terong/Ratoe Djaja berada di desa Ratoe
Djaja. Oleh karena desa Ratoe Djaja terdiri dari beberapa kampong, sesungguhnya
di Kampong Ratoe Djaja tidak ditemukan Tionghoa. Hal ini karena Kampong Ratoe
Djaja adalah perkampungan orang asli. Orang-orang Tionghoa justru ditemukan di
Kampong Lio yang berada di Landerien Pondok Terong. Sedangkan orang-orang
Tionghoa yang berada di Landerien Pondok Tjina ditemukan di Kampong Kemiri
Moeka.
Secara historis orang-orang Tionghoa pertama terdapat di Kampong
Pondok Tjina (yang menjadi asal-usul nama Kampong Pondok Tjina). Orang-orang
Tionghoa paling tidak sudah ada sebelum Cornelis Chastelein membuka
perkampungan di Landerien Depok. Setelah Landerien Depok berkembang pesat,
orang-orang Tionghoa bertempat tinggal di Kampong Kemiri Moeka (timur Landerien
Depok) dan Kampong Paroeng Blimbing (selatan Landerien Depok). Lalu kemudian
orang-orang Tionghoa menyusul bertempat tinggal di Landerien Pondok Terong.
Setelah sensus penduduk tahun 1930, berdasarkan
data-data yang dirilis orang-orang Tionghoa tidak ditemukan lagi di Kampong
Kemiri Moeka maupun Kampong Paroeng Blimbing. Sulit mengetahui orang-orang
Tionghoa kemana mereka. Namun orang-orang Tionghoa yang berada di Landerien
Pondok Terong, tepatnya di Kampong Lio masih ditemukan jumlahnya secara
signifikan. Sebaliknya orang-orang Tionghoa semakin sering diberitakan berada di
Kampong Pitara (pasar tradisional yang baru).
Pada tahun 1930 Situ Pitara ditutup. Lalu antara Situ
Pitara dengan Situ Rawa Besar berkembang pasar tradisional (kini Pasar Dewi
Sartika). Jauh sebelumnya, pasar di Landerien Depok berada di Kampong Paroeng
Blimbing (di sekitar Stasion Depok Lama yang sekarang) dan Pasar di Landerien
Pondok Tjina berada di Kampong Kemiri Moeka. Besar dugaan, orang-orang Tionghoa
yang berada di Kampong Kemiri Moeka dan Kampong Paroeng Blimbing telah pindah
ke pasar tradisional yang baru (Dewi Sartika yang sekarang).
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1859 |
Industri Bata: Kampong Lio di
Depok dan Kampong Lio di Pondok Terong
Sejak era VOC, pengusaha dalam industri bata umumnya adalah orang-orang
Tionghoa, tidak hanya di Batavia dan Depok tetapi juga di Buitenzorg dan
Bandoeng. Nama-nama kampong Lio di wilayah-wilayah tersebut selalu dikaitkan
dengan keberadaan pabrik bata (lio) pada masa lampau. Di Kota Depok sekarang,
terdapat dua nama kampong Lio yang terkenal di masa doeloe, yakni Kampong Lio
di Landerien Depok dan Kampong Lio di Landerien Pondok Terong (Tjitajam).
Tanah yang sesuai
untuk pembuatan bata berkualitas tidak mudah didapat. Jika ditemukan tanah yang
sesuai, area tersebut juga memiliki kapasitas tertentu. Situasi dan kondisi
inilah yang ditemukan di Kampong Lio di Depok dan Kampong Lio di Pondok Terong.
Untuk mensuplai bata bagi kebutuhan pembangunan konstruksi di Batavia sebagian
didatangkan dari Depok. Sedangkan pabrik bata di Pondok Terong untuk mensuplai
kebutuhan bata terutama ke Buitenzorg.
Secara kebetulan industri bata di Depok dan Pondok Terong sama-sama dekat
dengan perkampongan orang-orang Tionghoa. Orang-orang yang berada di dalam
sentra bata baik di Depok maupun Pondok Terong sama-sama dekat dengan pasar. Di
Depok pabrik bata ini dekat dengan Pasar Kemiri Moeka (sekitar Stasion Depok
Baru yang sekarang). Setali tiga uang dengan pabrik bata di Pondek Terong cukup
dekat dengan pasar Tjitajam (sekitar Stasion Tjitajam yang sekarang).
Perkampungan diduga Tionghoa dekat Situ Tjitajam (Peta 1901 |
Perkampungan orang-orang Tionghoa di Land Pondok Terong ini diduga
perkampungan orang-orang Tionghoa yang sudah sejak lama (ketika berawal dari
industri bata) dan situsnya masih ditemukan hingga ini. Situs pertama yang
utama adalah kuburan-kuburan tua orang-orang Tionghoa yang wujudnya besar-besar
dan jumlahnya terbilang cukup banyak. Di area asal (origin) Kampong Lio yang
sekarang, hingga kini masih ditemukan keturunan-keturunan orang-orang Tionghoa.
Lokasi Kampong Lio ini jika dari Stasion Tjitajam ke Hek, sebelah kiri jalan adalah
Situ Tjitajam dan sebelah kanan jalan adalah Kampong Lio itu sendiri, suatu kampong
yang awalnya perkampungan orang-orang Tionghoa (pecinan) di masa lampau yang
kini menjadi bagian dari Kelurahan Pondok Terong.
Taman rumah/mansion Tjitajam di sisi Situ Tjitajam (1930) |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar