Cornelis Chastelein sesungguhnya tipikal VOC tulen. Saat dirinya masih memiliki jabatan prestisius berani berspekulasi sebagai pionir membeli lahan di Depok, suatu area terjauh dimana orang Eropa/Belanda berada, untuk mengusahakan pertanian (onderneming). Cornelis Chastelein bekerja dengan para tenaga kerjanya dengan sepenuh hati untuk menghasilkan keuntungan. Cornelis Chastelein sendiiri memiliki anak bernama Anthony Chastelein sebagai pewaris.
Gereja di Depok (foto 1939) |
Dalam kehidupan nyata, apapun yang
dilakukan oleh Cornelis Chastelein, apalagi saat itu era materialistik, tidak
ada orang yang peduli. Semua orang-orang Eropa/Belanda berlomba-lomba demi
keuntungan dan tidak sempat memikirkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Semua
orang-orang Eropa/Belanda saat itu berafiliasi dengan VOC (organisasi dagang).
Pemerintah dan gereja absen dalam semua kehidupan saat itu. Begitu lama ketidakhadiran
pendeta di tanah yang baru.
Di Depok para pewaris meneruskan keinginan Cornelis
Chastelein untuk menjadikan Land Depok sebagai Christen negorij. Para pewaris
tentu saja sangat bersukacita karena mereka telah dibebaskan dan bebas
mengusahakan lahan pertanian yang subur. Kesungguhan para pewaris ini dapat
dipahami. VOC memberikan pendidikan kepada para pewaris sejak 1714 hingga 1774.
Namun mereka dalam menjalankan ajaran Kristen tanpa bimbingan seorang pendeta.
Karena memang tidak ada pendeta. Namun demikian para pewaris yang membentuk
komunitas sendiri di tengah penduduk yang beragama Islam tetap berperilaku baik
sebagai orang pribumi, sementara orang-orang Eropa dan Tionghoa haus dengan
uang. Sejauh ini gesekan tidak pernah terjadi antara pewaris yang sudah
beragama Kristen dengan penduduk asli sekitar yang beragama Islam.
VOC (sebagaimana juga nanti Pemerintah
Hindia Belanda) tidak membedakan penduduk menurut agama dan kepercayaan. VOC
menganggap semua sama: Islam, Kristen dan pagan sama saja. VOC hanya memandang
siapa yang bersedia berpartisipasi untuk membangun jalan dan jembatan dan
mengusahakan pertanian untuk keuntungan VOC. Bagi seorang pendeta yang melihat
situasi dan kondisi saat itu komunitas Kristen yang berkulit coklat di Land Depok
adalah suatu cahaya yang tetap bersinar di kegelapan.
Pada tahun 1840 seorang misionaris Nederlandsch
Zendeling-Genootschap, LJ van Rhijn, untuk kali pertama seorang misionaris
datang berkunjung ke Depok. Boleh jadi inilah pertemuan dua belah pihak yang
saling membutuhkan: para pewaris sangat membutuhkan bimbingan, dan pendeta
(kebetulan dari misionaris) membutuhkan jemaat untuk dibimbing.
Land Depok Dipersoalkan
Pada tahun 1848 Land Depok
terguncang, para pewaris Cornelis Chastelein terpojok ((lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1883). Ahli waris yang mengaku
pewaris asli mengajukan ke Pengadilan Tinggi di Batavia untuk menuntut agar
lahan yang diserahkan oleh Cornelis Chastelein dikembalikan. Mereka beralasan
dan mengklaim bahwa mereka ahli waris yang sah dari garis lurus keturunan dari
Anna de Haan, janda dari Anthony Chastelein (yang merupakan putra sebagai pewaris
asli dari Cornelis Chastelein).
Pewaris Cornelis Chastelein yang beragama Kristen di Land
Depok sesungguhnya tidaklah lebih baik dalam hal penghidupan dibanding penduduk
asli yang beragama Islam di sekitar mereka, seperti di Ratoe Djaja dan Bendji. Para pewaris ini bahkan masih hidup dalam
kemiskinan akut dan tinggal di gubuk-gubuk yang tersebar diantara pohon-pohon
kelapa, dan hanya beberapa keluarga yang kelihatan rumahnya lebih baik (lihat
Depok en de Depokker: Eene Bijdrage tot de Kennis van Inlandsche Christenen op
Java door JN Grimmius, 1852).
Para ahli waris asli melihat celah
bahwa pewarisan itu adalah subjek dari hak pakai, yang menurut Hukum Hollandsch
akan berakhir dalam seratus tahun. Menurut mereka ahli waris asli, sekarang
dianggap haris sebagai sudah selesai pada bulan Agustus tahun 1814 dan klaimnya
adalah bahwa terdakwa harus dihukum: ‘menarik tangan mereka dan negara untuk
mengevakuasi mereka segera, dan menyerahkan kepada penggugat dan menurut constituanten
sebagai pemilik yang sah. Sejak bulan Agustus 1814 semua manfaat yang diperoleh
dari lahan harus mengkompensasi semua manfaat dan pendapatan nya.
Seorang pembaca menulis bahwa gugatan muncul karena nilai
Land Depok sekarang sudah berbeda (nilainya tinggi) pada tahun 1848 jika
dibandingkan nilainya yang hanya 700 rijksdaalder yang mana Cornelis Chastelein
telah membayarnya sebelum tahun 1714.
Akan tetapi semua tuntutan itu
bentu. Mahkamah Agung di Batavia berdasarkan materi tuntutan dan berdasarkan
bukti pewarisan memutuskan bahwa penyerahan tanah kepemilikan penuh dinilai
sah. Lalu tuntutan ditolak dan penggugat dikecam dan dikenai denda selama
proses pengadilan. Land Depok tetap untuk melestarikan gereja.
Masuknya Zending
Pasca berakhirnya sengketa antara
pewaris asli dan pewaris Cornelis Chastelein inilah zending masuk. Depok dan Depokkers
adalah suatu lahan dan kehidupan yang terasing meski sudah lebih dari satu abad
mereka beragama Kristen. Oleh karena itu Toegoe dan Depok dianggap sebagai pos
terdepan dari misi dimana terdapat koloni Kristen yang hidup miskin.
Tentu saja LJ van Rhijn di Nederlandsch Zendeling-Genootschap,
misionaris yang pernah berkunjung ke Depok tahun 1840 akan menjadi faktor
penting sebagai penyambung antara pendeta misionaris dengan jemaat yang
membutuhkan dukungan. Komunitas Kristen Depok adalah organisasi persaudaraan
penduduk pribumi yang solid, dan Nederlandsch Zendeling-Genootschap akan
menjadikannya sebagai model stasion misionaris.
Masuknya zending di Depok telah
memperkuat para pewaris Cornelis Chastelein karena mereka didukung. Hubungan
antara pewaris yang sudah beragama Kristen dengan misionaris di satu sisi telah
diperkuat, tetapi di sisi lain hubungan pewaris yang beragama Kristen dengan
penduduk asli yang beragama Islam justru semakin longgar yang satu sama lain
memunculkan prasangka-prasangka yang berujung pada kekhawatiran.
Akhirnya muncul ketegangan. Ini bermula pasca kerusuhan
di Bekasi tahun 1865, sejumlah pihak telah merapat ke Land Depok tepatnya di
Land Ratoedjaja, tetangga Land Depok terdekat. Para pewaris menganggap semakin
banyaknya yang bwerdatangan ke Ratoendaja semakin memperuncing keadaan.
Sebelumnya, penduduk asli yang beragama Islam di Ratoedjaja menganggap kehadiran
misionaris di Land Depok telah memunculkan kecurigaan. Dua komunitas pribumi
yang berbeda agama dan kepercayaan yang damai-damai saja, setelah satu setengah
abad tampak mulai retak. Tingkat kesurigaan dan kekhawatiran semakin meningkat.
Namun para pewaris tidak bisa lagi
mundur dalam soal hubungan timbal balik dengan zending, karena zending termasuk
pihak yang mendukung mereka ketika pihak lain (pewaris asli) ingin mengusir
mereka dari Land Depok. Sebaliknya, komunitas penduduk asli yang beragama Islam
semakin solid dan peran pemuka agama semakin intens.
Dua komunitas pribumi ini semakin lama semakin menguat ke
kutub masing-masing. Gejala ini terus berlangsung sehingga satu sama lain
semakin berjauhan di hati meski sangat dekat secara geografis.
Sekolah-Sekolah Pemerintah
Sebelum didirikannya sekolah
misionaris, sekolah guru (Kweekschool) untuk pribumi sudah sejak tahun 1851
dibuka di Soerakarta. Lalu kemudian sekolah guru yang kedua dibuka di Fort de
Kock (kini Bukittinggi). Dalam perkembangannya, di Afdeeling Mandailing dan
Angkola (Residentie Tapanoeli) didirikan sekolah guru yang baru pada tahun
1862.
Pada tahun 1862 di Tano Bato di Afdeeling Mandailing dan
Angkola dibuka sekolah guru. Sekolah guru ini dipimpin oleh Willem Iskander
yang pulang ke tanah air setelah menyelesaiakan studi dan mendapat akte guru di
Belanda tahun 1861. Si Sati (Nasoetion) yang telah mengubah namanya menjadi
Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857. Willem Iskander adalah
pribumi pertama yang studi ke Negeri Belanda.
Sekolah guru Tanobato di Mandailing
dan Angkola ternyata maju pesat. Pada tahun 1864 Inspektur Pendidikan di
Batavia A van der Chijs berkunjung ke Tanobato dan melakukan penilaian bahwa sekolah
guru yang dipimpin oleh Willem Iskander. Hasilnya tidak diduga oleh A van der
Chijs.
Neuse Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en
advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah
ini. Di bawah kepemimpinan AP Godon (Asisten Residen Mandailing dan Angkola)
daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan.
Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke
Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem
Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas
murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa
murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah
Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah
perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari
kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa,
harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan
(sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun
sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah
terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan
dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’ (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868).
Heboh pendidikan yang amburadul di
Jawa dengan mengacu pada sukses sekolah guru di Tanobato, memicu pemerintah untuk
segera membuka sekolah guru yang baru di Bandoeng. Sekolah guru ini dibuka pada
tahun 1866. Sekolah guru Bandoeng diharapkan untuk mempercepat pemenuhan
guru-guru terutama di Banten, Batavia, Buitenzorg dan Preanger.
Pada tahun 1866 sekolah di Afdeeling Buitenzorg baru satu
buah sekolah negeri yang dibangun yakni di Buitenzorg. Untuk sebagai
pembanding, di Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah terdapat delapan buah
sekolah negeri (yang menjadi asal sekolah untuk mengikuti sekolah guru yang
dipimpin Willem Iskander). Untuk kandidat siswa sekolah guru Bandoeng datang
dari empat sekolah dasar negeri, yakni dari Buitenzorg, Tjiandjoer, Bandoeng,
Sumadang dan Soekapoera (Garoet).
Meski sekolah guru Bandoeng telah
dibuka dan sekolah guru di Soerakarta terus ditingkatkan, namun polemik
pendidikan bagi pribumi terus bergulir. Pemerintah mulai digugat, bukan oleh
para pemimpin-pemimpin pribumi, tetapi orang Eropa/Belanda yang memiliki kepedulian
terhadap kemanusiaan.
Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa
dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang
dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras
alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan
28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang
dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.
Setelah adanya perubahan dan kemenangan
di parlemen (dewan) oleh yang pro, diantara yang pro ada yang mengungkapkan
kekecewaannya selama ini sebagaimana dilaporkan oleh Algemeen Handelsblad,
26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa
kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber
daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir
tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Sementara di Mandailing Angkola, tidak hanya Willem
Iskander yang menulis buku-buku pelajaran, juga guru-guru sekolah dasar (alumni
Kweeskschool Tanobato) menulis buku-buku pelajaran. Sebagian dari buku-buku
yang ditulis itu dicetak di Padang dan Batavia. Buku pelajaran yang ditulis
Willem Iskander sudah ada yang dicetak di Batavia tahun 1865.
Pro-kontra
tentang pendidikan pribumi di Hindia Belanda telah mencapai puncaknya. Untuk
pengembangan pendidikan pribumi, orang Belanda banyak yang setuju tetapi juga
banyak yang tidak setuju karena alasan yang berbeda-beda. Di kalangan
misionaris memiliki dinamika sendiri. Dari Tapanoeli, muncul usulan Willem
Iskander agar pemerintah mengirim guru ke Belanda (seperti dirinya dulu).
De locomotief, 01-02-1873 |
.
Ternyata usul ini direspon pemerintah dan direstui Radja Willem
III. Akan tetapi usul Willem Iskander ini memiliki konsekuensi sebab pemerintah
meminta Willem Iskander untuk membimbing tiga guru muda sementara Willem
Iskander juga diberikan beasiswa untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Tidak
hanya itu, sekolah guru Tanobato harus ditutup dan akan dibangun sekolah guru
yang lebih besar di Padang Sidempuan yang mana Willem Iskander akan diangkat
menjadi direkturnya.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 bulan ini, Radja
mengambil keputusan yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala
sekolah di kweekschool untuk guru Inlandsche di Tanah-Bato (Sumatera’s
Westkust), Willem Iskander, dan tiga pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk
dilatih studi dua tahun lebih lanjut untuk pendidikan inlandsch. yang dirancang
untuk menemani Iskandcr, pemuda Batak Si Banas, Soendanees Ardi Sasmita,
sekarang menjadi guru di sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan Mas Soerono,
guru di Soerakarta. Sehubungan dengan keberangkatan Iskander sementara menutup
perguruan tinggi untuk Tanah-Batoe’.
Pengembangan pendidikan di Jawa
mulai menemukan jalan keluar. Pendirian sekolah guru di Bandoeng yang dibuka
tahun 1866 telah diperluas ke Jawa Tengah dengan membangun sekolah guru di
Oengaran. Sementara itu dalam suatu kesempatan, di Batavia, Raja Willem III berkesempatan
mengunjungi sekolah William III. Raja menawarkan guru-guru di Belanda untuk
bekerja di Jawa. Raja berkata ketika berada di gimnasium William III (Algemeen
Handelsblad, 04-05-1874).
Di dalam negeri pemerintah terus didorong untuk
direncanakan pengembangan pendidikan di beberapa tempat. Magelang, Bandong dan
Probolinggo (Java); di Amboina; di Tondano; untuk Bandjermasin; di Fort de
Kock; Padang Sidempoean, dan Makassar (Algemeen Handelsblad, 21-09-1875).
Namun takdir menentukan lain. Guru-guru
muda yang dibawa Willem Iskander (berangkat Mei 1874 dan tiba Juli 1874) satu
per satu meninggal dunia. Soerono setelah enam bulan (Januari 1875) sakit lalu
dibawa pulang ke Jawa tetapi meninggal di perjalanan. Juga Mandhelinger Si
Banas dikabarkan telah meninggal dunia (Sumatra-courant : nieuws- en
advertentieblad, 13-10-1875). Penduduk di Tanah Batak, penduduk di Tanah
Pasundan dan penduduk di Tanah Jawa berduka. Harapan penduduk di tiga daerah
ini sirna. Willem Iskander juga ternyata menemui takdirnya dan meninggal di
Belanda.
Zending di
Residentie Tapanoeli secara teknis baru dimulai tahun 1858 saat Gustav van
Asselt ditempatkan di Sipirok (18 tahun setelah pemerintahan kolonial dibentuk
di Mandailing dan Angkola tahun 1840). Pendeta-pendeta Jerman yang dipimpin
Klammer menyusul di Sipirok. Pada tanggal 7 Oktober 1862 para misionaris
Belanda (Nederlandsch Zendeling-Genootschap) yang dipimpin van Asselt dan
misionaris Jerman yang dipimpin Klammer mengadakan rapat: dua keputusan
penting, pertama: wilayah misionaris Belanda di Angkola (plus Mandailing) dan
wilayah misionaris Jerman di Silindoeng (plus Toba). Keputusan kedua adalah
penbendirian sekolah di Prau Sorat. Tanggal 7 Oktober 1862 inilah yang diklaim
HKBP sebagai tahun kelahirannya. Setelah sekolah didirikan, salah satu guru di
sekolah ini adalah seorang pemuda bernama Nommensen, misionaris muda asal
Jerman yang baru datang langsung dari Jerman. Dalam perkembangannya sekolah
umum ini dijadikan sekolah calon misionaris pribumi (seminari) sehubungan
dengan meningkatnya minat penduduk untuk beralih ke sekolah yang telah
didirikan oleh pemerintah. Salah satu direktur sekolah Seminari Prau Sorat yang
terkenal adalah CF Leipoldt.
Seminarie di Depok
Hiruk pikuk pendidikan pribumi terus
dipantau para misionaris dan lalu membuat langkah-langkah strategis. Kegiatan
zending sendiri sudah lama berlangsung. Para misionaris melakukan kegiatan di
berbagai tempat baik di daerah yang sudah beragama maupun daerah-daerah yang
dianggap mereka masih pagan. Stasion-stasion misi dibangun. Di wilayah dimana sekolah
Gouvernements tidak ada, misionaris membangun sekolah-sekolah.
Nederlandsch Zendeling-Genootschap dalam hal ini berperan
penting. Namun persoalan muncul, karena di daerah dimana ada stasion misi dan
mulai membangun sekolah, kenyataannya tidak cukup guru yang tersedia. Oleh
karena itu Nederlandsch Zendeling-Genootschap mulai merencanakan sekolah guru
misionaris.
Pada
tahun 1875 Centraal-Comite Nederlandsch Zendeling-Genootschap di Batavia
merekomendasi untuk mendirikan sekolah msionaris (seminarie) di Depok. Direktur
Seminari Depok yang akan diangkat adalah Mr CF Leipoldt (yang saat ini) sebagai
zendeling-leeraar en director van het Seminarie te Prau-Sorat op Sumatra. CF
Leipoldt sendiri adalah dari Rijnsche Zendings Genootschap (lihat De standaard,
22-11-1875).
Seminari Praoe
Sorat berada di onder afdeeling Sipirok, afdeeling Mandailing dan Angkola. Oleh
karena misionaris Belanda kurang berhasil di Mandailing dan Angkola dan semakin
berhasilnya misionaris Jerman di Silindoeng, maka Seminarie Praoe Sorat
akhirnya ditutup (pada nantinya Nommensen di Silindoeng mendirikan seminari
(untuk menggantikan Seminari Praoe Soerat).
Akhirnya pada tahun 1878 seminari dibuka di Depok yang didukung penuh Nederlandsch Zendeling-Genootschap. Seminari ini dengan lama kursus empat tahun untuk pembentukan guru pribumi agama Kristen. Pelatihan yang dipusatkan di Depok memiliki tiga puluh magang yang berasal dari Kalimantan, Bataklanden, Minahasa dan tempat lain di sini. Guru-guru misionaris lulusan Seminari Depok inilah yang akan bekerja di stasion-stasion misi.
Siapa yang menjadi Direktur ternyata
tidak mudah. Rekomendasi untuk CF Leipoldt tidak muncul lagi. Yang
muncul nama Poensen, Zendeling di Kediri (lihat De standaard, 18-10-1877).
Dalam perkembangannya Direktur seminari diberitakan De standaard, 18-10-1879: ‘Mr
D. Iken, Kepala sekolah Christenen di Wageningen, diangkat menjadi Kepala
sekolah di Seminari di Depok, dengan gaji tahunan f3.000’.
Ini mengindikasikan Seminari Depok
menjadi sekolah guru misionaris pertama di Jawa. Dengan didirikannya
sekolah zending di Depok, secara tidak langsung popularitas Depok semakin
meningkat terutama di kalangan jemaat Kristen di nusantara (sekolah guru
misionaris berikut kedua nantinya dibuka di Ambon).
Pendidikan dasar sendiri di Depok sudah ada sejak era
VOC, sebagaimana VOC juga mendirikan sekolah-sekolah rakyat untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Namun sekolah-sekolah yang didirikan VOC ini tidak
berkembang, karena penduduk juga belum terlalu peduli dengan pendidikan.
Sementara sekolah di Depok meski berjalan kurang memuaskan, namun setelah
masuknya zending, sekolah dasar di Land Depok semakin berkembang. Sekolah yang
awalnya dipandang sebagai sekolah umum, lambat laun penduduk sekitar melihat
sekolah di Depok sebagai sekolah Kristen.
Konferenzi Zending
Kegiatan misi di nusantara tidak
hanya dilakukan oleh NZG tetapi juga misi Barmen Jerman. Tentu saja misionaris
Protestan juga bersaing dengan misionaris Katolik Roma. Seetelah kegiatan misi
dilakukan sejak lama di ebrbagai tempat di nusantara, muncul gagasan untuk
duduk bersama di dalam suatu konferensi. Yang menjadi salah satu tuan rumah
dalam konferensi ini Seminari Depok.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
sumbernya darimana yaa?
BalasHapusSumber-sumber sudah disebutkan di dalam tulisan. Jika sumber tidak disebutkan dalam tulisan, sumber sudah disebut di artikel lain (lihat notofikasi di bagian akhir artikel ini). Terimakasih.
Hapus