Belanda tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Belanda hanya mengakuinya pada tanggal 27 Desember 1949. Mengapa bisa begitu? Belanda menganggap tidak merasa memberikan kemerdekaan bagi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena saat itu Indonesia ‘merebut’ kemerdekaan dari Jepang. Jika Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1945, sesungguhnya Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun Belanda sendiri tidak mengakuinya, padahal negara-negara lain sudah mengakuinya sejak 17 Agustus 1945. Jadi, urusan Indonesia sudah selesai, bahwa Belanda tidak mengakuinya, itu urusan Belanda sendiri.
Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli |
Apa yang terjadi di
Depok dan sekitar pada seputar tanggal 27 Desember 1949 yang disebut tanggal
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda? Pertanyaan itu tentu perlu ditelusuri
karena selama ini kurang terinformasikan. Lantas apa menariknya? Itu pertanyaannya.
Mari kita telusuri.
Gencatan Senjata: Evakuasi Militer Belanda dan Konsolidasi Militer
Indonesia
Tanggal 27 Desember
1949 tidak hanya tanggal pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia,
tetapi juga tanggal dimana pasukan (militer) Belanda keluar dari wilayah
Indonesia. Sebelum tanggal pengakuan itu, pasukan Belanda terdapat di seluruh
Indonesia dalam posisi wait and see (gencatan senjata) sejak 3 Agustus 1949 sambil
menunggu dilaksanakannya KMB di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2
November 1949. Singkat kata: akhirnya, KMB menghasilkan keputusan: Belanda mengakuai
kemerdekaan RI tanggal 27 Desember 1949 dan pasukan militer Belanda harus
keluarga dari Indonesia tanpa syarat.
Nieuwe courant, 04-01-1950 |
Proses evakuasi pasukan militer Belanda di Depok menjadi satu rayon dengan Tandjong
Priok, Djakarta, Djatinegara dan Tangerang. Seluruh pasukan Belanda di rayon
ini kemudian menuju pelabuhan Tandjong Priok untuk memasuki kapal perang untuk
keluar dari wilayah Indonesia. Evakuasi pasukan militer Belanda dari Indonesia
menandai berakhirnya kolonial Belanda di Indonesia (hingga ini hari).
Di satu pihak, habis
sudah kehadiran militer Belanda di Indonesia. Sementara di pihak lain, pasukan
militer Indonesia segera melakukan konsolidasi. Dalam proses konsolidasi ini
Gubernur Militer Djakarta Raya meminta seluruh militer berkomunikasi di lima
tempat yang ditentukan: 1. KMK Djatinegara; 2. KMK Djakarta p/a Basis Commando,
Willemslaan No. 2; 3. KMK Tandjong Priok p/a Kantor Kawedanaan Tandjong Priok;
4. Territoriale Stafofficier Tangerang; dan 5. Territoriale Stafofficier Depok
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-01-1950)..
Posisi Depok pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda ini cukup
strategis. Hal ini karena Depok menjadi pusat evakuasi pasukan militer Belanda
dan Depok juga menjadi pusat konsolidasi pasukan militer Indonesia.
Pusat militer ini
di Depok berada di Mampang (Kantor Kodim Depok yang sekarang). Lokasi Mampang
di Depok sejak 1924 sudah menjadi pusat militer Belanda. Hal ini sehubungan
dengan pembentukan garis pertahanan Belanda terluar (outer ring) terkait dengan
meningkatkan suhu politik (kebangkitan bangsa Indonesia). Garis pertahanan ini
di selatan (Depok, Tjipoetat, Paroeng, Sawangan dan Tjisalak) yang dihubungkan
dengan di timur (Bekasi) dan di barat (Tangerang). Inisiasi garis pertahanan
ring terluar di selatan ini ditandai dengan latihan perang di garis Depok,
Tjipoetat, Paroeng, Sawangan dan Tjisalak (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1924). Mengapa Mampang? Hal
ini karena sejak lama path antara Buitenzorg dan Batavia via Tjiliboet, Bodjong
Gede, Pondok Terong, Ratoedjaja Mampang dan Tjinere adalah lintasan para
penentang Belanda (untuk menghindar dari jalan raya via Tjimanggis dan via
Paroeng serta jalur kereta api via Depok). Jakur lintasan ini terbilang sepi dari aktivitas orang-orang
Eropa/Belanda. Dalam perang kemerdekaan, lintasan ini menjadi area strategis
dalam perang gerilya. Penempatan militer di Depok sendiri baik oleh Belanda (selama
perang kemerdekaan) maupun oleh Indonesia (pasca pengakuan kedaulatan) boleh
jadi untuk menghindari terulangnya kasus kerusuhan di Depok pada tanggal 11
Oktober 1945. Sebagaimana diketahui di Land Depok banyak warga yang berafiliasi
dengan Belanda. Boleh
jadi riwayat ini yang menjadi sebab mengapa Depok (termasuk Bodjong Gede) pada
masa kini menjadi wilayah Kodam Jaya dan Polda Metro Jaya.
Lantas bagaimana dengan orang-orang sipil Belanda atau orang-orang pribumi yang
disetarakan dengan orang Belanda. Orang Belanda (Indo) tidak otomatis menjadi
warga negara RI, tetapi orang pribumi yang disetarakan (naturalisasi) atau
tidak disetarakan dengan sendirinya otomatis menjadi warga negara RI. Namun demikian, tidak
sedikit warga pribumi yang hengkang ke negeri Belanda pasca pengakuan
kedaulatan RI.
Orang-orang sipil
Belanda di Indonesia cukup banyak yang tidak segera ke Belanda, melainkan tetap
menetap di Indonesia. Hal ini karena mereka ini masih memiliki usaha di
Indonesia, seperti perkebunan-perkebunan. Untuk konsolidasi diantara masyarakat
sipil Belanda di berbagai tempat didirikan perhimpunan Belanda atau De
Nederlandse Vereniging (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
28-11-1950).
Di negeri Belanda yang warga pribumi yang belum mendapat status
naturalisasi atau orang Indo dibuka kesempatan untuk menjadi warga negara
Belanda (naturalisasi). Warga Depok pertama yang dinaturalisasi di Belanda
terdeteksi pada bulan Juni 1950 (lihat Nederlandsche staatscourant, 05-06-1950).
Sementara itu,
tidak semua veteran perang kemerdekaan RI (militer dan laskar) melanjutkan
karir di militer. Ada sebagian yang kembali ke masyarakat, sedangkan yang
lainnya dikaryakan menjadi pegawai perusahaan. Di Depok, dilaporkan sebanyak 50
mantan pejuang (gerilyawan) mendapat izin dari pemilik NV Harapan di Jakarta, perusahaan
perkebunan karet Tjinere ditampung untuk bekerja (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-01-1951). Boleh jadi gagasan
ini dipicu oleh banyaknya kasus perampokan yang terjadi di tengah masyarakat
termasuk di lingkungan perusahaan perkebunan, seperti perampokan yang dilakukan
orang tidak dikenal di perusahaan perkebunan karet di Tjitajam (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-10-1950).
Seputar Pengakuan Kedaulatan RI
oleh Belanda
Sejatinya, perang (mempertahankan)
kemerdekaan di Depok dan sekitarnya telah dimulai pada tanggal 11 Oktober 1945
yang dikenal dengam kerusahan di Depok. Perang kemerdekaan sendiri di seluruh
Indonesia ini baru berhenti (berakhir) pada tanggal 3 Agustus 1949 saat
mana disepakati antara pemimpin Belanda dan pemimpin Indonesia untuk maju ke meja
perundingan di Den Haag yang dikenal sebagai KMB (Konferensi Meja Bundar).
Perang (mempertahankan) kemerdekaan Indonesia secara
prinsipal dimulai di Depok dan berakhir di Padang Sidempoean. Permulaan perang bermula
ketika pasukan sekutu Inggris memulai tugas membebaskan tawanan Belanda dan
melucuti tentara Jepang, pasukan Belanda menyusup di belakangnya. Reaksi
bermuculan, pemerintah (Soekarno) kesal, kelompok keamanan rakyat geram dan
mengumumkan Proklamasi Perang 13 Oktober 1945 di Batavia. Perang kemerdekaan
ini cukup lama (1945-1949). Ketika semua tempat di wilayah Indonesia sudah
berhasil diduduki oleh militer Belanda, masih ada satu wilayah yang tersisa
dimana perang frontal terjadi antara militer Belanda dengan militer Indonesia.
Pusat pertempuran itu berada di Padang Sidempoean. Pertempuran dua belah pihak
ini untuk sementara dihentikan sejak tanggal 3 Agustus 1945 karena pengumuman
gencatan senjata antara militer Belanda dan militer Indonesia karena proses
politik sedang bersiap-siap melakukan perundingan di Den Haag (KMB). Panglima
tertinggi di pusat pertempuran terakhir ini di Padang Sidempoean adalah Letkol AE
Kawilarang (Gubernur Militer Tapanuli) dan Mayor Ibrahim Adji (Komandan
Territorial-VII). Kawilarang dan Ibrahim Adji sebelumnya adalah petinggi
militer di Buitenzorg yang juga meliputi wilayah gerilya di Depok yang menjadi
komandan dari Kapten Muslihat, Letnan Margonda dan Letnan Tole Iskandar. Kawilarang
dan Ibrahim Adji secara sengaja ditugaskan oleh Kolonel Abdul Haris Nasoetion,
Komandan Divisi III/Siliwangi. Dua orang ini terbilang kepercayaan Abdul Haris
Nasution di Divisi III/ Siliwangi. Sebagaimana kita ketahui nanti ibukota RI di
pungungsian telah pindah ke Bukittinggi. Dua jalur utama menuju ibukota RI
tersebut adalah melalui (pelabuhan) Padang di selatan dan (pelabuhan) Sibolga
di utara. Kota Padang Sidempuan adalah batas terakhir pertempuran saat itu
(sebelum gencatan senjata). Jika Padang Sidempuan dapat ditembus militer
Belanda maka ada dua tempat yang akan bisa diduduki militer Belanda yakni Bukittinggi
dan Kotanopan. Untuk sekadar diketahui: Bukittinggi adalah kota kelahiran M.
Hatta (Wakil Presiden) dan Kotanopan adalah kampung kelahiran Abdul Haris
Nasution. Kotanopan berada persis di tengah diantara Bukittinggi dan Padang
Sidempoen. Untuk sekadar diketahui Padang Sidempuan adalah kampung halaman Amir
Sjarifoeddin, mantan Menteri Pertahanan RI yang pertama dan tempat kelahiran
Soetan Goenoeng Moelia, mantan Menteri Pendidikan RI yang kedua).
Pemimpin delegasi Indonesia ke KMB
adalah M. Hatta dan Penasehat Umum adalah Residen Tapanoeli, Abdul Hakim
Harahap. Kedua orang inilah saat itu orang Indonesia yang memiliki kapasitas
untuk berunding di Eropa (Belanda). Sementara itu, pada saat itu wilayah
Indonesia yang masih independen (merdeka) adalah Bukittinggi sekitar di
pedalaman Sumatra Barat dan Padang Sidempuan sekitar di pedalaman Sumatra
Utara. Ibukota RI pindah dari Djakarta ke Jogjakarta lalu ke Bukittingi
(terjadi kekosongan pemimpin Indonesia setelag Soekarno dan Hatta menyerah dan
lalu diasingkan dan terbentuk PDRI), ibukota Residen Tapanuli pindah dari
Sibolga ke Tarutung lalu ke Padang Sidempuan. Wilayah antara Bukittinggi dan
Padang Sidempuan adalah wilayah iondependen yang tidak pernah tersentuh militer
Belanda selama perang kemerdekaan (sisa Republik Indonesia merdeka). Pimpinan
delegasi RI ke KMB dan asal mereka klop: M. Hatta dari Bukittinggi dan Abdul
Hakim dari Padang Sidempuan. Situasi dan kondisi krusial ini terabaikan (atau sengaja diabaikan) dalam sejarah Indonesia (sangat ironis!)
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Penunjukan Abdul Hakim bukan karena
berposisi sebagai Residen Tapanuli tetapi kapabilitasnya sebagai orang
Indonesia yang berpengalaman dalam bidang ekonomi pada era pemerintahan Belanda
dengan penguasaan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Perancis). Abdul
Hakim saat itu adalah orang Indonesia yang memiliki portofolio tinggi. Pada
saat kabinet terakhir di Jogjakarta tahun 1950 Abdul Hakim menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri. Pada tahun 1952 Abdul Hakim diangkat sebagai Gubernur Sumatera
Utara (yang meliputi Residentie Sumatra Timur, Residentie Tapanoeli dan
Residentie Atjeh).
Perihal kapabilitas ini pernah mengemuka jelang
proklamasi kemerdekaan. Kala itu, hanya ada tiga tokoh utama pemimpin Indonesia
sejak era Belanda dan pendudukan Jepang, yakni: Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin.
Ketiga orang ini kerap diringkas sebagai tiga founding father RI (minus
Sjahrir). Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin sama-sama penentang imperialis
Belanda, namun di masa pendudukan Jepang hanya Amir Sjarifoeddin yang menentang
kehadiran Jepang (sementara Soekarno dan Hatta bekerjasama). Saat proklamasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Adam Malik dkk hanya bisa
menghubungi Soekarno dan Hatta, karena Amir Sjarifoeddin masih disiksa di sel
tahanan Jepang di Soerabaja. Peneliti asing saat itu menyebut Amir Sjarifoeddin
adalah pemegang portofolio tertinggi pemimpin Indonesia (yang paling kapabel
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia), akan tetapi disayangkan Amir
Sjarifoeddin masih di dalam penjara yang dijaga ketat elite militer Jepang. Untuk
sekadar diketahui: ketiga tokoh revolusioner ini merupakan ‘anak buah’ sang
revolusioner sejati Parada Harahap di era Belanda. Parada Harahap, pemilik
surat kabar Bintang Timoer di Batavia (pemilik surat kabar Sinar Merdeka di
Padang Sidempoean 1919-1923) yang juga kepala pengusaha pribumi (semacam Kadin)
di Batavia 1927 memimpin orang Indonesia pertama ke Jepang tahun 1933 (termasuk
diantaranya M. Hatta yang baru pulang studi di Belanda untuk menggantikan
posisi Soekarno, tokoh muda lainnya yang tengah berada di penjara/diasingkan). Parada
Harahap selama di Padang Sidempuan (saat memimpin surat kabar Sinar Merdeka,
surat kabar kali pertama menggunakan kata merdeka) belasan kali dimejahijaukan
karena delik pers dan beberapa kali dibui di penjara Padang Sidempuan (tempat
dimana Adam Malik pada usia 17 tahun pada tahun 1935 ditahan karena kasus
politik menentang imperialis Belanda). Pada tahun 1954, Soekarno-Hatta ‘memberikan
hadiah’ kepada tokoh revolusioner tua ini untuk memimpin 33 orang ahli ekonomi
dan pembangunan Indonesia ke 13 negera di Eropa untuk studi banding dalam
bidang ekonomi. Laporan yang ditulis sendiri Parada Harahap dijadikan
Soekarno-Hatta sebagai rencana pembangunan ekonomi lima tahun (semacam buku
Repelita pertama) yang kemudian dicetak dan disebarluaskan ke publik. Penghargaan
para junior (Soekarno dan Hatta) kepada senior (Parada Harahap) tentu saja atas
dasar kapabilitas (pernah memiliki dan memimpin langsung tujuh surat kabar
berbahasa Melayu dan satu berbahasa Belanda plus menulis sebelas buku diantaranya
Perjalanan ke Matahari Terbit yang merupakan kisah perjalanan memimpin tujuh
orang Indonesia pertama ke Jepang tahun 1933 dan diterbitkan tahun 1934). Masa kini, ibarat Darmin Nasution
memiliki dua anak buah yang cerdas: Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Bambang
Brodjosumatri (Kepala Bappenas).
Serah Terima Pengakuan
Kedaulatan RI oleh Belanda
Tamu yang hadir pada serah terima (27-12-1949) |
Ratu Juliana pada serah terima (27-12-1949) |
Selanjutnya di Djakarta upacara dilakukan di Istana (istana Negara yang
sekarang) dari perwakilan Indonesia seperti Sultan Jogja, Sjafroeddin dan Maria
Ulfah juga hadir dari kalangan TNI yakni Kolonel TB Simatupang, Kolonel Abdul
Haris Nasution dan Commodore Suryadarma.
Selain hadir
perwakilan UNCL, tamu asing tiba untuk menghadiri serah terima. Australia telah
mengirimkan MacIntyre Critchley dan Filipina, Siam, Pakistan, Inggris,
Ethiopia, Mesir, Cina, Burma, Amerika, dan Belgia mengirimkan duta dan India,
Afghanistan, Arab Saudi, Portugal dan Burma mengirimkan wakil.
Sebelum upacara yang dimulai pukul 10 pagi di depan istana, kereta dari
Buitenzorg membawa penumpang dari Buitenzorg dan Depok ke Batavia. Sedangkan
yang dari Batavia dan sekitarnya datang dengan jalan kaki. Stasion oto dan trem
dihiasi bendera-bendera merah putih, Demikian juga di beberapa titik lingkungan
dan rumah-rumah penduduk.
Bendera merah putih
biru merah di istana diturunkan dengan diiringi lagu kebangsaan Belanda dan
lalu kemudian diikuti menaikkan bendera merah putih dengan diiringi lagu
kebangsaan Indonesia. Sebelum acara bendera ini, terlebih dahulu di aula diadakan
serah terima antara Dr. Lovink dan Sultan Djogja dan menandatangani protokol lalu
mendengarkan pidato Ratu yang ditransfer via radio. Setelah serah terima perwakilan pemerintah langsung dilanjutkan di tempat
lain serah terima militer antara TNI dan militer Belanda di lapangan terbang Kemajoran.
RIS vs (NK)RI, 1949-1950 |
Lalu di Jogjakarta Republik Indonesia tetap eksis dengan Presiden Assaat, Perdana Menteri Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim. Oleh karenanya saat itu ada dua versi negara: RIS (Djakarta) dan RI (Jogjakarta). Hatta kalah diplomasi di Den Haag dan bersama Soekarno lebih memilih RIS dan meninggalkan RI. Namun, tidak lama (seperti kita lihat nanti). Soekarno menyadari telah terjadi penyimpangan cita-cita lalu meninggalkan RIS dan kembali ke RI. Soekarno membatalkan secara sepihak hasil KMB. Soekarno merasa Indonesia telah ‘dikadali’ oleh Belanda. Satu per satu negara bagian (negara boneka yang kehadiran Belanda sangat kenatl) dibubarkan dan kemudian terbentuk KNRI (harga mati). Soekarno dan Hatta dengan sendirinya telah melakukan koreksi terhadap kesalahan yang telah dibuat.
Dalam upacara serah terima akta pengakuan
kedaulatan RI di istana (27 Desember 1949) di istana, Abdul Haris Nasution
hadir bersama petinggi militer yang lainnya, yakni: Kolonel TB Simatupang dan
Commodore Suryadarma. Seminggu kemudian dilaporkan bahwa pimpinan TNI
diputuskan yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Java-bode, 04-01-1950 |
Pengangkatan Abdul Haris Nasution
sebagai KASAD sangat mengkhawatirkan sejumlah pihak. Sebagaimana diketahui,
Abdul Haris Nasution berasal dari wilayah Republik Indonesia (Tapanoeli)
seperti halnya Wakil KASAB TB Simatupang. Kekhawatiran itu karena diduga kuat
Abdul Haris Nasution akan melabrak (membubarkan) negara-negara bagian (federal)
di bawah BFO (boneka Belanda). Abdul Haris Nasution sangat teguh dengan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanpa perlu terpecah-pecah (yang
dibelakangnya tetap eksis Belanda meski namanya sudah ada pengakuan kedaulatan).
Abdul Haris Nasution ditanyakan sejumlah wartawan di
lapangan terbang Maguwo sebelum beangkat ke Djakarta: ‘Pak Kolonel, apakah
Negara Pasundan akan dibubarkan sehubungan dengan kembalinya TNI ke Pasundan?’.
Nasution hanya menjawab simpel: ‘Dalam melaksanakan tugasnya, TNI tidak pernah mencampuri
urusan dalam politik dan pekerjaan TNI hanya untuk menjamin keamanan,
ketentraman dan ketertiban di wilayah-wilayah di bawah kendalinya. TNI ke
Pasundan hanya untuk melakukan tugasnya. TNI hanya mengambil alih tugas dari
tentara Belanda. Itu saja. Sekarang, TNI menguasai situasi’ (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-01-1950). Pernyataan simpel ini bersayap.
Kalimat bersayap dari Abdul Haris
Nasution ini mudah ditebak. Ketika Abdul Haris Nasution menjabat sebagai
Panglima Divisi III/Siliwangi, dikirim ke Tapanoeli Letkol Kawilarang dan Mayor
Ibrahim Adji, orang-orang yang dipercayanya agar Tapanoeli tidak sampai jatuh
ke tangan Belanda. Jika jatuh maka Belanda akan mempengaruhi pimpinan lokal di
Tapanoeli untuk membentuk negara bagian. Saat pertempuran masih berkecamuk di
Padang Sidempoean tiba-tiba dilakukan gencatan senjata (karena proses politik menuju
perundingan KMB di Den Haag). Sebelum konferensi KMB muncul maklumat dari
Padang Sidempuan, Tapanoeli tetap setia kepada Republik Indonesia. Pimpinan
Republik Indonesia di Tapanoeli, Abdul Abbas (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-03-1949). Abdul Abbas (Siregar) adalah
anggota PPKI, orang yang diutus mengabarkan bahwa Indonesia telah merdeka (27
Agustus 1945) ke Palembang dan Lampoeng. Foto: Abdul Abbas pidato pada pertemuan dua pihak Republik
Indonesia dan BFO di Batavia (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-03-1949).
Seperti diketahui, di negara-negara bagian KNIL masih
eksis. Dengan kata lain ada dua jenis tentara: TNI dan KNIL. Akhirnya muncul
bentrok antara TNI dan KNIL di Makassar. Antara TNI dan KNIL terus muncul
sentimen. Kolonel Simatupang, Kepala Staf APRI dan Mayor Jenderal Scheffelaar
(Negara Indonesia Timur) saling mengklaim menuduh pihak lain yang tidak
bertanggungjawab. Kemudian dilakukan pertemuan untuk membahasnya. Yang hadir TB
Simatupang, Abdul Haris Nasution, Suryadarma, Subijakto dan Ali Budiardjo.
Muncul inisiatif untuk melucuti KNIL, sebab selama ada dua ‘species’ tentara
akan tetap terjadi kesulitan dimana-mana di Indonesia. Untuk itu diangkat Komandan
Teritorial yang baru di Negara Indonesia Timur, seperti mudah diduga akan
dikirim Letkol AE Kawilarang (mantan Gubernur Militer Tapanoeli, orang
kepercayaan Nasution) dan akan tiba di Makassar tanggal 7 Agustus (De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07-08-1950).
Dua pucuk pimpinan di tubuh militer
(Simatupang dan Nasution) yang sama-sama dari Tapanuli (wilayah Republik
Indonesia) semakin gerah dengan dualisme kepemimpinan (RIS berbau Belanda dan
RI) dan ulah para KNIL. Pada lain pihakm Soekarno mulai menyadari bahwa RIS
bukanlah cita-cita sejati rakyat Indonesia dan justru sumber masalah. Akhirnya
Kabinet RIS (hasil KMB) pimpinan M. Hatta lalu dibubarkan pada tanggal 6
September 1950 dan kembali menjadi NKRI (Soekarno dan militer menjadi sepaham)
dengan mengangkat Perdana Menteri yang baru Natsir.
Seperti diduga, kembalinya ke NKRI (negara-negara bagian
akan dilikuidasi), di berbagai tempat muncul gejolak seperti Gerakan DI/TII,
Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Tugas militer (TNI) makin
berat sebab berpotensi munculnya perang saudara. Pertanyaan wartawan yang
sebelumnya diajukan kepada Abdul Haris Nasution akan dijawab kembali: ‘TNI
tidak pernah mencampuri urusan dalam politik dan pekerjaan TNI hanya untuk
menjamin keamanan, ketentraman dan ketertiban di wilayah-wilayah di bawah
kendalinya’. Dari sinilah pangkal perkara mengapa NKRI disebut ‘Harga Mati’.
Simatupang dan Nasution yang tetap setia NKRI semakin kuat setelah Soekarno dan
Hatta yang sempat mengingkarinya dengan memilih RIS daripada RI. M. Hatta dan
Abdul Hakim yang sama-sama berangkat ke KMB diduga telah pecah kongsi, karena
kenyataanya M. Hatta memilih RIS dan Abdul Hakim Harahap tetap setia RI. Saat
M. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS (di Djakarta), Abdul Hakim Harahap adalah
Wakil Perdana Menteri RI (di Jogjakarta).
Abdul Haris Nasution, Kawilarang, Ibrahim Adji, Margonda dan Tole Iskandar
Pada perang kemerdekaan Indonesia, ada dua Panglima Besar di Jawa Barat (1945-1949), yakni: Panglima militer (TNI) Kolonel Abdul Haris Nasution dan Panglima Islam (Hisbullah) Ustad Zainul Arifin. Keduanya saling bahu membahu memimpin untuk melancarkan perang gerilya terhadap markas/ganisun dan konvoi militer Belanda, Dua kesatuan Indonesia ini tidak hanya bergerak dan melakukan menuver di seputar Jawa Barat bahkan sampai ke Jawa Tengah.
Dua pimpinan perang
melawan militer Belanda ini, ibarat dua pimpinan mahasiswa yang melakukan
perlawanan terhadap agresi militer Belanda, yakni: Lafran Pane dan Ida
Nasution. Lafran Pane pada bulan Februari 1947 di Jogjakarta mendirikan
persatuan mahasiswa yang disebut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi
mahasiswa ini berada di luar kampus (ekstrakurikuler). Sementara pada bulan
Oktober 1947 Ida Nasution dari Departemen Sastra dan G. Harahap dari Departemen
Publisistik Universiteit van Indonesia mendirikan organisasi mahasiswa di dalam
kampus (intrakurikuler) yang disebut Persatoean Mahasiswa Universiteit van
Indonesia (PMUI) yang mana sebagai ketua Ida Nasution. Universiteit van Indonesia
saat itu terdiri beberapa fakultas yang tersebar di Djakarta (kedokteran,
sastra, hukum dan sosial kelak menjadi UI), di Buitenzorg (pertanian dan
kedokteran hewan kelak menjadi IPB), di Bandoeng (teknik menjadi ITB dan MIPA
menjadi UPI), Soerabaja (kedokteran menjadi Unair) dan Makassar (ekonomi
menjadi UNHAS). Dua organisasi mahasiswa ini melakukan perlawanan terhadap
agresi militer dengan cara mereka sendiri-sendiri. Lafran
Pane, Ida Nasution dan G. Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Lafran
Pane adalah adik dua sastrawan terkenal Armijn Pane dan Sanusi Pane. Ida Nasution
pada bulan Maret 1948 setelah dilakukan pencarian menghilang selamanya (De
locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948). Ida
Nasution diduga kuat diculik intel dan dibunuh militer Belanda. Untuk sekadar diketahui: pendiri organisasi mahasiswa pertama adalah
Soetan Casajangan di Leiden, Belanda bulan Oktober 1908 yang disebut Indisch
Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang kelak (1920) menjadi Perhimpunan Peladjar
Indonesia (PPI) yang dipimpin M. Hatta dan pada periode berikutnya dipimpin
Parlindoengan Loebis (kelahiran Padang Sidempoean). Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah kelahiran
Padang Sidempoean. Sedangkan PMUI adalah cikal bakal Dewan Mahasiswa (Dema).
Ketua Dewan Mahasiswa UI 1973 yang melawan agresi ekonomi Jepang yang dikenal
Peristiwa Malari adalah Hariman Siregar (kelahiran Padang Sidempuan).
.
.
Kolonel Abdul Haris Nasution kelahiran Kotanopan, Afdeeling Padang
Sidempoean. Ustad Zainul Arifin Pohan, kelahiran Barus, Afdeeling Sibolga.
Abdul Haris Nasution dan Zainul Arifin Pohan sama-sama mengikuti pendidikan
dasar dan agama di (Pesantren Mustofawiyah) Kotanopan. Ayah Zainul Arifin Pohan
berasal dari Barus, ibunya adalah asli Kotanopan. Oleh karenanya dua panglima
yang ada di Jawa Barat boleh dikata dua pemuda ‘anak Kotanopan’ (semua pionir organisasi mahasiswa
adalah ‘anak Padang Sidempoean’).
Untuk melanjutkan
sekolah menengah (atas), Abdul Haris Nasution hijrah ke Bandoeng, sedangkan
Zainul Arifin Pohan hijrah ke Djakarta. Di era pendudukan Jepang, Abdul Haris
Nasution mengikuti pendidikan militer (PETA) sedangkan Zainul Arifin Pohan
awalnya menjadi pegawai pemerintah di Djakarta. Sejak kedatangan pasukan sekutu
Inggris yang diikuti pasukan militer Belanda. Abdul Harus Nasution dan Zainul
Arifin Pohan lalu sama-sama mengangkat senjata di luar Batavia yang telah
diduduki Inggris/Belanda (yang menjadi wilayah perang gerilya Indonesia di Jawa
Barat).
Abdul Haris Nasution setelah
Indonesia Merdeka 17 Agustud 1945 diangkat menjadi Kepala Staf Komando Pertama
di Bandung dengan pangkat Kolonel. Oleh karena semakin intensnya gerakan dan
manuver pasukan militer Belanda, Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Komandan
Divisi III/Siliwangi. Pada saat ibukota RI terusir dari Djakarta (dipindahkan)
ke Jokjakarta tahun 1946 Abdul Haris Nasution dipromosikan menjadi Komandan Divisi
I di Poerwakarta untuk lebih menekan pasukan militer Belanda yang berpusat di
Batavia.
De nieuwsgier, 29-10-1955:
‘Abdul Haris Nasution lahir tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan (Tapanoeli).
Mengikuti pendidikan dasar di HIS di Kotanopan dan sekolah guru (HIK). Pada
tahun 1939 menjadi guru di Palembang. Abdul Haris Nasution kemudian hijrah dan
mengikuti pendidikan AMS-B (sekolah menengah IPA) dan selanjutnya mengikuti pendidikan
militer di KMA (Koninklijk Militaire Academie) di Bandoeng. Pada tahun 1941 menjadi
anggota angkatan darat Hindia Belanda (KNIL). Pada era pendudukan Jepang Abdul
Haris Nasution menjadi perwira menengah dan pada tahun 1944 diangkat menjadi Komandan
Batalion Barisan Pelopor di Bandoeng, Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tahun 1945 menjadi Kepala Staf Komando Pertama di Bandung dengan
pangkat Kolonel, lalu menjadi Komandan Divisi III. Pada tahun 1946 ia
dipromosikan menjadi Komandan Divisi I di Poerwakarta. Setelah itu menjadi Wakil
Kepala di Yogyakarta pada tahun 1948. Pada tahun 1948 menjadi Kepala Staf Umum di
Jogjakarta lalu kemudian diangkat dengan pangkat kolonel memimpin tentara di seluruh
Jawa pada tahun 1949, Abdul Haris Nasution akhirnya ditunjuk menjadi Kepala Staf
Angkatan Darat (awal tahun 1950: lihat kembali Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1950).
Abdul Haris Nasution memiliki
sejumlah rekan seprofesi di militer Bandoeng yakni TB Simatupang. Ketika Jepang
melakukan pendudukan, sejumlah militer diinternir, yakni TB Simatupang, Abdul
Haris Nasution, Alexander Kawilarang, Mokoginta, Askari dan Kartakusuma.
Setelah diinternir dan dibebaskan Abdul Haris Nasution kemudian diangkat
menjadi perwira menengah.
Sementara itu TB Simatupang, setelah diinternir dan
dibebaskan merantau ke Jawa sebagai pedagang
dan sambil mengorganisaskikan gerakan bawah tanah dengan rekan-rekannya
tersebut. Pada tanggal 5 Oktober. 1945 Simatupang datang berdiskusi dengan
semua pemimpin militer lainnya tentang dasar-dasar tentara Indonesia dan Simatupang
kemudian bertugas di Markas Besar TNI sebagai Kepala Departemen Organisasi dengan
pangkat Mayor. Simatupang kemudian bergabung dengan komite reorganisasi TNI dan
Jenderal Soedirman dipromosikan menjadi Komandan Militer dengan Kolonel, langsung
melampaui pangkat Letnan Kolonel. Selama pemerintah darurat RI menjadi komandan
di Sumatra (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-07-1951). Untuk komandan di Jawa adalah
Kolonel Abdul Haris Nasution.
Di Depok setelah pasukan sekutu
Inggris detasemen Gurkha membebaskan tawanan (15 Oktober 1945) dan membawanya
ke Buitenzorg untuk dipersatukan dengan laki-laki yang telah disandera dan dibawa
ke Buitenzorg, situasi dan kondisi Depok dikuasai sepenuhnya oleh nasionalis
pemuda.
Sekutu sudah berada di Bandoeng. Kini mereka mulai nekad
setelah pejuang terus menembaki mereka. Pasukan sekutu Inggris Memberi
ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km
dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini
diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri
Keamanan Rakyat), Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan
mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris
Nasution. Saat terjadi pengosongan ini, nasionalis di Bandoeng Selatan melakukan
pembakaran (Algemeen Handelsblad, 25-03-1946). Ultimatim tanggal 24
Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21
November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara dikosongkan
selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak
diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden.
Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.
Nieuwe Apeldoornsche courant, 26-03-1946: ‘Politik bumi
hangus menyebabkan pembakaran intens di Bandung. Terjadi sebelum meninggalkan
kota, mereka memiliki bangunan utama dan juga rumah-rumah pribadi dibakar. Adegan
bumi hangus ini menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama,
disebabkan oleh serangan udara Jerman di London pada tahun 1940. Senin siang
terlihat TRI yang tersisa sebagai dalam kelompok-kelompok, yang mungkin bersembunyi.
Pagi-pagi Britsch Indiers, Poenjabs dan Mahratta berhasil menembus di bagian
timur dari Bandung Selatan. Mereka bertemu lawan sehingga terjadi pertempuran.
Bangunan kota rusak berat dan juga di jalan-jalan ditemukan granat besar yang
digunakan tentara republic yang bersumber dari Japanneezen. Dalam penyisiran
ini ditemukan mayat dua sersan mayor Jepang. Hal ini jelas bahwa sejumlah
Japanneezen berkolaborasi dengan para pasukan republic. Semua itu berawal dari
permohonan penundaan operasi pendudukan (yang dilakukan Amir Sjarifoeddin dan
Abdul Haris Nasution) ditolak oleh Inggris, sehingga TRI, tentara Republik,
tidak mampu untuk menenangkan penduduk’.
Nieuwe courant, 26-06-1946: ‘melaporkan dengan judul
Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic di Bandung selatan
melancarkan protes. Pengambilalihan resmi komando Inggris oleh pasukan Belanda
di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18 tempat. Markas Nederlandsche terletak
di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal De Waal. Markas Green Brigade dibawah
Kapten Van Gulik konsentrasi di Tjiiandjoer. Brigade-7 Infanteri Britisch
Indiers sudah melakukan perjalanan (kembali) ke Batavia. Bandara di Andir telah
digantikan oleh sebuah unit dari penerbangan militer Belanda, untuk kepentingan
pengamatan udara’.
Nieuwe courant, 27-03-1946: ‘Koresponden kami di Bandung
melaporkan hari Minggu di markas (sebelum politik bumi hangus), Komandan Divisi
3 Kolonel Abdul Haris Nasution menjawab saat dikonfirmasi: ‘Saya telah mencoba
untuk mengakhiri semua pertempuran, tapi situasi sangat sulit’. Nasution hari
Minggu pagi kembali ke Bandung dari Batavia dimana sebelumnya Nasution telah
memberitahukan Sjahrir tentang situasi di Bandung. Dari Batavia, Nasution
membawa pesan khusus dari Sjahrir, TRI untuk tidak melawan dan pemerintah
Indonesia menugaskan Bandung selatan agar terus melindungi dua ratus ribu orang
Indonesia dan Cina. Oleh karena permintaan untuk menunda sepuluh hari
pengosongan ditolak Inggris maka terjadi peristiwa lautan api. Dalam situasi
kejadian itu terdapat banyak tentara independen, seperti Banteng Hitam dan
organisasi lainnya. Di dalam operasi pengosongan ini Jepang mengangkat bendera
kuning dan tidak mengganggu jalannya operasi, sebaliknya bahwa tidak ada pasukan
Belanda yang ikut berpartisipasi aktif dalam operasi’.
Algemeen Handelsblad, 30-03-1946: ‘Politik bumi hangus di
Bandung telah menyebabkan lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga
dari Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150
bangunan’.
Pada waktu yang relatif
bersamaan dengan di Bandoeng militer
Belanda coba membebaskan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg. Di Depok terjadi
perlawanan oleh pejuang terhadap militer. Lalu kemudian militer Belanda
memasuki Depok dan menemukan sepi. Di dapat kabar dua hari sebelumnya TRI ditarik
dari Depok Belanda (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 25-03-1946). Laporan lain menyebutkan Depok telah diduduki (Leeuwarder
koerier, 25-03-1946). Sekarang di Depok, dimana sekarang bendera Belanda
bertiup lagi (Nieuwe Apeldoornsche courant, 25-03-1946).
Pendudukan Bandoeng dan Depok yang relatif bersamaan
mengindikasikan Bandoeng dan Depok terdapat konsentrasi TRI dan
kelompok-kelompok perlawanan masyarakat. Di Buitenzorg sendiri sejak menduduki 15
Oktober, situasi dan kondisi lebih terkendali, karena BKR/TRI telah mengungsi ke luar kota,
termasuk ke Depok. Pendudukan Depok pada tanggal 24 Maret 1946 merupakan
tindakan Belanda untuk mengamankan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg.
Setelah terjadi perlawanan heroik di
Bandoeng dan terjadinya Bandoeng Laoetan Api, Kolonel Abdul Haris Nasution
dipromosikan menjadi Komandan Divisi I Poerwakarta. Teman lamanya, AE
Kawilarang berada di Buitenzorg.
AE Kawilarang pada bulan Januari 1946 diangkat sebagai Kepala
Staf Resimen Infantri Bogor Divisi II dengan pangkat Letnan Kolonel. Tidak lama
kemudian Kawilarang dipromosikan menjadi Komandan Resimen Infantri Bogor.
Karirnya terus ditingkatkan sebagai Komandan Brigade II/Soeryakancana yang
menjadi bagian Divisi III/Siliwangi untuk wilayah Buitenzorh, Tjiandjoer dan
Soekaboemi. Brigade ini termasuk elit di Divisi III/Siliwangi di bawah komando
Kolonel Andul Haris Nasoetion (kini wilayah ini disebut Korem Soeryakencana).
Akhirnya politik yang berkembang menyebabkan Jawa Barat menjadi wilayah Belanda
yang harus dikosongkan. Lalu Abdul Haris Nasution dialihkan dan dipromosikan menjadi
Wakil Kepala di Jogjakarta pada tahun 1948. Sesuai dengan eskalasi politik yang
makin cepat, perubahan di tubuh militer juga bergeser secara cepat. Pada tahun
1948 Abdul Haris menjadi Kepala Staf Umum di Jogjakarta lalu kemudian diangkat dengan
pangkat Kolonel untuk memimpin tentara di seluruh Jawa pada tahun 1949. Brigade
di bawah pimpinan Letkol Kawilarang juga turut bergeser ke Jawa Tengah.
Konsentrasi militer Indonesia semakin meningkat di Jawa Tengah/Jogjakarta.
Nun di sana di Padang Sidempuan (Tapanoeli) di kampong
halaman Abdul Haris Nasution juga terjadi konsentrasi militer yang terus
terdesak dari Medan, Sumatera Timur sebagaimana militer di Jawa Barat yang
bergeser dan terkonsentrasi di Jawa Tengah. Abdul Haris Nasution tampaknya
mulai khawatir keadaan di Jawa Tengah/Jogjakarta dan situasi di Tapanoeli akan
munculnya kekacauan. Untuk di Jawa Tengah/Jogjakarta Abdoel Haris Nasution
mungkin bisa diatasinya, tetapi di Tapanoeli siapa yang mampu mengatasinya.
Pilihan jatuh kepada eks Brigade elit dari Bogor. Kawilarang sohib lama
diyakini mampu mengatasi situasi dan kondisi yang semakin kritis di Padang
Sidempoean: militer Belanda terus memborbardir kota sementara diantara para
pasukan terjadi friksi-friksi antara pasukan yang mengungsi dari Sumatra Timur
dengan pasukan yang berada di Tapanoeli. Komando tertinggi di Sumatra berada di
bawah kendali TB Simatupang. Inilah saatnya tiga legiun Bandoeng (Simatupang,
Nasution dan Kawilarang) berkoordinasi secara intensif.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar