Sabtu, 18 Agustus 2018

Sejarah Kota Surabaya (23): Universitas Airlangga, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Ketiga; NIAS dan Universitas Indonesia


*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini

Universitas Airlangga adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ketiga. PTN yang pertama didirikan oleh Pemerintah RI adalah Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta yang diresmikan pada tanggal 18 Desember 1949 dan Universitas Indonesia di Djakarta pada tanggal 2 Februari 1950. Peresmian Universitas Airlangga sendiri dilakukan di Soerabaja oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1954 tepat pada Hari Pahlawan (lihat De nieuwsgier, 12-11-1954).

De nieuwsgier, 24-12-1954
Pembentukan Universitas Airlangga pada dasarnya merupakan gabungan lembaga-lembaga pendidikan yakni berbagai perguruan tinggi dan institut yang ada di Soerabaja. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah bagian/cabang dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

Lantas bagaimana proses pembentukan universitas di Soerabaja berlangsung dan mengapa namanya disebut Airlangga? Pertanyaan ini tentu bukan hal yang esensial, tetapi hal itu menjadi penting karena selama ini tidak pernah diceritakan. Untuk itu, artikel ini mendeskripsikan bagaimana Universitas Airlangga terbentuk.

Universitas di Sumatra dan Lahirnya Universitas Airlangga di Soerabaja

Setelah terbentuknya universitas di Djawa yakni Universitas Gadjah Mada (yang dibentuk oleh RI) dan terbentuknya Universitas Indonesia (fusi dari Balai Perguruan Tinggi RI dan Universiteit van Indonesie), muncul gagasan untuk membentuk universitas di Sumatra (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-03-1953). Disebutkan pembentukan universitas di Sumatra sehubungan dengan akan didirikannya fakultas ekonomi di Palembang. Universitas di Sumatra ini direspon dengan baik dengan menggabungkan fakultas ekonomi di Palembang, fakultas hukum di Padang dan fakultas kedokteran di Medan.

Di Padang didirikan sekolah tinggi hukum, perguruan tinggi pertama di Sumatra. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Disebutkan dalam pembukaannya dihadiri oleh Prof. Mr. Hazairin Harahap, Ph.D. Pendiri sekolah hukum ini adalah Mr. Egon Hakim Nasution, sarjana hukum alumni Universiteit Leiden, anak wali kota Padang, Dr. Abdoel Hakim. Di Medan telah dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Sumatra Utara yang memulai aktivitasnya dengan mendirikan fakultas kedokteran di Medan. Presiden Jajasan adalah Abdoel Hakim Harahap (gubernur Sumatra Utara). Di Palembang akan dibuka fakultas ekonomi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1952). Disebutkan Presiden Soekarno telah memberikan bantuan sebesar Rp 100.000 untuk fakultas ekonomi tersebut. Untuk mempercepat proses pendirian fakultas ini delegasi telah dikirim ke Kementerian Pendidikan (De nieuwsgier, 29-08-1953). Upaya pembukaan universitas di Sumatra ini masih terus bergulir hingga saat peresmian fakultas ekonomi di Palembang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1953). Dalam acara peresmian fakultas ekonomi ini disebutkan yang mengelola adalah Jajasan Perguruan Tinggi Sjakhyakirti. Dalam peresmian ini juga turut hadir Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Mr Hadi dan Prof. Dr. Soepomo, Presiden Universitas Indonesia.

Sementara itu, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada terus melakukan konsolidasi internal. Dalam hal ini Universitas Indonesia memiliki fakultas di berbagai tempat: di Djakarta, Bandoeng, Bogor, Soerabaja dan Makassar dan Universitas Gadjah Mada selain di Djogjakarta juga membuka cabang di Soerabaja dan Semarang.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah di Universitas Indonesia adalah selain memperkuat fakultas ekonomi yang baru dibuka di Djakarta juga mengaktifkan kembali fakultas ekonomi di Makassar (karena sebelumnya sempat tidak aktif karena para dosen dan guru besar pulang/kembali ke Belanda). Juga pemerintah melakukan upaya di Soerabaja dengan mengangkat Dr. JP Paris untuk merumuskan fakultas kedokteran  di Soerabaja sebagai bagian dari Universitas Indonesia (De nieuwsgier, 20-02-1953).

Namun dalam perjalanannya Menteri Pendidikan yang baru, Mohamad Jamin memformulasikan sendiri universitas Sumatra (De nieuwsgier, 19-05-1954). Disebutkan bahwa Menteri Pendidikan Mohamad Jamin mengumumkan akan melakukan reorganisasi universitas di Indonesia. Menteri Pendidikan menyebutkan rencananya sekarang adalah untuk memperluas jumlah universitas negeri menjadi lima buah. Pertama, Universitas Indonesia akan diubah namanya menjadi Universitas Poernawarman. Universitas Indonesia hanya akan memiliki fakultas di Djakarta, Bogor dan Bandoeng. Kedua, pemerintah akan membangun Universitas Adityawarman di Sumatra. Ketiga, tetap mempertahankan Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Keempat, Universitas Airlangga akan didirikan di Soerabaja yang merupakan gabungan dari cabang Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Untuk universitas kelima disebutkan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi yang berlokasi di Makassar.

Lalu kemudian dilakukan penjajakan bahwa menurut Sekjen Kementerian Pendidikan universitas Sumatra ini akan meliputi fakultas pertanian yang akan dibangun di Paijakoemboeh dan fakultas pedagogik yang akan dibangun di Batoesangkar di Midden Sumatra akan dikembangkan dengan fakultas yang ada di Medan (Nord Sumatra) dan Palembang (Zuid Sumatra) (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 18-06-1954). Ide ini telah sedikit bergeser dari tiga kota (Palembang, Padang dan Medan)  menjadi empat kota yakni Medan dan Palembang plus Paijakoemboeh dan Batoesangkar) dengan melupakan Padang. Tampaknya ide awal (yang telah direspon tiga belah pihak) seakan masuk angin apakah Noord Sumatra dan Zuid Sumatra kemudian berpikiran lain atau apakah Noord Sumatra dan Zuid Sumatra memang sengaja diabaikan?.

Sementara reorganisasi pendidikan tinggi di Kementerian Pendidikan tetap berlangsung, juga terjadi pergantian pimpinan di Universitas Indonesia. Jabatan Presiden Universitas Indonesia yang telah lama lowong diangkat Bahder Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia. Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Bahder Djohan dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember 1954 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-12-1954). Dalam pelantikan Universitas Indonesia bersamaan dengan pelantikan Presiden Universitas Airlangga Prof. G. Pringgodigdo.

Pengangkatan Bahder Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia tampak di luar dugaan. Presiden Universitas Airlangga sendiri yang baru diangkat Prof. G. Pringgodigdo sudah lama menjabat sebagai guru besar tetap di Universitas Gadjah Mada. Namun Bahder Djohan baru diangkat sebagai guru besar luar biasa di fakultas kedokteran Universitas Indonesia bulan Desember 1953. Bukankah di Universitas Indonesia yang memiliki fakultas di Djakarta, Bandoeng dan Bogor terdapat cukup banyak profesor Indonesia yang kapabel? Penunjukan Dr. Bahder Djohan dari luar lingkungan kampus menjadi Presiden Universitas Indonesia terkesan lebih bersifat politis daripada akademik. Dr. Bahder Djohan terkesan merupakan skenario Menteri Pendidikan Mohanmad Jamin dan Wakil Presiden Mohamad Hatta (yang pro kerjasama dengan asing). Ini terlihat saat Prof. Mr. Soepomo, Ph.D sudah tidak menjabat sebagai presiden (sekitar April 1954) dengan pengangkatan presiden universitas yang baru (November 1954) cukup lama dikosongkan alias digantung. Dengan kata lain hampir delapan bulan Universitas Indonesia tidak memiliki presiden. Apakah harus cukup waktu bagi Dr. Bahder Djohan untuk memahami konstelasi di dalam internal Universitas Indonesia lalu baru kemudian ditunjuk sebagai presiden universitas?. Tampaknya cukup lama Universitas Indonesia dikorbankan untuk mendapatkan presiden universitas yang baru.

Setelah Universitas Airlangga terbentuk, nasib pembentukan universitas di Sumatra  semakin tidak jelas. Yang jelas dalam pembentukan universitas di Sumatra tidak lagi menyertakan Medan dan Palembang, tetapi hanya membentuk universitas Sumatra di Midden Sumatra saja yang hanya terdiri dari fakultas pertanian di Paijakoemboeh dan fakultas pedagogik di Batoesangkar dengan membentuk baru fakultas kedokteran di Bukittingi plus fakultas hukum yang sudah ada di Padang. Nama universitas di Midden Sumatra tetap menggunakan nama Adityawarman. Paling tidak hal ini terindikasi dari pernyataan Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Disebutkan oleh Bahder Djohan bahwa pembentukan universitas Adityawarman di Midden Sumatra dan Hassanoeddin di Sulawesi hampir selesai.

Penyegeraan pembentukan universitas di Sulawesi karena pemerintah pusat (dalam hal ini kementerian pendidikan) terus mendapat tekanan dari Makassar. Pada saat situasi tidak kondusif di Sulawesi, para dosen dan guru besar Fakultas Ekonomi, Universiteit van Indonesia kembali ke Belanda. Akibatnya, pada tahun akademik 1950/1951 tidak mungkin lagi bisa dilakukan. Saat inilah dibentuk Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia di Djakarta. Ketika menyadari Fakultas Ekonomi di Makassar ditutup (seiring dengan pembukaan Fakultas Ekonomi di Djakarta) terjadi gelombang protes di Makassar. Tekanan inilah yang kemudian menjadi gagasan munculnya pembentukan universitas di Makassar. 

Pembentukan universitas di Soerabaja pada dasarnya sangat tiba-tiba dan sangat tergesa-gesa. Gagasannya baru muncul kepermukaan ketika Menteri Pendidikan Mohamad Jamin mengumumkan akan melakukan reorganisasi pendidikan tinggi (lihat kembali De nieuwsgier, 19-05-1954)..Padahal kebutuhan pembentukan universitas di Sumatra dan di Sulawesi sejatinya lebih mendesak direalisasikan. Hal ini karena fakultas kedokteran dan institut kedokteran gigi di Soerabaja yang menjadi bagian dari Universitas Indonesia berjalan normal. Fakultas teknik di Bandoeng dan Fakultas Pertanian di Bogor yang juga menjadi bagian dari Universitas Indonesia juga berjalan normal. Dalam lingkup Indonesia, Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Jawa sudah merata. Sementara keinginan berbagai pihak agar perguruan tinggi negeri di luar Jawa segera dapat terealisasikan.

Preangerbode, 29-10-1954
Pemekaran universitas adalah satu hal, sedangkan penegerian fakultas/universitas adalah hal lain. Saat itu, keuangan pemerintah sangat sulit tetapi meringankan masyarakat juga mendesak. Upaya penegerian fakultas/universitas akan meringankan masyarakat. Namun kenyataannya, pemekaran dan pembentukan universitas di Soerabaja tidak memiliki signifikansi karena fakultas/insitut di Soerabaja adalah milik pemerintah yang notabene juga adalah perguruan tinggi negeri. Hal yang sama juga dengan fakultas ekonomi di Makassar yang sudah dianggap menjadi cabang Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia di Djakarta juga adalah perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, pembentukan baru sebuah fakultas atau universitas adalah biaya besar ketika keuangan pemerintah dalam keadaan sulit. Oleh karena itu, sejak dari awal pemerintah selalu memulai dengan hanya melakukan penguatan terhadap sejumlah fakultas/institut yang sudah ada (peralihan dari milik Belanda menjadi Indonesia). Namun persoalannya, di Sumatra tidak terdapat warisan fakultas/institut dari Belanda. Namun dalam kondisi keuangan yang sulit pemerintah sejatinya menegerikan pembentukan universitas di Sumatra yang fakultas-fakultasnya sudah eksis di tiga kota (Palembang, Medan dan Padang). Namun Kementerian Pendidikan memiliki pemikiran sendiri, yakni membentuk baru fakultas-fakultas di Paijakoemboeh, Batoesangkar dan Bukittinggi. Pada tahun 1954, Universitas Sumatra Utara yang termasuk universitas yang paling siap untuk dinegerikan, pemerintah pusat tampak tidak merestui. Akibatnya, ketika Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin datang ke Medan dalam acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia mendapat sambutan spanduk dari mahasiswa dengan bunyi ‘Akuilah Universitet SU’ (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 29-10-1954).

Ketergesa-gesaan penetapan dan peresmian Universitas Airlangga ini pada tanggal 10 November 1954 telah menimbulkan masalah. Beberapa hari setelah peresmian Universitas Airlangga, ternyata Prof. Mr. AG Pringgodigdo masih diklaim Universitas Gadjah Mada sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 15-11-1954). Juga disebutkan, perkuliahan di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga diumumnkan oleh AG Pringgodigdo harus dihentikan sementara karena masih mengurus pengalihan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada di Soerabaja ke Universitas Airlangga. Tidak hanya itu, AG Pringgodigdo juga harus mengurus pengalihan perguruan tinggi (hoogeschool) di Malang.

Dalam hal ini, Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta meradang. Prof. Mr. AG Pringgodigdo selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada  tidak hanya ‘dibajak’ tetapi kampus Universitas Gadjah Mada di Soerabaja juga ‘diserobot’. Boleh jadi kasus ‘pembajakan’ dan ‘penyerobotan’ ini menjadi sebab mengapa mahasiswa Universitas Sumatra Utara menyindir Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin ketika datang untuk membuka Kongres Bahasa Indonesi di Medan dengan spanduk ‘Akuilah Universitet Sumatra Utara’. Sebagaimana diketahui Universitas Sumatra Utara yang berada di bawah Jajasan Universitas Sumatra Utara secara resmi beberapa tahun sebelumnya diumumkan di bawah akte notaris. Artinya semua fakultas di bawah Universitas Sumatra Utara bersifat legal dan hanya cukup membalikkan tangan jika statusnya diubah menjadi universitas negeri dan tidak akan membawa konsekuensi kepada pihak lain.  

Mengapa kasus ini bisa terjadi, itu semua karena arogansi pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan. Dalam Undang-Undang  Darurat  No. 7 yang dikeluarkan pada  tanggal  30 Djanuari  1950 dinyatakan bahwa diberikan kekuasaan kepada Menteri Pendidikan dan presiden universitas yang bersangkutan (dalam hal ini Presiden Universitas Airlangga yang telah diangkat pemerintah) untuk memutuskan segala sesuatu yang terkait di dalam internal universitas (tanpa melibatkan unsur dosen dan guru besar) apalagi presiden universitas lain (dalam hal ini Universitas Gadjah Mada). Undang-Undang ini terkesan lebih buruk jika dibandingkan dengan Hoger  Onderwijs  Ordonnantie  (buatan Belanda, 1946). Reaksi Djogjakarta dan Medan dalam arogansi pemerintah ini hanya dibalas dengan senyum. Djogjakarta mengatakan dengan sopan santun bahwa ‘tidak masalah pemisahan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada di Soerabaja tetapi para dosen dan guru besarnya itu adalah SK-nya untuk Universitas Gadjah Mada’. Juga Medan menulis di dalam spanduk dengan sopan santun ‘Akuilah Universitet Sumatra Utara’.

Pembentukan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerabaja Menjadi Cikal Bakal Universitas Airlangga

Di satu pihak Dr. JP Paris pada dasarnya ditugaskan untuk memperkuat fakultas kedokteran di Soerabaja sebagai bagian/cabang dari Universitas Indonesia, tetapi di pihak lain justru muncul gagasan pembentukan universitas di Soerabaja. Gagasan pembentukan universitas di Soerabaja datang dari Kementerian Pendidikan dengan alasan untuk melakukan reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Proses reorganisasi pendidikan tinggi dalam prakteknya terkesan dilakukan tergesa-gesa. Salah satu wujud reorganisasi pendidikan tinggi yang tergesa-gesa tersebut adalah dalam pembentukan universitas di Soerabaja yang diberi nama Universitas Airlangga. Didirikannya Universitas Airlangga yang diresmikan pada tanggal 10 November 1954 ternyata masih menyisakan persoalan yang kemudian menimbulkan konsekuensi kepada pihak lain (terutama Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta).

Dalam pembentukan universitas di Soerabaja, Universitas Airlangga sempat terganggu di Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Pihak pimpinan Universitas Gadjah Mada tidak terlalu memusingkan dipisahkannnya Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada di Soerabaja menjadi bagian dari Universitas Airlangga, tetapi menjadi masalah ketika dosen dan guru besarnya juga dialihkan ke Universitas Airlangga. Universitas Gadjah Mada tampak meradang. Menurut pihak Universitas Gadjah Mada pengangkatan mereka (dosen dan guru besar) berdasarkan surat keputusan pengangkatan di Universitas Gadjah Mada.

Universitas Airlangga pada intinya adalah pemisahan fakultas kedokteran dan institut kedokteran gigi di Soerabaja dari Universitas Indonesia dengan membentuk Universitas Airlangga. Dalam proses pembentukan Universitas Airlangga ini, selain fakultas kedokteran, institut kedokteran gigi sebelumnya telah ditingkatkan statusnya menjadi fakultas. Untuk memenuhi persyaratan minimum Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada di Soerabaja harus diakusisi, demikian juga perguruan tinggi (hoogeschool) paedagogische yang ada di Malang. Satu lagi fakultas yang ditambahkan dalam pembentukan Universitas Airlangga ini adalah dengan membentuk baru fakultas ekonomi (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 20-09-1954). Fakultas ekonomi di Universitas Airlangga penyelenggaraannya dimulai dari tahun akademik yang pertama (1954/1955). Sementara empat fakultas yang lainnya telah menyelenggarakan perkuliahan sejak tahun-tahun sebelum pembentukan Universitas Airlangga. Secara defacto, fakultas tertua di Universitas Airlangga adalah fakultas kedokteran.

Pada tahun 1946 Belanda membentuk universitas darurat (Nood Universiteit) di Djakarta/Batavia. Lalu pada tahun 1947 Nood Universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesia. Fakultas Kedokteran yang akan dibentuk di Soerabaja akan menjadi bagian daru Universiteit van Indonesia (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-12-1947). Hal yang sama juga dilakukan dengan membentuk fakultas ekonomi di Makassar. Sementara itu, di beberapa fakultas yang berada di Universiteit van Indonesia diselenggarakan kursus singkat untuk memenuhi kebutuhan segera, seperti pendidikan guru SMA di Bandoeng dan Makassar serta pendidikan kedokteran gigi di Soerabaja. Pada tahun 1948 institut kedokteran gigi, Tandheelkundig Instituut van de Universiteit ven Indonesië te Soerabaja telah meluluskan enam dokter gigi (Nieuwe courant, 03-06-1948). Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi di Soerabaja diselenggarakan di beberapa  gedung yang merupakan eks gedung Nedederlandsche Indie Artsen School (NIAS) Soerabaja. NIAS sendiri dimulai sejak tahun 1913. Salah satu alumni NIAS adalah Dr. Achmad Nawir tahun 1939. Achmad Nawir adalah juga pemain sepak bola terkenal di Soerabaja dari klub HBS yang menjadi kapten tim Indonesia ke Piala Dunia di Prancis tahun 1938. Achmad Nawir berasal dari Tapanoeli.

Pada tahun 1950 Universitas Indonesia didirikan. Universitas Indonesia dapat dikatakan sebagai peralihan dari Universiteit van Indonesia sejak diberlakukan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi di Soerabaja termasuk yang diadopsi sebagai bagian dari pendirian Universitas Indonesia. Saat peralihan ini, dosen dan guru besar (profesor) Belanda banyak yang pulang/kembali ke Belanda. Prof. Mohamad Sjaaf terhitung 4 April menggantikan dekan fakultas kedokteran di Soerabaja Prof. Dr. GM Streef (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 04-04-1950). Disebutkan Mohamad Sjaaf diangkat menjadi profesor di fakultas sejak 1 April 1950. Fakultan kedokteran sendiri dibuka pada 8 September 1948 di Soerabaja, Untuk memenuhi kebutuhan dosen dan guru besar pemerintah Indonesia (Menteri Pendidikan) mengangkat sejumlah dosen dan guru besar yang memiliki keahlian khusus. Salah satu guru besar yang diangkat adalah Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D saat itu adalah  dokter di klinik Dokter Praktik di Soerabaja diangkat sebagai guru besar di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerabaja. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, berasal dari Tapanuli meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam pada tahun 1930. Dengan kebijakan Indonesiasisi fakultas kedokteran di Soerabaja dimungkinkan mahasiswa yang dulu kuliah di Solo dan Klaten melanjutkan. Dalam hal ini juga dimungkinkan mahasiswa yang kuliah di fakultas kedoktern di Djakarta pindah ke Soerabaja dan demikian sebaliknya.

Hingga tahun 1931 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran (semuanya di universitas-universitas di negeri Belanda) baru sebanyak orang dan hanya satu orang perempuan, yakni: (1) Sarwono (1919); (2) Sardjito (1923); (3) Mohamad Sjaaf (1923); (4) JA Latumeten (1924); (4) R. Soesilo (1925); (5) HJD Apituley (1925); (6) Achmad Mochtar (1927); (7) AB Andu (1928); (8) T Mansoer (1928); (9) RM Saleh Mangoendihardjo (1928); (10) MH Soeleiman (1929); (11) M. Antariksa (1930); (12) Sjoeib Proehoeman (1930); (13) Aminoedin Pohan (1931); (14) Seno Sastroamidjojo (1930); (15) Ida Loemongga Nasution (1931). Catatan: Jumlah terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling (kabupaten) Padang Sidempoean, Residentie Tapanoeli. Dr. Sardjito, Ph.D kini adalah Presiden Universitas Gadjah Mada dan Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D adalah dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerabaja.

Pada saat Indonesiasi fakultas kedokteran di Soerabaja (1950) perkuliahan yang ada adalah mahasiswa tahun pertama (register 1949/1950) dan mahasiswa tahun kedua (register 1948/1949). Sementara jumlah mahasiswa register pada saat pembukaan pada tahun akademik 1948/1949 sebanyak 70 mahasiswa, sedangkan pada tahun akademik 1949/1950 sebanyak 182 mahasiswa. Pada tahun akademik 1950/1951 yang akan dimulai tanggal 23 Agustus 1950 jumlah mahasiswa telah jauh meningkat (De vrije pers: ochtendbulletin, 05-08-1950). Disebutlan jumlah mahasiswa tahun pertama sebanyak 90 mahasiswa, tahun kedua sebanyak 129 mahasiswa; dan tahun ketiga sebanyak 51 mahasiswa (bandingkan dengan jumlah mereka ini pada tahun awal 1948/1949 sebanyak 70 mahasiswa).

Sementara terjadi proses Indonesiasi terhadap fakultas kedokteran di Soerabaja, juga terjadi pembentukan fakultas hukum di Soerabaja (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-10-1950). Disebutkan fakultas hukum swasta di Soerabaja yang diinisiasi oleh wali kota akan dibuka pada 1 November 1950. Dalam hal ini disebutkan bahwa dekan fakultas kedokteran Soerabaja, Prof. Mohamad Sjaaf telah berjanji untuk menyedikan sebagian dari bangunan fakultas kedokteran di Karangmendjangan untuk fakultas hukum sambil menunggu akuisisi rumah Gondowardojo atau di tempat Prinses Marijke.Club. Seperti yang telah direncanakan, setelah persiapan selama satu bulan (antara panitia yang bekerjasama dengan dewan guru, dosen dan administrator dari Fakultas Kedokteran) kemudian dilakukan peresmian (pagi ini) tanggal 4 November 1950 fakultas hukum di Soerabaja (lihat Nieuwe courant, 04-11-1950). Acara peresmian ini dilakukan di auditorium Fakultas Kedokteran yang dihadiri berbagai pihak. Dengan demikian di Soerabaja sudah terdapat tiga pendidikan tinggi yakni kedokteran, kedokteran gigi dan hukum (Nieuwe courant, 18-11-1950).

Peresmian Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerbaja diresmikan oleh Menteri Pendidikan Bahder Djohan (De vrije pers: ochtendbulletin, 03-03-1951). Dalam peresmian ini juga turut hadir Presiden Universitas Indonesia, Dr. Kusumadi. Kampus fakultas Kedokteran berlokasi di Karangmendjangan.

Peresmian terbilang telat karena mahasiswa sudah ada yang tahun ketiga. Sebagaimana diketahui fakultas kedokteran di Soerabaja sendiri didirikan pada tanggal 8 Desember 1947 (memulai persiapan) dan dibuka secara resmi pada tanggal 8 September 1948 (memulai perkuliahan). Peralihan Universiteit van Indonesie dari pihak Belanda ke pihak Indonesia (sesuai hasil perjanjian KMB) dilakukan pada tanggal 2 Februari 1950 dengan nama Universitet Indonesia (Universitas Indonesia) yang mana termasuk di dalamnya fakultas kedokteran di Soerabaja. Dekan fakultas kedokteran di Soerabaja Prof. Streef (Belanda) menyerahkan kepemiimpinan kepada dekan baru Prof. Mohamad Sjaaf (Indonesia) pada tanggal 4 April 1950.

Sementara Fakultas Kedokteran yang memasuki perkuliahan tahun ketiga, Institut Kedokteran Gigi Soerabaja yang didirikan pada bulan Januri 1948 (yang berada di bawah pengawasan Fakultas Kedokteran) sudah berhasil meluluskan dokter gigi (De vrije pers: ochtendbulletin, 04-09-1951). Disebutkan lulusan dokter gigi pertama adalah nona Liem Siok Wan. Sedangkan yang lulus ujian tingkat satu (eerste theoretisch tandheelkundig examen) terdapat sembilan mahasiswa dan gagal satu mahasiswa; yang lulus ujian tingkat dua (iweède theoretische tandheelkundig examen) juga sebanyak sembilan mahasiswa dan gagal dua mahasiswa.

Pada dies natalis yang keempat Fakultas Kedokteran di Soerabaja dilaporkan bahwa jumlah mahasiswa sebanyak 623 mahasiswa yang mana tahun ini diterima sebanyak 348 mahasiswa yang terdiri dari 183 Indonesia, 163 Tionghoa dan dua mahasiswa Belanda (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-01-1952). Disebutkan juga jumlah mahasiswa di institut kedokteran gigi (yang diawasi oleh Fakultas Kedokteran) terdaftar sebanyak 167 mahasiswa (yang mana diantaranya yang diterima tahun ini sebanyak 79 mahasiswa). Direktur Institut Kedokteran Gigi di Soerabaja adalah Prof. dr BJ van Eyk (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-01-1952).

Dalam perkembangannya Fakultas Hukum di Soerabaja yang didirikan tahun 1950 oleh Jajasan Perguruan Tinggi Soerabaja kemudian ditransfer ke Universitas Gadjah Mada (De vrije pers : ochtendbulletin, 19-07-1952). Disebutkan upacara pengalihan fakultas hukum tersebut ke Fakultas Hukum, Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada dilakukan di Simpang Societeit. Dalam upacara pengalihan ini turut hadir Menteri Pendidikan, Bahder Djohan, Presiden Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Sardjito, Ph.D dan dekan Fakultas Hukum, Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada Prof. Drs. Mr. Notonegoro, dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerabaja Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D serta Ketua Dewan Kurator Universitas Indonesia Mr. Soewandi dan Ketua Jajasan Perguruan Tinggi Soerabaja Mr. Sjarif Hidayat serta Prof. AG Pringgodigdo. Juga hadir Gubernur Oost Java dan Wali Kota Soerabaja dan dari Djogjakarta Paku Alam. Dalam acara pengalihan ini acara dibuka oleh Prof. Sardjito kemudian disusul oleh Mr. Sjarif Hidayat. Lalu kemudian pidato singkat Menteri Pendidikan yang diikuti penyerahan kepada Paku Alama. Selanjutnya Paku Alam menyerahkan kepada Prof. Sardjito selaku Presiden Universitas Gadjah Mada dan terakhir diserahkan kepada Prof. Notonegoro. Di dalam upacara penyerahan ini juga terungkap jumlah mahasiswa sebanyak 1.900 mahasiswa. Dalam kesempatan ini juga berbicara Prof. Notonegoro (dekan Djogjakarta) dan Prof. AG Pringgodigdo (dekan Soerabaja?). Juga dalam kesempatan ini ketua dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja, Soeprapto berbicara yang pada pokoknya mengatakan setelah fakultas kedokteran dan fakultas hukum, akan direncanakan pendirian fakultas ekonomi.

Fakultas Hukum di Soerabaja menjadi cabang Fakultas Hukum, Sosial dam Politik, Universitas Gadjah Mada di Soerabaja. Hal yang mirip dengan Fakultas Kedokteran di Soerabaja sebagai cabang dari dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerabaja.

Jumlah mahasiswa di fakultas kedokteran di Soearbaja pada tahun-tahun selanjutnya semakin bertambah lagi. Pada tahun 1953 sesuai laporan Presiden Universitas Indonesia pada Dies Natalis Universitas Indonesia 1953 tercatat jumlah mahasiswa di Fakultas Kedokteran di Soerabaja sebanyak 874 mahasiswa dan di Fakultas Kedokteran Gigi di Soerabaja sebanyak 224 mahasiswa.

NIAS dan STOVIT di Soerabaja

Pendidikan kedokteran di Soerabaja pada dasarnya bukanlah hal baru. Jauh sebelum pembentukan fakultas kedokteran di Soerabaja yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie, di Soerabaja sudah pernah eksis sekolah kedokteran umum Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) dan sekolah kedokteran gigi School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT), Sekolah kedokteran umum NIAS didirikan pada tahun 1913 dan sekolah kedokteran gigi STOVIT didirikan tahun 1928. Oleh karena terjadi pendudukan Jepang pada tahun 1942, dua lembaga pendidikan kedokteran di Soerabaja ini ditutup.

Pada tahun 1946 di Djakarta/Batavia dibentuk universitas darurat (Nood Universiteit). Pembentukan Nood Universiteir ini tidak terkait dengan keberadaan Universiteit van Nederlandsche Indische yang sempat eksis hingga tahun 1942. Seperti dikatakan oleh Presiden Nood Universiteit pada tahun 1945, pembentukan universitas darurat ini bukan kelanjutan Universiteit van Nederlandsche Indische tetapi merupakan satu upaya untuk mengisi kekosongan pendidikan tinggi di Djakarta/Batavia. Dengan semakin kondusifnya di Djakarta/Batavia, Bandoeng dan Soerabaja Nood Universiteit dimantapkan dengan mengubah namanya menjadi Universiteit van Indonesie pada tahun 1947. Fakultas-fakultas Univesiteit van Indonesie selain yang berada di Djakarta/Batavia (Kedokteran, Hukum, Sastra dan Pertanian) juga akan dibentuk fakultas-fakultas di Bandoeng (Teknik dan MIPA) dan Soerabaja (Kedokteran) serta di Makassar (Ekonomi). Pada tahun 1948 fakultas pertanian di Djakarta/Batavia dipindahkan ke Bogor/Buitenzorg. Pada fase inilah fakultas kedokteran umum dan institut kedokteran gigi di Soerabaja dibentuk yang kemudan menjadi cikal bakal Universitas Airlangga.

Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) didirikan di Soerabaja pada dasarnya berbeda dengan sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Sekolah kedokteran STOVIA selama ini dikhususkan untuk orang-orang pribumi sejak masa lampau. STOVIA sendiri merupakan peningkatan sekolah kedokteran Docter Djawa School pada tahun 1902. Sedangkan cikal bakal Docter Djawa School bermula dari pembentukan sekolah kedokteran di Weltevreden pada tahun 1851. Sedangkan NIAS pada awalnya didirikan sebagai sekolah kedokteran untuk semua golongan (Eropa/Belanda, pribumi dan Timur Asing/Tionghoa) tetapi kemudian hanya untuk mahasiswa pribumi.

Prof. Mohamad Sjaaf, Ph.D
Pada tahun 1927 STOVIA ditingkatkan menjadi perguruan tinggi kedokteran Geneeskundige Hooge School (GHS) yang mana mahasiswa yang diterima berasal dari semua golongan. Sebaliknya NIAS di Soerabaja mahasiswa yang diterima hanya terbatas pada orang pribumi. Dengan kata lain peran/fungsi STOVIA digantikan oleh NIAS. Lalu pada tahun 1928 di Soerabaja didirikan kursus/sekolah kedokteran gigi STOVIT. Pada tahun 1940 ketika Universiteit van Nederlandsche Indische dibentuk Geneeskundige Hooge School (GHS) di Batavia dijadikan sebagai fakultas kedokteran bersama-sama dengan fakultas hukum (RHS di Batavia), fakultas teknik (THS di Bandoeng) dan pembentukan fakultas sastra dan filsafat di Batavia. Foto (De vrije pers: ochtendbulletin, 31-12-1951).

Di sekolah kedokteran NIAS di Soerabaja di era kolonial Belanda teridentifikasi dua nama dosen yakni Dr. Soetomo dan Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D. Namun, Dr. Soetomo tidak bermur panjang dan telah meninggal dunia tahun 1938 di Soerabaja. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D berumur panjang. Kini, Dr, Mohamad Sjaaf, Ph.D telah diangkat oleh pemerintah (RIS) sejak 1 April 1950 sebagai guru besar di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia di Soerbaja yang beberapa hari kemudian Prof. Dr, Mohamad Sjaaf, Ph.D pada tanggal 4 April menggantikan posisi Prof. Dr. Streef sebagai dekan.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar