*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Belum lama ini diberitakan bahwa di Medan telah dipamerkan mushaf Al Quran kuno yang bertarih 1070 H atau tahun 1659. Mushaf Al Quran ini diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia. Bahkan disebutkan lebih tua 113 tahun dari mushaf Al Quran yang ditemukan di Ternate.
Belum lama ini diberitakan bahwa di Medan telah dipamerkan mushaf Al Quran kuno yang bertarih 1070 H atau tahun 1659. Mushaf Al Quran ini diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia. Bahkan disebutkan lebih tua 113 tahun dari mushaf Al Quran yang ditemukan di Ternate.
Medan, 1929 |
Klaim mushaf
Al Quran tertua di Medan sungguh menyenangkan mendengarnya. Namun originalitas mushaf
atau otentias angka tahun pembuatan mushaf tersebut ada yang mempertanyakannya.
Lantas seperti apa bukti sebenarnya dari mushaf tersebut? Apakah benar-benar
ditulis pada tahun 1659? Kita tunggu saja biar para ahli yang membuktikannya.
Lalu bagaimana awal mula perihal pengajaran pendidikan agama Islam di Medan.
Mari kita telusuri.
Komunitas Islam Tertua di Indonesia
Baros, suatu
tempat di wilayah Sumatra Utara sejatinya terbilang sebagai tempat komunitas
pertama Islam di Nusantara. Dalam perkembangannya, pertumbuhan dan pengembangan
(pendidikan) agama Islam terdapat di wilayah Atjeh. Dari sinilah diduga agama
Islam menyebar ke sejumlah tempat di Nusantara.
Namun soal pembuatan mushaf,
Aceh sejauh ini tidak menyimpan mushaf kuno. Mushaf paling tua di Aceh yang
diketahui berumur tahun 1800an. Mushaf tertua justru masih ditemukan di luar
Aceh, seperti di Ternate. Semua mushaf yang dimaksud adalah mushaf yang ditulis
di atas kertas buatan
Satu mushaf
yang terbilang kuno masih ditemukan di Alor. Mushaf Alor ini diriwayatkan
dibawa ke Alor dari Ternate sekitar tahun 1518. Secara fisik mushaf Alor ini terbuat
dari kulit kayu ditulis dengan tinta berwarna hitam dan merah.
Ada yang menduga bahwa mushaf
Alor ini berasal dari Timur Tengah yang ditulis pada zaman Nabi Muhamad SAW.
Ada juga yang menyebut mushaf kuno Alor ini mirip dengan Al Quran yang tersimpan
di Mesir. Secar fisik bahan mushaf Alor in terbuat dari bahan papirus yang mana
bentuk kaligrafi dan warna tinta juga sama dengan yang digunakan di Mesir.
Papirus ditemukan di rawa-rawa sungai Nil di Mesir.
Soal bahan
dasar untuk menulis dan tinta apa yang digunakan, praktek kuno ini pernah
dilaporkan oleh Willem Marsden (1775). Marsden mencatat bahwa penduduk Batak
memiliki sastra dan aksara sendiri.
Yang tidak diduga oleh Marsden
adalah lebih dari separuh penduduk Tanah Batak (tahun 1700-an) mampu membaca
dan menulis dengan aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis latin semua
bangsa-bangsa di Eropa. Untuk keperluan menulis ini menurut Marsden penduduk Batak
menggunakan kulit pohon khusus dan menuliskannya di bagian yang halus. Tinta
yang digunakan adalah jelaga dengan bahan dasar damar yang dicampur dengan air
tebu.
Damar bukan
saja komoditi ekspor dunia dari Tanah Batak, damar sendiri pada zaman kuno
sumbernya hanya ditemukan di Tanah Batak. Getah damar yang disebut resin antara
lain digunakan untuk penerangan. Komoditi kuno dari Tanah Batak tidak hanya
damar, tetapi juga kamper dan kemenyan. Kamper atau disebut kapur Baros digunakan
untuk pengawet (balsem) dan bahan obat, sedangkan kemenyan juga untuk bahan
obat keperluan ritual.
Tiga komoditi kuno inilah yang
kemudian membentuk pelabuhan Barus di Tanah Batak sebagai pelabuhan penting
sejak jaman Mesir kuno. Kamper adalah bahan dasar pembalseman di kuburan raja-raja
Mesir kuno. Nama kamper (kapur Barus) bahkan ditemukan dalam teks Ramayana
versi Jawa (karpura) dan dalam kitab suci Al Quran sebagai kafura melalui bahasa Persia (lihat The Travels of Marco Polo, a Venetian, in the Thirteenth Century, 1818 ). Nama kemenyan juga muncul
dalam Alkitab. Sedangkan damar berguna untuk bahan penerangan dan bahan cat.
Sebagaimana disebut Marsden, bahan damar juga telah digunakan penduduk Batak
sebagai bahan tinta untuk menulis.
Lantas apakah
mushaf yang ditemukan di Alor yang diduga berasal dari Mesir yang ditulis di
atas bahan kertas papirus tintanya seperti yang digunakan oleh penduduk Batak
dari bahan damar. Papirus di Mesir, damar di Tanah Batak. Sejak zaman Mesir
kuno, orang Mesir sudah berniaga ke Tanah Batak di Barus untuk mendapatkan tiga
komodiri kuno yang terpenting: kamper, kemenyan dan damar.
Sejauh ini bahan kertas terbuat
dari bahan asal tumbuhan. Bahan kertas dari tanaman papirus terbilang bahan
yang mampu bertahan dalam jangka panjang di berbagai iklim yang berbeda. Bahan
tinta yang berasal dari damar juga terbilang bahan yang tahan lama sebagaimana
di jaman kuno bahan damar selain untuk bahan penerangan (dibakar) juga damar
digunakan untuk bahan cat untuk melukis.
Dari mushaf-mushaf
kuno yang ditemukan, mushaf Al Quran tersebut ditulis dengan dua warna dasar
yakni warna hitam dan warna merah. Dua warna dasar hitam danmerah kerap
diasosiakan dengan warna tradisional penduduk Batak zaman kuno.
Kontroversi Mushaf Al Quran Tertua di
Indonesia
Satu-satunya
bukti bahwa mushaf Al Quran di Medan diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia
hanya berdasarkan kolofon atau catatan kaki oleh si penulis. Disebutkan pada kolofon,
penulis memberi tanda mushaf selesai pada tanggal 20 Dzulqaidah 1070 H. Tahun 1070
H jika dikonversi sama dengan tahun 1659. Selain itu juga terdapat angka tahun
1074 atau sama dengan tahun 1663.
Seorang ahli mushaf dari Bayt Al Quran dan Museum
Istiqlal, Ali Akbar menyoroti angka tahun 1074. Ahli dari Bayt Al Quran dan
Museum Istiqlal menduga bahwa pada angka tahun dalam penulisan 1074 terdapat
keraguan pada originilitas angka 0 (nol). Ada perbedaan cara penggoresan
(ketebalan) tinta yang berbeda antara angka 0 dengan angka yang mendampinginya
(angka 7 dan angka 4). Angka 0 seakan tercermin dari angka 2, sehingga angka
tahun 1074 lebih tepat angka tahun 1274 atau jika dikonversi sama dengan tahun
1863. Beberapa tahun yang lampau, Ali Akbar telah menyimpulkan tiga mushaf Al
Quran tertua di Indonesia yakni yang terdapat di Perpustakaan Nasional
(bertarih 1731), mushaf yang terdapat di masjid Riau (bertarih 1753) dan mushaf
yang terdapat di Ternate (bertarih 1772).
Mushaf Al
Quran tertua yang diklaim di Medan, selain dianggap kontroversi pada penulisan
angka tahun, juga yang memunculkan kontroversi adalah mengenai sumber. Tidak
diketahui dimana sumber tersebut diperoleh. Hanya disebut bersumber dari
pedagang antik.
Sebagaimana kita
ketahui selama ini para pedagang antik tidak lazim memiliki sistem penyimpanan
khusus untuk benda-benda antik (kuno), apalagi untuk penyimpanan benda yang
berbahan kertas. Kita tidak bisa membayangkan suatu benda yang berbahan kertas
aman di tangan para kolektor (pedagang antik). Suatu benda yang berumur ratusan
tahun (sejak 1659). Benda yang berbahan kertas seumur itu, jika tidak memiliki
sistem pengaman dan sistem pemeliharaan yang tepat, tentu sudah sangat rapuh
dan tidak mudah berpindah tangan. Kertas berbahan kayu dari Eropa sangat rapuh
dimakan zaman, tetapi tidak mudah lapuk dengan kertas berbahan papirus.
Dalam tradisi
penulisan sejarah, sebuah benda atau suatu kejadian yang diperhatikan lebih tua
akan lebih menimbulkan minat yang lebih tinggi. Demikian halnya soal mushaf Al
Quran di Indonesia. Kita terus mencari apakah ada mushaf yang lebih tua dari
mushaf Ternate. Ternyata kemudian, ditemukan mushaf yang lebih tua dari mushaf
Ternate.
Yang menjadi permasalahan
adalah apakah mushaf yang dipamerkan di Medan baru-baru ini merupakan mushaf
tertua di Indonesia. Belum dilakukan penelitian yang cermat, tetapi sudah
muncul keraguan apakah mushaf yang dipamerkan di Deli benar-benar original
buatan tahun 1659 atau buatan tahun 1859 (ada perbedaan waktu 200 tahun).
Sumber
sejarah sangat tergantung dari sumbernya. Akan tetapi para analis sejarah
(sejarawan) haruslah tetap sebagai orang yang bertanggungjawab untuk memastikan
sumber itu sebelum disimpulkan. Sumber juga bisa menjadi palsu karena di masa
lampau telah terjadi ketidaksengajaan atau sengaja memutarbalikkan fakta dengan
mengubah angka tahun 1274 menjadi angka 1074. Namun untuk memastikan apakah
sesuatu itu palsu, ahli sejarahlah yang harus cermat dan berpikiran jernih.
Ibarat kata, pelaku
sejarah boleh berbohong tetapi tidak boleh salah. Sebaliknya, ahli sejarah
boleh salah tetapi tidak boleh berbohong. Boleh jadi dalam berbagai kasus, para
ahli sejarah sudah mengetahui atau menyadari bahwa sumber adalah palsu, tetapi
tutup mata untuk itu. Perilaku semacam ini juga dapat dikategorikan membohongi
sejarah dan membohongi publik. Para ahli sejarah tidak boleh bersembunyi
dibalik (para) sumber yang bersahaja.
Analisis Ali Akbar terhadap angka tahun pada mushaf yang dipamerkan di
Medan boleh jadi salah. Namun dugaan Ali Akbar adanya pemalsuan angka tahun
1274 menjadi 1074 juga tidak bisa dianggap angin lalu. Seharusnya ahli sejarah
memiliki kepekaan dan ketelitian terhadap sumber. Sebuah sumber seharusnya
dikonfirmasi dengan sumber lain. Namun ahli sejarah tidak cukup bahan untuk membandingkan
dengan sumber di tempat lain, karena mereka cenderung hanya terbatas pada
kajian tertentu di tempat tertentu. Saya beberapa kali menemukan sumber palsu
di berbagai dokumen, peta, lukisan dan foto yang digunakan oleh para ahli sejarah.
Saya tidak tahu apakah ahli sejarah tersebut menyadari atau tidak.
Introduksi Penggunaan Kertas di Deli
.
Mushaf yang dipamerkan di Medan hanya mempersoalkan angka tahun
pembuatan. Tidak disebutkan siapa yang membuat dan dimana dibuat. Meski mushaf
yang dipamerkan di Medan diperoleh dari pedagang antik di Medan tentu saja
tidak dengan sendirinya bahwa mushaf itu dibuat di Medan atau di Deli. Seperti
halnya mushaf kuno yang ditemukan di Alor meski disebut dibawa dari Ternate,
tentu saja belum tentu dibuat di Ternate.
Penggunaan kertas secara masif
berkenaan dengan kehadiran orang asing di Nusantara. Kertas produksi Eropa
besar kemungkinan dibawa oleh orang Eropa, seperti Portugis, Belanda dan
Inggris. Akses untuk mendapat kertas dari orang Eropa tentu tidaklah mudah,
karena kertas hanya digunakan terbatas untuk keperluan ekspedisi dan
administrasi perdagangan dan pemerintahan.
Pada era VOC tidak ada alasan yang urgen bagi Belanda untuk berbagi
kertas dengan pribumi kecuali dalam situasi dan kondisi yang khusus. Ketika VOC
berdagang ke wilayah Maluku, Gowa yang menjadi pintu akses ke Ternate,
kesultanan Gowa masih menulis aksara Lontara di dalam kulit kayu.
Pada tahun 1659 (1074 H)
Belanda/VOC hanya memiliki kebijakan perdagangan di pantai (pelabuhan).
Interaksi dengan penduduk lokal masih longgar. Kebijakan VOC/Belanda yang
menjadikan penduduk lokal sebagai subjek baru dimulai pada tahun 1666 (yang
menjadi titik awal penaklukan Gowa). Setelah itu baru secara bertahap kerjasama
pejabat VOC dengan para pemimpin lokal di berbagai tempat di nusantara dimulai
(Bongaisch Contract). Perjanjian-perjanjian dengan pemimpin lokal dibuat dalam
tulisan di atas kertas. Kontak VOC/Belanda di Sumatra dimulai di Padang (1666)
kemudian di Baros (1668) dan pulau Gontong di muara sungai Siak. Ekspedisi ke
pedalaman Jawa sendiri baru dimulai pada tahun-tahun jelang 1700.
Wilayah Atjeh dan pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) tidak
terdapat hubungan yang intens dengan VOC/Belanda. Ekspedisi VOC/Belanda dari
Malaka baru dilakukan pada tahun 1687dari Siak menuju Pagaroejoeng.
Penyelidikan terhadap Riaow sendiri oleh Belanda baru dimulai tahun 1849 oleh
ahli bahasa Elisa Netscher. Perjanjian Belanda dengan pemimpin lokal di Riau
baru terlaksana tahun 1858. Ketika Elisa Netscher menjadi Residen Riau yang
berkedudukan di pulau Bintan, ekspedisi ke Deli baru dimulai tahun 1863. Tahun
inilah awal kontak para pemimpib Deli dengan pejabat Belanda.
Ekspedisi ke Deli tahun 1863
menyebabkan (kekuasaan) Atjeh terusir dari Deli. Pengusiran (kekuasaan) Atjeh
dari Padang (Sumatra’s Westkust) terjadi tahun 1666. Ada perbedaan waktu 200
tahun pembebasan Atjeh di Padang dan Deli.
Lalu pemerintahan di Deli dimulai secara bertahap. Investor pertama
Nienhuys datang ke Deli tahun 1865. Pemerintahan di Padang baru dimulai tahun
1821 dan baru efektif pada tahun 1837. Di Tapanoeli sendiri pemerintahan
Belanda baru dimulai di Natal dan Mandailing.Angkola tahun 1840 dan di Baros
tahun 1845.
Sulit membayangkan apa yang
terjadi pada tahun 1659 di Deli. Pemimpin Deli baru melakukan kontak dengan
luar (Belanda) secara intens pada tahun 1865. Sementara di Angkola/Mandaiing
pada tahun 1865 sudah terdapat sekolah guru.
Deli terbilang wilayah
yang telat dalam hal pendidikan. Pada tahun 1900 bahkan di Medan sendiri belum
terdapat sekolah. Meski demikian, di Medan sudah terdapat sekolah agama. Namun
perlu dicatat bahwa penyelenggaraan sekolah agama di Medan tersebut hanya
dilakukan secara lisan. Juga di Bindjai bahkan hingga tahun 1902 belum ada
sekolah untuk penduduk.
De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 15-10-1897: ‘Dari Dcli. Dilaporkan. Sangat mengejutkan bahwa
kesultanan yang berkembang seperti Dcli masih tidak memiliki sekolah untuk
anak-anak penduduk pribumi, ada sekolah-sekolah agama, tetapi disana anak-anak
hanya mempelajari bagian-bagian Al-Quran dengan lisan’. De Sumatra post, 08-08-1902: ‘Fakta bahwa Bindjey, yang tentu saja merupakan tempat
paling penting di pantai timur, belum memiliki sekolah pribumi, sementara
Tandjong Poera yang lebih muda sudah memiliki perangkat semacam itu. Kami dapat
sepenuhnya setuju dengan keinginan Pertja Timor bahwa Sultan Langkat dapat
melanjutkan untuk menyediakan gedung sekolah dan bahwa Pemerintah dapat
menunjuk seorang guru untuk mengajar anak-anak di Bindjey’.
Dari gambaran ini, sangat naif mengatakan di Deli pada tahun 1659 sudah
tumbuh dan berkembang tradisi menulis dengan menggunakan kertas. Selain itu,
sangat naif bahwa pada tahun 1659 di Deli sudah diperkenalkan kertas produksi
Eropa. Sementara di Deli sendiri kontak dengan luar (Belanda) baru dimulai pada
tahun 1863. Ekspedisi Belanda ke Deli pada bulan Februari 1863 dipimpin oleh
Residen Riouw Elisa Netscher. Sebagaimana diketahui Elisa Netscher adalah
seorang sarjana linguistik.
Analisis Ali Akbar terhadap
mushaf yang dipamerkan di Medan menduga umur mushaf tersebut bertarih 1274 H
atau tahun 1863. Pada tahun inilah dimulai kontak Deli dengan luar secara
intens. Dengan kata lain, tahun ini kemungkinan penulis-penulis mushaf di Deli
mendapat akses untuk menerima kertas Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar